Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

UJUNG LEMBATA MASIH DI MATA


:: F. Rahardi


Ujung Lembata masih di mata
ketika kau ajak aku menyeberang pulau bernusa
Bahkan pun bau tanah Lewoleba
masih tersangkut dalam bulu hidung
yang tegak berdiri pada kedua lubang buatan-Nya

Ujung Lembata masih di mata
ketika gegar Gunung Kemukus kau hadirkan
secara tegak berdiri menutup sapuan pandang
kedua mata hasil ciptaan-Nya

Aku bahkan merasa bau badan Ola sang Luciola
masih menempel lekat pada seringai tubuh hitamku
Sebagaimana sosok Romo Pedro
yang demikian kuat beriman
dalam godaan kasih asih yang menggelora

Sekuat ingat juga pada asap ikan bakarmu yang membubung
setelah menyapa Solor, Adonara dan Ile Mandiri-mu

Terkesiap aku malam ini manakala
Romo Drajad menjemputku
juga Romo Islam yang Romo Jowo itu

Tak ada selubung keinginan mereka yang lain kecuali
sekedar untuk menggugatku
sehanya mempertanyakanku
karena aku telah menjadi Badrun
dalam kisahmu

Jakarta, 301108


---
Salam,

Fajar S Pramono

Catatan :
Sebuah apresiasi untuk wawasan pandang baru dari seorang F. Rahardi.
Agustus lalu, saya "diajak" beliau melihat Lembata di Nusa Tenggara Timur, melalui kisahnya dalam novel Lembata (Lamalera, Juli 2008). Kini, saya sudah "bersama" beliau di Gunung Kemukus Jawa Tengah, membacakan halaman demi halaman dalam novel Ritual Gunung Kemukus (Lamalera, November 2008). Sebuah kinerja sastra riset sekaligus sastra historis yang luar biasa menurut saya.
Selamat, Bung! Saya tunggu Para Calon Presiden-mu!

Ilustrasi : Sebuah pemandangan salah satu gunung volcano di Lembata. Diambil dari image53.webshots.com.

ORANG CERDAS


Dari jalan-jalan ke blognya Bang Eben (http://www.sarimatondang.blogspot.com), ketemulah saya dengan kata-kata Einstein yang ada dalam artikel Sang Guru Etos, Jansen Sinamo yang diposting Bang Eben.

Kata Einstein, "Orang cerdas ialah orang yang mampu membuat perkara sulit jadi mudah dipahami, sedangkan orang bodoh sebaliknya, membuat perkara mudah jadi sukar dimengerti."

***

Ah, saya yang pada awal memulai menulis artikel perbankan untuk UMKM di media massa dengan gaya dan bahasa yang sangat "lugu" dan "polos" (ehm!) --ini sangat beda dengan tulisan-tulisan saya terdahulu di bidang politik dan sastra-- rada-rada malu, kini jadi sangat bangga.

Memang, saya terinspirasi dengan Mas Safir Senduk. Tulisannya sangat membumi. Bahasanya sederhana, tanpa mengurangi inti materi yang mau disampaikan. Membaca tulisannya, seolah merasakan Mas Safir sedang "bicara" dengan saya. Dan ternyata, "gaya" seperti itu menciptakan respon yang baiknya luar biasa.

Itulah kecerdasan Mas Safir. Ia mampu menjelaskan sesuatu yang baru dan semula "sulit" menjadi mudah dipahami.

***

Dua buah pesan pendek dari orang yang sama di hp saya, tadi malam (26/11/08) pukul 23:47:06 dan 23:58:46 berbunyi :

"AssWrWb.Mas Fajar,sy Budi 26th dr Probolinggo-Jatim. 1 thn yg lalu sy mmbli buku Anda "RAHASIA SUKSES NGUTANG DIBANK", saat ini sy mmbthkn dana u/ pngmbgn usaha toko&sy mngajukn kredit di BRI Cab.PROB yg msh dlm proses.Sy mngucapkn trmksh yg bnyk krn dgn trik2/ilmu dr Buku Mas Fajar sy lbh mngenal prBankan."

"Ohya Mas,slma 4 thn sy mengmbgkn usaha toko retail perlengkpn sekolah sdh mmiliki 3 otlet. Sltlh mengkti Seminar Purdie Chandra di Entrepreneur University sy Jd ikut praktekkan "BOSOL" Dan dibimbing jg dari Buku krgn Mas Fajar. Skli lg trmrh bnyk, smoga Mas & keluarga sht w afiat slalu, amin3X. Budi-PROB."

Ini salah satu kebahagiaan saya. Tak sedikit pembaca yang berkabar karena merasa terbantu. Tak sedikit yang berkirim sms bahkan telpon langsung untuk "konsultasi". Apa yang bisa saya berikan, Insya Allah akan saya sampaikan. Tapi tentu saja, juga tak hanya satu dua kritik --bahkan "gugatan"-- yang masuk untuk pengembangan diri saya. Untuk semuanya, saya berbahagia dan berterima kasih.

(catatan red : mudah-mudahan tidak dianggap sebagai ketakaburan, amien)

***

Ah, naskah bakal buku saya yang saat ini ada di penerbit, juga kembali menggunakan bahasa-bahasa yang ringan. Bahkan "sangat ringan". Dengan model "obrolan", apalagi. Mudah-mudahan saya bisa mentransfer sesuatu menjadi lebih mudah dipahami.

Dan dengan itu, saya bisa tergolong sebagai bagian dari orang-orang yang cerdas... hahaha! Amien....


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://inibukuanak.files.wordpress.com

KAMBING


Tak sampai dua minggu ke depan, Idul Adha. Ingat hari raya kurban, ingat kambing. Ingat sapi.

Saya tengah membaca bagian awal kisah seorang Matari Anas, seorang tokoh sentral dalam novel 9 Matahari karya Adenita (Grasindo, 2008), ketika saya menjadi teringat akan sesuatu. Sesuatu itu juga "berbau" kambing.

Adalah Matari Anas, seorang muda yang diceritakan tinggal di pinggiran Jakarta --bahkan pingsel alias pinggiran sekali-- yang sangat tinggi semangatnya untuk sekolah, namun terkendala masalah klasik : biaya.

Ketika pada akhirnya ia "berhasil" berkuliah, tentu itu merupakan sebuah perjuangan yang tak ringan yang musti ia lakoni. Dan itu salah satu inti dan pembelajaran dari kisah dalam novel setebal 359 halaman + xii itu.

Saya jadi ingat kejadian tahun 1992 dulu. Tahun di mana saya lulus SMA, dan kemudian memutuskan untuk terus sekolah.

"Pokoknya, Jar. Kalau kamu nggak diterima di negeri, Bapak nggak sanggup membiayai kamu di swasta. Bapak akan belikan saja kamu beberapa ekor kambing, dan jadilah gembala. Angon*) sana!" kata bapak saya waktu itu.

Deg! Meskipun seharusnya saya tidak perlu kaget, mau tak mau itu jadi beban. Saya paham kondisi keluarga, sekaligus kemampuan ekonomi orang tua waktu itu.

Saya hanya mengangguk.

Itu sebabnya, saya ambil IPC waktu itu, yang memungkinkan adanya lebih banyak pilihan fakultas dan universitas. Strateginya : dua pilihan teratas adalah pilihan ke fakultas-fakultas "berat" (terutama karena persaingannya), dan satu pilihan "ringan" sebagai pilihan ketiga. Pikir saya, kalau dua pilihan utama nggak masuk, saya optimis diterima di pilihan terakhir. Yang penting, bisa kuliah di universitas negeri. 'Daripada angon kambing di kampung?' batin saya waktu itu.

Dan benar. LoA yang bicara, mungkin. Karena optimisnya di pilihan ketiga, ya pilihan terakhir itulah yang saya dapatkan.

Alhamdulillah, akhirnya saya diijinkan kuliah, lulus 6 tahun kemudian (hehe, saya termasuk "mapala" : mahasiswa paling lama...), dan akhirnya jadi pekerja seperti sekarang ini.

Bukan tidak bersyukur, ketika saya ingat kejadian di atas. Kenapa sih, waktu itu saya berbuat seolah hanya demi menghindari jadi gembala kambing?

Saya mencoba mencari excuse. Mencari pemakluman --bahkan pembenaran-- diri atas pilihan yang saya ambil.

---
Ya, karena dulu saya belum terkena virus wirausaha. Entrepreneurship. Ini salah satu excuse saya.

Mungkin, kalau dulu saya sudah memiliki jiwa wirausaha, saya tak akan risau dengan opsi yang bapak saya berikan. Jadi gembala kambing, kenapa tidak?

Bukankah dari dua ekor kambing, bisa menjadi banyak kambing? Entah dengan dikembangbiakkan, entah dengan memeliharanya secara baik hingga menjadi besar, bernilai lebih, dijual, dibelikan "bakalan" lagi, dan seterusnya sehingga pada akhinrya saya bisa menjadi juragan kambing?

Siapa yang bilang, bahwa "gaji" juragan kambing lebih kecil daripada pegawai kantoran? Ya, kalau kambingnya tak sampai sepuluh ekor. Kalau puluhan? Kalau ratusan atau bahkan ribuan? Nah lo...

Ketika beberapa minggu lalu saya ke Pekanbaru, saya berkesempatan menengok sebuah peternakan sapi. Di sana, sapi impor dari Australia digemukkan. Sekitar 3 bulan kemudian, baru dijual, dengan harga yang tentunya memiliki margin keuntungan yang berlipat dibanding harga beli plus harga pokok pemeliharaannya.

Dan siapa yang "menunggui" peternakan di hamparan 300 hektar serta berada di daerah "kampung" yang jauh dari perkotaan itu? Seorang anak muda, umurnya baru kepala dua, yang bersedia tinggal di sebuah rumah di tengah-tengah hamparan lahan peternakan dan bersedia meninggalkan glamouritas kehidupan Jakarta yang sesungguhnya bisa ia temui dan ia ikuti setiap hari!

Ia merasa jauh lebih berbahagia hidup di tengah sapi-sapinya daripada hidup di tengah keruwetan Jakarta. Baginya, memandang dan "bergabung" dengan ribuan sapinya, "berkotor-kotor" dengan kotoran sapi di kandang-kandang, dan mengelus badan sapi sebagaimana mengelus "seorang kekasih" dengan hayatan perasaan cinta, jauh lebih menyenangkan. Damai. Toh, ketika sekali waktu atau kapanpun ia ingin kembali ke "peradaban kota", ia tak akan mengalami kendala karena kesuksesan yang telah digenggamnya.

---
Excuse kedua : ya, mungkin inilah jalan terbaik yang diberikan Tuhan kepada saya.

Lho, kok seperti itu dibilang excuse? Nggak bersyukur ya?!

Bukan begitu. Orang mungkin memandang, bukannya sudah enak sekarang bisa jadi pegawai?

Ya, Alhamdulillah. Saya pasti bersyukur.

Tapi, ketika orang merasa "cukup", menganggap apa yang dimiliki saat ini adalah "yang terbaik", maka semangat untuk bisa "lebih dan lebih", baik dari segi prestasi, perolehan nafkah, pemenuhan kebutuhan, bahkan kebutuhan ilmu, bisa menjadi sangat kecil. Karena "kepuasan" tadi. Karena merasa sudah "mapan" dan "cukup".

Dan ini "bahaya" lho...

---
Jadi, masih sambil membaca novel Adenita di atas, saya membayangkan. Seandainya saat itu saya memilih jadi gembala kambing, sangat bisa jadi saat ini saya tinggal di sebuah lahan peternakan yang besar, dengan ribuan kambing yang menemani keseharian saya dan keluarga, di sebuah kampung yang adem ayem, sejuk, dan hangat kekeluargaannya dengan warga desa; dengan kebutuhan primer, sekunder bahkan tersier yang dapat terpenuhi dengan kendala tak berarti, hmmm....

Kenapa saya tak memilih itu ya?

Hidup memang sebuah pilihan!

Intinya, jangan pernah remehkan sebuah kesempatan. Jangan pernah lihat sebelah mata sebuah pilihan hidup. Di manapun, menjadi apapun, selama kita terus menjaga semangat untuk maju, semuanya adalah pilihan yang baik.

Modernitas atau justru ke-konvensional-an gaya hidup, tinggal di kota atau di desa, bekerja dengan dasi mencekik leher setiap hari atau dengan celana pendek dan berlepotan kotoran kambing pada sepatu boot kita, tak perlu di-dikotomi-kan bahwa salah satu lebih baik. Semuanya baik, selama itu semua dilaksanakan dengan benar dan menuju ke satu tujuan utama : beribadah, bersyukur, dan demi kebahagiaan dunia akhirat.

Bukan begitu?

Sekali lagi, hidup memang sebuah pilihan.


Salam,

Fajar S Pramono

*) angon = menggembala
Ilustrasi : http://3.bp.blogspot.com.

DUA KALI LIPAT


Hati-hati dengan permulaan yang kecil, namun memiliki kemampuan membesar dua kali lipat pada tiap periodenya.

Atau lebih tepatnya, warning ini bukan berbunyi "hati-hati". Mungkin lebih tepat "jangan remehkan". So, jangan remehkan permulaan yang kecil, yang memiliki kemampuan membesar dua kali lipat tiap periodenya.

***

Ada sebuah cerita. Seorang lulusan S2 yang lulus test kerja hanya meminta gaji sangat kecil untuk awal bekerjanya. Hanya Rp 250.000,- per bulan.

"Kalau saya dinilai bisa bekerja baik, silakan Bapak lipatduakan gaji saya untuk bulan berikutnya. Itupun tak perlu Bapak bayar setiap bulannya. Silakan Bapak bayar pada akhir tahun, ketika Bapak merasa benar-benar puas atas hasil kerja saya," kata sang calon pekerja itu.

Bapak tua yang juga bos perusahaan besar itu tentu senang sekali. Ia merasa mendapat sumber daya manusia yang sangat baik, sekaligus murah.

Maka bekerjalah si S2 itu. Hasil kerjanya memang luar biasa. Dan sesuai komitmen, tiap akhir bulan sang bos membuat keputusan, bahwa bulan depannya ia tetap diminta bekerja kembali, dengan gaji sesuai yang disepakati.

Genaplah satu tahun si S2 bekerja. Sesuai yang diminta di awal bekerja, pada akhir tahun ia meminta haknya. Ia sodorkan sebuah "tagihan gaji" kepada sang bos.

Sang bos, yang sedang bersantai menikmati laba tahunan terhenyak, dan bahkan melompat dari kursinya saat itu juga! Ia kaget. Syok!

Anda tahu, nilai tagihan yang disodorkan anak buahnya itu? Rp 1.023.750.000,-!

Ya, satu milyar dua puluh tiga juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah, untuk satu tahun!

***

Atau, pernahkah Anda mendengar cerita ini.

Seorang petani, membawa kudanya ke seorang pemasang paku tapal kuda.

Ketika sang petani menanyakan ongkos pasang paku, dijawab oleh sang tukang, "Murah, Pak. Hanya Rp 1 untuk paku pertama, Rp 2 untuk paku kedua, Rp 4 untuk paku ketiga, dan seterusnya...."

Menganggap ongkos pasang paku itu sangat murah, si petani segera menginstruksikan.

"Pasang ke semua kaki kudaku!" kata si petani berbinar.

Tak sampai dua jam, semuanya selesai.

"Semua berapa, Pak? tanya sang petani jumawa.

"Paku per kaki ada 8. Kaki kuda Bapak ada 4. Jadi semuanya ada 32 paku. Total biayanya menjadi Rp 2.147.483.648,-, Pak. Saya diskon jadi 2 milyar saja...," kata si tukang kalem.

Hah? Dan si petani pun pingsan. Nggeblak!

***

Anda heran? Silakan hitung pakai microsoft excel. :)

Saya sudah ingatkan di awal. Jangan remehkan sesuatu yang kecil, yang memiliki kemampuan mengganda pada tiap periodenya.

Sampai bulan ke-6, gaji si karyawati dalam cerita di atas secara total baru mencapai Rp 15.750.000,-. Berarti, rata-rata perbulan Rp 2.625.000,-. Masih murah untuk ukuran kerja yang sangat baik.

Tapi lihatlah begitu menginjak bulan ke-12.

Begitu pula ongkos pemasangan paku tapal kuda itu. Sampai paku ke-16 --yang berarti separuh dari total paku yang akan dipasang--, nilai tagihannya baru Rp 65.535,-. Itu berarti, setara dengan Rp 4.369,- per paku. Belum tergolong mahal.

Tapi, sampai ke paku ke-32? Wow....

Lipatan atau penggandaan yang membuat segalanya melonjak tinggi memang terjadi di masa-masa akhir, ketika "nilai kita" semakin tinggi. Satu "lompatan" saja akan menciptakan keuntungan yang luar biasa tinggi, jika kita sudah memiliki "modal awal" yang baik.

Modal itu bisa berupa kemampuan diri, kecakapan bekerja, semangat, dan sebagainya.

Anda bisa bayangkan, bagaimana kalau diri kita mampu melipatduakan semangat, melipatduakan kemampuan, melipatduakan kecakapan pada setiap periode tertentu?

Tak peduli berapapun "nilai" kita di awal, maka ia akan bisa menjadi sebuah kekuatan dan kemampuan dengan nilai yang mungkin tak akan terbayangkan sebelumnya oleh kita sendiri.

Dan ingat, jangan pernah kita berhenti jika apa yang kita usahakan belum maksimal. OK?


Salam introspeksi,

Fajar S Pramono

DAFTAR TUNDA = DAFTAR TUNGGU KEGAGALAN


Apa yang seringkali menghalangi kesuksesan seseorang, padahal ia sudah memiliki niat bagus sekaligus "success blueprint" alias "cetak biru" gambaran sukses yang begitu baik, begitu indah, yang sudah senantiasa ia bayangkan, yang sudah senantiasa ia visualisasikan, bahkan ia afirmasikan kepada semesta?

Ternyata sederhana. Yakni : "kekalahan" negosiasi dalam pikiran kita sendiri.

Negosiasi apa yang terjadi di pikiran kita itu?

Begini. Ketika memiliki niat dan gambaran sukses, kita sesungguhnya sudah sangat faham apa yang sesungguhnya harus kita kerjakan. Pada saat itu, pada hari itu. Namun, ketika yang disebut "kewajiban" atau "konsekuensi" dari "mimpi sukses" hari itu bukan sesuatu yang ringan untuk dilakukan, maka kehakikian sifat manusia masih saja berusaha untuk mencari langkah yang termudah. Yang ter-ringan.

Pada akhirnya, negosiasi yang alot terjadi dalam pikiran ini. Kadang berdalih "mencari strategi". Padahal, seringkali usaha keras memang satu-satunya jalan yang harus ditempuh. Ujung-ujungnya, yang menjadi "juara" sejati dalam negosiasi bukan strategi A atau B, tapi justru si procrastination, alias penundaan pekerjaan.

Darmadi Darmawangsa, seorang master motivasi alumnus Massachusetts Institute of Technology menyebutkan, ada dua tipe penundaan.

Pertama, penundaan yang mengakibatkan kita tidak pernah mengambil tindakan awal.

Kedua, penundaan yang mengakibatkan tidak terselesaikannya pekerjaan yang ingin kita selesaikan.

***

Mana yang lebih buruk, atau mana yang lebih baik? Saran saya, sebaiknya kita singkirkan saja pertanyaan ini.

Dalam konteks kesuksesan, tak ada yang lebih baik. Semuanya "buruk".

Lalu? Ya jangan menunda.

Menangi negosiasi dalam pikiran kita dengan keputusan : sebuah action. Masalah action itu berat atau ringan untuk dilakukan, itu relatif. Untuk sebuah niat, itu konsekuensi yang seringkali tidak mengenal istilah berat atau ringan. Masih ingat cerita saya tentang kesuksesan Cak Eko di bidang kepenulisan, sekaligus pembuktiannya tentang "sukses dua kuadran"? Itulah gambaran kemenangan action dalam negosiasi pikiran.

Ingat sekali lagi, bahwa penghambat kesuksesan tidak selalu berupa alasan-alasan yang "wah", seperti ketiadaan modal, minimnya pendidikan, kekurangberuntungan sebuah trah alias keturunan, kekurangan dalam hal fisik, kondisi ekonomi makro yang tidak mendukung, dan sebagainya. Seringkali, penghambat kesuksesan kita itu hanya masalah "sepele" tadi : kegemaran untuk menunda.

So, mari kita terus belajar dan berusaha untuk menjadi pemenang dari negosiasi pikiran, agar kita terhindar dari hambatan sukses berupa "menunda" pekerjaan itu.

Tidak gampang memang. Tapi yang terpenting, kita bersedia belajar. Kita mau berusaha. Sesegera mungkin minimalisir "daftar tunda" obsesi-obsesi kita. Karena "daftar tunda", sesungguhnya adalah identik dengan daftar tunggu kegagalan, yang satu demi satu akan menghampiri kita.

OK?


Salam introspeksi,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://mastermindconsulting.files.wordpress.com

KUMPULAN ORANG TANPA MASALAH


Sabtu malam, di Sukabumi, seorang kawan memberikan sebuah hadiah manis buat saya : sebuah buku.

Ah, rupanya keluarga itu tahu, hadiah apa yang paling pas untuk orang seperti saya. Buku, yang pastinya akan membuat wajah saya jauh lebih bersinar, setelah sebelumnya sudah banyak bersinar karena pantulan lampu di jidat saya yang lebar. Hehe...

Buku itu : CHAMPION, 101 Tip Motivasi & Inspirasi SUKSES Menjadi Juara Sejati. Segera saya buka dan baca malam itu. Apalagi pembatas bukunya sangat cantik : sebuah kartu ucapan bergambar keluarga pemberi buku, The Eriandoko's.

Di dalam temaran lampu penginapan, di antara istri dan kedua anak yang sudah terlelap dan berselimut udara dingin, saya masih membaca. Meloncat-loncat dari satu tips ke tips yang lain. Dari satu kisah inspirasi ke kisah motivasi yang lain.


***

Ada satu cerita yang membuat saya tersenyum. Sebuah kisah pendek dari Dr. Norman Vincent Peale. Seorang motivator dan penulis buku laris The Power of Positive Thinking.

Dikisahkan, ada seorang pemuda dengan raut wajah suram datang kepada Dr. Peale. Dengan putus asa, ia memegang baju Dr. Peale dan berkata, "Mr. Peale, tolong saya. Saya tidak mampu menghadapi masalah saya, dan ini hal berat buat saya."

Dr. Peale berkata, ia tak punya banyak waktu saat itu.

"Tapi, saya bisa menunjukkan kepada Anda, sebuah tempat di mana banyak orang tidak lagi memiliki masalah," kata Dr. Peale kemudian.

Sang pemuda segera saja bersemangat. Ia merasa sangat antusias. Kata si pemuda, "Jika Anda dapat menunjukkannya kepada saya, saya akan memberikan segala yang saya punyai untuk dapat berada di tempat itu!"

"Anda mungkin tidak tertarik untuk pergi ke tempat itu. Tapi, tak apa. Saya antar Anda. Toh jaraknya hanya dua blok dari tempat ini," kata Dr. Peale kalem.

Mengantar si anak muda menuju tempat dimaksud, Dr. Peale akhirnya berhenti di sebuah kuburan umum di kota New York, dan berkata, "Di sana terbaring lebih dari 150.000 orang yang tidak lagi memiliki masalah dalam hidup ini..."

***

Ada yang ingin segera bergabung dengan kumpulan orang-orang tanpa masalah tadi?

Saya pikir, tidak. Atau, belum. :)

Hidup ini memang penuh masalah. Masalah itu sendiri adalah tantangan. Keluhan dan omelan, tidak akan banyak membantu. Ia hanya bisa menjadi katarsis sesaat, sebagaimana menangis. Melegakan hati, secara jangka pendek.

Untuk lega jangka panjang, ya hadapi dan mari kita selesaikan masalah itu. Sekaligus, buat hati kita bahagia. Toh, bahagia itu adalah pilihan. Don't worry be happy, kata Bobby McFerrin yang disitir sebagai tajuk Mario Teguh Golden Ways di Metro TV semalam.

Kekhawatiran selalu ada di depan kita. Masalah juga begitu. Cara kita menyikapinya, itulah pilihan kita.

Yang perlu diingat, kekhawatiran dan masalah itu seringkali datang karena kita menuju sebuah kemajuan langkah. Perbaikan karir, misalnya. Kesuksesan usaha yang lebih besar, adalah contoh lainnya.

Dalam sebuah pencapaian yang lebih tinggi, angin masalah dan dorongan kekhawatiran seringkali lebih kencang. So, jika kita hanya ingin terhindar dari masalah atau kekhawatiran baru, stag-lah di tempat Anda berada kini. Berhentilah. Tak usah maju.

Pertanyaannya, apakah Anda merupakan salah satu orang yang tidak menghendaki kemajuan?


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : www.cvfamilycenter.org

"UJI FISIK"


Hari ini, Sabtu. Libur. Sesuai rencana jauh-jauh hari, saya dan temen-temen kantor plus keluarga masing-masing sudah merencanakan untuk refreshing ke Cisaat, Sukabumi. Menginap semalam.

"Lhah, kondisi kesehatan kamu gimana?" Mungkin ada yang bertanya begitu pada saya. Hanya mungkin lho... hehe.

Ya itulah. Ya inilah. Itulah saya. Inilah aku. Kalau sudah janji, apalagi saya yang menjadi fasilitator dari semua ini, ya superndableg-nya yang dominan.

Mungkin ini saatnya uji nyali, eh, uji fisik. Soalnya, ketika kemarin nekat masuk, siang harinya saya terpaksa "ngungsi" sebentar dari kantor ke rumah untuk mencari pembaringan yang enak buat ngelenturin tulang yang rasanya ngilu semua, dan menjelang sore baru kembali lagi ke kantor sampai malamnya. (Buat Bos, sorry kalo sedikit bolos! Hehe...)

Toh tujuan pergi ini adalah baik. Satu, untuk refreshing semua pribadi anggota tim. Bahkan yang saya ajak bukan hanya dari tim kantor baru, tapi juga tim dari kantor lama. Kedua, ada tujuan untuk mempererat tali silaturahim antar keluarga pekerja. Karena itu pula, syarat ikut kegiatan ini adalah : mengajak keluarga! Hehe...

Saya pingin antar anggota keluarga saling kenal, saling mengerti dan memahami sekilas aktivitas di kantor, hingga pada akhirnya justru bersama-sama mendukung pasangannya yang bekerja. Juga dengan anak-anaknya. Saya pingin mereka saling mengenal.

Ketiga, ini juga "katarsis" bagi kantor-kantor yang kadang melupakan aspek refreshing-isme (halah, apa itu?!) untuk pekerjanya. Padahal, refreshing itu penting lho!

Nah, bagi saya sendiri, ya sekalian uji fisik tadi. Siapa sih, yang betah sakit berlama-lama?

Tapi, untuk antisipasi supaya tak kecapekan, saya ajak seorang joki setir alias driver. Saya ajak juga seorang security kantor. Siapa tahu saya perlu digotong...(hus! kagak boleh bilang begitu.... pamali!). Astagfirullah. Enggak kok. Saya ajak sang security untuk menemani bobok sang driver... (lhah, apa nggak lebih parah ini? Hehe...)

Ya udah lah. Posting ini hanya bersifat laporan. Pelajarannya kagak ada. Mudah-mudahan sepulang dari sana, banyak hikmah positif yang bisa saya sharing.

OK? See you next!


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : foto istri (baju ijo) dan adiknya sewaktu refreshing di tempat yang sama tahun lalu.

SEKEDAR KISAH TENTANG SAKIT


Akhirnya aku benar-benar sakit. Kalau aku bilang aku sakit, itu berarti aku sudah benar-benar "takluk" akan ketidakberdayaan badan ini untuk beraktivitas. Kalau cuma pusing, migrain, mual, capek, pegel, panas dingin, dan sebagainya yang bagi orang lain sudah berarti 'sakit", mungkin bagi saya itu "belum sakit".

Seperti kataku pada kawan Nur Mursidi, sakitku itu lebih karena ke-superndableg-anku. Anda tahu arti "super ndableg"? Ndableg itu ngeyel, bebal, nggak mau mengerti, nggak mau nerima masukan, ehm... apa lagi ya? Pokoknya gitu deh. Super itu sendiri berarti "banget".

Pendek kata, pokoknya aku ngeyelan banget soal sakit. Dokter bilang bahwa aku sakit, aku merasa tidak. Tepatnya "belum". Dokter bilang aku harus istirahat, aku tetap saja ngantor. Ngeyel. Ndableg.

Beberapa tahun terakhir, setidaknya ada tiga kasus kesuperndableganku itu.

Pertama, pada tahun 2003. Pada waktu itu, aku sudah merasa demam, panas tapi menggigil, keringat dingin selalu keluar dan pusing selama seminggu lebih. Aku nggak mau ke dokter, meski sudah dipaksa istri. Aku tetep ngantor. Waktu itu, aku masih di kantor Solo.

Sampai suatu ketika --aku masih ingat itu hari Rabu-- aku masih nekat ngantor. Kerjaan yang cukup banyak dan membutuhkan kecepatan kerja, coba kulaksanakan sebaik-baiknya.

Jam baru menunjukkan pukul 10 pagi, ketika bajuku mulai basah kuyup di dalam ruangan kantor yang ber-AC itu. Keringat dingin. Badan mulai gemetar. Bergetar. Pandangan mulai kehilangan fokus. Memudar.

Kawan-kawan seperjuangan (bukankah kawan-kawan sekantor sama-sama sedang berjuang menuju sebuah tujuan bersama? hehe) yang melihat aku limbung, padha berteriak, "Jar, kenapa kamu?"

Mereka berduyun mendatangiku, yang bahkan tak mampu menjawab pertanyaan mereka.

"Masya Allah, kamu basah kuyub begini!"

"Ya ampun, Jar... panas banget badan kamu!"

Tak lama kemudian, dalam sebuah gerak cepat, seorang sopir dan satpam membawaku ke mobil dinas (boleh dibayangkan seperti seorang bandit yang ketangkep security kok, hehe...), dan segera saja meluncur ke rumah sakit.

Sampai ke rumah sakit, masuk UGD, dan akhrinya saya ditetapkan sebagai pasien mondok rawat inap, dengan vonis diagnosa : Thypus level menengah! Ya, aku dianggap telat berobat...

Walhasil, hampir dua minggu aku harus opname, masih ditambah istirahat total di rumah sehampir dua minggu juga. Genaplah satu bulan aku libur. Alhamdulillah, Tuhan masih sayang, sehingga walaupun telat berobat, aku masih diberi kesembuhan.

Kejadian kedua, tahun 2005. Waktu itu, aku masih lajo Solo-Surabaya tiap minggu. Kantorku ada di Gresik.

Suatu ketika aku merasa sakit. Pergilah aku ke dokter. Dokter yang juga merawatku ketika aku thypus waktu itu. Waktu itu malem Minggu. Menurutnya, sakitku cukup parah, sehingga aku diminta bed rest selama seminggu. Beliau kasih aku surat keterangan sekaligus surat untuk ijin ke kantor, sembari berpesan, "Istirahat total. Ingat!"

Tapi, dasar superndableg, besok malamnya, aku tetep berangkat ke Surabaya, dan tetep ngantor di Gresik. Seminggu full aku tetap masuk. Hasilnya, sakitku tak kunjung hilang. Ketika Sabtu berikutnya aku balik ke Solo, aku kembali berobat ke dokter yang sama.

"Belum sembuh, Dok...," kataku memelas.

Dokter memeriksaku. "Kamu nggak bed rest ya?" tanyanya curiga.

Malu dan tersipu, aku mengangguk.

"Kamu ini ngeyelan kok," kata dokter bersungut. Dokter ini memang sudah cukup akrab, sehingga sudah kayak bapak ke anaknya kalau ngomong.

"Gini aja. Saya beri surat keterangan istirahat untuk seminggu lagi, tapi kamu harus benar-benar istirahat. Jika tidak, minggu depan jangan datang ke tempat saya lagi!" kata beliau tegas.

Wah, wah.. baru kali itu aku diancam dokter.

Ya wis, aku mengangguk.

Beruntung, kali itu Tuhan lebih "memihak" saya, karena meskipun saya tetep ndableg masuk kantor dan mengabaikan perintah si dokter untuk istirahat, sakitku berangsur ilang. Hehe...

Kisah tentang sakit yang terakhir ini, sebenarnya sudah dimulai sejak hari Senin. Senin itu sebenarnya aku sudah over capasity. Aku sudah nggak mampu. Super capek, dan kurang tidur akibat perjalanan darat yang kami lakukan malam hari.

Aku bahkan sudah cuek tidur di kantor Senin malam itu, sampai ketika aku bangun, tinggal seorang cleaning service dan dua orang security yang piket.

Selasa, kondisi makin parah. Ya dasar aku, nekat. Rabu, tidak juga membaik, sampai aku merasa nggak kuat benar-benar. Jam 11, aku undur diri. Pulang cepat. Diketawain ama bos. Ketika aku bilang, aku muntah-muntah, beliau bilang, "Hamil kali, kamu." Pas bertemu sebelum aku pulang, beliau bilang, "Anak muda kok pileren..." Hehe. Begitulah kalo bosnya gaul. :)

Siang itu aku langsung ke rumah sakit. Aku dicurigai antara thypus, atau demam berdarah. Bahkan malaria, karena aku baru pulang dari Sumatera. Sehingga, aku langsung diminta test darah di lab. Ya wis, aku test. Alhamdulillah, bukan itu sakitku. Hanya LED-ku yang tinggi. 19, dari yang seharusnya antara 0 - 10. Plus diagnosa Thypus BH yang positif, sementara Thypus O-nya negatif.

Aku diminta istirahat 3 hari ke depan. Kemarin aku sudah nggak masuk. Tapi hari ini aku mau masuk, meskipun belum sembuh bener. Aku telanjur janji untuk berkunjung ke nasabah-nasabah yang cukup besar, di Bogor dan arah Bogor sana.

Yach, aku memang ndableg. Doakan saja aku kuat ya? Amien...
(Duh, dramatis bener... hehe)


Salam,
dengan sebuah pesan : jangan tiru aku! :)

Fajar S Pramono


Ilustrasi : www.cartoonstock.com

BEING OR HAVING


Dari sebuah data lama milik John Naisbitt dan Patricia Aburdene yang dikutip Wandi S Brata dalam Be Wero-nya (2003), terkuak kenyataan bahwa "mitos" di mana orang Barat lebih mementingkan having daripada being dalam bekerja adalah salah.

Secara sederhana, having adalah sebuah konteks ke-materialisme-an. Keinginan untuk memiliki materi. Sementara being, lebih pada keinginan berkonteks spiritual, yakni "dimanusiakan".

Mitos tentang orang Barat itu konon berkebalikan dengan mitosnya orang Timur. Kata si konon, orang Timur itu mementingkan being daripada having.

Sementara mitos yang pragmatis dan sangat realistis, justru mitos dari orang Cina. Kalau untuk orang Cina, sebisa mungkin being by having, dan having by first being.

***

Kesimpulan Wandi S Brata di buku itu sendiri berintikan bahwa sesungguhnya having itu penting, karena ia menjadi salah satu sumber motivasi dalam hidup.

Namun, saya tidak akan mengantar Anda ke arah kesimpulan itu, yang berarti saya sekedar menyalin tulisan Wandi ke postingan ini.

Tidak. Saya justru akan berhenti pada data John Naisbitt dan Patricia Aburdene yang dipublikasikan dalam Reinventing the Corporation (1985) itu.

Data lama itu menyebutkan, tentang apa yang membuat orang-orang merasa puas di tempat bekerja. Rupanya, setidaknya ada 13 faktor teratas yang menjadi pendapat para respondennya :

(1) bekerja dengan prang yang memperlakukan saya dengan hormat

(2) pekerjaannya menarik

(3) pengakuan terhadap kinerja yang baik

(4) kesempatan untuk mengembangkan diri

(5) bekerja pada orang yang ingin tahu saya punya ide apa untuk meraih prestasi bersama

(6) kesempatan untuk berpikir sendiri, dan tidak melulu mengikuti petunjuk

(7) paham rentetan pekerjaan dan dapat melihat hasil akhir dari sesuatu yang saya lakukan

(8) bekerja bagi pimpinan yang efisien

(9) pekerjaannya tidak terlalu mudah

(10) merasa tahu apa yang sedang berlangsung di dunia dan tempat kerja

(11) keamanan kerja

(12) gaji tinggi

(13) manfaat pribadi

Lihatlah. Bahwa ternyata, faktor-faktor yang berkategori having ada di nomor bontot : nomor 11 sampai dengan 13! Sementara faktor pertama sampai dengan ke-10, seluruhnya merupakan faktor-faktor dalam kategori being.

Apa artinya? Ya, bahwa orang yang bekerja selalu mementingkan dirinya untuk "dimanusiakan", diuwongke --kata orang Jawa, dan diakui eksistensinya sebagai manusia yang bekerja dalam perusahaan. Sementara keuntungan pribadi, merupakan prioritas pilihan yang kesekian.

Karena itu pula, kita sering mendapatkan betapa loyal seorang pekerja dalam sebuah perusahaan, kendati dalam hal salary ia bisa saja mendapatkan yang lebih di tempat lain.

Perlu diingat juga, bahwa "kenyamanan kerja" juga tidak identik dengan pekerjaan yang gampang. Lihat point (9) data tadi. Orang justru suka pekerjaan yang "tidak telalu mudah", karena secara hakiki, seseorang pasti ingin menunjukkan segala yang ia bisa. Segala potensi yang ada dalam dirinya.

***

Apa pelajaran yang bisa kita petik dari data itu?

Jika Anda pemimpin, pimpinlah orang-orang dalam tim Anda sebagai seorang manusia utuh. Seseorang, yang justru akan lebih bahagia jika dimanusiakan, daripada sekedar mendapatkan materi tinggi tapi harus menelan kesewenangan dan merelakan harkat martabatnya diinjak dan diperdaya.

Jika Anda pemilik bisnis, seorang pengusaha, maka perlakukan karyawan Anda sebagai manusia yang tanpa-nya, usaha Anda tidak akan sebaik dan semaju sekarang.

Jika Anda pemimpin ataupun pengusaha, maka perlakukan klien Anda, customer Anda, pelanggan Anda, tamu Anda dan siapapun yang berhubungan dengan Anda dengan pendekatan kemanusiaan.

Having, memang tidak kalah penting daripada being. Tapi ia bisa menjadi tak berarti manakala ke-being-annya tak didapatkan. Syukur-syukur, seperti mitosnya orang Cina yang diamini Wandi, kedua-duanya bisa diperoleh.

Bukan begitu?

Ya iya lah... masa ya iya dong.
Duren aja dibe-lah, bukan dibe-dong....


Salam,

Fajar S Pramono


NB :
Badan lagi sakit neh. Penyakit lama kambuh : terforsir. Jadinya, kecapean deh. Kamis sampai Jum'at malam di Pekanbaru. Full agenda. Balik Jakarta, dua jam kemudian --malam itu juga-- langsung berangkat ke Solo dengan kendaraan sendiri. Pulang Senin pagi, langsung dihajar tumpukan pekerjaan. Tapi gak papa, selama saya masih "dimanusiakan" ama perusahaan... hahaha!

Ilustrasi : www.odyssei.com

TERNYATA, MEMANG HANYA DUA PERSEN!


Judul posting ini, sengaja saya buat bombastis. Sekalian juga, untuk mengingatkan pada postingan akhir bulan lalu (31/10). Bahwa ternyata, saya menemukan "testimoni" lain tentang fenomena 2%, yang bahkan lebih "parah" daripada prinsip Pareto 80:20 itu.

Lebih parah? Iya dong, karena dalam "teori" 2%, perbandingannya tidak lagi 80:20, tetapi menjadi 100:2. Artinya, seluruh peluang yang sesungguhnya tersedia untuk 100 orang, pada akhirnya hanya diperoleh oleh 2 orang yang "berhasil".

"Testimoni" itu saya temukan di buku Raise You Up yang ditulis oleh Hendrik Lim, M.B.A. Di halaman 9 buku itu tertulis "Dalam dunia life insurance, umumnya hanya sekitar dua orang dari 100 orang "peserta lomba" yang sampai ke garis finish, sisanya berguguran di tengah jalan, demikian juga dalam dunia direct selling lainnya."

Cukilan di paragraf selanjutnya : "Premis ini juga berlaku dalam bidang apa pun dalam kehidupan ini, baik itu sebagai penyanyi, pemain sepak bola, pencipta musik, engineer, ahli komputer perancang software, dokter kulit, pengacara, pendeta, arsitek dan lain-lain. Selalu ada satu dua orang dari antara seratus orang yang kebanjiran order dan kelebihan permintaan, sehingga mereka memasang harga tinggi untuk menekan permintaan. Sementara itu, yang lain malah menurunkan harga untuk merangsang permintaan. Terdengar aneh?"

So, tantangan untuk menjadi yang "dua persen" itu semakin nyata. Anda berani?


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : Vilfredo Pareto 1848-1923, dari www.ehcweb.ehc.edu.

LUAR BIASA, CAK EKO!


"Pak Fajar mhn ijin nama bpk utk endorsement buku saya yg ke 4 judulnya: kiat menggapai suskes dgn modal tekad dan sedekah. Tks"
Itu bunyi sms Cak Eko, hari Senin (03/11) jam 15.57.12 lalu.

Penggalan jawaban saya : "Ck ck ck... luar biasa, Cak Eko ini. Baru hari Minggu kemarin saya beli buku ke-3 itu di Gramedia, sekarang sdh siap terbit lagi buku yg ke-4."

Ya, bagi saya, pencapaian Cak Eko luar biasa. Bukan saja di bisnis bakso, soto dan ayam bebek gorengnya yang melesat, tapi juga di ranah kepenulisannya.

Di dunia kepenulisan, tadinya seolah "bukan siapa-siapa", sampai kemudian September 2007 ia menelorkan satu buku Resep Paling Manjur Menjadi Karyawan Kaya Raya, disambung buku ke-2 15 Jurus Antirugi Buka Usaha Rumah Makan di Juli 2008, lalu --dengan percepatan yang menurut saya luar biasa-- me-launching buku ke-3 hanya 2 bulan berikutnya "Obat" Paling Mujarab Sembuhkan Penyakit Penyebab Kebangkrutan Usaha. Dan sekarang, ia sudah siap dengan materi buku ke-4! Tambahan lagi, semua itu diterbitkan oleh Elex Media Komputindo, sebuah penerbit besar yang tentunya tak sembarangan menerima naskah penulis!

Hanya butuh beberapa jam untuk membaca materi buku Cak Eko, untuk kemudian saya kirimkan endorsement. Kebetulan, saya terus mendapat kepercayaan dari Cak Eko untuk memberi "testimoni" tersebut sejak buku ke-2 nya.

Ketika saya tanya, bagaimana ia memiliki "energi" yang luar biasa ini, di tengah kesibukannya mengurusi usaha waralaba Bakso Malang Kota "Cak Eko" yang sudah mencapai 85 outlet, Soto Ayam Jolali-nya yang sudah 8 outlet, Ayam Bebek Goreng "Cak Tri"-nya yang sudah 3 outlet, dan kesibukannya sebagai manajer di sebuah lembaga BUMN, ia hanya menjawab, "Kalau sudah diniatkan bulat dari hati, energi itu akan selalu ada, Mas."

Cuma itu jawaban Cak Eko. Singkat dan sederhana sekali kosa katanya : niat kuat dari hati.

Tapi, justru kekuatan niat inilah yang ternyata seringkali belum dapat kita miliki di "lapangan". Niat yang kuat, semestinya menciptakan ketegaran dan energi yang berlipat dan powerfull.

So, ketika kita merasa "gamang", kurang percaya diri, ragu, takut gagal dan sejenisnya yang menghambat pencapaian sebuah mimpi, memang ada baiknya kita tengok lagi ke dalam diri kita : seberapa kuat sebenarnya niat kita.

Mungkin itu. Saya merasa terlecut dengan kalimat sederhana Cak Eko tadi, dan semoga, Anda juga demikian.


Salam introspeksi,

Fajar S Pramono

NB : Untuk Cak Eko, salut luar biasa! Sukses terus untuk Sampeyan! :)


Ilustrasi : http://i5.photobucket.com

"ORANG YANG LAIN" DALAM DIRI KITA


Dari Raise You Up-nya Bung Hendrik Lim, penyadaran yang lebih dalam terkuak. Beliau mengajak kita berkaca, adakah kita memiliki "saudara kembar" yang belum kita kenal di dalam diri kita sendiri?

"Saudara kembar" itu adalah "orang yang lain", namun sesungguhnya adalah diri kita dalam potensi kemampuan yang sesungguhnya.

Pernahkan kita dikejar deadline, sehingga dalam satu malam kita bisa menyelesaikan sebuah makalah tebal yang menurut kita sungguh representatif dan komprehensif untuk disajikan keesokan harinya?

Pernahkan kita tersadar, bahwa sesungguhnya kita bisa berlari lebih kencang ketika ada kejaran anjing tetangga di belakang kita?

Dari cerita Adi W Gunawan --pakar motivasi--, ada seorang pelatih renang yang menggunakan buaya untuk memacu kecepatan atlet-atlet renang binaannya. Hasilnya? Hampir semua atletnya memecahkan rekor kecepatannya masing-masing.

Orang-orang yang mengamini dan bahkan memperoleh keberhasilan dari teori "The Power of Kepepet", sesungguhnya telah memiliki bukti nyata bahwa dalam diri terdapat idle capasity yang masih bisa digunakan oleh setiap kita.

Pertanyaan introspektifnya :

- sudahkah kita mengetahui bahwa ada "orang yang lain" dalam diri kita itu?

- sadarkah kita bahwa sesungguhnya kita memiliki "kemampuan lebih" yang belum kita berdayakan itu?

- tahukah kita bahwa apa yang mewujud dalam keseharian kita, barulah sekedar "gunung es" yang muncul di permukaan air?

- adakah niat dalam diri kita untuk segera memberdayakan idle capasity itu dalam pekerjaan dan aktivitas kita sehari-hari?

- mampukah kita mengundang "saudara kembar" kita itu tanpa harus didorong adanya "ancaman" (motivasi eksternal) yang "membahayakan" hidup kita?

Sudah ataupun belum, tak ada salahnya kita bercermin lagi.


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://img.photobucket.com

APA ARTI SEBUAH NAMA?


Dalam blognya, Bang Eben Ezer Siadari menulis "reportase" dan kesan beliau ketika "brunch" di Warung Joe. Tak jelas apa nama warung itu yang benar, tapi orang memang mengenalnya dengan sebutan "Warung Joe". Joe sendiri adalah nama penjaga warung kopi dan mie instan di bilangan seputar Kramat dan Kwitang itu.

Tak sekedar nama warung yang tak jelas, bahkan, Bang Eben pun tak tahu siapa nama Joe yang sebenarnya. Sutarjo, Bejo atau Karjo? Entahlah. Ketiga nama itu pun sekedar tebakan dari Bang Eben sendiri.

Minggu lalu, juga dalam blognya, sastrawan Binhad Nurrohmat berkisah tentang Warung Alex. Sebuah warung di dalam kompleks Taman Ismail Marjuki (TIM), di mana sebutan "Warung Alex" mengalahkan nama warung yang sebenarnya : Pondok Rasa Cipta Selera.

Saya juga jadi ingat, bahwa beberapa kedai makan "legendaris" di seputar kampus saya di Solo dulu sesungguhnya adalah warung "tanpa nama resmi". So, di tempat Bu Marsih, kita menyebutnya "Warung Mbak Manis", karena pemiliknya yang dianggap manis. Ya manis orangnya, ya manis pelayanannya. Atau, jangan-jangan sebutan ini timbul karena masakannya yang manis ya? Hehe.. entahlah.

Persis di sebelah kantor yang lama, nama "Warung Uda" pun justru lebih terkenal daripada nama resminya yang "Roda Jaya". Nama "Bun Pin" sebagai pemilik toko obat, lebih terkenal daripada nama "xxx Farma" yang terpampang jelas di papan besar di tembok depan tokonya. Lalu, kendati sudah tidak menjahit sendiri, nama "Mang Kos" jauh lebih populer dibanding nama resmi "Penjahit Tasikmalaya". Kedua contoh terakhir ini ada di kampung saya, di Kutoarjo sana.

So, apa artinya? Saya tak tahu, apakah dalam konteks business branding seperti ini pula, kata-kata Shakespeare "Apa arti sebuah nama?" juga berlaku?

Tapi benar, banyak terjadi di jajaran bisnis usaha ritel perorangan, nama "brand" lebih identik dengan nama-nama key person-nya. Memang, "brand" dalam konteks ini bukan berarti "merek", namun lebih bermakna "nama usaha atau perusahaan."

Tapi, bukankah nama-nama itu yang sesungguhnya ingin dipopulerkan, sehingga penamaan usaha atau perusahaan itupun tidak dilakukan dengan gampang, apalagi sembarangan?

Jadi, apa kesimpulannya?

Begini saja. Kita sederhanakan kesimpulannya : bahwa performance seorang key person usaha, baik karakter orangnya, gaya pelayanannya, strategi pemenuhan kepuasan pelanggan dan bahkan kedekatannya dengan pembeli atau pelanggan sangatlah menentukan. Ia justru menjadi faktor kunci untuk usaha-usaha dibanding nama-nama "bombastis" yang seringkali dijadikan langkah branding dalam strategi pemasarannya. Di samping kualitas produk dan kualitas layanan jasa itu sendiri tentunya.

So, itu pula yang membuat banyak orang lebih senang menggunakan namanya sendiri sebagai nama usaha, atau bahkan nama merek produk yang dihasilkannya.

Anda punya pendapat lain?


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : www.leadingedgealliance.com

OVER, ATAU UNDER VALUE-KAH ANDA?


Kehormatan besar, Jum'at siang lalu saya mendapat undangan makan siang dari Pak Thomas Sugiarto. Masih ingat siapa beliau?

Ya, Pak Thomas adalah motivator dan penulis buku Your Great Success Starts from Now!, yang menurut penulisnya tengah masuk pada edisi ketiga. Luar biasa.

Undangan makan siang di sebuah restoran Jepang di kawasan Thamrin tersebut tentunya tidak saya sia-siakan. Bukan masalah makan atau menu Japanese yang ada, tapi karena satu keyakinan : bakal ada pencerahan yang bisa saya peroleh dari beliau.

Benar juga.

"Pak Budi, Pak Fajar," katanya membuka obrolan. Oya, saya memang sengaja mengajak seorang kawan, Pak Budi Cahaya, karena rasanya sayang kalau "daging" (meminjam istilah Uda Roni untuk menyebut "ilmu yang bermanfaat") yang saya yakini bakal terhidang itu saya makan sendiri. Harus ada orang lain yang turut memperoleh pencerahan.

"Kalau Bapak punya asset --ruko, katakanlah-- senilai 1 milyar rupiah, berapa bisa Bapak dapatkan dari sana? Semisal, dengan disewakan?" lanjut Pak Thomas.

"Minimal 50 juta. Bisa sampai 100 juta per tahun," jawab saya. Saya hanya mengandalkan ilmu kasar bahwa nilai kontrak rata-rata pertahun adalah seperduapuluh sampai sepersepuluh dari nilai asetnya.

"OK," kata beliau. "Kalau di bawah 50 juta, berarti itu under value atau over value?"

"Under value!" jawab saya mantap.

"OK. Kita tetapkan, 50 juta ya?"

Kami mengangguk.

Lalu dia berkisah, "Kemarin di Rumah Sakit Gleneagles, saya bertemu dengan orang kaya yang sedang berobat ginjal. Ginjalnya yang satu tak berfungsi. Pak Fajar atau Pak Budi ada berencana menjual ginjalnya?"

Saya dan Pak Budi terkejut, saling melirik, dan sejurus kemudian, kami menggeleng bersama.

"Dia siap bayar 1 milyar, Pak!" kata Pak Thomas lagi.

Kami tetap menggeleng.

"Dua milyar?" beliau bertanya lagi.

Kami tetap keukeh. Tetap menggeleng.

"Lima milyar, Pak! Itu harga maksimal yang dia sanggupi. Bagaimana?" Pak Thomas terus bertanya.

Dan kami tetap menggeleng.

"Ya udah. Nggak papa. Lalu, Pak, di rumah sakit yang lain saya juga ketemu dengan seorang penderita kanker hati. Ia sedang butuh hati untuk transplantasi. Anda berminat menjual hati Anda?"

Pertanyaan Pak Thomas yang sama mengejutkannya dengan pertanyaan sebelumnya itu, tetap kami jawab dengan gelengan kepala. Tanpa suara.

"Dia juga sanggup membayar 5 milyar, Pak!" lanjutnya.

Kami terus saja menggeleng. Bahkan kali ini saya menyahut, "Berapapun tak akan saya jual, Pak!"

Pak Thomas tersenyum. Sambil mengangkat kedua bahu dan tangannya, beliau berujar. "Berapa sesungguhnya harga kita?"

"Saya baru menyebut dua asset yang ada di tubuh kita, dan nilainya sudah mencapai 10 milyar. Itu pun belum mau Anda lepaskan. Saya belum bicara asset yang lain. Mata? Hidung? Telinga? Jantung? Mau dihargai berapa?" kalimat tanya terus mengalir dari bibir Pak Thomas.

Melihat kami semakin diam, beliau mencoba menyimpulkan apa sesungguhnya yang mau beliau sampaikan.

"Nah, kalau dengan asset yang hanya 1 milyar saja kita berani mentargetkan 'pemasukan' sebesar 50 juta pertahun, berapa target yang bisa kita raih dengan nilai asset yang jauh lebih besar yang ada di tubuh kita ini?"

Masya Allah! Kami tercekat. Jakun di tenggorokan ini seolah sukar digerakkan. Suara desah dari hembusan nafas, justru yang terasa mendominasi suasana.

Tatapan mata Pak Thomas menyapa mata kami berdua.

"Lima puluh juta dari ruko, itulah value yang kita harapkan. Itulah target 'nilai' dari asset ruko kita."

Sejenak diam, menarik nafas, beliau melanjutkan. "Nah, dengan asset tubuh kita yang luar biasa besar nilainya ini, berapa value yang mestinya kita tetapkan? Lantas, berapa hasil atau nilai yang telah kita dapatkan sekarang ini? Sudah memenuhi value, over value, atau masih under value?"

Dua pertanyaan yang "menohok" kesadaran kami, diberondongkan.

Kami diam semakin dalam. Kepala semakin tertunduk, dan seolah terhipnotis (istilah dari Pak Budi), mata kami tak kuasa melawan sorot mata Pak Thomas.

"Gimana? Over value, atau under value?" pertanyaan yang menohok tadi, ditegaskan kembali.

Frekuensi anggukan kepala kami semakin tinggi, sampai akhirnya keluar pengakuan dari mulut kami berdua. "Under value, Pak...," kata kami lirih.

"Tahu yang saya maksudkan?" tanyanya kemudian, setelah hening beberapa saat.

Mengamini anggukan kepala kami berikutnya, Pak Thomas melanjutkan.

"Potensi kita sesungguhnya luar biasa. Sangat besar. Tinggal kita, mau memberdayakan seluruh aset ini, atau cukup puas dengan kondisi yang sekarang ini ada pada kita?" kesimpulan bernada tanya kembali keluar dari bibir Pak Thomas.

Ah, saya semakin merasa "konyol". Seringkali merasa "puas", bahkan merasa "sukses", padahal semua itu masih jauh dari apa yang seharusnya bisa diperoleh. Keyakinan akan potensi itu menjadi sangat nyata terasa, dan menerbitkan optimisme baru secara tiba-tiba.

Ah, saya semakin malu, dan mendadak kehilangan kata-kata. Kehilangan inilah, yang juga membuat saya kehabisan kata untuk mengakhiri postingan ini...


Salam pencerahan,

Fajar S Pramono


Ilustrasi :http://melbrook.co.uk

PERTANIAN, UMKM DAN KISAH ANAK YANG TERLUPAKAN


Krisis keuangan Amerika bukan lagi sekedar ancaman bagi kondisi ekonomi negeri kita. Ia telah menjelma menjadi sebuah "wabah" dalam kedomestikan Indonesia, yang efeknya telah nyata-nyata dirasakan bersama.

Anjloknya indeks harga saham, membubungnya nilai tukar dollar terhadap rupiah, melesatnya suku bunga kredit, mengemukanya gejala rush yang akan mempengaruhi likuiditas bank, pembatasan ekspansi kredit atas usaha-usaha tertentu, pengetatan transaksi devisa dan derivatif, sungguh bukan hal yang ringan untuk dihadapi.

Dan sektor mana yang paling terpukul? Lagi-lagi, ingatan krisis moneter sepuluh tahun lalu, 1997/1998, mengedepan. Sektor industri dan perusahaan skala besar lah yang mendapat tamparan terkeras dari tsunami keuangan itu.

Dan sekarang? Jas bukak iket blangkon. Sama juga' sami mawon. Lagi-lagi, sektor industri dan perusahaan skala besar yang paling cepat merasakan hawa panas dari krisis tahun ini.

Dan, persis juga kejadian sepuluh tahun lalu, di tengah "derita" yang dialami sektor industri dan perusahaan skala besar, pemerintah, kalangan usaha, dan setiap orang baru ngeh untuk menengok sektor ekonomi yang terlupakan : sektor pertanian dan UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah). Seluruh pihak seolah baru ingat, bahwa ada sektor dan skala ekonomi yang selama ini sesungguhnya sangat kuat, eksis dan terus menghasilkan, bahkan terbukti mampu melewati krisis dengan masa kebangkitan tercepat.

Baca saja koran seminggu belakangan ini. Tidak saja kepedulian berbagai pihak terhadap sektor pertanian dan UMKM yang mengemuka, namun justru setingkat lebih tinggi, yakni harapan yang pada akhirnya digantungkan pada pundak kedua sektor dan skala ekonomi yang lebih sering "terlupakan" manakala kondisi ekonomi berjalan "normal".

Ini tak ubahnya kisah seorang anak yang terlupakan oleh orang tuanya. Selama ini, sang orang tua hanya memberi perhatian besar kepada anak-anaknya yang dianggap tampil paling cantik, paling ganteng, berpenghasilan besar, sehingga sering menganaktirikan anaknya yang (dalam pandangan sang orang tua) berwajah "biasa-biasa" saja, tidak banyak berkontribusi terhadap kantong uang orang tua, bahkan kadangkala "memalukan" untuk ditampilkan di muka kawan-kawan, namun sesungguhnya secara kontinu bergerak maju dan tegar terhadap segala ancaman, sehingga layak dibanggakan dan bahkan didukung perkembangannya.

Ah, mungkinkah semua ini lahir dari kecenderungan sifat bawaan lahir seorang manusia? Kemanusiawian dan kealamian manusia kah, dalih semua ini?

Mungkin saja.

Pengelola negara memang manusia. Tapi, negara ini adalah sistem, dan pengelolaan ekonominya membutuhkan aspek manajemen serta profesionalitas yang tinggi. Ia tidak boleh terbawa arus sifat manusia yang hanya senang kepada glamouritas dan gebyar tampilan semata, kendati pengelolaannya tetap harus mengedepankan sisi kemanusiaan.

Dan bahkan, dari sudut kemanusiaan, semestinya semua anak diperhatikan sesuai porsi yang seharusnya. Tak boleh ada yang terlampau berlebihan, karena perhatian yang berlebihan itu akan mengakibatkan kekurangperhatian untuk anak yang lain. Tidak juga harus sama rata, karena sekali lagi, anak butuh porsi perhatiannya masing-masing.

Masalahnya, yang terjadi sekarang ini adalah ketimpangan perhatian. Seorang anak diperhatikan secara over, sementara anak yang lain di bawah batas perhatian yang seharusnya. Baru ketika si anak yang disebut pertama dirasa "mengecewakan", sang orang tua baru melirik anak yang selama ini kurang diperhatikan, untuk kemudian diberi "beban" yang berat ikut menanggung hasil negatif dari kelakuan si anak yang "mengecewakan" tadi.

Pertanyaannya : adilkah? Kapan pemerintah akan "berubah"? Haruskah sektor pertanian dan UMKM selalu menunggu dulu datangnya wabah bencana finansial untuk memperoleh perhatian yang cukup?

Sungguh, kasihan mereka.


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : www.diperta.jabarprov.go.id