Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

'TERTIPU"


Jum'at kemarin, saya "tertipu". Sebenarnya bukan tertipu sih, tapi memang kalah pinter ama penjual barang yang kebetulan kemarin saya beli secara "tak sengaja".

Tak usahlah saya bilang barang apa itu. Karena peristiwa "tertipu" ini bikin saya malu. Malu ama diri sendiri, malu ama temen, malu ama keluarga. Juga bikin saya nyesel. "Gela" kata orang Jawa. Yang pasti, saya membeli barang konsumtif.

Di mana letak "kalah pinter"-nya? Ya, seperti transaksi jual beli biasa, saya "ketiban" harga yang terlampau tinggi. Kalah bargaining dalam tawar-menawar, karena mengikuti emosi berupa rasa suka yang "berlebihan" kepada barang yang baru saja saya liat itu. Telanjur sayang, kata orang. Juga karena nggak paham "harga dasar"-nya.

Akhirnya, saya membeli dengan harga terlampau tinggi. Itu intinya. Padahal, dalam hati, saya merasa sudah bisa menawar cukup banyak. Eh, pinternya si penjual, harga yang semula ditawarkannya ternyata sudah jauh berlipat dari harga aslinya.

Kok saya tau kalo akhirnya saya membeli dengan harga terlalu tinggi?

Begitu. Eh, begini. Sepulang dari membeli barang tersebut, saya tunjukkan itu barang ke seorang temen, yang memang kebetulan punya hobi mengkoleksi barang semacam yang saya beli. Apa katanya?

"Kayaknya kemahalan deh, Pak!" kata temen saya sambil menggelengkan kepalanya.

Saya "greg"! Perasaan saya langsung berubah. Dari seneng menjadi nggak enak. Jangan-jangan..., jangan-jangan..., saya "tertipu".

"Apa iya?" tanya saya.

"Kita liat saja di internet, Pak," kata teman saya lagi.

Deg, deg, deg. Saya makin "jelek" aja pikirannya.

Klik, klik, klik... jreeeeng!!! Dan... benar! Harga jual resminya sebenarnya hanya 68% dari harga beli saya! Bukan sok gaya, kalau prosentase itu dari puluhan ribu atau ratusan ribu saja, mungkin tidak terlampau merisaukan. Yang terjadi, ini sudah pake akhiran jut-jutan. :(

Walah, walah... kemahalan memang. Dan bagi saya : saya "ketipu". :) Saya harus mengaku "kalah pinter" dengan penjual.

Yach, mau gimana lagi. Itu rejeki mereka, para penjual. Saya ikhlaskan saja.

Tapi, biarpun ikhlas, nggak boleh dong, "dibiarkan" saja. Artinya, dibiarkan tanpa hikmah.

So, hikmahnya antara lain :

(1)
Mantapkan tujuan, dan teguhlah pada tujuan itu.

Karena jujur, tujuan saya ke toko itu tadi bukan untuk belanja barang yang membuat saya merasa "ketipu" tadi. Saya punya obyek yang sebetulnya sudah saya tetapkan untuk saya cari. Detail onyeknya sudah ada di saku. Hanya kebetulan, saya tidak menemukannya di beberapa toko, sehingga saya iseng "melihat-lihat". Dan dasar mata ini yang "lapar", dari iseng melihat, jadi iseng bertanya, lanjut iseng mencoba, dan akhirnya (tidak iseng lagi) membeli. Membeli, dengan harga yang terlampau tinggi tadi. Yang bahkan, jika dibandingkan rencana semula, budget yang harus saya keluarkan menjadi hampir 3 kali lipat!

(2)
Telitilah, dan cari informasi lengkap sebelum memutuskan untuk membeli.

Jujur lagi, saya merasa konyol. Bagaimana tidak, "hari gini", beli barang yang jelas-jelas selalu updating di internet, saya maen "hantam kromo" saja di lapangan. Enggak survey dulu. Enggak browsing dulu. Kalau saya berada di jaman baheula, atau ada di kampung yang saluran telkom belum sampe, atau yang sinyal operartor seluler masih blank, sehingga nggak bisa akses internet, ya wajar.

Lha ini, saya di Jakarta; tempat di mana-mana ada WIFI gratis, tempat warnet-warnet bertebaran, tempat survey yang bejibun berdiri, dan tinggal klik karena laptop selalu ada di tas, masih berlaku "konvensial" begitu... ya salah sendiri! Iya nggak?

(3)
Hati-hati membeli barang konsumtif.

Menyesal, kalo untuk barang konsumtif, memang susah. Saya bertekad nyari "ganti rugi". Artinya, saya harus bisa "menghasilkan" kompensasi sejumlah "kerugian" yang saya keluarkan. Kalo yang saya beli kemarin barang produktif, mungkin bisa dimaksimalkan dalam mencari keuntungan. Lha kalo barang konsumtif? Dijual lagi, jelas lebih murah. Dikembalikan, sudah tidak boleh. Ditukar, pasti hanya dengan barang yang sesungguhnya juga hanya "selevel" barang yang telanjur saya beli. Artinya, "rugi" atau "makin rugi"! Wah, bener-bener pilihan yang "menyesakkan".

Sebagai curhat, yach, minimal 3 hikmah itulah.
Hikmah yang lain, tambahin ya! :)


Salam,

Fajar S Pramono

4 komentar:

Sabar Pak.. pasti ada hikmahnya... heuheuheu..


Next... ajak ajak yah pak.. kalo mo hunting lagi... hihihihi..

 

Yang saya tau sejak dulu Mas Fajar suka grusa grusu kalo beli barang, apalagi kalo sudah sreg! Tapi gpp Mas,yang penting barangnya bisa bermanfaat, soal harga anggap saja Mas Fajar lagi bermurah hati untuk berbagi rejeki. Tertipu....rasanya tidak juga kok Mas mungkin kala itu lagi nafsu beli saja.... :)

 

@ Andriano :
Betul, Rick. Itu mungkin "kualat" karena nggak ngajak kamu jalan-jalan... hehe.

 

@ Gus-Nhanks :
Hehe... Alhamdulillah, Sampeyan masih inget "tabiat" saya. So saya merasa "diingatkan", berkaitan dengan "nafsu beli" itu... :)

Kayaknya memang istilah itu yang tepat.

Btw, Sampeyan memang paling rajin mengingatkan saya, termasuk tentang nafsu-nafsu yang lain (nafsu makan maksudnya.. hihihi), meskipun pada akhirnya saya langgar, dan jadi makin gendoet! :D

Thanks, Mas!