Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

SUNGKEM


Menuliskan kembali artikel lama saya yang pernah dimuat di media lebih dari 10 tahun lalu, ternyata menciptakan nostalgia tersendiri.

Saya teringat kembali situasi ketika saya menulis, teringat mesin ketik yang pada waktu itu saya gunakan (swear, itu mesin ketik yang sangat berjasa bagi saya!), juga komputer jadul 386 setelahnya, printer dot matrik yang begitu lambat kerjanya, kamar kos di Solo tempat saya berkarya, bahkan warna karpet, sprei dan layout kamar yang saya ciptakan dan minimal setiap tahun saya rubah, persis di malam tahun baru sehingga dentang jam 12 malam selalu saya lewati dalam kondis bersimbah peluh, akibat capek menggeser-geser lemari dan tempat tidur!

Ah, jadi pingin posting tulisan "culun" saya lagi. Kali ini yang dimuat di Suara Merdeka, 25 Februari 1996. Berarti, lebih dari 12 tahun yang lalu. Dan karena dalam suasana menjelang lebaran, saya ambil yang ada hubungannya dengan salah satu ritual masyarakat kita : cara sungkem ortu.

YANG PENTING ESENSINYA


Sungkeman,sebenarnya hanyalah sebuah tradisi. Ia merupakan perwujudan fisik yang menunjukkan bakti kita kepada orang tua.

Saya sebut "hanya" sebuah tradisi, karena yang terpenting adalah esensi dari prosesi sungkeman tersebut.

Apa esensinya? Ya, permohonan maaf yang sungguh-sungguh, mohon ampun pada Allah SWT, dan tekad untuk tidak lagi mengulang kesalahan. Sekalipun seorang anak sungkem sampai mencium kaki sang ortu, tapi di hatinya tak ada perasaan ikhlas dan tekad tadi, buat apa? kalau setelah membungkuk-bungkuk, kita kembali membuat ortu sakit hati, apa gunanya?

Sekali lagi, biarpun hanya bersalaman, cium pipi kanan kiri, yang terpenting esensinya. Memang lebih baik kalau kesungguhan hati kita juga diwujudkan dalam bentuk fisik. Lebih... gimama gitu!

***

Hehe... "culun" kan? Dan setelah membaca karya-karya "antik" saya terdahulu, saya melihat, gaya tulisan saya nggak jauh berubah. Berarti, masih "culun" kan? Hihihi...

Dan sebagaimana gaya penulisan saya, tentang sungkeman itu sendiri, sampai sekarang saya masih memiliki prinsip yang sama. Konsisten nih, ceritanya... :)

Ah, nostalgia masa lalu itu masih saja membayang. Nambah semangat juga. Tapi, mandi dulu ah! Sudah jam 9 lewat...


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi :
1) i227.photobucket.com
2) www.presidensby.info (ssst, itu bukan foto saya lho, meskipun mirip! :) Itu foto Pak SBY sungkem ke ibunya sendiri...)

TUAN, NYONYA DAN PEMBANTU


Lebaran dan kerepotan keluarga karena pulangnya pembantu, bukan masalah yang baru. Ini masalah biasa, yang bahkan karena seringnya dibahas, menjadi sangat biasa.

Sejak hari Rabu (24/09), seseorang yang biasa membantu pekerjaan harian di rumah kami, pulang kampung. Praktis, sejak hari itu, istri di rumahlah yang berperan penuh pada aktivitas sekaligus rutinitas mengurus rumah.

Kasihan juga, tapi gimana lagi. Malah, saya sendiri tetap asyik dengan aktivitas kesukaan saya sendiri. Buktinya, ketika istri sedang sibuk mencuci dan bahkan bersiap memandikan anak-anak, saya tetap khusyuk di depan komputer, browsing, baca koran maya, bahkan tetep saja blogging! Hihihi... keterlaluan kan? :)

Tapi, saya bukan mau berkisah soal kepulangan mudik pembantu. Fenomena ini sudah menjadi masalah klasik tahunan, dan selalu saja menjadi salah satu angle penulisan artikel di media massa.

Saya hanya mau menuliskan kembali salah satu artikel saya, yang dimuat di Harian Suara Merdeka lebih dari 13 (baca sekali lagi : tiga belas!) tahun lalu. Tepatnya, 3 September 1995.

Mudah-mudahan ada pelajaran yang bisa diambil. Amien.


TUAN, NYONYA DAN PEMBANTU

Judul di atas meminjam judul salah satu film, yang lokasi syutingnya di Semarang. Lalu, apa hubungannya dengan artikel ini? Tentu saja. Itu berarti saya mengajak Anda semua untuk ngrumpi-in persoalan antara majikan dan pembantu.

Tentu Anda semua juga paham, kalau yang akan kita bicarakan ini mengenai pembantu rumah tangga, bukan soal yang lain.

Tiba-tiba saya ingin menulis hal ini ketika seorang teman dekat mengeluhkan soal pembantunya yang baru saja minggat. "Pamitnya sih cuma pulang kampung sebentar. Tapi ternyata, nggeblas!"

Penyebabnya? Ternyata minggat karena khawatir diperlakukan semena-mena oleh keluarga Lina, teman saya itu. Padahal, keluarga Lina sama sekali tidak pernah melakukan perbuatan yang bisa disebut sewenang-wenang. Makan, tidur, istirahat, gaji, lebih dari cukup. Kalau soal dimarahi dikit-dikit, itu hal yang wajar.

Setelah diselidiki, kekhawatiran Yu Nah --pembantu yang minggat itu-- muncul akibat gosip negatif yang (sengaja) dilontarkan oleh Budhe Lina.

"Iya, nggak tahu tuh. Mungkin beliau nggak suka keluarga kami punya pembantu," tuturnya ketika itu.

"Lho, apa alasannya?" tanya saya tak habis pikir.

"Entahlah, dari dulu selalu begitu. Pembantu sebelumya juga minggat setelah diceramahi Budhe."

"Kamu nggak tanya ke pembantumu?" tanya saya lagi.

"Itulah, pembantuku nggak mau terbuka sama keluargaku. Mungkin karena melihat kesibukan Bapak dan Ibu, dia jadi segan untuk matur," Lina masih terus mengeluh.

Dan ternyata masalahnya tidak sesederhana itu. Yu Nah ternyata sempat melakukan "unjuk rasa" terselubung sebelum meninggalkan rumah Lina. Dia mengungkapkan rasa takut pada tuan rumah, dengan menuliskannya dalam buku tulisnya, yang tampaknya sengaja ditinggal di lemari pakaian.

Belum lagi coretan-coretan bolpoin di tembok kamar. Semua itu berisi kekuatiran yang belum terbukti.

***

Belum sampai seminggu sejak Yu Nah minggat, Lina mengeluh lagi.

"Ada apa lagi?" tanya saya ketika dia datang dengan wajah muram.

"Masih soal pembantu, Mas," jawabnya tampak kesal.

"Kenapa. Minggat lagi?"

"Bukan. Ini soal pembantu yang ada di rumah kos Bapak. Yu Tin itu lho, kamu tahu kan?" katanya, seraya menghempaskan pantatnya di kursi tamu.

"Yu Tin istrinya Kang Marto, kan?" saya berusaha mengingat-ingat.

"Iya, kemarin dia ke rumah. Yu Tin bilang, dia nggak mau lagi mengurusi kos putri itu," Lina mulai menjelaskan.

"Emangnya kenapa?"

"Begini lho," sambil membetulkan posisi duduknya Lina bercerita, "Dia sakit hati dengan ulah para mahasiswi yang kos di situ. Dia merasa dilecehkan keberadaannya. Padahal, Yu Tin dipercaya oleh Bapak untuk mengatur segala tetek bengek kos. ya kebersihan, kerapian, keindahan, sampai persoalan uang."

Lina berhenti sejenak untuk mengatur nafasnya, lalu meneruskan, " Kamu tahu apa yang diperbuat oleh cewek-cewek tengil itu?"

"Ya ndak tahu to..," jawab saya, "Lha wong kamu yang punya cerita...."

"Yu Tin selalu menjadi sasaran kemarahan mereka." Lina tampak jengkel sekali. "Kalau Yu Tin sedikit mengingatkan, mereka jawab, 'Memangnya kamu ini siapa? Cuma batur saja berani ngatur.' Siapa yang tahan diperlakukan begitu? Benar-benar kurang ajar!"

"Tenag, Lin. Jangan emosi begitu. Apa Bapak sudah menemui mereka? Buat membicarakan perilaku mereka yang kebangeten itu."

"Sudah, Mas. Tapi di depan Bapak, mereka menjelma menjadi makhluk yang begitu manis, sopan dan penurut."

"Aku akan usul untuk mengosongkan dulu kos itu. Biar diisi sama anak-anak yang lain, yang punya sedikit tenggang rasa kepada pembantu," kata Lina tatkala dia mulai bisa mengendalikan emosinya.

***

Banyak kasus ataupun peristiwa di antara majikan dengan pembantunya dalam kehidupan sekitar kita. Atau malah terjadi pada diri kita. Seperti juga pada dua contoh tersebut. Lalu apa sebaiknya yang kita lakukan?

Yang pertama, tentu kita harus sadar, pembantu juga manusia seperti kita. Bukan robot yang tidak punya perasaan. Tidak punya hati nurani. Pembantu juga bisa tersinggung, sakit hati, dan marah. Hanya keadaan materi, pangkat jabatan,yang membedakan dari mereka.

Kalau menyadari benar hal tersebut, kasus seperti itu rasanya tidak perlu terjadi. Yu Nah nggak perlu minggat, dan Yu Tin nggak perlu sakit hati.

Kita berhak menyuruh begini atau begitu, namun tetap berpedoman pada etika dan kemanusiaan. Kita mustinya bersyukur, masih ada orang yang mau membantu pekerjaan kita di rumah, dengan imbalan uang tentunya.

Namun, apa artinya uang gaji yang diterimanya, bila ia terpaksa mengorbankan perasaan dan harga dirinya.

Pembantu yang mendapat perlakuan sewenang-wenang dari majikannya tentu lebih memilih untuk mencari pekerjaan lain, atau menjadi pembantu di tempat lain.

Mereka adalah mitra kerja kita di rumah. Suasana kekeluargaan yang akrab bersahabat, akan menghasilkan nilai kerja yang menggembirakan kedua belah pihak.

Si majikan tak perlu marah-marah karena pekerjaan yang kurang beres, dan sebaliknya. Si pembantu tak perlu merasa tersinggung atas kata-kata majikan. Semua akan berjalan harmonis.

Hal berikutnya yang harus dilakukan adalah berusaha mengembangkan iklim keterbukaan antara tuan dan nyonya sebagai majikan, dengan pembantu. Kita harus senantiasa memberikan kebebasan berpikir, berbicara, guna mengemukakan pendapat serta unek-uneknya.

Keterbukaan akan menimbulkan rasa saling pengertian di antara keduanya. Mungkin suatu ketika pembantu kepayahan dan sakit. Tapi karena takut untuk matur, dia terus bekerja tanpa mengindahkan sakitnya. Ditambah sikap yang tidak mau tahu dari majikan, akibatnya bisa fatal.

Seperti pada kasus pertama. Bila Yu Nah biasa terbuka dengan keluarga Lina, kekhawatiran yang sama sekali tak beralasan itu tidak perlu muncul. Ia tidak akan mudah terpengaruh oleh suara-suara sumbang mengenai keluarga majikannya. Sebab, dia tahu betul kondisi sebenarnya.

***


Salam,

Fajar S Pramono


Gambar : lifestyle.okezone.com

SEDIKIT TENTANG (KARYA) GUS MUS


Mencari Bening Mata Air; Renungan A. Mustofa Bisri. Diterbitkan Penerbit Kompas, September 2008.

Buku itu tipis saja. Membacanya, seharusnya tak perlu waktu lama. Tapi, ketika kesederhanaan dalam jumlah halaman itu berisi sebuah kebesaran pikir yang bagi saya luar biasa, saya tak akan bisa membacanya secara cepat, sebagaimana saya melahap buku-buku lainnya.

Bagaimana tidak? Hampir di tiap halamannya terkandung mutiara. Dan entah kenapa, mutiara itu bagaikan candu. Pertama, ketika membaca sekilas, tampaknya biasa. Pembacaan kedua, segera terasa keindahannya. Pembacaan ketiga, segera tampak maknanya. Pembacaan keempat, terasa "tamparan-tamparan"-nya. Pembacaan kelima dan seterusnya, hanya keindahan dan kedalaman makna yang semakin kentara dan semakin menampar kesadaran.

Ketika pembacaan dianggap cukup, maka perenungan yang menggantikannya. Perenungan pertama, menampar ingatan. Perenungan kedua, mendobrak kesadaran. Perenungan ketiga, menciptakan cermin di hadapan hati. Perenungan keempat, menawarkan kekuatan instropeksi. Perenungan kelima dan selanjutnya, menegaskan kepada kita bahwa kita ini masih saja menjadi manusia yang penuh "salah", seringkali sok, egois, namun (pada akhirnya, Insya Allah) siap membuat perubahan pemaknaan dalam sikap hidup, sekaligus mensikapi kehidupan itu sendiri.

***

Saya bukan mau promosi buku. Saya hanya mau mengatakan, saya sangat kagum dengan Gus Mus. Ya, si A. Mustofa Bisri itu. Seorang cendekia kelahiran Rembang, 10 Agustus 1944. Seorang kiai yang juga pemikir besar, seorang guru santri yang juga budayawan, sastrawan penyair dan penulis cerpen, pelukis, ahli kaligrafi, dengan gaya hidup dan perilaku yang sangat bersahaja di mata saya, kendati beliau tak bisa melepaskan diri dari karakter "bawaan" bernama ke-eksentrik-an.

Di mata saya, beliau adalah sosok yang lengkap. Istilah "lengkap" saya pilih, untuk menghindari kata "mendekati sempurna". Ya, karena kesempurnaan hanya milik Allah.

Tapi, dengan pemahaman keagamaan, ritus kesalehan dalam hubungan dengan Tuhan serta pemahaman ekonomi budaya, sosial dan amsal keduniawian lainnya yang jauh di atas rata-rata; ditunjang pembawaan yang tak pernah menyiratkan sebuah kecongkakan karena kepemilikan kemampuan, maka ia layak dijadikan sosok panutan.

Saya merasa tak berlebihan. Maka, sembari terus membaca buku tipis di atas, saya kembali mengaduk-aduk koleksi "perpustakaan" saya. Saya merasa harus membaca kembali buku terbitan HMT Foundation, Semarang tahun 2005 (pengantar dari Ir. H. Muhammad Tamzil, MT ditulis September 2005), yang banyak sekali bertutur tentang sosok Gus Mus. Judul bukunya Ngetan-Ngulon Ketemu Gus Mus. Bahkan, karena merasa kurang, saya juga culik dari deretan buku-buku di lemari buku kami, sebuah buku yang lebih tipis dari buku Mencari bening Mata Air. Sebuah kumpulan puisi Gus Mus : Negeri Daging. Diterbitkan Penerbit Bentang Budaya, September 2002. Juga Kumpulan Cerpen Gus Mus : Lukisan Kaligrafi, Penerbit Kompas, September 2003. (saya baru ngeh, kok keempat buku Gus Mus yang saya miliki semuanya terbitan September ya? Wallahu a'lam)

Sayang, saya tak menemukan kembali sebuah puisi --yang saya lupa judulnya--, yang pernah saya cuplik sebagai tulisan di majalah kampus ketika saya menjadi pengelola di tahun 1992-1998 (tentang ini, saya bertekad untuk melakukan "perburuan", karena pada saat itulah saya mulai memiliki kekaguman terhadap beliau).

Saya bertekad membaca ulang semuanya. Termasuk ceceran karya-karya beliau yang ada di kumpulan-kumpulan cerpen dan antologi. Saya selalu menemukan "sesuatu" ketika membaca karya-karyanya.

***

Tentang pribadi Gus Mus, silakan baca buku Ngetan-Ngulon Ketemu Gus Mus tadi. Di posting ini, saya justru tertarik mencuplik beberapa karya beliau di buku terbarunya itu. Beberapa saja, yang membuat saya "merinding" ketika membacanya.

(Oya, tentang ini, sudah ada satu cuplikan saya, di postingan "Keberkahan" minggu lalu, Sabtu 20 September 2008, dan ini cuplikan dari halaman yang lain)

--sebuah renungan--

Bukankah kalau ada yang meminta kepadamu,
kau memberinya sesuai kehendakmu,
atau bahkan kadang tidak memberinya sama sekali?

Mengapa kalau kamu memohon kepadaNya,
Ia kauharuskan memberimu sesuai kehendakmu?

Memohonlah kepadaNya. Ia pasti memberimu dan biarlah Ia memberimu sesuai kehendakNya.

Sederhana sekali renungan ini. Namun, saya merasakan aura yang sangat lain ketika untaian kalimat ini muncul dari Gus Mus. Saya membayangkan beliau sedang berbicara pelan-pelan kepada saya, tetap dalam kesantunan khas beliau yang selama ini hanya bisa saya lihat di televisi, berbicara dengan sabar tanpa kesan menggurui di depan saya yang masih sangat rendah kadar kesadarannya.

Satu halaman yang hanya berisi rangkaian kalimat tadi, lebih dari lima menit tak saya geser. Meluncurlah desis penyesalan : Astaghfirullahal 'adziimi...

--sebuah puisi--

BILA KUTITIPKAN

Bila kutitipkan dukaku pada langit
Pastilah langit memanggil mendung

Bila kutitipkan resahku pada angin
Pastilah angin menyeru badai

Bila kutitipkan geramku pada laut
Pastilah laut menggiring gelombang

Bila kutitipkan dendamku pada gunung
Pastilah gunung meluapkan api. Tapi

Kan kusimpan sendiri mendung dukaku
Dalam langit dadaku

Kusimpan sendiri badai resahku
Dalam angin desahku

Kusimpan sendiri gelombang geramku
Dalam laut pahamku

Kusimpan sendiri.


Sebuah laku kebijaksanaan dan kebesaran hati yang tergambar dalam puisi itu, yang layak dijadikan "teladan". Berkorban dan bersedia menahan diri demi menghidari kerusakan yang jauh lebih besar. Luar biasa.

Atau, coba simak yang ini :

--sebuah puisi--

RATSAA

anak-anakmu kau serahkan babumu
istrimu kau serahkan sopirmu
dirimu kau serahkan sekretarismu
tuhanmu kau serahkan siapa?

1413

Begitu dalam maknanya, terlebih bagi kita yang seringkali tenggelam dalam kesibukan dunia, dan bahkan lebih mementingkan kesibukan itu dibanding "kesibukan bercengerama" dengan Tuhan.


Satu lagi :

--sebuah renungan--

Kebenaran kita berkemungkinan salah,
kesalahan orang lain berkemungkinan benar.

Hanya kebenaran Tuhan yang benar-benar benar.


Sayang, "keterbatasan" membuat saya sedikit berat untuk menuliskan kembali kisah sekaligus bahan perenungan dari tokoh bernama Ustadz Bachri, sang pelukis kaligrafi dalam cerpen Lukisan Kaligrafi-nya Gus Mus. Atau cerita tentang Ummi Salamah yang ber-ending mengejutkan dalam cerpen berjudul Ning Ummi. Atau "serial" puisi bertajuk Rasanya Baru Kemarin --yang sayangnya baru saya tahu sampai "seri" VIII--, seputar perenungan kemerdekaan negeri kita tercinta.

***

Ah, mumpung besok-besok cukup banyak libur, saya coba sempatkan mengulik karya-karya Gus Mus itu. Termasuk hunting puluhan (atau ratusan) karya lain beliau dalam bentuk buku di toko buku. Mudah-mudahan masih ada stok. Amien.

Saran saya : cobalah Anda membaca salah satu karyanya. Nikmati perenungan yang tercipta.


Salam perenungan,

Fajar S Pramono

NB : Baru inget, ada satu lagi buku Gus Mus yang saya punya, keselip di lemari buku yang lain : Membuka Pintu Langit, Penerbit Kompas, (lha, yang ini bukan September! Hehe..) November 2007. Tetap ditulis dalam penciptaan kebeningan batin.

Ilustrasi : goblog.files.wordpress.com

TANTANGAN


Insya Allah, hari ini saya ada di unit kerja baru. Ada "gelegak" dan "gado-gado" perasaan yang menciptakan kombinasi menarik dalam diri : ketegangan, sekaligus kegairahan.

Saya melihat tantangan yang sangat besar di depan saya. Nyata, nyata dan nyata. Ini memunculkan "ketegangan" tersendiri. Di sisi lain, "ketegangan" ini memacu adrenalin yang menggairahkan. Semangat.

Ada banyak sekali hal yang jelas-jelas harus bisa saya lakukan. Banyak sekali pekerjaan yang secara signifikan dan efektif harus dilakukan. Dan banyak sekali hal-hal baru yang harus saya pelajari.

Ini tantangan. Ini kegairahan. Kegairahan ini mungkin juga muncul karena keharusan memasuki "dunia baru", yang men-seolah-kan saya "meninggalkan rutinitas".

Hari yang semoga selalu indah, sebagaimana hari-hari indah sebelumnya. Amien...


Salam,

Fajar S Pramono

NB :
- Posting ini sekedar "curhat", penggambaran kondisi emosi yang tengah saya alami. Saya anggap sebagai kewajaran, namun lebih dari itu, juga sebagai pemacu prestasi plus pembuktian diri.
- Seperti apa tantangan yang sekaligus "menegangkan" sekaligus "menggairahkan" itu? Mohon maaf, saya tak bisa ceritakan di sini. Nanti dikira buka rahasia perusahaan! Hehehe...
- Mohon do'a-nya. Terima kasih.


Ilustrasi : www.freewebs.com

ORANG YANG "KUAT"


Dari Mario Teguh Golden Ways di Metro TV tadi malam. Tak sama persis pastinya, karena saya tak menyanding pena dan kertas catatan waktu itu. Lebih kurangnya sebagai berikut :

"Bagaimana kita bisa menguatkan orang lain, sementara kita merasa bahwa kita sendiri belum 'kuat'?" tanya seorang peserta.

Saat itu, Mario Teguh memang tengah berkisah tentang bagaimana menjadikan orang lain "kuat". Salah satunya, dalam peran sebagai atasan dalam lingkungan pekerjaan.

"Leadership is action. Kepemimpinan adalah aksi. So ingat : orang yang kuat tapi tidak pernah berbuat, tak akan pernah bisa menunjukkan kekuatannya. Ia tak beda dengan orang lemah yang tidak memiliki pengaruh apa pun terhadap orang lain. Orang yang pintar, berpendidikan tinggi, tapi tak pernah mempraktekkan ilmu dan kepintarannya dalam kehidupan, tak ubahnya seorang buta huruf yang baru belajar membaca," jawab Mario Teguh.

"Maka, lakukan sesuatu yang bisa menguatkan orang lain, atau berikan kekuatan kepada orang lain, maka itu adalah penegas bahwa Anda adalah orang yang kuat!" tegasnya lagi.

Sebuah jawaban yang super. Dan, saya tersadar semakin dalam, mau apa dalam hidup ini.

Thanks God. Engkau memberi pencerahan yang lebih melalui kesempatan saya melihat acara itu.


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : www.bestoilco.com

SUAP


Judul, dan bahkan ide posting ini berasal dari judul cerpen Putu Wijaya di Harian Jawapos Minggu (21/09) kemarin. Tentang isinya, pasti berbeda jauh. Yang di Jawapos menjadi sangat asyik ceritanya, akibat kemampuan sastra dan cara penceritaan yang luar biasa dari seorang Putu Wijaya. Sementara posting ini, tak kalah asyik karena kepiawaian membual dari seorang Fajar S Pramono! Hahaha...

Enggak kok. Saya tidak hendak membual. Saya hanya ingin berpendapat. Soal suap. Soal sogok. Bukan latah karena banyaknya kasus suap yang merebak lebar menjadi kasus korupsi berjamaah, tapi karena bahkan saya pun tak sekali dua merasakan "asyiknya" percobaan suap. Dan ini tenan kedadean. Benar terjadi.

Kenapa orang berusaha menyuap?

Pertama, jelas karena orang itu mawas diri dan memiliki kemampuan instropeksi diri. Lhah? Lha iya to : itu karena mereka memang sadar sesadar-sadarnya, paham sepaham-pahamnya dan ngerti sengerti-ngertinya kalau mereka memang "tidak layak". Ya tidak layak juara, ya tidak layak menang, ya tidak layak dapat penghargaan, ya tidak layak dapat kredit, ya tidak layak jadi pilihan. Lantas, mereka "berusaha" mempengaruhi pandangan bahkan keputusan para penentu kemenangan, para pembuat keputusan itu dengan "cara"-nya yang lain. Yang pasti, cara lain itu bukan dengan meningkatkan nilai kepantasannya untuk jadi juara, jadi pemenang, jadi penerima penghargaan, jadi layak kredit, dan jadi pilihan.

So, semakin besar nilai tawaran suap yang disodorkan, berarti ketidaklayakan itu semakin besar. Ini linear.

Kedua, karena ia memiliki pandangan hidup yang "jelas". Maksudnya, jelas bahwa ia adalah makhluk yang memiliki pandangan hidup bahwa "semua bisa dibeli". Dan itu sesungguhnya adalah hasil bercermin dirinya sendiri, di mana pantulan dari cermin tersebut ditunjukkannya pada orang lain. (Bingung ya?)

Maksudnya begini. Kalau orang itu tidak segan-segan dan tanpa malu-malu berusaha menyuap, maka sesungguhnya ia sedang menunjukkan kepada kita semua, bahwa ia adalah orang yang juga "menghalalkan" suap bagi dirinya sendiri.

Saya pernah berpendapat serius, ketika seseorang kawan berusaha melakukan pendekatan kepada saya agar adiknya diberi akses masuk dan bekerja di sebuah institusi di mana saya bekerja pada waktu itu. Saya katakan ke dia, asal anaknya (adiknya itu, maksud saya) baik, pintar dan punya keunggulan komparatif, pasti diterima. Nggak usah pakai sogok-sogokan. Nggak usah pakai "persuasi ekstra" dan "pendekatan khusus".

Eh, dianya ngotot. Nggak mungkin, katanya. Bagi saya ini aneh. Karena saya (dan saat itu juga saya contohkan teman sekantor yang kebetulan satu angkatan masuk dengan saya) bisa diterima di institusi itu tanpa "akses khusus" sama sekali. Artinya, yang saya omongkan itu bukan khayali. Tidak mengada-ada.

Eh lagi, dia tetap ngotot. Bahkan saya dituduhnya berbohong! Astaghfirullah. Ya sudah. Saya katakan ke kawan saya itu, tak apa tak percaya.

Dalam hati saya berpikir : orang yang sangat sulit diberikan pengalaman baru yang "baik", salah satunya adalah karena ia mengalami sendiri pengalaman "buruk"-nya. Dan ternyata, benar adanya. Tak lama dari kejadian itu, ia mengakui bahwa dulunya pun --ketika pada akhirnya ia dinyatakan diterima--, ia menggunakan "uang pelicin".

Ya sudah. Mau gimana lagi. Paling susah memang, menawarkan "kenyataan manis" kepada orang lain jika orang lain itu lekat dengan "kenyataan pahit" berkenaan permasalahan yang serupa.

Tentang pandangan bahwa "segala sesuatu bisa dibeli", itu pun demikian adanya. Kepemilikan pandangan yang seperti itu, sangat bisa jadi juga menunjukkan sifat bahwa ia juga bisa "dibeli". Uang adalah segalanya. Yang "maha" mengatur.

Sebab ketiga, bisa jadi seorang "penyuap" merasa layak, namun kurang percaya diri. Ini juga banyak di lapangan. Banyak hal, yang setelah diteliti, ia bisa "diterima" karena kadar kelayakan dan kepantasannya itu. Murni, dan bukan karena adanya "iming-iming".

So, "rugi" bukan? Lha wong tanpa suap ia bisa berhasil, kok malah menawari suap. Di mata "juri" yang kredibel, itu justru berperan besar dalam meruntuhkan penilaian. Dari yang seharusnya layak, malah jadi bumerang yang membuatnya menjadi tidak layak. Dari yang tadinya "bisa dipercaya", menjadi "kurang bisa dipercaya". Ini karena adanya penilaian lain sisi karakter. Dan ketika penilaian masuk kepada nilai karakter, maka sangat sulit untuk mengubah keyakinan juri, karena karakterlah yang mendasari segalanya. Tingkah laku, proses kerja, dan sebagainya.

Keempat, kultur. Bisa jadi, suap dilakukan karena "kebiasaan" yang turun temurun. "Biasanya begitu...". "Dari dulu juga begitu...". "Katanya harus begitu...". Dan sejenisnya.

Dalam case ini, bukan ketidakpercayaan diri atau ketidakyakinan akan kemampuan diri yang mengemuka, tapi lebih karena eguh prakewuh. "Sesuatu" yang menurutnya "harus dilakukan", karena "tradisi" menunjukkannya begitu. Ini mungkin "suap" yang paling bisa "dimaafkan", kendati tidak dapat diterima oleh juri.


***

Tapi, suap adalah suap. Ia tetaplah alat yang diharapkan bisa mengubah penilaian dan keputusan yang seharusnya obyektif. Dan itu jelas tidak baik. Jelas salah.

Dan berhati-hatilah, kawan. Juri dalam berbagai pengambilan keputusan itu bukan hanya juri berupa "manusia". Juri itu bisa jadi malaikat-mu. Malaikat yang setiap detiknya melakukan penilaian ke kamu. Dan jangan lupa juga, bahwa juri itu bisa jadi adalah Tuhan-mu. Yang memiliki otoritas tertinggi dalam memberi keputusan. Yang Maha Memutuskan.

Dan jika sampai kepada tataran itu, saya tak berani berkomentar lebih. Saya tak memiliki kemampuan untuk menceritakan bagaimana seandainya Gusti Allah yang "tersinggung" karena coba kamu "suap"...


Mekaten. Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : (1) www.waspada.co.id (2) mfirmanshah.files.wordpress.com

KEBERKAHAN


"Jangan mencari BANYAK, carilah BERKAH!"

"BANYAK bisa didapat dengan hanya MEMINTA. Tapi MEMBERI-lah yang akan mendatangkan BERKAH."


(Gus Mus, dalam bukunya Mencari Bening Mata Air; Renungan A. Mustofa Bisri, Penerbit Buku Kompas, September 2008)

***

Sebuah ingatan yang senantiasa menggugah bagi saya. Tentang keberkahan. Bukan sekedar berkelimpahan. Keberlimpahan yang barokah, jika kita memang menginginkan keduanya.

Dalam mencari keberlimpahan yang berkah, setidaknya ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan.

Pertama, niatnya. Sudah luruskah niat kita?

Kedua, sumber perolehannya. Halalkah sumber kelimpahan itu ?

Ketiga, proses perolehannya. Baikkah cara mendapatkan kelimpahan itu? Adakah di dalamnya terkandung variabel jujur, halal, dan tidak menginjak hak orang lain?

Keempat, pemanfaatannya. Adakah pemanfaatan yang kita lakukan menghadirkan manfaat bagi kita dan sesama? Bagi jalan menuju Tuhan? Atau justru kemudlaratan yang mendominasi?

Adakah di sana telah terwujud unsur "memberi"? Adakah bagian orang lain telah kita sisihkan dalam bentuk infaq, zakat, shodaqoh, dan pemberian lain sesuai ajaran agama kita?

***

Tak ada gunanya "banyak" tanpa "berkah". Sebagaimana "pandai" tanpa "akhlak mulia". Ia hanya akan menjaga kita di dunia, dan tak akan mampu mengawal kita di akhirat.

Berkelimpahan adalah penting, karena dengannya kita akan mampu memberi lebih banyak. Dengan memberi lebih banyak, keberkahan pun --Insya Allah-- akan lebih banyak kita peroleh.

Namun juga, tak perlu menunggu kelimpahan jika kita berniat memberi. Memberi dari apapun yang kita punya saat ini, adalah jauh lebih baik dan berkah daripada menunggu kelimpahan sebagai dalih menunda untuk memberi.

Percayalah. Memberi akan mendatangkan keberkahan. Dan salah satu bentuk keberkahan itu, adalah "pemberian" Tuhan kepada kita dalam jumlah dan bentuk yang jauh lebih banyak.


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : www.kloster-denkendorf.de

MAKHLUK WAJIB


Insya Allah, akhir bulan ini saya pindah unit kerja. Setiap kepindahan unit kerja, pasti meninggalkan pikiran. Apakah "kepergian" saya merupakan "kesedihan" bagi orang yang akan "ditinggalkan", atau justru ternyata "kepergian" itu adalah kebahagiaan dan bahkan "kemenangan" bagi orang-orang yang akan "ditinggalkan"?

Sebaliknya, apakah kehadiran di sebuah unit kerja baru akan menjadi sesuatu yang "membahagiakan" bagi "orang-orang lama" di unit kerja baru itu, atau justru saya adalah "malapetaka" yang menyedihkan bagi mereka?

Itu beban. Logikanya sederhana. Intinya : saya itu menyenangkan bagi orang lain, atau tidak; selama ini, saya itu bermanfaat bagi orang lain, atau tidak; saya itu, "bermakna" bagi orang lain, atau tidak.

Berpikir tentang hal seperti itu, saya jadi ingat Emha. Ya, Emha siapa lagi kalau bukan Emha Ainun Nadjib, Sang Kyai yang seringkali "menempeleng" kesadaran saya manakala saya membaca tulisan-tulisannya. Yang dulu --sewaktu kuliah dan punya banyak waktu "bebas"--, saya sering nguntit beliau kesana-kemari antar kota hanya untuk mendengarkan omongan langsung yang keluar dari bibir beliau. Bukan pengikut. Hanya pengagum. Bukan jamaahnya. Hanya penggemarnya.

Emha pernah bicara soal keberadaan manusia terhadap manusia lainnya. Tentang kemanfaatan seseorang atas seseorang dan sekelompok orang lainnya. Bahkan makhluk lainnya.

Dalam pandangan budaya dan agamanya yang seringkali seolah melampaui batas maksimal penalaran dan tafsir pikiran orang lain --pemikir kritis kondang sekalipun--, ia pernah menyebut beberapa kriteria mahkluk manusia.

Ada orang halal, ada orang haram. Ada juga pengkualifikasian manusia sebagai makhluk wajib, makhluk sunnat, bahkan mahkluk makruh! Itu yang diceritakan Emha, yang sebenarnya adalah kata-kata Kiai Sudrun; "guru spiritual" yang hanya hidup dalam benak dan jalan sunyi Emha.

Seperti apa kualifikasi-kualifikasi tersebut?

Orang halal, adalah orang yang boleh ada dan boleh tidak ada. Orang halal adalah orang yang kalau dia ada, alam dan lingkungan manusia tidak mendapatkan keuntungan atau kemaslahatan apa-apa, tetapi kalau dia tidak ada, alam dan lingkungan juga tidak rugi apa-apa.

Orang haram? Orang haram, adalah manusia yang kalau dia ada maka lingkungan akan sangat dirugikan, sehingga kalau dia tidak ada lingkungan justru akan mendapat keuntungan.

Nah. Ternyata, dalam kriteria Kiai Sudrun, tak cukup menjadi orang halal. Ia belum masuk dalam kriteria "bermanfaat" bagi sesama.

Lantas, musti jadi apa kita?

Jawabnya : jadilah makhluk wajib.

Apa itu, makhluk wajib?

Makhluk wajib adalah makhluk yang harus ada karena tingginya kadar kemanfaatannya bagi sesama makhluk. Kalau ia tidak ada, semua rugi.

Sementara makhluk sunnat itu kalau bisa hendaknya ada, tapi kalau terpaksanya tidak bisa ada ya tidak apa-apa. Sebaliknya, makhluk makruh itu, mari kita upayakan sebisa-bisa jangan sampai ada, meskipun kalau terpaksanya ada ya apa boleh buat.

***

Saya sendiri, pastinya ingin jadi makhluk wajib. Kalaupun keinginan ini dianggap "terlalu sempurna", ya setidaknya bisa jadi makhluk sunnat. Karena di dalam dua kriteria itu, ada fungsi dan peran kemanfaatan bagi pihak lain.

Yang pasti, saya sama sekali tidak mau jadi makhluk makruh. Atau juga manusia haram. Masih mending (ini pilihan skeptis) jadi makhluk halal. Meskipun tidak memberi keuntungan apapun, setidaknya tidak merugikan pihak lain.

Tapi sekali lagi, saya ingin bisa jadi makhluk wajib.

Dan keinginan menjadi makhluk wajib inipun, tak terbatas hanya karena saya harus keluar masuk sebuah "kerumunan" baru. Sebuah kumpulan orang-orang baru.

Kita harus bisa menjadi makhluk wajib di dalam keberadaan kita yang seperti apapun saat ini. Di keluarga, di kampung, di dunia kerja, di gelanggang bisnis, di mana saja. Terhadap rekan kerja, terhadap teman bisnis, terhadap saudara, terhadap tetangga, terhadap siapa saja. Terhadap manusia, terhadap binatang, terhadap tumbuhan, dan bahkan terhadap makhluk tak hidup di sekeliling kita.

Dalam dinamika kehidupan yang berpindah-pindah secara teratur, dalam rutinitas hidup yang menetap, juga dalam ke-nomaden-an yang tak terprediksi.

Dalam kondisi sehat, maupun dalam kondisi kurang sehat. Dalam kondisi diuji dengan kekurangan, maupun diuji dengan kelimpahan. Baik dianugerahi ketampanan, maupun dianugerahi kekurangtampanan.

Dalam segala bentuk dan kondisi, mari berlomba dalam kemanfaatan. Mari berlomba menjadi mahluk wajib. Dan untuk memulainya, tak perlu menunggu. Saat ini juga. Sekarang juga.


Salam perenungan,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : www.homeydaycare.net

TABURAN BENIH KEBAIKAN, KEMBALI KEPADA KITA


Dari sebuah surat pembaca di Harian SINDO, 10 September 2008, terbukti sebuah "Hukum Tuhan". Bahwa siapa menabur kebaikan, maka, Insya Allah, kebaikan pulalah yang akan ia terima.

Adalah Sdr(i?). Budiarti Agus, di Joglo, Jakarta Barat, yang menulis surat pembaca tersebut. Isinya sederhana. Ia hanya bercerita sekaligus mengucapkan terima kasih kepada seorang sopir taksi (disebutnya bernama Rawi), yang dengan penuh kejujuran mengembalikan ponsel milik anaknya yang tertinggal di dalam taksi Dian, yang dikemudikan Sdr. Rawi tersebut, beberapa saat setelah meninggalkan rumahnya pada 8 September 2008.

Anda pasti yakin, bahwa karakter yang baik, masih banyak sekali dimiliki oleh mereka --para sopir taksi-- di Jakarta yang katanya semakin susah mencari orang baik ini. So, bukan cerita yang terlampau heroik tampaknya.

Hanya saja, dari apa yang disampaikan Sdr(i?). Budiarti Agus, ada satu hal yang saya yakin turut memberi andil bagi kebaikan yang tercipta. Saya merasa bahwa itu adalah "balasan kebaikan" yang diberikan Allah SWT melalui Rawi, sang sopir taksi. Bahwa ternyata, sebelum peristiwa pengembalian ponsel itu, keluarga Sdr(i?) Budiarti Agus dengan penuh keikhlasan menyiapkan air teh dan sedikit kue untuk buka puasa Sdr. Rawi di perjalanan.

Kali ini, saya yakin (mudah-mudahan saya salah besar), tak terlampau banyak keluarga yang bersedia merepotkan diri dengan berbuat seperti keluarga Sdr(i?). Budiarti Agus, apalagi kepada orang yang boleh dikata "tak dikenal". Bisa saja, sebuah keluarga hanya berpikir "saya sudah membayar penuh". Atau, kalaupun ada niat untuk memberi, bisa saja mereka hanya memberikan tips di luar argo taksi, yang bisa digunakan untuk berbuka puasa sang sopir.

Tapi, apa yang dilakukan keluarga itu lebih jauh lagi. Mereka bersedia sedikit repot, demi kebaikan yang secara ikhlas akan mereka tabur.

Karena itulah, dalam konteks keikhlasan berbuat baik, saya merasa apa yang dilakukan Sdr. Rawi adalah skenario Tuhan YME.

***

Namun demikian, saya juga yakin, bahwa tanpa adanya "penyiapan" makanan untuk berbuka dari keluarga sang penumpang pun, Sdr. Rawi tetap akan mengembalikan ponsel yang tertinggal itu. Karena saya yakin, skenario Allah itu akan disampaikan melalui orang dengan karakter yang "terpilih".

***

Memang, itu hanya sebuah adegan. Pemaknaan yang saya lakukan pun, bisa jadi terlampau berlebihan. Tapi, saya rasa, kisah-kisah seperti ini bisa menginspirasi, dan semakin memantapkan niat hati kita untuk senantiasa berbuat baik, tanpa pamrih. Ikhlas.

Biarkan Tuhan yang memberikan ganjaran-Nya. Biarkan Allah yang menunjukkan keridloan dan kebesaran-Nya. Yang penting bagi kita, jauhkan segala amal baik kita dari niat selain ibadah. Niatkan demi mengharap ridlo Allah, sekaligus bersihkan hati ini dari keinginan berbuat baik karena riya'.

Allah Maha Tahu. Allah Maha Besar. Dan Ia Maha Bijaksana.


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://images.elfwood.com

THE WAYS....


Pada pertemuan blogger buku beberapa bulan lalu, salah seorang blogger buku aktif, Hernadi Tanzil, yang pada waktu itu juga di-dhapuk jadi pembicara mengatakan, sedang ada mainstream penerbitan novel belakangan ini.

Pertama, dari segi materi cerita. Saat ini masih terus marak penerbitan novel berlatar belakang kehidupan muslim dan muslimah di Timur Tengah. Atau di negara-negara Islam lainnya. Mainstream ini merupakan seretan arus dari kesuksesan novel Ayat-Ayat Cinta-nya Habiburrahman El Shirazy.

Tentang materi cerita, juga terkait dengan isi novel yang berarus religiositas Islam (novel Islami). Dalam hal ini, tak hanya novel Islam "serius" yang menjadi best seller. Banyak juga novel Islam bergenre teenlit ataupun checklit yang ikut dalam booming cerita Islami ini.

Kedua, fenomena trend penetapan cover novel yang banyak bergambar perempuan muslim, dalam permainan warna yang cukup cerah. Lihatlah di toko-toko buku besar, maka dominansi pilihan cover seperti yang rekan Tanzil sampaikan tidaklah salah. Bahkan, kalau lebih jeli lagi, pilihan "nama pena" pengarangnya pun mengikuti pola nama Habiburrahman El Shirazy. Taufiqurrahman Al Azizy misalnya. Tapi, tentang ini, saya tidak tahu persis, siapa yang sebenarnya muncul terlebih dahulu.... Maaf. :)

***

Apa yang mau saya sampaikan adalah, sebuah kesuksesan besar memang seringkali menginspirasi orang lain untuk memiliki kesuksesan serupa. Tentu ini sangat baik dan harus didukung jika ditilik dari sudut pandang "penyebaran virus positivitas" kepada orang lain.

Sepanjang pola ATM (amati, tiru dan modifikasi) tersebut tidak mengarah kepada plagiatisme (penjiplakan), tentu tak ada hal yang musti dihalang-halangi. Namun, seperti dalam case penciptaan novel, peniruan positif yang dilakukan bisa justru menjebak sastra Islami yang berkualitas menjadi "jatuh pamor" manakala proses ATM-isasi tersebut tidak menghasilkan kualitas yang setara.

Tapi, kalau dari sisi komersialisasi, tentu lain. Semakin banyak "oplah", intinya semakin baik. Bahkan kadangkala, kualitas produk dinafikan.

***

Nah, kaitan dengan "kemiripan-kemiripan" seperti dalam mainstream di atas, semalam saya berbuat iseng. Iya, iseng. So, catatan di bawah ini silakan disikapi dengan "iseng" dan santai juga. Jangan terlalu dikait-kaitkan dengan pernyataan-pernyataan saya di atas.

Jika Anda mengikuti atau bahkan aktif mengikuti kegiatan komunitas Tangan Di Atas (TDA), pasti sudah mengetahui jika Sang Jendral TDA, Uda Badroni Yuzirman akan segera meluncurkan buku yang berasal dari tulisan-tulisan di blog inspiratifnya dengan judul (Insya Allah) : The TDA Way; Take Double Action Now! Soft launching-nya sudah dilakukan di Hotel Sahid Jakarta tanggal 30 September 2008 lalu. Kebetulan saya berkesempatan menjadi "saksi".

Nah, semalam saya ke Gramedia Matraman. Ingat judul (bakal) buku Uda Roni, iseng saya mencatat beberapa judul yang "mirip" dan bahkan memiliki "semangat" yang sama : semangat untuk menunjukkan sebuah proses perjalanan menuju kesuksesan.

Hasil iseng yang saya lakukan, lumayan juga. Mau tahu?

Ini antara lain yang sempat tercatat :

(1) The Toyota Way; 14 Prinsip Manajemen, Jeffrey K. Liker.
(2) The Apple Way; 12 Pelajaran Manajemen, Jeffrey L. Cruikshank.
(3) The Sony Way; Rahasia Sukses Raksasa Elektronika Paling Inovatif di Dunia, Shu Shin Luh.
(4) The Honda Way; Kiprah Duo Genius Soichiro Honda dan Takeo Fujisawa dalam Mengatasi Persaingan Dunia Otomotif, Massaki Sato.
(5) The GE Way Fieldbook; Strategi Jack Welch untuk Revolusi Perubahan, Robert Slater.
(6) The Trump Way; The way to Success, 33 Rahasia Sukses Donald Trump, dari Belitan Utang menuju Imperium Bisnis, Donald J. Trump dan Meredith McIver.
(7) The Warren Buffet Way; Strategi Luar Biasa Sang Investor Legendaris Dunia, Robert G. Hagstrom.

Cukup banyak juga? :)

Semua buku bagus, dan best seller di negeri sononya. Beberapa di antaranya juga best seller di sini. Yang belum terbukti baru The Apple Way, The Sony Way dan The Honda Way. Itu pun semata karena kemunculannya yang baru dalam hitungan hari. Tapi saya yakin, mereka akan menyusul sebagai best seller.

Nah, pilihan judul The TDA Way menyiratkan optimisme tersendiri. Bahkan bukan hanya optimisme, tapi kebanggaan.

Optimisme yang saya miliki bukan hanya masalah best seller atau tidak (yang ini bagi saya nomor sekian), tapi lebih kepada optimisme bahwa tujuan penerbitan buku ini akan tercapai. Yakni, memberi pencerahan, memberi dorongan semangat dan motivasi, dalam konsep menebar berkah dan menjalin silaturahim.

Saya optimis, banyak orang dan pengusaha tua muda yang akan ter-setrum (meminjam istilah mas Isdiyanto) akan isi buku Uda Roni. Saya sendiri sudah merasakan setrum itu ketika membacanya dalam bentuk blog. Apalagi nanti jika sudah jadi buku, yang sangat mungkin akan dilengkapi dengan ilustrasi dan berbagai kecanggihan editorial.

Kebanggaan, muncul karena kendati TDA bisa segera diartikan sebagai Take Double Action, ia juga berarti Tangan Di Atas, sebuah komunitas di mana saya sendiri selalu memperoleh kesempatan untuk turut beraktivitas, berkegiatan, dan menjalin silaturahim dengan para founder, manajemen, anggota milis, sampai kepada anggota biasa yang aktif maupun non aktif.

Sangat membanggakan jika saya sebagai orang yang kenal dengan pendiri komunitas ini, merasa turut memberikan sebuah legacy berupa warisan tertulis (baca : buku) yang bisa bersanding dengan deretan best books di atas.

Sangat membanggakan bila TDA bisa disejajarkan dengan Toyota, Apple, Sony, Honda, GE, Trump dan Warren Buffet yang telah menjadi simbol sebuah keberhasilan.

Sungguh sebuah keinginan yang --saya pikir-- sangat beralasan. Jika Toyota, Apple, Sony, Honda dan GE merupakan entitas perusahaan, sementara Trump dan Buffet merupakan simbol kesuksesan individual, maka TDA bisa menjadi simbol kesuksesan dalam bentuk yang lain dan khas.

Ia adalah "roh". Ia adalah "soul". Ia yang menjadi landasan kesuksesan itu. Yang menunjukkan kepada dunia, bahwa keberkahan, kelimpahan rezeki dan kesuksesan terjadi justru karena kesediaan berbagi dan bersilaturahim secara ikhlas.

***

Terakhir, salut untuk TDA! Saya bangga menjadi bagian dari komunitas luar biasa ini!
Sukses untuk kita semua, tetap setia berbagi dan menjalin silaturahim.


Salam,

Fajar S Pramono


Foto : foto di atas adalah foto Uda Roni (Badroni Yuzirman) yang saya ambil tanpa permisi dari blognya : http://www.roniyuzirman.blogspot.com.

YANG MUDA, YANG BERKUALITAS


"Caleg Muda (Harus) Menjawab Harapan Rakyat". Begitu salah satu judul tulisan di Harian Jurnal Nasional, 8 September 2008.

Bukan apa-apa. Sepintas, tak ada yang salah memang, dari kalimat itu.

Tapi, saya "menggugat". Kenapa harus calon legislatif (caleg) muda yang harus diberi catatan seperti itu?

Apakah caleg-caleg tua(baik yang pernah atau mantan anggota legislatif, yang sedang menjabat, ataupun yang belum pernah) sudah berkategori (calon) legislatif yang baik? Kenapa hanya caleg muda yang dipertanyakan?

Trus, kenapa musti ada kata "harus" bertanda kurung di judul itu? Kalau memang diyakini mampu --semisal dari anggota legislatif muda yang pernah ada--, katakan saja dong : caleg muda menjawab harapan rakyat. Atau bahkan : caleg muda mampu menjawab harapan rakyat.

Kalau memang itu tuntutan, ya sudah. Katakan saja secara lugas : caleg muda harus menjawab harapan rakyat. Gitu aja. Nggak usah pakai tanda kurung.

Saya kok merasa, orang muda ini sangat diragukan kemampuannya. Apa memang tak ada, anak muda yang berkualitas sama, atau bahkan lebih, dari para senior dari segi umur itu?

Banyak bidang kehidupan yang sudah membuktikan, bahwa muda tak bisa diidentikkan dengan keminiman kualitas. Bidang politik apalagi. Banyak politisi tua yang bersikap lebih kekanak-kanakan dibanding anak-anak itu sendiri.

Di bidang ekonomi, lihatlah kejelian para ekonom muda dalam melihat fenomena. Moh Luthfi, Chatib Bisri, Faisal Basri, mereka masih muda lho. Praktisi usaha, ada Sandiaga Uno, ada Lihan. Di bidang pendidikan, lihatlah Anies Baswedan. Di bidang keagamaan, ada Aa Gym, Yusuf Mansyur, Uje, dan masih banyak lagi.

Umur tua tak identik dengan senioritas lho. Senioritas itu masalah kemampuan, bukan ke-tua-an. Yang muda, bisa jadi lebih senior dibanding yang tua dalam suatu hal. Karena senior berkelindan dengan kemampuan dan pengalaman. Bukan sekedar lebih lama atau lebih tua. Kalau sudah lama, dari muda sampai tua kemampuannya cuman begitu-begitu terus, dia nggak akan pernah jadi senior....

Itu menurut saya. Kalau menurut Anda berbeda, ya nggak papa. Tinggal posting komentar kan... :)

***

Lho, kok saya jadi uring-uringan sendiri? Ini bulan puasa, man...

Hehe.. maaf. Saya sedang emosi barangkali. Saya sendiri sering bertemu dengan kenyataan, di mana kemampuan diri diragukan hanya karena usia yang masih muda. Sekali lagi, hanya karena usia saya yang masih muda.

Ah! Rupanya ini pengalaman pribadi to...

Ya wis, ini intermezo. Gak usah dianggap serius aja lah.

Dag!


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : www1.istockphoto.com

SEBUAH KISAH, SEBUAH CERMIN (2) --Agum Gumelar


Saya akan sadurkan kembali sebuah kisah. Masih dari buku yang sama dengan kisah Rhenald Kasali beberapa waktu lalu, yakni dari buku Renungan Ida Arimurti; Membuat Hidup Lebih Berarti. Kali ini, sebuah kisah dari Agum Gumelar.

Saya sadar, tokoh pencerita ini cukup kontroversial. Banyak yang suka, tapi tidak sedikit pula yang menyatakan kekurangsenangannya. It's ok.

Yang pasti, syarat utama untuk bisa melihat "sebuah cermin" di balik sebuah kisah adalah, abaikan siapa yang bertutur. Jangan lihat siapa yang bercerita. Buka mata hati, dan posisikan diri pada kondisi "saya mau belajar". Open mind. Open heart. Jika tidak, saya rasa tak perlu Anda buang waktu untuk membacanya, karena pasti akan percuma. Bisa jadi, justru cibiran dan ungkapan ketidakpercayaan yang akan keluar. Dan itu adalah kesia-siaan untuk Anda.


--MUTIARA KEHIDUPAN--
by Agum Gumelar

Tak pernah terpikirkan dalam benak saya bahwa saya akan menemukan mutiara-mutiara kehidupan justru pada saat kekacauan massa terjadi. Saat itu, saat saya masih menjabat sebagai Pangdam 7 Wira Buana di Sulawesi Selatan, 17 September 1997, warga kota Makassar beraktivitas seperti biasa. Seperti halnya anak gadis berusia 9 tahun, Ani Mujahidah, mengisi hari-harinya dengan kegiatan rutin, salah satunya mengikuti pengajian. Usai dari tempat pengajian, Ani pun segera beranjak pulang. Siapa sangka, di tengah jalan, Ani dicegat oleh seorang pemuda yang kemudian membacoknya dengan parang. Ani tewas seketika.

Ani, putri satu-satunya dari sepasang orangtua biasa itu, harus tewas mengenaskan, entah karena alasan apa. Jajaran polisi bekerja keras mencari pelakunya dan, dalam waktu singkat, sang pembunuh berdarah dingin itu berhasil diciduk. Peristiwa pembunuhan keji itu menjadi pemberitaan di seluruh kota Makassar dan seluruh masyarakat antusias saat, akhirnya, pelaku ditangkap. Namun, rasa antusias itu berubah menjadi amarah tak terkendali kala mengetahui bahwa sang pembunuh Ani adalah pemuda keturunan Tionghoa. Sontak, gelombang massa anti-Cina pun merebak di seluruh Makassar. Kerumunan massa pun kian panas, lalu terpiculah tindakan anarkis. Rumah-rumah dibakar, toko-toko dijarah, Makassar membara.

Pada tahun itu, belum ada tindak kerusuhan yang cenderung anarkis sebesar itu, amukan massa seperti itu benar-benar merupakan tantangan yang sangat berat bagi saya. Kepala saya pusing memikirkan bagaimana cara meredam aksi tanpa menyakiti rakyat. Usai melayat ke rumah orangtua Ani, saya segera mengumpulkan jajaran angkatan laut, udara, polda, semuanya. Saya minta mereka berkumpul di kodam. Di hadapan mereka saya tegaskan, "Dalam menanggulangi kerusuhan ini, dengarkan saya baik-baik. Saya tidak ingin ada tembakan. Tidak ada tembakan. Karena, mereka bukan musuh. Mereka hanyalah masyarakat biasa yang hendak menyampaikan amarahnya dengan cara yang salah. Ayo turun ke jalan dan bertindak persuasif. Persuasif!" Persuasif, itulah yang saya tekankan benar-benar kepada mereka semua. Alhamdulillah, dalam dua hari, kerusuhan pun teratasi.

Namun, semua itu tak pernah saya banggakan sebagai sebuah prestasi saya, melainkan semua itu berkat campur tangan Tuhan. Betapa tidak, saat kerusuhan terjadi dan saya melihat pemberitaannya di televisi, kamera menyorot seorang bapak dengan wajah lusuh dan air mata berlinang. Dalam wawancara, dia berkata lirih, "Saya sedih sekaligus hancur hatinya karena anak saya satu-satunya harus meninggal dengan cara yang begitu tragis. Tetapi, sebagai umat beragama, kita harus saling memaafkan. Jadi, saya mengimbau kepada masyarakat di luar sana yang berbuat anarkis, mohon hentikan semua itu. Tolong jangan membebani anak saya di akhirat...."

Saya segera menggebrak meja, "Dia mutiara!!!" Says segera memanggil staf untuk mencatat namanya karena saya akan memberikan penghargaan tertinggi untuknya.

Drs. Zubaidi Saleh, seorang ayah yang baru saja berduka justru membuka hatinya begitu lapang untuk saling memaafkan. Tak ada penghargaan tertinggi yang cukup untuk menggambarkan keikhlasannya. Dan, sikap itulah yang sebenarnya mendorong kepulihan kota Makassar.

Akan tetapi, beliau bukan satu-satunya mutiara yang muncul pada saat itu. Mutiara lain saya dengar dari salah satu petugas yang berjaga-jaga di sekitar pertokoan yang dijarah. Dia menangkap sosok tukang becak yang sedang mangkal dengan tenang di sekitar daerah tersebut. Petugas tersebut menghampirinya dan berujar, "Eh, kok, kamu duduk-duduk saja di sini? Semua orang sedang menjarah, kenapa kamu tidak ikut?"

Si tukang becak menjawab dengan tenang, "Bapak, mereka, kan, mencuri barang yang bukan miliknya. Walau saya hanya seorang tukang becak, saya tidak mau mencuri...."

Segera setelah menerima laporan tersebut, lagi-lagi, saya gebrak meja, "Mutiara!!! Cari dia!!!" Namun, rupanya, tidak semudah itu mencari si tukang becak. Mengetahui dirinya dicari petugas, dia segera menyingkir ke daerah lain. Barulah pada 2 Oktober 1997, dia ditemukan di daerah Jeneponto, tiga jam dari Makassar. Dialah Mustapa alias Tapa, salah satu mutiara dalam kerusuhan di kota Makassar. Bersama ayahanda Ani, Drs. Zubaidi Saleh, Mustapa saya undang pada saat upacara ulang tahun ABRI pada 5 Oktober 1997 di Makassar. Pada kesempatan itu, saya memberikan penghargaan teringgi kepada kedua insan itu, penghargaan Wira Buana Kodam VII, sebagai tanda betapa orang-orang seperti mereka dapat memberi insiprasi dan mendorong masyarakat berbuat baik hanya dengan keikhlasan dan kejujuran. Semoga orang-orang seperti itu terus ada dan bertambah di bumi Indonesia ini.



Salam perenungan,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : www.leetsoftware.com

DON'T WORRY BE HAPPY


"Bila sebuah masalah bisa diselesaikan, selesaikanlah, jangan khawatir. Bila ia tidak bisa diselesaikan, khawatir pun tidak akan mendatangkan kebaikan." (Pepatah Tibet)

Sebagaimana judul di atas, petikan pepatah ini pun saya ambil dari Bab 29 buku Mario Teguh One Million 2nd Chances, 2006. Termasuk juga, kedelapan pointer di bawah ini.


--satu--
Kita semua punya masalah. Ketika Anda merasa khawatir, Anda melipatgandakannya.
Maka, janganlah khawatir. Bergembiralah.

--dua--
Pusatkan perhatian Anda pada yang Anda inginkan, bukan pada yang Anda khawatirkan.

--tiga--
Pusatkan perhatian Anda pada kekuatan Anda, bukan pada kelemahan Anda.

--empat--
Pusatkan perhatian Anda pada yang mungkin, bukan pada yang tidak mungkin.

--lima--
Pusatkan perhatian Anda pada melakukan hal yang tepat, bukan hanya pada melakukan sesuatu dengan baik.

--enam--
Pusatkan perhatian Anda pada gambar besar dari situasi Anda, dan janganlah tersesat dalam hal-hal yang rinci dan kecil.

--tujuh--
Pusatkan perhatian Anda pada yang menghasilkan, bukan pada siapa yang salah.

--delapan--
Apapun yang Anda kerjakan, nikmatilah prosesnya.

So, jangan khawatir. Bergembiralah.

***


Salam gembira,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : dublinopinion.com

PELAJARAN BESAR DARI HAL YANG KECIL


Judul Buku : Provokasi; Menyiasati Pikiran, Meraih Keberuntungan
Penulis : Prasetya M. Brata
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Pertama, 2008
Tebal : xxxvi + 246 halaman

Ada dua pembuktian yang bisa dilakukan buku ini, tentang betapa berharganya berbagai hal yang –mungkin– dianggap remeh oleh orang, tapi ternyata menyimpan sebuah kandungan ilmu yang besar.

Pertama, berkaitan dengan historical pemunculan buku ini sendiri. Kedua, tentang betapa luasnya ranah perenungan dan pencerahan diri yang bisa diperoleh dari berbagai hal atau peristiwa yang seolah “kecil” dan “remeh temeh” sifatnya.

Tentang kemunculan buku yang ditulis Prass –panggilan akrab kolega-kolega sang penulis; Prasetya–, buku dengan cover yang dinominasi warna hitam ini adalah akibat “provokasi” seorang Andrias Harefa, seorang penulis puluhan buku best seller, yang kebetulan juga telah menjadi kawan lama Prass. Berawal dari “sekedar” coretan-coretan pemikiran di blog barunya yang dipamerkan ke Andrias waktu itu, ia mendapat respon singkat lewat sms : ”Ada niat dijadikan buku?”

Sepele sekali tampaknya. Tapi perwujudannya kemudian adalah hal yang besar, di mana 87 coretan di antara ratusan coretannya menjadi bahan baku penyusunan buku ini.

Tentang pembuktian kedua, Prass berhasil menunjukkan kepada kita, bahwa hampir di balik seluruh peristiwa dalam keseharian, yang kadangkala membuat kita sedih ataupun bahagia, senantiasa tersimpan sebuah hikmah. Sebuah pelajaran, yang tentunya akan sangat berharga sebagai bekal perjalanan hidup kita pada langkah-langkah berikutnya.

Sebagai contoh, tentang Siapa Guru Siapa. Dari obrolan dengan sopir taksi yang ia tumpangi di kawasan macet Sudirman, ia mendapat pelajaran bahwa “guru” seseorang seringkali adalah obyek yang seolah “digurui”-nya. Saat itu sang sopir bercerita, bahwa ia bisa menjadi sopir yang “besar” dan sangat dipercaya oleh manajemen perusahaannya karena ia banyak belajar dari komplain, kritik, saran, bahkan ekspresi tanpa senyum para penumpangnya. Hal-hal itulah yang membuat dia menjadi jauh lebih profesional dibanding keadaannya empat tahun lalu, ketika ia mulai bekerja di perusahaan taksi tersebut.

So, dalam kasus yang lain, bisa jadi guru seorang dokter adalah pasien, guru penjual adalah pembeli, guru pemasar adalah konsumen, guru pemimpin adalah anak buah, guru pemerintah adalah rakyat, guru dosen adalah mahasiswa, guru guru adalah murid… (hal 13).

Atau dari “keseriusan”-nya memasang taglineHormatilah Orang yang TIDAK Berpuasa” pada pesan status Yahoo Messenger-nya. Dari “protes” seorang kawannya, Prass menulis panjang lebar, bahwa seringkali kita serta merta menganggap sesuatu yang ”aneh” atau “berbeda” sebagai sesuatu yang “salah”, atau minimal ”tidak lazim”. Padahal, yang “salah” atau “tidak lazim” itulah yang bisa jadi lebih benar.

Dari persoalan yang demikian, Prass bisa mengangkatnya sebagai bahasan mendalam mengenai sebuah ”mainan” bernama tafsir (hal 54). Luar biasa.

Masih dari persoalan yang sama, pikiran cerdas Prass melihat, bahwa ”protes” seorang kawannya tadi juga menunjukkan bahwa sudah lama kita (dalam case tersebut adalah muslim) tidak terlatih untuk bertanggung jawab.

Jika untuk mendapat buah kita harus menanam dulu, jika untuk mendapat nafkah kita harus bekerja dulu, jika untuk mendapat kepercayaan dari atasan kita harus membuktikan hasil kerja dahulu, maka, kalau kita ingin dihormati oleh orang yang tidak berpuasa, mengapa kita tidak menghormati dulu orang yang tidak berpuasa? (hal 56)

Ya. Masih banyak lagi bahan-bahan perenungan yang bisa kita peroleh dari Prass. Sebagai buku yang terbit dari ”sekedar” blog, ini buku luar biasa. Daya kritisme dan kemampuan pengungkapan Prass dengan cara yang lugas tapi santun, menjadi kelebihan isi buku ini. Tak berlebihan jika Jalaluddin Rahmat –yang turut memberi pengantar dalam buku ini—mengatakan, ”Kita dibimbing Mas Pras tanpa merasa digurui....”

Kalau mau dilakukan penggolongan terhadap buku ini, buku ini bisa masuk dalam kategori buku pengembangan diri, karena di dalamnya terdapat banyak pencerahan. Buku ini juga bisa dianggap ”buku agama”, karena tak sedikit bahasan tema yang mengarah dan bersumber dari kehidupan Prass sebagai seorang muslim taat. Namun, jika akan digolongkan kepada sekedar ”buku harian”, maka ia pun akan menjadi buku harian yang bermanfaat bagi pembacanya.

Menariknya, tema-tema yang diusung Prass adalah tema-tema yang sangat erat dengan keseharian kita. Tanpa memaksakan diri menggunakan kalimat dan frasa-frasa yang sok ilmiah atau sok intelek, buku ini justru mampu bertutur secara jujur. Apa adanya. Namun, kesederhanaan penyampaian inilah yang justru diyakini bisa membawa kepada tujuan penerbitan buku ini. Yakni, membuat orang berkaca. Membuat orang merenung.

Lepas dari keunggulan, tentu terdapat kekurangan, kendati lebih merupakan kelemahan klasik sebuah buku kumpulan tulisan. Tema yang meloncat-loncat dan terlampau variatif, adalah kekurangan klasik itu. Karena itu pula tampaknya, penyusun dan penerbit lebih memilih judul buku dari aspek semangat dan tujuan pembuatan buku, dibanding dari onggokan tema atau materi isi buku itu sendiri.

Untuk siapa buku ini? Meminjam endorsement Andrias Harefa, buku ini memang cocok untuk orang ”gila” sekaligus beriman. ”Gila” karena adanya kejelian menangkap hikmah di balik peristiwa, dan ”beriman” karena sesungguhnya isinya merupakan ”dakwah” yang lekat dengan nuansa religius, di mana hanya orang beriman-lah yang mau belajar darinya.

***


Salam buku,

Fajar S Pramono


Cover buku : www.gramedia.com

DARI HATI


Segala sesuatu yang kita lakukan, apapun itu, sungguh-sungguh sangat nikmat dan alami jika dilakukan berdasarkan hati nurani.

Nikmat, karena tak akan ada perasaan terpaksa. Tak ada keharusan yang mengekang. Ikhlas.

Alami, karena segala output atau keluaran dari proses kerja itu merupakan sesuatu yang alami, tidak dibuat-buat, sehingga membuat nyaman diri kita, sekaligus menciptakan kenyamanan pada obyek tindakan kita.

Sebagai contoh, dua orang teman saya yang penulis, dan kini adalah wartawan. Saya tak akan menyebut nama, bahkan juga inisial. Maaf.

Basic mereka adalah penulis. Menulis dari hati, dan untuk kepuasan hati. Kalaupun ada pendapatan honor dari tulisan mereka yang dikirim ke media massa, itu adalah salah satu efek yang membahagiakan. :)

Saat ini mereka menjadi wartawan. Namun, dalam beberapa kesempatan, mereka mengeluh, karena mereka harus menulis "tanpa hati". Menulis karena kejaran deadline. Menulis karena tuntutan tema pilihan rapat redaksi.

Dan dengan deraan kesibukan yang bertimbun, maka "warna" tulisan mereka yang mereka hasilkan sebagai konsekuensi "kewartawanan"-nya menjadi sangat berbeda dengan "warna asli" tulisan mereka. Lebih kering, kaku, bahkan seringkali kehilangan "roh". Hanya sekedar informatif, tapi seringkali tidak "menyentuh" rasa pembacanya. Apalagi jika yang mereka tulis adalah paparan teori yang terpaksa mereka ambil dari literatur-literatur nan kaku-kaku itu juga.

Saya merasakan kekakuan karya mereka, karena saya memang mengenal mereka, sebalum jadi wartawan. Tulisan juga memiliki karakter masing-masing, sebagaimana setiap penulis memiliki karakter dirinya masing-masing.

Tak sekali saya tanyakan dan diskusikan kepada mereka, dan semuanya berakhir pada kesimpulan : tak jarang mereka memang harus menulis tanpa hati. Demi pekerjaan.

Syukurlah, kesadaran itu ada. Kalau tidak, pasti akan lebih parah keadaannya, di mana mereka sangat mungkin akan "kehilangan karakter" mereka yang asli. Hanya sayangnya, saat ini mereka mengaku cukup kesulitan mempertahankan karakter asli, karena deretan pekerjaan yang menyita waktu-waktu pribadi mereka. Otomatis, waktu untuk "berkarakter asli" menjadi sangat minimal.

***


Anda pasti pernah masuk ke sebuah restoran fastfood, atau juga institusi pelayanan publik, di mana seluruh pembukaan pelayanan para frontliner-nya menggunakan sebuah layanan standar.

"Selamat pagi, Bapak. Ada yang bisa saya bantu?" sambut mereka. Tersenyum. Berdiri tegak. Sopan.

Atau, "Selamat datang di Restoran XXX. Bagaimana kabar hari ini? Silakan Anda memesan menu kesukaan Anda, sekaligus menu-menu kabanggaan kami. Bla bla bla, bla bla bla." Suara sangat lantang. Baku. Senyum pun terkembang. Standar.

Tapi, Anda pasti bisa membedakan. Mana ungkapan yang keluar dari hati, mana ungkapan yang hanya sekedar keluar karena tuntutan standaritas.

Kata-kata dalam kalimat boleh standar. Tapi, dasar kemauan untuk mengungkapkan akan membedakan kualitas suara dan nuansa yang keluar dari mulut mereka.

Yang dari hati, sangat nyaman untuk didengar. Senyumnya pun sangat enak untuk dilihat. Lepas dari cantik ganteng atau tidaknya si frontliner.

Sementara yang sekedar "pemenuhan kewajiban" standaritas tadi, akan terdengar sangat robotis. Layaknya mesin penjawab. Laksana kaset bajakan yang diputar ulang.

Anda tidak percaya? Cobalah sendiri. Rekam suara Anda. Intonasi, atau bahkan "nada dasar"-nya pun akan berbeda! Kalau perlu, bercerminlah. Bahasa tubuh Anda pun akan membuktikan perbedaan itu. Percayalah.

***


Keikhlasan dan peran hati sebagai dasar perbuatan, akan sangat berpengaruh pada hasil kerja kita.

Dan mana yang tentunya lebih bagus : hasil karya dan hasil kerja yang berasal dari keikhlasan hati, atau hasil karya dan hasil kerja yang sekedar berlandaskan kewajiban dalam aturan dan SOP kerja?

Saya adalah salah satu yang menjawab lantang : "Dari hati!"

So, saya ajak Anda untuk membuktikan. Dan jika Anda merasakan hal yang sama dengan saya, mari terus kkta kampanyekan : MARI BERTINDAK DENGAN HATI, MARI BERLAKU BERLANDASKAN HATI.

Dan sebagaimana ending Mario Teguh dalam berbagai talkshow-nya : "Lakukan mulai detik ini, dan saksikan, apa yang terjadi...."


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi :
1/ http://www.thesykesgrp.com
2/ http://i17.photobucket.com
3/ http://www.kapanlagi.com

TERMAKAN OMONGAN SENDIRI


Lebih kurang tiga pekan yang lalu, salah satu anggota tim saya --Sisca-- mendapat tugas baru. Ia harus pindah ke kantor pusat bulan ini juga. Dua minggu sebelumnya lagi, anggota tim yang lain --Ricky-- juga mendapat kabar bahwa ia harus ada di pos barunya --juga di kantor pusat-- pada September ini.

Nha, Senin minggu lalu, saya mengadakan rapat rutin. Pada sesi santai, tim membicarakan rencana "pelepasan" anggota tim yang harus pindah. Ricky dan Sisca sempat usul agar acara mereka digabung. Tidak sendiri-sendiri. Rencananya, mereka berdua yang akan menraktir kita. Tapi saya, dengan sok "jumawa", tapi sesungguhnya juga sekaligus becanda, mengatakan "Nggak! Nggak bisa! Enak aja digabung..., sendiri-sendiri!".

Maksud saya, biar kami bisa mendapat traktiran dalam dua kali kesempatan. Kalau digabung, kan berarti cuman sekali makan gratis... hehe. Lagian, mereka jadi bisa ngirit dong! Hahaha!

Dan, mereka pun setuju.

Eh, belum ter-realisir acara pelepasan itu, Senin lalu, saya mendapat kabar bahwa saya juga harus mutasi di bulan September ini. Lhadalah, tapi ya Alhamdulillah --karena apa dan bagaimanapun harus disyukuri, bukan?--. Saya harus pindah unit kerja baru. Masih di Jakarta dan masih di bidang yang sama. Hanya saja, unit kerja baru ini menurut data performance-nya lebih besar, dan tentunya lebih lekat dengan kompleksitas masalah yang menantang. Tentang itu, Insya Allah saya siap saja.

Yang menjadi "lucu" kemudian, terkait dengan rencana pelepasan itu.

Begitu hari Selasa mendapat kepastian berupa facsimile dari kantor wilayah, Sisca langsung nyerocos, "Nha! Perpisahannya nggak boleh digabung lho, Pak! Hahaha...!" Seluruh anggota tim yang saat itu ada di tempat, dengan semangat mengiyakan seraya tertawa lepas. "Iya lho, Pak! Syukurin dah...." Hahaha!

Ketika bertemu dengan Manajer Operasional di lantai satu, coba dengar apa katanya : "Perpisahannya sendiri-sendiri lho, Pak! Nggak boleh digabung! Enak aja digabung...," kata beliau. Lhah, itu kan inti kalimat saya untuk Ricky dan Sisca waktu itu? Hihihi...

Tuhan memang Maha Adil. Kena batunya deh, gue... :)

***

Itu tadi hanya cerita yang "konyol". Tak serius, tentang "termakan omongan sendiri".

Tapi, kisah itu mengingatkan saya pada beberapa kisah lain.

Ceritanya yang akan saya sampaikan di bawah ini, dan ini jauh lebih serius.

Seorang teman pernah menulis di blognya, yang intinya, hati-hati dengan omongan kita. Omongan kita adalah do'a, yang bisa diamini oleh siapapun --makhluk kasat mata atau tidak; alam semesta--, dan menjadi kenyataan.

Ia yang seorang bapak, bicara dengan nada mengingatkan kepada si anak yang sedang bermain dengan tingkah polah yang sedikit "kebablasan".

"Awas, sebentar lagi Abang jatuh, lho! Hidung Abang bisa berdarah kalau jatuh!" kata si Ayah kepada anak yang lebih besar.

Si anak masih saja bermain, dan tahu apa yang terjadi? Si Abang tiba-tiba terjatuh, dan --Subhanallah--, persis seperti yang dikatakan, dari hidung si Abang keluar darah akibat bagian depan wajah itu yang membentur lantai terlebih dahulu! Maha Suci Allah!

***

Saya sendiri pernah mengalami sebuah peristiwa, yang ketika mengalaminya, saya langsung teringat cerita orang-orang yang sudah dulu berkesempatan berangkat ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Kata mereka, di sana Allah menunjukkan kebesaran-Nya, dengan memberi balasan langsung terhadap amalan yang kita lakukan.

Siang itu, tatkala saya masih bertugas di Medan. Saya mau berangkat tourney bersama salah satu anggota tim. Saya yang membawa mobil, karena anggota saya yang satu ini belum piawai menyetir kendaraan roda empat.

Di basement, saya melihat mobil dinas Manajer Operasional (MO) banyak lecet dan benyok. Para driver di parkiran itu mengatakan, mobil itu baru mau masuk bengkel. Iseng, seorang driver bertanya kepada saya. "Mobil Bapak nggak sekalian dibengkelin, Pak?"

Ia tak salah. Di mobil dinas yang saya pakai, memang terdapat juga beberapa lecetan. Tapi, masih jauh lebih sedikit dan jauh lebih mending dibanding kondisi mobil dinas MO.

Bermaksud becanda, saya menjawab, "Nanti aja. Biar saya tambahin dulu 'luka'-nya! Tanggung...." Saya pun keluar parkir dengan "gaya", diikuti cekikikan para driver yang mendengar jawaban saya.

Apa yang terjadi? Siang itu juga, ketika akan menyeberang --tak sampai tiga jam selepas saya berkomentar seperti di atas--, bemper depan mobil saya menabrak angkot yang melintas dalam posisi tegak lurus dibanding mobil saya!

Hasilnya? Luka body mobil saya cukup parah, dan bahkan lebih parah dari kondisi mobil MO! Allahu Akbar, Subhanallah.

Ternyata, begitu mudahnya Allah mengingatkan kita. Begitu gampangnya Beliau memberikan 'pelajaran' bagi kita yang seringkali sok, sombong, jumawa, angkuh, tinggi hati, dan sejenisnya.

Begitu menabrak dan melihat kondisi mobil, saya hanya bisa terdiam. Tak ada komentar apapun yang berani saya ucapkan, kecuali, Astaghfirullah. Saya telah berlaku "sombong" kepada Allah.

***

Tapi, dasar manusia yang seringkali masih labil iman, secara "tak sadar", saya pernah mengulangi kesalahan itu.

Saya sudah bertugas di Jakarta, ketika peristiwa ini terjadi.

Sore selepas Maghrib itu, saya pulang bersama Mbak Erna, yang kebetulan rumahnya searah dengan rumah dinas saya.

Jalan sangat macet. Crowded. Semua kendaraan --roda dua maupun empat-- hanya bisa merambat pelan. Bahkan lebih sering berhenti. Dalam kondisi demikian, jarak antar kendaraan, baik depan, samping maupun belakang, sangat rapat. Hitungan senti, istilahnya.

Beberapa kali Mbak Erna mengingatkan, bahwa mobil saya sangat mepet dengan kendaraan lain. Sambil berkendara, lantas saya bercerita, bahwa teman-teman saya juga sering khawatir dengan cara saya menyetir yang "sok mepet" itu. Beberapa teman bahkan seringkali menyebutnya sebagai "gaya sopir angkot" (maaf kepada para sopir angkot...).

Saya bercerita dengan nada bangga. Di tikungan dalam jarak lebih kurang 500 meter dari saya berhenti bercerita soal "kehebatan" menyetir saya, tiba-tiba mobil saya dipepet sebuah bus dari arah kanan, sehingga mengharuskan saya membanting setir ke kiri.

Apa yang terjadi? Mobil saya menyenggol bajaj yang juga sedang melintas dalam arah yang sama!

Saya pikir tak ada yang parah, sehingga kami semua sepakat melanjutkan perjalanan.

Sampai di rumah, saya penasaran. Sebelum masuk ke carport, saya iseng mengecek kondisi kendaraan. Masya Allah! Ternyata "luka" yang sangat besar, panjang dan dalam ada di pintu mobil sebelah kiri! Dan itu adalah "luka" yang paling parah selama saya diberi kepercayaan memegang kemudi mobil dinas tercinta itu!

***

Lagi-lagi, saya harus mengucap Astaghfirullah. Mohon ampun kepada Allah. Bahkan, kali itu, ada dua permohonan ampun yang saya mintakan. Pertama, karena "kesombongan" saya dalam bercerita ke Mbak Erna. Kedua, karena saya jelas-jelas mengingkari janji saya untuk "bertobat" setelah kejadian di Medan itu. Lepas dari bahwa apa yang saya lakukan dalam kondisi "sadar" atau "setengah sadar". Yang pasti, saya salah.

***

Saya yakin, banyak kejadian tak mengenakkan yang sebenarnya kalau kita sadari, sangat mungkin merupakan "peringatan" dari Allah kepada kita. Tapi bagaimanapun, kita harus mengucap syukur. Alhamdulillah. Tentu bukan karena kita senang mendapat musibah, tapi lebih karena, itu berarti Allah masih menyayangi kita. Karenanya, Allah memberikan petunjuk lewat cara-Nya yang sangat bijaksana.

Dan salah satunya, adalah bagaimana kita musti bertutur. Bagaimana kita harus bersikap. Ada Allah yang Maha Segala, yang "berhak' memberi ridlo atau tidak atas apa yang kita lakukan.

Terima kasih ya, Allah.


Salam perenungan,

Fajar S Pramono


Kaligrafi Allahu Akbar : www.vanderhaven.net

GOOD IS NOT ENOUGH --lagi--


Posting tanggal 01 September 2008 lalu, saya menyitir slogan Petakumpet. "Good is not enough. It has to be sold". Dan saya setuju.

Kemarin, saya ingat lagi ada "good is not enough" lain ketika membaca ulasan buku Pak Thomas, "Your Great Success Starts from Now!", di harian Kompas, Senin 01/09/08.

"Good is not enough" apa yang ada di sana?

"Good is not enough, when better is available and best is still possible."

Baik saja tidak cukup kalau ada yang lebih baik dan yang terbaik masih dimungkinkan.

Wow! Lagi-lagi, saya setuju. Saya jadi ingat kata-kata Pak Pardiman, salah satu atasan saya, yang pernah saya ceritakan di posting terdahulu : kalau kita bisa berbuat yang lebih baik atau bahkan terbaik, kenapa kita sudah puas dengan hanya berbuat yang "sekedar baik" saja?

Saya diingatkan lagi. Alhamdulillah.


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://1.bp.blogspot.com

EKONOMI KREATIF, ATAU INDUSTRI KREATIF?


Belakangan ini, saya sering membaca sebuah diskusi --untuk tidak disebut polemik-- mengenai ekonomi kreatif, di media massa. Juga tentang industri kreatif.

Namun, dalam kacamata saya, ada sedikit bias. Sebagian peserta diskusi tersebut tampak menyamakan pengertian ekonomi kreatif dengan industri kreatif.

Padahal, mestinya ekonomi kreatif lebih bersifat universal. Lebih bersifat makro. Lebih bersifat general.

Sementara istilah industri kreatif, lebih bersifat spesifik, yakni tentang sebuah industri yang memang banyak mengandalkan kreatifitas dan otak kanan (penciptaan ide) yang inovatif, sebagaimana disitir seorang penulis dari buku The Whole New Mind (2006) karya Daniel Pink. Cakupan industri kreatif tentunya jauh lebih kecil, dan hanya merupakan salah satu bagian dari ranah ekonomi kreatif.

Ekonomi kreatif, mestinya diartikan sebagai sebuah wadah terbesar kegiatan ekonomi --apapun itu-- yang mengedepankan kreatifitas dalam penciptaan keberlangsungan hidup suatu industri usaha. Industri itu sendiri bisa berupa industri konvensional, semisal industri garmen atau fashion. Kreatifitas dalam industri ini, memungkinkan penciptaan model-model baru yang up to date, mungkin berkiblat western, yang dipadu dengan "kandungan lokal" Indonesia. Pemakaian motif batik misalnya, dalam berbagai rancangan baju pesta yang modelnya kebarat-baratan.

Kreatifitas para pengusaha dalam mencipta produk mainan baru akibat serangan produk China misalnya, yang pada akhirnya menciptakan berbagai model mainan baru ala Indonesia, juga merupakan bentuk dari sebuah ekonomi kreatif, di dalam sebuah industri konvensional.

Tekanan melonjaknya harga bahan baku suatu produk, seringkali menciptakan kreatifitas-kreatifitas baru dalam proses produksi. Meskipun komoditi olahannya merupakan komoditi umum, mestinya ia dapat digolongkan dalam ekonomi kreatif.

Ice cream adalah produk industri konvensional. Biasa. Tapi, ketika ada penemuan ice cream berbahan ubi jalar, maka ia harus digolongkan sebagai bentuk ekonomi kreatif, dan bahkan bukan industri kreatif versi Daniel Link tadi.

Contoh di atas sekedar untuk membedakan, bahwa ekonomi kreatif bisa terjadi di seluruh tataran dan model industri. Baik yang tradisional dan konvensional dari segi komoditi produknya, atau (terlebih lagi) industri yang memang berlandaskan kreatifitas dalam arti harfiahnya. Seperti industri kerajinan, desain, film, musik, fotografi, advertising, seni pertunjukan dan sejenisnya.

So, dengan kejelasan perbedaan makna istilah seperti itu, tentunya tak ada lagi blockquote sebuah artikel opini di media massa yang menonjolkan kalimat "Ekonomi kreatif bukan sektor andal yang bisa memberi kesejahteraan". Padahal, jika kita membaca keseluruhan tubuh artikel opini tersebut, maka "gugatan" atas ketidakhandalan "kreatifitas" itu tertuju pada "jenis industri", dan bukan pada "ekonomi" yang bermakna lebih luas. (baca Harian Kontan, Selasa 02/09/08)

Tapi, itu menurut saya. Yang pasti bisa saja saya salah. :)


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://artegami.com

BAIK, TAPI JUGA TERJUAL


"Good is not enough. It has to be sold."
-- slogan Petakumpet --

Hah, bener juga ya?

Kami-kami yang seringkali sok perfect ini, justru sering melupakan esensi orang jualan. Mutu, kualitas, produk, hasil kerja, karya, memang harus baik. Tapi, dalam konteks jualan, apa gunanya kalau tak bisa dijual?

Yang penting, juga jangan asal laku. Kalau asal laku dengan mengorbankan kualitas, apalagi "menghalalkan segala cara" dalam berproses, ya lebih tidak benar.

Thanks, Petakumpet. Sudah diingatkan. Kebetulan, di kantor saya penjual. Sedang di luar kantor, saya juga penjual... hehe.:)


Salam,

Fajar S Pramono


Notes :
(1) Petakumpet, tak lain adalah PT. Petakumpet Creative Network. Sebuah perusahaan periklanan (tampaknya mereka lebih senang disebut perusahaan ide), di Yogyakarta, (2) Slogan itu ada di halaman pertama Bab I buku Jualan Ide Segar, hasil tulisan M. Arief Budiman, S.Sn; Director PT. Petakumpet Creative Network. Bukunya bagus dan menginspirasi, (3) Ilustrasi di atas adalah logo Petakumpet. Bisa Anda lihat di ptpetakumpet.blogspot.com.