Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

SABAR


Mengejar sebuah target, ataupun menunggu sesuatu yang menyenangkan, memang seringkali membutuhkan kesabaran ekstra. Bagi penjual, memprospek satu calon pelanggan yang masuk kategori terbaik, seringkali juga tidak mudah dan membutuhkan waktu yang tidak sedikit hingga pada akhirnya tercapai kata sepakat alias "deal", "closing", atau apapun istilah pemasarannya.

Sebagai "penjual" produk bank, saya sering mengalaminya. Ketika bertugas di Gresik, ada satu calon debitur yang kami dekati lebih dari satu setengah tahun, hingga pada akhirnya bersedia menjadi nasabah kami. Satu setengah tahun, berarti hampir setara dengan seluruh masa kerja saya di kantor cabang tersebut; mengingat saya hanya bertugas di sana selama satu tahun delapan bulan.

Di kantor yang sekarang --di Jakarta--, ada juga kejadian unik. Lebih dari satu tahun lalu saya makan di sebuah warteg di bilangan Cikini Raya. Persis di depan warteg tersebut, ada papan nama perusahaan, yang saya lihat cukup prospektif untuk dijadikan nasabah. Saya bilang ke anggota tim saya, "Catat nama perusahaan itu. Suatu saat, ia akan jadi nasabah kita!".

Apa yang terjadi? Bulan Agustus ini, perusahaan tersebut akan melakukan akad kredit di kantor kami, dengan nilai kredit yang mencapai sebelas digit! Hmm...

Tak jauh dari Cikini, di bilangan Kwitang, ada juga cerita seru. Tahun lalu, sekitar bulan Juni, kami memutus sebuah permohonan kredit, take over dari sebuah bank swasta. Mengetahui bahwa salah seorang nasabah baiknya akan di-take over, bank swasta tersebut berusaha mempertahankan dengan memberikan penawaran yang sama persis dengan yang akan kami berikan. Hasilnya memang memuaskan : si debitur tak jadi pindah.

OK, batin saya. Suatu ketika, ia tetap akan jadi nasabah saya. Dengan kesabaran pendekatan, apa hasilnya? Bulan Juli tahun ini, debitur bank swasta itu telah resmi menjadi nasabah kami!

Jum'at minggu lalu saya kongkow bareng seorang pengusaha salon, yang telah memiliki beberapa cabang milik sendiri, sekaligus beberapa cabang lain yang milik franchisee-nya.

Ia bercerita tentang betapa lama ia memprospek dan meyakinkan rekanan bisnis yang pada akhirnya menjadi franchisee-nya itu. Atau mungkin lebih tepatnya, betapa lama si calon franchisee pada akhirnya bisa meyakinkan dirinya sendiri, bahwa bisnis salon yang ditawarkannya merupakan usaha yang prospektif dan profitable.

"Berapa lama?" tanya saya.
"Wah, ada yang sampai satu tahun lebih!" katanya.

Tapi, hasilnya memang memuaskan. Artinya, kualitas hubungan yang demikian biasanya justru akan lebih baik dibanding hubungan emosional yang tercipta sesaat.

Pendekatan yang kontinu dan tak kenal lelah oleh "penjual", ditambah pertimbangan dan upaya peyakinan diri dari pihak "pembeli", memang pada akhirnya menciptakan ending yang lebih indah. Kesabaran dan kontinuitas si penjual menunjukkan bahwa sang obyek adalah benar-benar "pilihan" (dengan logika : kalau tidak bagus, ngapain terus kita "kejar-kejar"? --red), sementara "luluhnya" hati pembeli, berasal dari keyakinan akan kualitas produk yang ditawarkan si penjual.

Satu pelajaran yang terpetik : kesabaran, kontinuitas dan upaya tak kenal lelah memang harus dilakukan seorang "penjual", jika ia memang ingin mendapatkan "pembeli-pembeli" yang terbaik.

Frasa "menyerah", tak ada dalam kamus seorang penjual yang gigih.

Saya yakin, Anda memiliki kisah yang tak jauh berbeda.


Salam,

Fajar S Pramono

Ilustrasi : http://powerofmeditation.files.wordpress.com

6 komentar:

Pak, saya suka gaya bertutur Bapak. Saya masukkan alamat blog Bapak ini di blogroll blog saya ya.
Terimakasih sebelumnya.

 

Salam kenal, Mbak Mia.

Kehormatan besar bagi saya, Mbak Mia memasukkan blog saya ke dalam blogroll.

Saya juga sudah berkunjung ke http://sayaperempuan.wordpress.com. Bagus-bagus, Mbak. Saya suka kejelian Mbak Mia memilih tema. Lebih asyik lagi karena banyak posting yang "nyastra" alias memiliki kandungan seni sastra. Luar biasa talenta Mbak Mia.

Setelah membaca banyak posting Mbak Mia, saya juga memutuskan untuk memasukkan blog Mbak Mia ke dalam "teman blogger". Semoga berkenan.

Salam blogger,

Fajar S Pramono

 

SABAR yang ini didukung dengan manajemen yang HANDAL & team work yang bagus.

 

Tul, Mas Nanang. Alhamdulillah, kami adalah tim yang solid dan kompak.

 

Enak juga buat tambahan ilmu..
Tapi pak, gimana kalo kita udah usaha, gigih pula, lama pula, namun belum ada hasilnya?
(Psst.. saya juga banker, walopun 'cuma' frontliner!)

 

@ Mbak Emilda : Pertanyaan yang menarik!

Dari dulu saya adalah salah satu penganut "madzab" yang mengakui adanya istilah "toleransi kesabaran"; atau yang seringkali saya istilahkan juga dengan "toleransi kegagalan".

Intinya begini : ada suatu tujuan (goal) yang bisa ditetapkan secara terus menerus, sehingga "harus berhasil".

Misal : keinginan naik haji. Karena goal harus punya batas waktu (time bound), maka bisa saja goal itu belum dapat tercapai pada saat "jatuh tempo".

Apakah itu berarti gagal? Bagi saya, tidak. Itu berarti belum. Dengan catatan, semua doa dan ikhtiar sudah dilakukan. Kalau belum maksimal, kemudian mengaku "belum", itu yang tidak benar.

Dalam contoh "naik haji", apakah goal itu tidak boleh kita perbarui dengan time bound yang baru? Misal yang semula 2007, menjadi 2009? Apalagi jika 'kegagalan' itu karena "force majour" seperti terbatasnya kuota haji, sakit ketika saat berhaji tiba, dsb.

Ada beberapa goal yang bisa diset ulang pencapaiannya.

Tapi, ada juga goal yang pada saatnya bisa dianggap "mentok". Misalnya, menjadi pegawai negeri (dalam proses rekrutmen normal). Misal, syarat utk bisa diterima menjadi pegawai negeri adalah 25 tahun. Maka, ketika lewat umur itu kita belum menjadi PNS, saatnya kita untuk merevisi goal kita. Misal, menjadi pengusaha muda dengan omzet 100 juta per bulan di usia 28 tahun. Atau, bekerja di perusahaan swasta dengan gaji minimal 8 juta rupiah per bulan.

Contoh yang lain, sebagai frontliner, setelah sekian tahun berhak mengikuti job opening supervisor, maksimal 3 kali.
Kebetulan, kita ikut 3 kali, belum berhasil juga. Berarti, segera ganti goal Anda. Mungkin lewat jalur lain (misal test staf khusus), atau bahkan membuat "lompatan" di bidang lain.

Di situ, "toleransi kegagalan" atau "toleransi kesabaran" diberlakukan, dan HARUS diikuti goal yang baru. Jika kita tetap "ngotot" sementara sudah jelas-jelas "menabrak tembok", maka kita yang akan "konyol" dan bahkan menjadi kontraproduktif bagi semangat kita.

Ingat, goal harus memenuhi kriteria SMART :
S = Specific (tertentu dan jelas)
M = Measurable (terukur)
A = Achievable (yakin dapat diraih)
R = Realistic (realitis)
T = Time Bound (punya batas waktu)

Ada kriteria REALISTIC di sana...

OK, Mbak Emilda?
SUKSES UNTUK ANDA!


Salam,

Fajar S Pramono