Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

KEMARUK


Apa ya, terjemahan paling pas untuk kata "kemaruk" dalam bahasa kampung kami? "Berlebihan", mungkin.

Tapi, hmm..., sebenarnya kurang pas juga. Mungkin lebih tepat "mencoba memenuhi hasrat yang besar, namun tanpa melihat kemampuan atau kondisi yang ada" (lhah, kok panjang gini translate-nya? hehe...).

Pokoknya begitulah. Atau, enaknya pakai contoh.

Beberapa hari yang lalu, saya mencoba salah satu tujuan wisata kuliner di daerah Tebet. Namanya Rumah Makan "Eling-Eling", yang menyajikan makanan khas Banyumas-an. Kebetulan, saya membaca feature tentang rumah makan ini di halaman Food & Beverage, harian Media Indonesia Minggu (25/01/09).

Ada satu yang membuat saya "ngiler" ketika membacanya : tempe mendoan! Wuih, saya suka banget makanan "setengah mateng" ini. Tempe tipis yang biasanya memang dibuat khusus untuk mendoan, lebar dan panjang (baca : luas, hehe...), dibalut adonan tepung beras, tepung terigu, ketumbar, merica dan bawang putih. Hmmm... nyam nyam pokoknya.

Dasar sudah lama nggak makan mendoan "asli", begitu duduk, saya langsung memesannya.

"Satu porsi, Pak?" tanya sang pelayan.
"Satu porsi isi berapa?" saya balik bertanya.
"Satu porsi isi sepuluh. Pesan satuan juga bisa," jawab sang pelayan ramah.
Berpikir sejenak, dan dengan dorongan "emosi" akan nostalgi, dengan tegas saya katakan, "Satu porsi!".

Sang pelayan mengangguk, dan mencatat pesanan itu. Dilanjutkan dengan pesanan lainnya, seperti sroto daging telor, ketupat, es jeruk, sambil tak lupa menjamah rempeyek kacang yang "Jawa banget" di meja.

Pesanan sroto datang beserta ketupat. Saya cicipi sambil ngemil rempeyek. Tak lama kemudian datanglah sang mendoan. Dan tahukah Anda, seberapa banyak ternyata yang namanya "satu porsi" itu?

Satu piring datar besar, dengan sajian yang tinggi menjulang!

Dhuueng...!!! Bener-bener banyak, pembaca! Padahal, kami cuman bertiga. Bahkan, satu di antara kami adalah seorang kawan perempuan, yang tentunya tak biasa makan se-"rakus" kami yang laki-laki. Kedua kawan saya juga terkejut bukan kepalang, karena memang mereka tak tahu bahwa saya memesan satu porsi.

Membayangkan sebegitu banyak makanan tersaji di depan kami, saya langsung merasa kenyang. Kalau ada pameo "kalah sebelum bertanding", maka saya menjadi "kenyang sebelum bersantap", hehe.

Dus, sroto dan ketupat saya singkirkan. Rempeyek yang masih separo saya jauhkan dari hadapan, dan saya ganti dengan piring kosong untuk menyantap mendoan.

Satu mendoan, begitu nikmat. Sroto hanya tersentuh kuahnya, sebagai penghantar rasa seret di tenggorokan. Ketupat? Untouchable. Bukan tak bisa tersentuh, tapi yang pesan malas menyentuh.

Mendoan kedua, masih nyamleng. Hmmm...

"Pak, srotonya kok nggak jadi dimakan?" kata kawan.

"Nanti, setelah mendoan ini habis," kata saya sok gaya.

Habis sudah mendoan kedua. Perut yang "sudah kenyang duluan" tadi, terasa benar-benar sesak. Ilfil (ilang feeling) sudah dengan sroto, apalagi ketupatnya.

Karena nafsu, saya ambil lagi mendoan ketiga.

Apa yang terjadi? Seenak-enaknya sang mendoan, kalau perut sudah "angkat tangan", ya sangat susah dan amat payah saya berusaha menelannya.

Sementara kedua kawan yang sudah menghabiskan sroto plus ketupat dan nasi masing-masing, hanya mampu "membantu" saya menghabiskan sang mendoan, masing-masing satu biji.

Dhess. Mau diapakan "seonggok" mendoan yang masih sebegitu banyak itu? Yach, tak ada yang lebih bijak, kecuali membungkusnya. Masih dengan keinginan sanggup menghabiskan nantinya.

Yang terjadi, sampai sore ketika balik ke kantor, bungkusan mendoan itu tak sanggup tersentuh. Pilihan bijak berikutnya, dipersilakan kepada temen-temen security untuk mencicipi mendoan yang pastinya sudah dingin dan tak seenak ketika masih panas. "Kasihan" ya, mereka... hehe. Mestinya mereka juga berhak atas sajian yang hangat seperti yang saya makan tadi.

Nah, cerita yang begitu panjang tadi adalah "terjemahan" dari kemaruk. Nafsu yang besar, tapi tenaga kurang. Hanya keinginan emosional, tanpa melihat kondisi dan kemampuan.

Sama, dengan ketika saya pulang kantor, sudah di atas jam 10 malam, masih membawa kerjaan yang kalau dikerjakan sampai selesai bisa memakan waktu minimal empat jam! Lhah, lantas kapan nonton tivi-nya? Kapan bercengkerama dengan keluarga-nya? Kapan istirahatnya? Kapan tidurnya? Kapan ibadahnya (ceile, sok religius nih, ceritanya...)?

Ya gitu deh. Keinginan menyelesaikan pekerjaan sangat besar, tapi hasilnya : pekerjaan justru tak tersentuh. Ya iyalah. Pulang sudah capek. Kebutuhan refreshing dengan melihat acara tivi menuntut pemenuhan. Belum lagi jika anak masih melek. Otomatis mereka menuntut jatah waktu dari ayahnya. Belum istri... (psst, sensor! Hehe...).

***

Intinya : punya keinginan itu baik. Tapi, kalau berlebihan dan tanpa melihat kondisi alias realitas, ya kurang baik. Punya tekad menyelesaikan sesegera mungkin pekerjaan, ya pasti sangat baik. Tapi, ada kebutuhan-kebutuhan lain yang juga menuntut pemenuhan. Ketika badan sakit, produktivitas malah mendekati titik nadir. Nol. Ketika kurang tidur, besoknya nggak bisa konsen ke kerjaan berikutnya.

Punya ambisi itu baik. Tapi, kalau ambisius, kayaknya sudah mulai negatif deh. Biasanya, kalau ambisius, seseorang mulai "menghalalkan segala cara", demi terwujudnya ambisi tadi.

Punya obsesi sangat bagus. Tapi kalau obsesif, rasanya sudah mengganggu kenyamanan diri. Otak tak pernah berhenti berpikir, tak sempat beristirahat, karena kepikiran obsesi itu terus-menerus. Padahal, ide dan pikiran inovatif lebih sering muncul ketika pikiran dalam kondisi fresh. Segar.

Kadang, dalam satu waktu, kita pingin mengerjakan banyak sekali hal, yang kesemuanya masih dalam taraf awal, alias setengah mateng pun belum. Dengan kemampuan yang terbatas, akhirnya tak ada hasil yang memuaskan dari masing-masing keinginan tersebut.

Ada nasehat. Pilahlah dengan skala prioritas. Kemudian, pilahlah menjadi kelompok-kelompok pekerjaan yang kecil. Mungkin butuh waktu sedikit lebih panjang. Tapi, masing-masingnya bisa beroleh hasil memuaskan. Pilih mana, coba?

Pokoknya, nggak usah kemaruk lah. Ada sesuatu yang harus dikorbankan di sana, ketika kita kemaruk. Ada sesuatu yang pada akhirnya malah mubazir, sebagaimana sroto dan ketupat saya yang pada akhirnya harus "terbuang". Kenikmatannya tak tercecap, "dosa" akibat penciptaan kemubaziran tadi jelas terbayang.

OK? Mari kita tetap berkeinginan, tetap berpengharapan, tetap berambisi, tetap berobsesi, karena itu "wajib". Tapi, letakkan itu semua dalam kadar yang tak berlebihan, dalam kadarnya yang bijaksana.

Selama memang dirasa mampu, mari kita kejar. Jangan sampai kita justru menciptakan mudharat, padahal tujuan kita adalah menciptakan manfaat.


Salam,

Fajar S Pramono


ilustrasi foto : http://i203.photobucket.com

AMAN REHMAN : MASIH KECIL MALAHAN...


Ya. Aman Rehman namanya. Belum layak disebut sebagai "pemuda", rasanya. Masih kecil malahan. Delapan tahun. Saya "menemukan"-nya di Koran Sindo edisi hari ini (Minggu, 25/01/09).

Emangnya, ada apa dengan si Aman Rehman ini?

Yup! Ini terkait dengan posting "Pemuda-Pemuda Luar Biasa" sebelum ini. Kalau di sana diceritakan tentang Jon Favreau dan Jason Wu yang berumur 27 dan 26 tahun yang terbukti menjadi salah satu pendukung keberhasilan Barack Obama dan penampilan cerdas Michelle Obama dalam pemilihan dan pelantikan Presiden AS, maka Aman Rehman ini adalah dosen termuda di dunia!

Kalau Jon Favreau bisa menjadi pimpinan dari beberapa penulis skrip pidato presiden yang notabene lebih "senior" dan Jason Wu dapat mendampingkan karyanya yang dipakai Michelle Obama dengan karya Isabel Toledo yang sudah berkarier di New York selama 25 tahun (hanya selisih satu tahun dengan umur Wu), maka Aman Rehman bahkan dipercaya mengajar para mahasiswa jurusan seni yang berusia jauh di atasnya, di Dehradun's College, India.

So, ada komentar? Jeniusitas, mungkin. Fasilitas? Tidak pada awalnya. Karena, Aman terlahir dalam keluarga biasa --bahkan pas-pasan--. Ayahnya, M Rehman, adalah seorang montir sepeda motor yang berpenghasilan sekitar 60 poundsterling tiap bulannya. Uang itu yang harus bisa ia manfaatkan untuk menghidupi istrinya --Shabnam Rehman-- beserta ketiga anaknya.

Lalu, apa yang membuat Aman sebegitu hebat, selain --mungkin-- jeniusitas?

Berani mencoba, latihan dan belajar secara rutin! Lihatlah bagaimana ia mulai mengenal komputer dengan berlandaskan rasa penasaran ketika melihat sang kakak menggunakan komputer bekas yang dibeli ayahnya untuk kakak tertuanya itu. Lihatlah bagaimana ia bersabar dan diam-diam belajar secara autodidak setiap kakaknya pergi untuk kuliah. Lihatlah bagaimana ia bersikap sangat tekun manakala selama delapan jam per hari di hari libur ia duduk di depan komputernya, dan empat jam setiap hari di hari ia harus sekolah.

Dengan karya animasi pertama yang ia ciptakan di usia 4 tahun dan kini telah berkembang menjadi lebih dari 1000 film animasi, layaklah ia disebut sebagai "anak ajaib". Beberapa pihak menyebutnya "Bill Gates kecil".

Yang pasti, ada ketekunan di dalam diri Aman. Ketekunan itulah yang mampu mempercepat proses pematangannya.

Hmm... saya jadi berpikir lagi. Apakah masih ada sumber daya yang bisa saya maksimalkan dan lebih tekuni untuk mempercepat proses keberhasilan dalam hidup ini? Saya yakin ada. Mungkin, saya sekedar belum menyadarinya.

Dan itu sangat mungkin juga terjadi pada Anda. So, bagaimana kalau kita sama-sama coba menggali lebih dalam lagi potensi diri kita?


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://www.firstorlando.com

PEMUDA-PEMUDA LUAR BIASA

Satu lagi, bukti bahwa pemuda merupakan salah satu aset yang luar biasa. Aset diri, aset keluarga, aset bangsa. Sebuah pembuktian, bahwa karya dan kemampuan generasi muda, tak melulu kalah dengan karya dam kemampuan orang tua, yang kadang lebih sering mengandalkan frasa "senioritas".

Adalah Jon Favreau dan Jason Wu, salah dua dari sebegitu banyak orang muda yang luar biasa.

Pertanyaannya, siapakah mereka?

Seiring dengan gegap gempitanya pelantikan Barack Obama sebagai Presiden Amerika serikat ke-44, kedua nama itu mengemuka.

***


Yang pertama, Jon Favreau, adalah ketua tim penulis naskah pidato Presiden AS termuda sepanjang sejarah. Kemampuan menulis lulusan Holy Cross Worcester, Massachussetts ini memang luar biasa.

Favreau yang paling hobi mengenakan jeans dan kaos, serta menulis dengan laptop dan Blackberry di Starbuck sambil minum kopi, telah menjadi penulis pidato Obama sejak 2004, tak lama sesudah Obama terpilih sebagai Senator Illinois.

Selama itu dirinya tak muncul ke permukaan, hingga publik mulai sadar bahwa betapa "bertenaga dan berkarakternya" pidato-pidato Presiden AS kulit hitam pertama itu. Isi pidato-pidato Obama itu pula yang turut berperan banyak bagi keberhasilan Obama melangkah ke Gedung Putih.

Hebatnya, sebagai Director of Speechwriting, maka ia akan menjadi pemimpin bagi belasan pakar penulisan naskah pidato lainnya yang lebih tua, yang lebih "senior".

Berapa umur Jon Favreau?

Dua puluh tujuh tahun! Belum genap, bahkan. Ya. Ia lahir pada tanggal 6 Juni 1981. Dalam kapasitasnya yang demikian, masih adakah yang menganggapnya seorang "yunior" hanya karena kemudaan usianya?

***


Yang kedua, Jason Wu.

Kalau Favreau banyak berperan membantu Barack Obama, maka nama yang terakhir ini berperan penting bagi keanggunan dan kepantasan seorang Michelle Obama --istri Barack Obama-- sebagai pendamping presiden sekaligus ibu negara.

Sebagai apa Jason Wu? Ia adalah perancang gaun indah white chiffon berpundak satu yang berkilauan, yang digunakan Michelle saat mendampingi sang suami di pesta inaugurasi di Washington's Convention Center, Selasa (20/01/09) lalu.

Dan berapa umur Wu?

Dua puluh enam tahun! Betul, karena ia lahir di Taiwan (Taipei) tahun 1982. Sejak kecil, Wu memang sangat tertarik dengan bidang seni sketsa busana. Dengan tekad yang sangat kuat, Wu mengikuti pendidikan di sekolah fesyen bergengsi Parsons School of Design di Paris, dan berteman dengan Narciso Rodriguez; perancang busana kelas dunia.

***

Tentu masih banyak orang muda lain yang juga luar biasa. Tapi, mungkin kita tak pernah menyangka, bahwa beberapa "orang penting" di belakang keluarga Obama --yang saat ini tengah merajai publikasi media-- adalah kawula muda di bawah 30 tahun.

Satu lagi motivasi bagi kita bersama. Tak ada alasan umur untuk menjadi yang terbaik. Tak ada istilah "terlalu muda", atau juga "terlalu tua". Mari kita bentuk diri kita menjadi yang terbaik di setiap usia kita. Tak ada kata "belum waktunya", atau juga kata "terlambat".

Saya sendiri, 34 tahun lebih 4 bulan. Apa yang sudah bisa saya berikan kepada "dunia"? Entahlah. Rasanya, belum ada. Tapi yang pasti, gelora semangat itu ada dan menyala-nyala. Insya Allah, dan semoga!


Salam,

Fajar S Pramono


Foto 1 : Jon Favreau, dari http://bp0.blogger.com
Foto 2 : Jason Wu, dari http://www.nydailynews.com

JAHAT


Jalan Lubang. Sejumlah pengendara kendaraan bermotor melintasi jalan berlubang di tengah jalan dengan ketinggian sekitar 1,5 meter, karena hilangnya besi sekat pembuangan air di Underpass UKI, Jakarta Timur, Kamis (22/1). Besi sekat pembuangan air tersebut sudah hilang selama 4 hari. Hal tersebut bisa membahayakan keselamatan bagi para pengendara kendaraan bermotor.

Itu adalah kutipan berita foto di http://jurnalnasional.com kemarin (23/01/09). Gambar fotonya sekalian saya copy paste seperti Anda lihat di atas.

Lama saya mengamati gambar itu. Saya baca berulang-ulang beritanya. Ya, besi sekat itu tidak ada. Kemana? Hilang, kata berita foto itu.

Saya terbayang kondisi di underpass UKI itu. Tak sekali dua saya melintasinya. Saya percaya, kedalaman saluran pembuangan air di situ memang bisa lebih dari 1,5 meter. Karena apa? Karena memang itulah salah satu cara paling efektif "membuang" air ketika hujan lebat turun. Posisi jalan yang memang di bawah, membuat keberadaan saluran itu sebagi sebuah kemutlakan demi terhindarnya banjir dan genangan.

Saya baca lagi : besi sekat pembuangan air itu hilang. Ya, hilang. Bukan patah. Bukan rusak karena keropos atau korosi. Tapi, hilang.

Melihat gambarnya, saya juga percaya bahwa besi itu hilang. Saya percaya, sang wartawan juga sudah melakukan "investigasi" sebelum menuliskan berita fotonya. Artinya, itu bukan "force majour" karena faktor "alam" yang terjadi, tapi akibat tindak kriminal. Dicuri.

Dan saya geram. Dan saya emosi. Kok ada, orang yang berbuat jahat banget seperti itu ya?

Saya menyebut "jahat banget", karena jelas-jelas kelakuan itu amat amat dan sangat sangat membahayakan banyak orang, bahkan orang-orang yang mungkin "tak punya dosa" kepada si pencuri ataupun kepada jalanan itu sendiri. Saya tak tahu juga, apakah rusaknya "pagar pembatas" yang dipasang di dekat lubang itu (lihat gambar) mengindikasikan telah adanya korban dari kemunculan lubang bahaya itu.

Saya memvonis : luar biasa jahat si pengambil besi sekat itu.

Saya jadi teringat dengan para pelaku kriminal yang gemar mencuri baut maupun bantalan rel, hanya untuk dijual sebagai besi tua dan balok material.

Bayangkan, hanya demi uang, mereka tega mengorbankan keselamatan banyak orang yang mungkin "tak pernah berdosa" pada si pelaku dan pada PT. KAI. Kenapa orang-orang itu yang musti jadi korban?

Rubrik Redaksi Yth di Harian Kompas yang berisi surat pembaca, hari kemarin (23/01/09) juga memuat sebuah kisah tentang pelemparan batu oleh entah siapa di sepanjang rel yang dilintasi kereta api bisnis Bangunkarta Jakarta Senen - Madiun, yang kebetulan ditumpangi si penulis surat.

Diceritakan, seorang ibu yang sedang hamil tua dan kebetulan duduk di depan si penulis surat, menjadi korban lemparan batu berdiameter 3-5 cm. Hasilnya? Hidung sang ibu yang seharusnya terjaga dari ketidaknyamanan fisik dan mental selama mengandung itu patah. Luka menganga cukup lebar, serta banyak darah yang keluar. Tragisnya lagi, si ibu dan putrinya harus turun di Stasiun Cikampek untuk memperoleh pengobatan lebih lanjut.

Masih dalam perjalanan yang sama, tak lama kemudian, terdengar sebuah teriakan lagi. Seorang bapak terkena lemparan batu di pelipis dan terluka cukup parah. Beruntung, bapak yang ini masih kuat melanjutkan perjalanan hingga Cirebon.

***

Ya ampun. Kok jahat-jahat banget sih, mereka? Apa sesungguhnya yang ada di benak para pelaku itu?!

Saya tak berani menebak motifnya. Saya belum punya kemampuan untuk itu. Yang bisa saya lakukan, hanyalah mengingatkan diri sendiri dan mengajak pada yang membaca posting ini, agar tidak pernah sekali-kali menjadi bagian dari "orang-orang jahat" seperti itu. Na'udzubillahi min dzalik.

Kita semua berlindung dari bisikan sesat yang bukan saja akan menjadikan diri kita berdosa, namun juga bisa merugikan --bahkan mencelakakan-- banyak orang yang "tak bersalah". Amien...


Salam,

Fajar S Pramono

SEKALI LANCUNG KE UJIAN....


Pepatah "sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya" itu memang bener banget kayaknya, ya.

Contohnya ketidakpercayaan saya, ketika kemarin dan tadi pagi melihat serta mendengar "ulasan" berita di tipi tentang bermunculannya lubang-lubang besar dan dalam di jalanan ibukota saat musim ujan ini. Pada berita itu, dikabarkan ada metromini masuk sungai, dan ditengarai penyebabnya adalah karena sang metromini menghindari lubang yang menganga di daerah Sentiong.

Melihat dan mendengar ulasan itu, benak saya "melawan". Nggak percaya. Apa iya, hanya gara-gara lubang si metromini kebablasan ke sungai?

Saya dengarkan ulang berita tadi pagi. Lebih detil, saya dapat informasi bahwa metromini itu kebablasan masuk sungai ketika berusaha mendahului kendaraan di depannya.

Nah, kan? Benak saya memang terus memaksa mengambil kesimpulan sendiri. Sejak kemarin saya nggak yakin kalau kecelakaan itu karena lubang, tapi lebih karena ugal-ugalannya si pengemudi.

Kenapa benak dan pikiran saya "melawan"? Ya, karena di benak ini sudah sangat terpola : bahwa metromini identik dengan ugal-ugalan, nyetir seenak udelnya, lenggak-lenggok kagak ada sopannya, ngelanggar lampu lalu lintas di perempatan, mau menangnya sendiri, berhenti menaikturunkan penumpang di tengah jalan, penghasil asap item tebel, dan sebagainya yang jelek-jelek.

Saya sendiri pernah dapet kejadian, metromini yang saya tumpangi tabrakan face to face dengan metromini lainnya, gara-gara nggak ada yang mau ngalah ketika berusaha "memanfaatkan" jalur di atas marka jalan. Dhhhuarrr!!! Hidung kedua metromini penyok, lampu depan padha pecah, penumpang padha "Allahu Akbar!".

Hebatnya, kedua pengemudi kayaknya sudah sangat biasa dengan kejadian seperti itu. Nggak pake bertengkar lama, keduanya pergi melanjutkan rute trayek masing-masing.

Jadi bagi saya, rupanya kecelakaan bagi metromini itu sudah biasa kali ya? Hehe... Tapi, kesimpulan itulah yang melekat sampai sekarang.

So, otak ini jadi susah menerima "kenyataan yang ada", meskipun mungkin ulasan di tipi itu betul adanya.

***

Omong-omong soal "sekali lancung ke ujian" dan seterusnya itu, saya juga punya contoh lain. Temen yang ngutang ke temen lain, wanprestasi alias ngelanggar janji. Ke temen yang lain, gitu juga. Walhasil, "fakta" ini menyebar ke seluruh temen. Hasil lebih lanjut, sampai sekarang tak ada orang lain yang mau minjemin, bahkan dalam nilai minimal sekalipun! Sudah nggak ada orang yang percaya sama janji temen saya itu.

Ada juga cerita dari temen lain, tentang temennya (lhah, bingung kan, kebanyakan temen, hehe...) yang hobi becanda. Ia paling sering berpura-pura kesakitan (hiperbol gitu lah) kalau ada sesuatu yang bisa dijadikan pemicu. Temen-temen lain pun panik. Setelah kehebohan bener-bener terjadi, baru dia menghentikan acting-nya, lantas ngakak berat. "Hahaha!!! Bahagianya bisa ngibulin temen-temen...," kata dia. Puas.

Hasilnya, ia benar-benar hampir celaka gara-gara teriakannya tak diapresiasi oleh kawan-kawannya, padahal ia bener-bener kesakitan waktu itu! Hampir fatal akibatnya! Nah lo...

***

Pasti masih banyak cerita serupa. Tentang kebohongan yang dilakukan berkali-kali, tentang tabiat dan kebiasaan buruk yang diulang-ulang, yang membuat orang tak lagi percaya kepadanya.

Cilakak dua belas, kan? Padahal, masih banyak sopir metromini yang baik. Masih banyak kusir bajaj yang nggak seenaknya dalam mengendara. Masih banyak politisi yang tidak busuk. Masih banyak polisi lalu lintas yang anti suap. Masih banyak bankir yang terpuji... :)

Dan lain-lain, dan sebagainya.

Jadi, siapa yang dirugikan oleh kelakukan yang "lancung" itu?

Setidaknya ada dua pihak. Pertama, orang itu sendiri. Ia tak akan mendapat kepercayaan lagi dari orang lain. Padahal, setiap orang butuh kepercayaan dari pihak lain jika mau eksis dan berkembang.

Kedua, "komunitas" atau orang-orang yang seprofesi dan selingkungan dengan dia. Jika ketidakpercayaan itu menimpa orang lain yang sebenernya "baik", berarti si trouble maker ini sudah mencipta fitnah bukan?

Padahal, fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Padahal lagi, membunuh jelas lebih jahat daripada tidak membunuh, bukan? :)

Halah, kok jadi kemana-mana dan ngaco begini.

Ya sudah, intinya, mari sama-sama tidak menjadikan kebohongan, suka bohong dan kebiasaan jelek sejenisnya sebagai bagian dari karakter kita. Bisa cilakak kita...

OK. Setuju?


Salam,

Fajar S Pramono



Ilustrasi : http://i67.photobucket.com

CHAD


Nama lengkapnya Chad Feldheimer. Ia adalah sahabat Linda Litzke, seorang pekerja di sebuah klub kebugaran milik Ted.

Tapi, semua nama itu bukan tokoh di dunia nyata. Mereka hanyalah tokoh rekaan dalam film besutan kakak beradik Joel Coen dan Ethan Coen, Burn After Reading.

Saya sendiri belum melihat filmnya, karena memang belum lama edar. Tapi saya tertarik pada ulasan atas film ini di Harian Republika dan Harian Seputar Indonesia.
Pada masing-masing ulasan, ada sesuatu yang menyentil hati dan benak saya, yakni seputar nafsu dan kebodohan manusia.

Di Republika, kisah tentang Chad (diperankan oleh Brad Pitt) yang berotot namun pandir dan Linda (diperankan oleh Frances McDormand) yang terobsesi menjadi wanita langsing guna mendapatkan kekasih itu disebutkan "menyentil polah absurd manusia". Ada kalimat lanjutan yang mengatakan, "Brad Pitt berperan sebagai pria yang sibuk membesarkan ototnya sembari mengecilkan otaknya."

Digambarkan memang, Chad adalah lelaki culun dengan rambut pirang berjambul yang juga berprofesi sebagai pelatih di pusat kebugaran Ted. Itu mungkin yang membuat ia sangat cocok berteman dengan Linda, yang digambarkan sebagai karakter penuh nafsu, tapi juga berotak sempit.

Walhasil, kesimpulan dari kombinasi karakter-karakter tersebut adalah judul ulasan di Harian SINDO : Nafsu + Bodoh = Konyol.

***

Inilah yang menarik bagi saya. Seringkali kita tak merasa bahwa berbagai keinginan kita lakukan hanya dibekali dengan nafsu, tanpa memperhitungkan bekal kemampuan (ilmu) yang juga harus kita miliki.

Saya selalu setuju dengan tingginya semangat dan keberanian. Tapi, berani --bagi saya-- bukan sekedar nekat. Keduanya memang beti, alias beda tipis.

Sering saya katakan ke teman-teman, bahwa penampakan fisik dari kedua hal itu --berani dan nekat-- adalah sama. Yakni, adanya action. Adanya tindakan.

Sebagai contoh, kita mau melompati parit selebar 3 meter. Antara Anda yang berani dan saya yang nekat, pasti keduanya akan sama-sama melompat. Hanya, jika Anda mengambil ancang-ancang lebih jauh daripada saya, lantas Anda juga membekali diri Anda dengan sebilah bambu yang akan digunakan layaknya atlet lompat galah yang akan beraksi, maka dengan mudah Anda akan sampai ke seberang.

Sementara saya, langsung saja meloncat tanpa ancang-ancang yang cukup, tanpa alat bantuan apapun. Hasilnya? Saya kecebur di hitungan tak sampai 2 meter dari sisi parit.

Sama-sama action kan? Bagus kan? Iya, tapi Anda sampai ke tujuan, dan saya gagal. Itu karena Anda punya nafsu, punya keinginan, tapi tetap sadar diri akan kemampuan. Melompat biasa dengan ancang-ancang sejauh apapun, Anda merasa hanya akan mampu melompat sejauh 2 meter. Karenanya, Anda membekali diri dengan bilah bambu itu. Dengan bilah bambu yang Anda tancapkan ke dasar parit di hitungan antara 1,5 sampai 2 meter saja, Anda akan dengan mudah melompat lebih dari 3 meter. Saya menyebutnya : Anda berani.

Sementara saya, hanya berbekal nafsu. Bahkan tidak hanya nafsu, namun juga berbekal kebodohan. Karena mestinya saya sadar, bahwa jangkauan maksimal lompatan saya hanya 2 meter kurang. So, saya menyebutnya : saya nekat.

--perumpamaan ini tentu tidak bisa digunakan dalam kondisi darurat, mendesak, atau force majour. Karena dalam kondisi kepepet, segalanya bisa saja menjadi mungkin, dengan kuasa Yang di Atas--
***

Saya merasa diingatkan. Jangan sampai kita memadukan item nafsu dan kebodohan dalam bertindak, jika tidak ingin mendapat kekonyolan dalam hidup.

"Membesarkan otot", saya artikan sebagai "memupuk keberanian". Sementara "mengecilkan otak", adalah ketidakmauan kita untuk belajar, yang sama artinya dengan "melestarikan kebodohan".

Saya jadi mikir, jangan-jangan, pengasahan diri yang saya lakukan selama ini, tidak imbang antara "memupuk keberanian" dan "meningkatkan kepintaran".

Waduh, bisa konyol saya...


Salam perenungan,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : Chad Feldheimer (Brad Pitt), dari http://www.nypost.com

LALU?


Hujan yang tak kunjung berhenti
pada Jakartaku
yang juga Jakartamu


Genangan air yang mengisi cekungan kota, lalu lintas yang macet, akses antar noktah wilayah yang terhambat, lubang baru lubang lama jalanan yang menganga.

Kendaraan yang kotor menyebalkan, baju yang tak kering dan berbau, angin yang menerjang garang, pohon yang tumbang, tanah yang longsor, panen yang terancam gagal, dan kapal yang karam...

Do'a yang terpanjatkan

Lalu?


Hujan yang tak kunjung berhenti
pada Jakartaku
yang juga Jakartamu


Inilah simbol keberkahan, kesegaran yang menyejukkan, rejeki bagi kami pengasong payung, rahmat bagi kami yang menjual kuah terrebus.

Anugerah bagi kami yang petani, tanaman yang menghijau, polusi yang tersamarkan, keluarga yang terkumpul di rumah, kehangatan antar kawan yang menjalar, acara tivi yang berubah menawan, serta kemerenungan yang tersalurkan...

Syukur yang tersampaikan

Lalu?


***

Segala makna fenomena, ada pada cara memandangnya.


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://www.squirrelldesigns.co.uk

HIDUP ITU LAYAKNYA NGONTHEL...


Saya suka dengan perumpamaan yang disampaikan M.K. Sutrisna Suryadilaga. "Hidup layaknya mengendarai sepeda," tulisnya di buku The Balance Ways.

Ada dua hal yang menjadi "kunci sukses" bersepeda.

Pertama, tidak boleh terlalu lambat dalam mengayuh. Kedua, harus ada keseimbangan. Tanpa keduanya, kita akan terjatuh. Kita akan "gagal" bersepeda.

Harus ada kecepatan minimal dalam mengayuh, agar kita tidak terjatuh. Artinya, sepeda harus terus berjalan. Bergerak.

Pelajarannya : agar hidup kita tetap "hidup", kita harus terus bergerak. Gerakan pun harus ada "kecepatan minimal"-nya. Terlalu lamban, kita akan tergerus oleh persaingan, hingga hampir tak ada bedanya dengan "mati". Stagnan. Tak pernah maju. Kalah.

Kecepatan minimal dalam mengayuh, juga merupakan salah satu syarat agar keseimbangan terjadi. Kendatipun kayuhan kita sudah melewati batas minimal, tanpa keseimbangan, kita tetap akan terjatuh.

Misal, setelah menghindari lubang, keseimbangan menjadi kacau. Dalam kondisi begerak kencang pun, kita tetap akan jatuh. Bahkan, akibatnya bisa parah.

Karenanya, keseimbangan menjadi sebuah kemutlakan.

Demikian juga dalam hidup. Apa yang harus seimbang? Antara keduniawian dan keakheratan. Antara yang material dan spiritual.

Bagaimana agar hidup ini bisa seimbang?

Dr. Kana Sutrisna --begitu panggilan keseharian M. K. Sutrisna Suryadilaga-- menawarkan konsep MAPP to RICH. Yakni Maximize Action, Planning, Pro-Poor, Ridha, Ichlas, dan Heart Voice.

Maximize Action. Maksimalkan Usaha. Lakukan usaha secara keras, cerdas sekaligus ikhlas. Singkirkan hambatan, dan belajarlah dari kesuksesan sekaligus kegagalan orang lain.

Planning. Tetapkan tujuan, jangan sampai salah jurusan. Persiapkan segala sesuatunya dengan cermat.

Pro-Poor. Dekatkan diri pada orang yang kekurangan. Baik itu kekurangan materi, ilmu maupun spiritual. Berbagilah. Jadikan mereka salah satu obyek amalan utama kita. Yakinlah, akan ada keajaiban dari berbagi ini.

Ridha. Terimalah segala kondisi hidup ini dengan keridhaan. Carilah keridhaan Tuhan, dan mari kita juga menjadi orang yang ridha kepada-Nya. Dengan menjadi orang yang ridha, maka kita akan menjadi orang yang merdeka, optimis, penuh semangat dan bahagia.

Ichlas. "Memberi"-lah kepada Tuhan, memberilah kepada sesama, kepada alam, secara ikhlas. Tulus. Maka kita akan menjadi makhluk sosial yang sukses, "kaya", ber-etos dan mampu menjadi problem solver.

Heart Voice. Dengarkan hati nurani. Jadikan hati nurani sebagai "panglima" dalam hidup kita, yang "wajib" diikuti perintahnya. Karena, hati nurani bersumber dari Tuhan yang Maha Benar. Jangan butakan hati, dan asahlah terus hati nurani ini.

***

Sungguh, saya suka perumpamaan "hidup layaknya mengendarai sepeda" itu.
Kalau itu sepeda onthel, maka dalam bahasa saya : hidup itu layaknya ngonthel... :)


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : souvenirjogja.wordpress.com

HATI-HATI... AWAS REM MENDADAK!


Merespon komentar seorang kawan lama di postingan seputar reactive people beberapa waktu lampau, saya jadi teringat kisah dua pagi yang lalu. Kok hampir persis yang dicontohkan Bung Herry Priyono ya?

Di bukunya, Bung Herry mencontohkan salah satu perilaku reaktif manusia dan model reaktifnya, tentang seorang eksekutif muda yang pulang kerja dengan mobil mewahnya, tiba-tiba begitu saja mengumpat dan memaki (respons), akibat marah (perasaan) yang ditimbulkan oleh seorang pengemudi angkot yang mengerem mendadak kendaraannya (stimulus).

Dalam teorinya, Bung Herry memang menggambarkan model reaktif sebagai berikut :

    • stimulus ----> perasaan ---> respons

Dalam kisah eksekutif muda vs pengemudi angkot tadi, model reaktif tadi digambarkan sebagai berikut :

    • rem mendadak ----> marah ----> memaki/mengumpat

***

Nhah, kejadian yang saya alami kemarin lusa itu persis sama. Cuma bedanya, saya bukan eksekutif muda, dan "lawan" saya bukan pengemudi angkot, tapi sopir bajaj.

Sudut pandang yang mau saya sampaikan, juga beda dengan ulasan Bung Herry.

Begini ceritanya...

Pagi ketika saya berangkat ke kantor, tiba-tiba ada bajaj yang berhenti mendadak, seenaknya, tanpa menepi, tanpa memberi kode apapun, persisi di depan saya, di jalan yang tak terlampau lebar itu, di daerah Paseban. Jadi ingat seloroh teman-teman tentang bajaj ini : "Hanya Tuhan dan sopir bajaj itu sendiri yang tahu, ke mana bajaj akan berbelok", hehe.

Saya pun terpaksa mengerem mendadak. Ciiit...!!!

Persis seperti teori Bung Herry, hampir saja saya "meledak" akibat stimulus itu. Namun, mata saya tiba-tiba terantuk pada tulisan di belakang "kabin" bajaj : HATI-HATI... AWAS REM MENDADAK!

Dhueenggg...!!!

Dari mau marah, tiba-tiba saya jadi "geli". Sialan, batin saya. Saya bayangkan, paling banter, nanti kalau saya marahin, sang sopir akan bilang, "Lho, bukannya sudah ada peringatan di bajaj saya?"

Dengan hati dongkol yang akhirnya disabar-sabarkan menjadi sabar beneran, kami (ya, saya dan bajaj itu) berjalan lagi. Saya tetap di belakangnya, karena memang lebar jalan tak memungkinkan saya untuk menyalipnya.

Beberapa ratus meter kemudian, persis sebelum Pasar Paseban, mendadak, "Ciiiit...!!" Tiba-tiba saya harus mengerem keras lagi. Apa pasal? Ya, lagi-lagi bajaj itu berhenti mendadak, di tengah-tengah jalan lagi seperti sebelumnya, karena melihat adanya calon penumpang baru di sisi kiri jalan!

Dhueenggg....!!! Dhueng yang kedua pun muncul.

Rasa jengkel muncul lagi. Tapi, berkat "ancaman" Bung Herry yang "memprovokasi" khalayak untuk "say no to reactive person", saya memaksa diri untuk tetap sabar.

Meskipun akhirnya berhasil, saya jadi mikir : apa iya sih, hanya karena sudah memberikan warning alias peringatan, seseorang lantas bisa seenaknya bersikap?

Ini yang terus jadi pikiran di benak saya. Apa karena sudah ada tulisan besar HATI-HATI... AWAS REM MENDADAK! itu, lantas si sopir bajaj merasa 'sah" untuk melakukan manuver membahayakan dengan mengerem mendadak di tengah laju banyak kendaraan yang cukup kencang?

Apakah karena pihak manajemen sebuah pasar tradisional sudah memasang pengumuman "HATI-HATI TERHADAP COPET DAN TINDAK KRIMINAL LAINNYA", lantas pengelola pasar itu bisa seenaknya tidak melakukan upaya pengamanan terbaik terhadap pengunjungnya?

Apakah seorang teller bank bisa seenaknya menyerahkan segepok uang kepada nasabahnya tanpa memastikan kebenaran perhitungan nilai uangnya, hanya karena sudah ada tulisan
"DIMOHON SEBELUM MENINGGALKAN COUNTER TELLER, PASTIKAN JUMLAH DAN KEABSAHAN UANG ANDA. KLAIM SETELAH MENINGGALKAN TELLER TIDAK KAMI LAYANI"? Padahal, tak semua nasabah sempat menghitung kembali. Padahal, tak semua nasabah mengetahui cara untuk membedakan mana uang asli mana uang palsu.

Intinya, apakah hanya karena tanggung jawab yang seolah sudah "dilimpahkan" kepada pihak lain itu, kita lantas bisa menjadi orang yang seenak-udelnya sendiri dalam bersikap?

Menurut saya tidak. Peringatan, himbauan memang harus diberikan. Tapi hal tersebut tidak bisa diartikan bahwa tanggung jawab atas keselamatan atau kebenaran itu serta merta tidak lagi menjadi tanggung jawab pemberi peringatan atau himbauan tadi.

Meskipun peringatannya terpampang jelas di bagian belakang body bajajnya, tidak selayaknya sang sopir bajaj melakukan manuver gila jalanan seperti itu.

Tidak bisa dibenarkan, lantaran sudah memasang papan himbauan kewaspadaan, pihak pengelola pasar tidak berusaha menciptakan sistem pengamanan yang solid dan membuat nyaman pengunjung.

Tidak bisa dimaklumi, jika hanya karena sudah "intruksi" kepada nasabah di toonbank teller bank, sang teller tidak memastikan kembali kebenaran transaksi di depan nasabah itu sendiri.

Kesimpulannya, memastikan semuanya berjalan baik adalah tugas kita bersama. Tuan rumah maupun tamu. Kita sendiri maupun "lawan" aktivitas kita.

Kita harus berkendara hati-hati, tapi sopir bajaj juga tidak boleh seenaknya sendiri.

Pengunjung pasar wajib selalu waspada, tapi pola pengamanan terbaik tetap harus diberikan pengelola.

Nasabah musti bersikap kritis dan teliti, tapi sang teller juga harus cermat dan secara aktif memastikan kebenaran hasil transaksi.

Dalam pola seperti itulah, saya yakin, semua akan terus berjalan lebih baik dari hari ke hari. Edukasi bukan tuntutan kepada salah satu pihak, tapi menjadi keharusan bagi semua pihak.

Setuju?


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://tenantsforchange.files.wordpress.com

REFORM AWARD UNTUK SLANK


Pulang kantor, baru saya dengar di radio mobil bahwa Slank menerima penghargaan yang dinamakan Reform Award dari BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) se-Jabotabek, atas kepeduliannya dalam sosialisasi pemberantasan korupsi.

Penasaran, kubawa keluar koran Jurnal Nasional sewaktu aku mampir untuk ngiras (makan di tempat) Indomie Goreng di warung tenda Mas Agus di pinggir Jalan Pramuka, hanya beberapa puluh meter sebelum rumah yang saya tinggali. Saya memang niat mau nyantai dulu di situ.

Dan memang benar. Ada berita foto yang cukup besar di halaman 8. Reform Award diterimakan hari Kamis (08/01/09), dan diterima oleh seluruh personel Slank yang hadir lengkap saat itu.

Saya ikut senang, karena kebetulan saya adalah salah satu penggemar mereka. Satu "prestasi" lagi mereka peroleh.

***

Siapakah Slank?

Saya yakin tak ada yang tak tahu tentang nama Slank ini. Minimal mendengar, bahkan saya yakin sebenarnya sangat familier di telinga setiap orang muda Indonesia. Orang tua juga; mungkin.

Ya, Slank yang bercikal bakal dari grup band bernama Cikini Stones Complex (CSC) dan terhitung sudah 14 kali ganti personil --dari Bimo Setiawan alias Bimbim (drum), Boy (gitar), Kiki (gitar), Abi (bass), Uti (vokal) dan Well Welly (vokal) pada formasi pertama hingga Bimbim (drum), Kaka (vokal), Ivanka (bass), Ridho (gitar) dan Abdee (gitar) pada formasi terakhir-- itu memang sudah bisa digolongkan sebagai grup band legendaris.

Mereka "lahir" pada Desember 1983, dan sampai sekarang masih eksis, bahkan tetap terkategorikan sebagai band papan atas. Tak kurang dari 18 album telah mereka keluarkan. Dari Suit-Suit....Hehehe (Gadis Sexy) di tahun 1990 sampai The Big Hip di tahun 2008 ini.

Selain kehebatan itu, tentu semua juga ingat cerita negatif tentang mereka. Cerita negatif, yang pada akhirnya ber-ending sangat membanggakan. Ya, seputar keberhasilan mereka lepas dari jeratan narkoba yang menghinggapi hampir seluruh personilnya, hingga pentasbihan diri Slank sebagai duta anti narkoba, dengan dukungan penuh Sang Bunda Iffet tersayang. Seorang ibu yang benar-benar mampu berperan sebagai orang tua, manajer dan pengarah kehidupan anak-anak Slank.

Kisah sukses mereka memang sangat inspiratif.

Saya masih sangat ingat, ketika tahun 1993 saya dan teman-teman di fakultas mengundang mereka manggung di Solo. Sejak kedatangan, saya berkesempatan menemani mereka. Saat datang, makan, jumpa pers dan wawancara di radio, di hotel, di kampus, bahkan nongkrong berdua dengan Kaka di warung soto depan hotel.

Saya ingat, ada "syarat" yang mereka kemukakan secara kelakar tapi serius, yakni kesediaan panitia menyediakan Ciu Bekonang. Ciu adalah minuman keras lokal Solo (lebih tepatnya Sukoharjo), yang bagi penduduk setempat dikenal punya daya mabuk yang cukup tinggi.

Mereka meng-"oplos" ciu dengan --entah apa-- yang dibawanya dari Jakarta. Istilah mengoplos mungkin kurang pas. Lebih tepat, mengkombinasikan. "Mengkolaborasikan". Mungkin dengan cimeng. Mungkin dengan bubuk narkoba. Saya nggak tahu pasti.

Hasilnya, salah seorang kawan yang "raja mabuk" di kampus saya pun fly hanya karena membaui asap yang keluar dari lintingan manual anak-anak Slank, berbarengan dengan "upacara" minum-minum. Baru asapnya doang, sang jagoan pun terkapar. Bahkan tak sanggup bangun di waktu ia harus bangun!

Intinya, dulu anak-anak Slank memang sempat "rusak". Rusak parah. Namun ternyata, mereka bisa melalui ujian berat itu, hingga pada akhirnya mereka tidak ada lagi ketergantungan sedikitpun dengan obat-obatan terlarang.

***

Apa yang sesungguhnya mau saya sampaikan adalah : tak ada imej negatif atau citra jelek yang tak bisa kita lepaskan dari diri kita, jika kita memang mau berubah. Slank telah membuktikannya.

Tak perlu waktu yang terlalu lama bagi Slank untuk mengubah imej dari the loser (karena kenakalannya" dan kekalahannya melawan godaan narkoba), untuk kemudian menjadi the winner --bahkan the hero-- untuk berbagai hal positif. Sebagaimana kita tahu, Slank tak hanya lekat dengan kisah heroik keterbebasan mereka dari narkoba, tapi juga konsistensinya dalam menyerukan gerakan antikorupsi. Mereka bahkan berkesempatan manggung di KPK, dan juga bernyanyi bersama Ketua KPK Antasari Azhar. Juga penghargaan dari Menteri Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault, berupa penghargaan “Inspirator Anak Bangsa”.

Kalau Slank yang sempat "rusak parah", kini bisa menjadi "teladan" bagi kita dengan komitmen dan kekonsistenannya untuk berubah, apalagi kita yang mungkin sebagiannya tidak pernah rusak; ataupun kalau pernah rusak tidak sampai kepada tingkatan yang "parah"?

So, jangan terlampau sedih bila kita saat ini masih memiliki cap negatif. Baik di dalam lingkungan keluarga, kelas, kantor, masyarakat kampung, atau bahkan kelompok masyarakat yang lebih besar. Yang terpenting, kita mau merubah imej itu atau tidak. Kalau ya, segera laksanakan sekarang juga. Kemudian, jaga komitmen dan konsistensinya.

Tuhan Maha Bijaksana, dan saya yakin, Ia akan menunjukkan "Sang Saat", "Sang Waktu" itu untuk kita. Saat di mana imej kita menjadi baik, dan bahkan ketika orang mengingat keburukan kita, maka yang diambil sebagai hikmah adalah kemampuan kita untuk membalik itu semua. Membalik segala sesuatu yang buruk, menjadi baik dan baik sekali.

Hmm... yakin bahwa kita bisa, bukan?


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://photos-867.friendster.com

REAKTIF (+/-), PROAKTIF (+++), PASIF (---)


Liburan tahun baru lalu, kami isi dengan pulkam alias pulang kampung ke daerah asal istri di Solo. Alhamdulillah, sempat menikmati beberapa wisata kuliner, sekaligus walking-walking ke salah satu mall di sana.

Berjalan (eh, bermobil ding!) bersama keluarga besar, asyik dan capek juga. Asyik karena serunya, capek karena keseringan satu mobil cuma saya yang cowok. Terdaulat jadi fixed driver deh.. hehe.

Nah, ada kisah ketika jadi driver ini. Sebenarnya juga kisah yang sangat sering terjadi, di mana saja, baik kala sendiri maupun beramai-ramai.

Kejadian apa itu?
Otot-ototan, eyel-eyelan, bersitegang dengan orang lain gara-gara macet or rebutan masuk parkir! :) Kisah yang klasik sekaligus klise banget memang...

Malem itu, entah kenapa, saya sangat reaktif. Kendati satu mobil hanya saya satu-satunya cowok, saya berani menantang satu mobil penuh dengan lebih banyak orang laki di dalamnya! Sok heroik gitu lah malam itu...

Alhamdulillah juga sih, tantangan itu nggak bersambut. Kalo bersambut, bisa tepar juga kayaknya saya, hehe. Yang pasti, setelahnya saya menyesal. Menyesal banget. Lepas dari siapa yang salah, saya kok jadi super-reaktif gitu ya...

***

Penyesalan memang kurang ada gunanya. (Saya tulis "kurang", bukan "tidak", karena saya kadang merasa menyesal itu ada gunanya juga... hehe). Saya merasa salah ambil sikap. Merasa bertindak tidak pada tempatnya. Tidak seharusnya. Artinya, semestinya saya bisa menahan emosi.

Apalagi jika ingat konsep Stephen Covey yang saya baca ulang di buku The Six Says-nya Herry Tjahjono, tentang adanya "manusia reaktif" dan "manusia proaktif". Dalam kedua konsep itu, terbukti bahwa "manusia reaktif" senantiasa tidak lebih unggul daripada "manusia proaktif". Manusia proaktif lah, yang menurut Covey memenuhi syarat terpenting untuk bisa menjadi manusia excellence. Bahkan Herry bilang, "Say No to Reactive Person!". Intinya, jangan kasih tempat pada manusia yang reaktif... Nah lo!

Di mana sih, beda manusia reaktif dan proaktif?

Ya beda lah, masa ya beda dong... hehe. :)

Manusia reaktif, adalah orang yang cenderung memberikan respon secara spontan, langsung,jangka pendek, dan lebih didominasi oleh pengaruh/stimulus lingkungan. Ia tidak berpikir panjang. Hasil akhirnya, biasanya seringkali negatif. Syaraf otak menjadi tegang, motivasi menurun, malas, dada berdebar, dan sebagainya. Kalau ada keputusan besar yang harus diambil, biasanya orang itu menjadi tidak bijak, sehingga keputusan yang salah lah yang ia tetapkan.

Semua itu adalah kerugian. Baik bagi si manusia reaktif, maupun bagi orang lain.

Sementara manusia proaktif, ia juga "berbuat", merespon sesuatu, namun melalui pertimbangan yang bijak, tanpa harus kehilangan durasi waktu dalam pengambilan keputusan. Artinya, ia mampu berpikir "panjang" dalam waktu yang relatif pendek. Tetap tidak emosional.

Dalam beberapa case, manusia proaktif justru selalu melakukan langkah antisipatif secara cerdas, atau setidaknya sudah mempersiapkan langkah-langkah strategis lanjutan bila ada suatu masalah. Ia bahkan tidak harus menunggu masalah atau stimulus lingkungan itu muncul, tapi ia sudah mampu mempertimbangkan dan memproyeksi kemunculan sebuah fenomena. Ia lah orang-orang yang berpikiran maju. Ia lah orang-orang yang mampu "berjalan di depan", dibanding orang kebanyakan.

***

Dus, jauh lebih baik menjadi manusia proaktif daripada reaktif. Itu jelas.

Namun demikian, menurut saya, kedua tipe manusia di atas masih tergolong manusia "aktif", sehingga masih lebih baik dibanding menjadi "manusia pasif". Manusia yang --jangankan berpikir dan bersikap antisipatif--, mampu merespon stimulus lingkungan yang frontal atau radikal pun tak mampu dilakukannya. Ada masalah atau tidak, ia bersikap sama : diam. Stais. Ya begitu saja. Tak ada langkah beda yang mestinya dilakukannya. Salah ya sudah. Disuruh mbetulin ya dibetulin. Disuruh ngganti lagi ya diganti. Pokoknya, apa kata "instruksi" lah. Kata orang aktif, ia "hidup tapi mati". Ia "hidup tanpa nyawa". Ia sebagaimana benda mati, robot, yang nggak pernah punya inisiatif apapun.

Ini yang paling parah. Jadi, kalaupun manusia reaktif punya sisi kelemahan, ia masih jauh lebih mending daripada manusia pasif.

Orang reaktif bisa menjadi orang yang "benar" karena ia merespon masalah akibat kesalahan-kesalahannya. Ia bisa menjadi karyawan yang lebih baik karena pernah ada peringatan atau teguran dari atasan. Ia bisa menjadi manusia yang bijak karena ia pernah menderita akibat ketidakbijakannya. Ia bisa menjadi manusia yang sabar karena pernah "termakan" ketinggian emosionalitasnya.

So, sebagaimana arti judul posting ini : menjadi manusia reaktif boleh, asal kita mampu mengambil hikmah daripadanya, untuk kemudian menjadikannya bahan perbaikan diri. Kalau tidak mampu, jangan. Menjadi manusia proaktif, ini yang sangat dianjurkan. Namun, menjadi manusia pasif, no way lah yau! Tak ada tempat bagi manusia pasif ini. OK?


Salam perenungan,

Fajar S Pramono



Ilustrasi : http://v.mercola.com