Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

HANYA DUA PERSEN!


Dari Napoleon Hill, saya menjadi lebih tersadar, bahwa orang yang benar-benar sukses menjadikan angan-angan menjadi sebuah kenyataan sangatlah sedikit. Hanya dua persen! Atau bahkan, jika menterjemahkan uraian Hill secara teks, bisa jadi angkanya menjadi lebih kecil dari itu.

Apa iya?

Ini hasil pengamatan Hill. Dengan membuat urutan proses mulai dari (1) angan-angan, (2) keinginan, (3) harapan, (4) kepercayaan, (5) keyakinan dan (6) pelaksanaan berlandaskan sikap mental positif, Hill mendapatkan fakta berdasarkan studi "seumur hidup"-nya sebagai berikut :

--satu--
Banyak orang yang hanya suka berangan-angan. Sikap ini bahkan bisa saja angin-anginan. Berubah-ubah. Jumlah orang yang berhenti pada langkah ini adalah tujuh puluh persen.

--dua--
Sebagian dari itu meningkatkan angan-angannya menjadi keinginan yang lebih terfokus. Tapi, belum ada komitmen tertentu atas keinginan itu. Jumlah orang yang sampai pada langkah ini sudah turun drastis. Hanya menjadi sepuluh persen.

--tiga--
Sebagiannya lagi meningkatkan angan-angan dan keinginannya sebagai harapan. Mereka sudah berani berkhayal bahwa mereka akan mencapai apa yang diinginkannya pada suatu ketika. Jumlah orang yang sampai pada taraf ini menurun menjadi delapan persen.

--empat--
Kelompok yang lebih yakin bahwa ekspektasinya akan terwujud semakin sedikit. Merekalah yang telah berhasil menterjemahkan harapan itu menjadi sebuah kepercayaan. Dari pengamatan Hill, jumlahnya hanya enam persen.

--lima--
Kelompok yang lebih kecil lagi telah berani mengkristalkan lamunan, keinginan, harapan dan kepercayaannya menjadi sebuah keyakinan. Jumlahnya tinggal empat persen.

--enam--
Dan, teramat sedikit orang yang berani take action dengan membuat rencana untuk mewujudkan angan-angan, keinginan, harapan, kepercayaan serta keyakinan itu dalam sebuah kenyataan. Orang-orang inilah yang pada akhirnya sukses, karena sikap mentalnya yang positif. Dan ternyata, jumlah orang pada kelompok ini hanya dua persen!

***

Dua persen. Berarti, hanya satu orang dari lima puluh orang! Luar biasa sedikitnya.
Pertanyaan dan tantangannya adalah : adakah kita masuk dalam kelompok yang dua persen ini?

Mari instropeksi. Atau, jangan-jangan kita merupakan bagian yang paling ekstrim : kelompok tiga puluh persen, yang bahkan untuk berangan-angan pun tidak berani? Naudzubillahi min dzalik. Semoga tidak.


Salam perenungan,

Fajar S Pramono

NB :
Ada satu buku bagus lagi dari Napoleon Hill : SUCCESS; The Best of Napoleon Hill. diterbitkan oleh Ufukpress Oktober 2008, merupakan terjemahan dari Napoleon Hill's Keys to Success.

Ilustrasi : melatiputihku.wordpress.com

LUPA PADA HARI SOEMPAH PEMOEDA


Kemarin pagi saya terlambat sampai kantor. Waktu tempuh (ukuran di Jakarta tidak bisa lagi menggunakan istilah "jarak tempuh") yang biasanya sekitar 20 menit, molor sampai dengan 1 jam!

Lepas daerah Paseban, saya sudah terperangkap dalam jejalan kendaraan besar dan kecil. Mobil maupun motor. Waktu lebih banyak terisi untuk berhenti daripada berjalan.

Untung, saya selalu menyiapkan "bekal" untuk mengisi kekosongan (dan juga "kekacauan") waktu seperti itu. Bekal saya adalah buku. Bacaan apapun. Walhasil, di tengah bisingnya jeritan protes para klakson, saya dengan khusyuk justru menuntaskan puluhan halaman buku Hati Baru-nya Dahlan Iskan. Bagus banget, kebetulan.

Dengan "kekhusyukan" seperti itu, saya sungguh tak berupaya mencari tahu, kenapa hari itu jalanan sesak bin macet separah itu. Sampai suatu kilometer tertentu, persis di mana terjadi bottle-neck di mana 4 jalur mobil plus satu busway alias jalur Trans Jakarta menyempit menjadi satu jalur mobil dan satu busway, tampaklah sekumpulan orang yang sedang khidmat mengikuti sebuah upacara, dengan barisan yang terpaksa merampas hak pemakai jalan untuk memanfaatkan tiga jalur di sisi kiri jalan Kramat Raya itu.

Deg! Ada apa ini? Demo? Pagi-pagi begini?

Rasanya bukan. Dan "...deg!" lagi. Bukankah hari ini hari Sumpah Pemuda?, tanya saya dalam hati.

Ya ampun! Setan atau makhluk Tuhan mana yang telah mengiris dan membuang sebagian ingatan saya pagi itu, bahwa tanggal 28 Oktober itu merupakan salah satu hari yang pantas diperingati oleh rakyat di negeri ini?

Padahal, beberapa hari sebelumnya saya baca dan dengar berbagai keriuhan menyambut hari bersejarah itu. Bahkan, Senin 27 Oktober itu, saya membeli Majalah Tempo Edisi Khusus yang mengulas topik dan historikal Soempah Pemoeda, lengkap dengan foto jadul Museum Sumpah Pemuda di Jl. Kramat Raya 106 itu! Sebuah gedung, di mana di depannya sedang berlangsung upacara dengan peserta yang meluber ke jalanan itu!

Masya Allah. Kalau saya jarang lewat situ, silakan dimaklum. Tapi, Gedung Museum itu sesungguhnya hanya beberapa ratus meter di sebelah kantor saya yang lama, yang hanya berselisih 32 nomor di deretan nomor genap sisi Barat Jalan Kramat Raya itu! Yang artinya, hampir setiap hari saya lewati dari kedua sisi arahnya. Ya ampun...

Ya Allah, ampuni aku. Bukan aku mau melupakan peristiwa bersejarah yang membuat bangsaku besar dan satu seperti sekarang ini. Sungguh, bukan begitu. Saya mengaku alpa, Tuhan.

Memang, sebagaimana Engkau tahu tentang aku, aku bukanlah orang yang mendewa-dewakan dan mengagung-agungkan seremonia sebuah peringatan, jika di sekelilingnya tak ada aksi nyata sebagai perwujudan semangatnya. Bukan aku orangnya yang hanya suka berformal-ria, tanpa berusaha menggerakkan segala sesuatunya ke dalam nyata.

Tapi harus kukatakan kepada-Mu, Tuhan. Bahwa aku menyesal. Bahwa aku malu, karena telah melupakan salah satu anugerah-Mu, yang Engkau berikan melalui pendahulu-pendahulu terpilih-Mu.

Buat seluruh sahabat, selamat hari Sumpah Pemuda. Terlambat, saya pikir tak mengapa. Toh ingatan tak akan menjadi tak ada guna, jika kita meyakininya.


Salam pemuda! (34 tahun masih muda kan? Hehe...)

Fajar S Pramono



Ilustrasi : www.papua.go.id

MARKETER, NOT SALESMAN


Anda adalah seorang pemasar. Orang marketing, begitu kata keren-nya.

Sebagai pemasar, pernahkah klien Anda, nasabah Anda, langganan Anda, buyer Anda, memuji kemampuan Anda?

Pernahkan dalam suatu waktu yang berbeda, orang-orang itu --klien, nasabah, langganan, buyer--, mengeluh atas kualitas pelayanan Anda atau organisasi Anda?

Pernahkah, dalam waktu yang lain, mereka --klien itu, nasabah itu, langganan itu, buyer itu-- bertanya dan meminta advis atas bisnis dan aktivitas yang dijalankannya?

Pernahkah, dalam waktu yang lain lagi, klien, nasabah, langganan dan buyer Anda tersebut mengajak berbincang sebagai seorang kawan, sahabat, dan berbicara tentang hal pribadi di luar bisnisnya?

Jika semua jawabannya adalah "ya", maka Anda pemasar yang baik bagi mereka.

Jika minimal separo jawaban adalah "ya", maka Anda sudah cukup baik berperan sebagai pemasar.

Jika lebih dari separo jawabannya adalah "tidak", maka tengok kembali status Anda sebagai pemasar.

***

Ada yang perlu diingat. Saya adalah salah satu manusia yang setuju bahwa marketer tidak sama dengan salesman. Pengertian pemasar, jauh lebih luas dari "sekedar" penjual (an sich).

Ada perbedaan "orientasi" di sana. Jika pemasar berorientasi terhadap proses tanpa menafikan hasil akhir, maka penjual (an sich) hanya berorientasi kepada hasil akhir.

Contoh gampangnya begini : marketer A bisa berhubungan langsung dalam konteks pemasaran dengan seorang Direktur Utama --sebut saja Mr. X-- sebuah perusahaan besar multinasional. Semua orang tahu, bahwa untuk bisa bertemu dengan Mr. X yang supersibuk dan sangat protokoler, tidak sembarang orang bisa memperoleh kesempatan itu. Tapi, si A berhasil, dan bahkan bisa menawarkan produk atau kerjasama secara langsung.

Kalaupun hasilnya belum menggembirakan (belum ada "closing" atau "dealing"), maka ranah pemasaran telah mengakui proses itu sebagai sebuah "prestasi". Ia harus dihargai.

Namun, ketika bicara dalam konteks salesmanship, seberapapun jauh prosesnya, sepanjang tidak diakhiri dengan yang namanya "closing", maka ia tidak akan disebut "berhasil". Sekali lagi, salesmanship benar-benar hanya bicara tentang hasil. Seberapapun hebat caranya, jika produk tidak terjual, jika kerjasama tak terwujud, maka ia belum pantas disebut sebagai "prestasi".

***

Karenanya, dalam pemasaran yang menghargai "proses", hubungan pra transaksi, on transaction, maupun pasca transaksi merupakan suatu kesatuan tak terpisahkan dari proses "jualan" itu sendiri. Karena, tidak ada istilah "jual putus" dalam pemasaran. Ia juga lekat dengan kualitas hubungan --personal maupun organisatoris--, kenyamanan relasional, "pembinaan", bahkan "persahabatan".

So, jika kita mengaku sebagai pemasar, mari coba kita telaah lagi pertanyaan-pertanyaan di atas, sebagai bahan evaluasi untuk diri kita.

***

Anda boleh setuju, dan sangat berhak untuk tidak setuju. Please entry your comments here, semata untuk membuka lebih lebar wawasan saya yang terbatas. Thanks before.


Salam perenungan,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://a.abcnews.com

KUNCI PERCAYA DIRI


Dari Mario Teguh Golden Ways semalam (26/10), tersampaikan kunci percaya diri. Intinya, lebih kurang sebagai berikut :

Orang percaya diri bukan karena ia hebat. Namun, lebih karena NIAT BAIK-nya.
-- Kalau kita datang untuk membantu, kenapa kita harus minder?
-- Kalau saya datang untuk memberi keuntungan, mengapa musti takut diusir?
Sahabat, saya yakin kita semua memiliki kunci itu. Niat baik itu. Tinggal kita mau menggunakannya atau tidak, untuk memperbesar rasa percaya diri kita. Apakah kebaikan untuk orang lain itu yang mau kita niatkan, atau justru niat yang buruk.

Tentu saja, kedepankan niat baik kita. Karena di situ pula --lepas dari hasil tindakan kita nantinya--, Insya Allah kita akan beroleh pahala.

Hadits Nabi Muhammad SAW mengatakan, "Innama a’malu bin niat". Sesungguhnya segala amal tergantung pada niatnya.

Secara hakiki, kita manusia dibekali hati nurani, yang bisa mengatakan pada diri kita tentang baik tidaknya suatu niat. Manakala niat baik yang kita miliki, pasti hati dan diri ini menjadi tenang. Di situlah kepercayaan diri akan muncul dengan sendirinya.

Sebaliknya, ketika niat buruk dan bertentangan dengan kata hati nurani yang kita kedepankan, maka hati dan diri ini akan jauh dari ketenangan. Ketidaktenangan inilah yang akan menjadi penghalang besar bagi hadirnya kepercayaan diri.

So, gunakan hati nurani sebelum berniat. Dan senantiasa bersyukurlah, kita memiliki hati nurani yang tidak akan pernah berbohong.


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://tenanghati.files.wordpress.com

(MASIH TENTANG) PEMIMPIN DAN BUKU


Posting pagi ini, masih ingin menyambung topik kemarin. Tentang pemimpin dan buku. Bahkan bisa spesifik lagi, tentang Presiden Indonesia dan buku.

Majalah Matabaca --majalah yang mentasbihkan dirinya sebagai "jendela dunia pustaka"-- vol.7/no. 2/Oktober 2008 mengangkat topik utama mengenai sosok calon presiden, dan buku. Dengan cover sosok M. Fadjroel Rachman --salah seorang pengamat politik yang mencalonkan diri sebagai presiden dari gugus independen--, tertulis dengan huruf besar tema utama itu : Presiden Melek Buku.

Wow! Di dalamnya, ada juga diulas para "kompetitor"-nya, yakni sosok muda lainnya : Rizal Mallarangeng, Yusril Ihza Mahendra, Sutiyoso alias Bang Yos, Rizal Ramli; juga "wajah-wajah lama" seperti Amien Rais, Wiranto, Gus Dur, dan juga SBY. Majalah ini bahkan mencoba "membandingkan" dengan tokoh-tokoh pemimpin di mancanegara seperti Adolf Hitler, Mao Tse-Tung, Mahatma Gandhi, bahkan Barack Obama.

Ada dua hal yang diintikan dalam ulasan di rubrik Gagasutama edisi ini, yang notabene merupakan dua peng-ejawantah-an istilah "melek buku" :

Pertama, bahwa seorang pemimpin, selain harus terampil memimpin melalui tutur bahasa lisannya, ia juga harus bisa menuangkan ide-ide kepemimpinannya melalui bahasa tulisan. Melalui kemampuannya menulis. Memindahkan ide di kepala dan benak pemikirannya secara literer.

Dalam model pemilihan pemimpin secara langsung oleh rakyat seperti yang terjadi di Indonesia masa kini dan di Amerika sejak masa lampau; karakter, kemampuan dan bahkan gaya serta prinsip-prinsip kepemimpinan seseorang bisa kita "baca" dari apa-apa yang ditulisnya. Dari apa-apa yang menjadi opini publikatis-nya di berbagai media cetak. Ya koran, ya majalah, ya buku.

Segala sesuatu yang tertuang dalam waktu lama, merupakan sebuah cermin kompetensi dan konsistensi. Dari ide-idenya, kita bisa melihat kapabilitasnya jika suatu ketika si penulis harus memimpin. Ini yang saya maksud : melihat kompetensi. Dari ide-ide yang tersebar dalam kurun waktu lama tersebut, kita bisa melihat keteguhan prinsipnya. Konsistensinya. Kenapa? Karena, sosialisasi ide melalui tulisan di media ataupun buku tidak dibatasi oleh waktu sebagaimana "kampanye formal" yang hanya dilakukan secara "jangka pendek" beberapa waktu sebelum prosesi pemilihan itu sendiri.

Jika hanya "jangka pendek", maka bisa jadi ia hanyalah sebuah "lips service". Namun, jika seseorang sudah meng-"kampanye"-kan pemikirannya secara berkesinambungan dalam jangka waktu lama, maka keyakinan akan kompetensi dan konsistensinya, Insya Allah lebih bisa dipercaya.

Kedua, seperti "jiwa" posting sebelum ini, bahwa seorang pemimpin seyogyanya merupakan orang yang "mau membaca".

Di ulasan Gagasutama tadi, ada sebuah judul menarik tentang hal ini : 100 Judul Buku Sastra untuk Calon Pemimpin Bangsa. Di prolog artikel itu disampaikan : "Bagaimana caranya "membaca" keunggulan calon presiden kita? Salah satu dari puluhan kriteria adalah kecintaannya pada dunia membaca. Buku apa saja?"

Artikel itu kemudian menyampaikan, bahwa salah satu buku yang "harus" juga dibaca adalah buku sastra. Kenapa?

Simak kata Baharuddin Aritonang : "... supaya hatinya mudah terpanggil." dari Fadjroel Rachman dan Rizal Mallarangeng tersirat alasan, "... akan mempertajam pemikiran seseorang." Bahkan kata Fadjroel, "Dengan karya sastra, kita bisa dapat gambaran yang utuh dari sosok manusia daripada data primer."

Simak juga quote atau judul kecil blog seorang kawan pecinta buku, resensor sekaligus aktivis perbukuan Endah Sulwesi : Seni dan Sastra Membuat Hidup Ini Sedikit Lebih Gemulai. Nah lo...

Ya, sastra diyakini membuat hati dan pemikiran ini menjadi lebih "lembut". Lebih "sensitif". Dan sensitifitas serta kepedulian yang tinggi, adalah sesuatu yang sangat diharapkan rakyat terhadap pemimpinnya.

***


Secara umum, saya sepakat akan pentingnya dua aktivitas dari segunung kriteria seorang calon pemimpin yang diidealkan oleh Gagasutama di atas. Pertama, mau menulis. Kedua, mau membaca.

Sip! Alhamdulillah, setidaknya saya sudah memiliki semangat untuk melakukan keduanya. Mudah-mudahan ini bisa jadi bekal untuk menjadi pemimpin. Amien...

Lhah, ujung-ujungnya kok narsis?! Biarin! Hehe...


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://pragdave.pragprog.com dan http://life.antonypranata.com

RAJA, PEMIMPIN DAN BUKU


Saya pilih menjadi orang miskin yang tinggal di pondok penuh buku daripada menjadi raja yang tak punya hasrat untuk membaca.
--Thomas Babington Macaulay (1800–1859), sejarawan Inggris--

Aha! Saya senang sekali membaca quotation yang saya "temukan" kemarin itu. Macaulay seakan membuat saya "ter-bela-kan". Arti gampangnya, merasa "dibela".

Iya saja, jika mengingat "harta" saya ada banyak di buku. Salah satu (atau salah banyak ya?!) aksesoris, ornamen, dan bahkan hiasan dinding di rumah saya yang membanggakan buat saya adalah deretan dan tumpukan buku. Rapi ataupun berantakan buku itu, bagi saya, itu bagian dari seni design interior! Walah! Hehe..

Secara prinsip, saya setuju dengan Macaulay. Intinya, hidup bersama buku --tentu saja buku yang dibaca, bukan sekedar dikoleksi-- sesungguhnya telah membuat kita "kaya". Kaya ilmu, kaya pengetahuan, kaya wawasan. Dan itu sungguh berharga menurut saya.

Seorang raja, seorang pemimpin, yang tidak mau membaca, maka sangat mungkin bahwa kemampuan teoritisnya tak banyak beranjak dari waktu ke waktu. Ia memang akan menang pengalaman. Belajar dari lapangan. Tapi, mungkinkan semua pengalaman yang bisa dialami orang lain akan sempat mereka cecap sendiri dan menjadi pengalaman pribadi?

Pengalaman yang dialami sendiri, mungkin adalah guru terbaik. Tapi, pengalaman orang lain, tak kalah baiknya. Dan pengalaman orang lain, keluasan pandang orang lain, banyak terungkap dalam sebuah wahana literasi. Salah satu yang utama, adalah buku tersebut.

Sebuah kalimat bijak (yang sudah saya olah sendiri) mengatakan, "Tak cukup waktu bagi kita untuk mereguk semua pengalaman berharga dalam hidup untuk belajar. Maka, belajarlah juga dari pengalaman orang lain."

So, buku memungkinkan percepatan proses pembelajaran itu. Ingat, bahwa waktu alias bahwa "jatah hidup" kita terbatas. So, beri kesempatan maksimalisasi percepatan-percepatan sebanyak mungkin. Toh semua demni kemajuan. Bukan demi kemunduran.

Kembali kepada quotation Macaulay.
Dengan dasar pemahaman seperti di atas, maka layaklah bila seorang pemimpin, seorang "raja", harus melek literer. Lugasnya, harus melek buku.

Menyenangkannya, "kesadaran" akan tuntutan seperti itu semakin hari semakin nyata. Untuk melihat karakter seseorang, salah satunya, lihatlah dari koleksi bukunya. Bukankah petuah bijak juga mengatakan, "Kita lima tahun mendatang adalah dengan siapa kita berkawan, dan buku apa yang kita baca". Nah lo... :)

***

Tapi, meskipun saya setuju Macaulay, saya punya keinginan yang berbeda dengannya. Kalau Macaulay memilih miskin bersama buku daripada menjadi raja (dengan asumsi berkecukupan harta alias kaya) tanpa hasrat membaca, maka saya memilih untuk kaya, mampu menjadi pemimpin, tapi memiliki hasrat dan gudang buku yang sama besarnya!

(Haha... namanya juga quotation. Itu kan metafora yang seringkali hiperbolik, Bung!)
Hehe... tapi boleh kan, punya keinginan seperti itu? :)


Salam buku,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://g-ecx.images-amazon.com.

EKONOMI PESIMISTIS?


Seminggu belakangan ini, banyak sekali saya menerima pertanyaan dari para pelaku usaha. Sebagian besar, memang merupakan nasabah peminjam di bank.

Luar biasanya, hampir seluruh pertanyaan bernada sama.

"Pak, katanya ada kebijakan penghentian ekspansi kredit ya, Pak?" tanya seseorang.

"Kondisi lagi sulit nih, Pak. Terus terang kami butuh tambahan modal. Tapi saya dengar, bank lagi kesulitan likuiditas ya? Gimana nih, Pak?" tanya seseorang yang lain.

"Pagi, Pak. Pingin tau kebijakan perbankan soal pengucuran kredit. Sedang ada pembatasan ya, Pak?" nada tanya orang yang lain lagi di ujung telepon.

Masih banyak pertanyaan senada. Intinya, mereka yang biasa menggunakan jasa perbankan (dalam hal kredit), sedang "gelisah". Kondisi ekonomi makro seolah "mengatakan" kepada mereka, 'You musti perkuat modal saat ini!'. 'Kalau nggak, siap-siap saja turun kapasitas!'.

Semacam itulah, "kata" ekonomi makro kepada mereka. "Kata-kata" itu pulalah yang membuat mereka gelisah, dan kemudian bertanya.

Saya mencoba turut "menenangkan" (ceile!) mereka. Saya katakan, sementara perbankan (terutama institusi di mana saya bernaung) belum melakukan pembatasan-pembatasan yang diperketat. Tapi, secara umum, kalangan perbankan memang menjadi ekstra hati-hati dalam pengucuran kredit, terutama pada sektor-sektor yang mau tak mau terkena imbas krisis keuangan global yang berpusat di Amerika itu.

Seorang pengusaha dengan produk berbahan baku impor, misalnya, yang menjual produknya dalam bentuk rupiah. Tentu sektor usaha yang demikian perlu diwaspadai. Harga bahan baku dalam dollar Amerika, yang dengan kurs sekarang menjadi "mahal", sementara mereka harus berjualan dalam bentuk rupiah. Kalau kondisi dan daya beli masyarakat membaik, tentu tidak masalah jika harus dilakukan penaikan harga produk. Tapi, dengan daya beli masyarakat yang juga cenderung melemah, mungkinkan kenaikan harga produk akan berjalan seiring dengan peningkatan, atau bahkan sekedar stabilitas omzet? Saya tak yakin.

Begitu juga dengan produsen produk berorientasi ekspor, khususnya ke Amerika dan Eropa. Pemerintah sudah memperingatkan, bahwa daya beli atau daya impor Amerika negara-negara di Eropa menurun cukup signifikan. Kendati jika ditilik dari segi kurs, menguatnya dollar Amerika memungkinkan margin keuntungan yang membesar.

Pemberitaan teks di Metro TV bahkan jelas menyebutkan : L/C (Letter of Credit)dari Amerika dan eropa berisiko tinggi.

Memang, tak sedikit pihak yang mengguratkan optimisme berlandaskan asumsi adanya "de coupling", di mana diyakini bahwa pertumbuhan ekonomi di Asia tetap akan kuat, meskipun terjadi pelemahan ekonomi di Amerika dan Eropa.

Tapi, siapa yang bisa meyakini hal tersebut kalau imbas krisis keuangan Amerika benar-benar mulai terasa di bumi Indonesia ini?

Beberapa pengamat, Muhammad Chatib Bisri misalnya, termasuk yang pesimis dan tidak yakin, bahwa effect krisis Amerika dan Eropa tidak terlampau berpengaruh di Asia. Ia memprediksi, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih akan melambat, setidaknya di triwulan keempat 2008 dan triwulan pertama 2009 (Majalah Tempo, edisi 20-26 Oktober 2008).

***

Lepas mana yang benar (meskipun kita berharap bahwa teori "de coupling" yang benar), pesimisme di berbagai bidang ekonomi sudah mulai terasa.

Dalam posting ini, saya bukan mau membahas detail krisis Amerika dan imbasnya di Indonesia. Saya hanya ingin mengkaitkan dengan teori pengembangan diri. Bahwa pesimisme, bukanlah landasan yang baik untuk bersikap. Dalam bidang apapun.

So, bagi para pengamat dan ahli ekonomi, marilah kita leboh banyak melihat berbagai sisi ekonomi yang bisa menyiratkan optimisme, dibanding "memperbesar kegelisahan" pasar dan pelaku usaha dengan berbagai pesimisme ekonomi. "Membumi" dan realistis dalam analisa adalah kemutlakan, tapi coba selalu dampingi analisa pesimistis tersebut dengan solusi, dengan jalan keluar alternatif, jika memang semua prediksi itu harus terjadi. Yakinkan kami bahwa keberhasilan ekonomi masih sangat mungkin kita raih, bahwa pertumbuhan ekonomi terus saja memberikan tingkat keniscayaan yang tinggi, dengan adanya solusi-solusi itu.

Intinya, kibarkan optimisme. Jangan perdalam jurang pesimisme. Jika pesimisme yang terus digembar-gemborkan, bisa jadi LoA (Law of Attraction) akan "bicara" untuk membuktikannya.

Wallahu a'lam bishshawab. Yakinlah, bahwa kita dan negeri kita akan mampu mengatasi semuanya dengan hasil terbaik. Insya Allah.


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://blog.agul.net.

KALAU BISA PAKAI YANG MUDAH, KENAPA HARUS PAKAI YANG SULIT?


Betul. Kalau bisa pakai yang mudah, kenapa harus pakai yang sulit?

Ungkapan klasik yang kadang seringkali terdengar sebagai "kalau bisa mudah, kenapa dipersulit?", bahkan jamak diplesetkan menjadi "kalau bisa sulit, kenapa dipermudah?" itu rasanya pas banget untuk menunjukkan apa yang diposting seorang kawan TDA : Mas Adzan Wahyu Jatmiko. Seorang pemuda putih ganteng, pengantin yang (lumayan) baru :) dan pengusaha sukses itu. Yang beberapa waktu lalu bahkan sempat nongol dengan membanggakan di Media Indonesia.

(Sebelumnya mohon maaf, Mas Adzan. Saya akan meng-copy paste postingan Sampeyan. Sepanjang untuk kebaikan, dimaafkan ya, Mas? Hehe)

Begini isi postingannya. Judulnya cukup serius : Belajar Istilah-istilah Dunia Marketing Yuk!

--satu--
Loe liat seorang cewek cantik d sebuah pesta..
loe samperin trus langsung ngomong,'Gw orang kaya, nikah sama gw yuk!'
Itu namanya Direct Marketing

--dua--
Loe lagi di sebuah pesta sama temen2 gokil loe trus loe tiba2 liat ada cewe cakep
banget..
Salah satu temen loe samperin tuh cewe sambil nunjuk ke loe dia ngmg,'Dia orang
kaya, nikah ama dia yah!'
Itu namanya Advertising

--tiga--
Loe liat seorang cewek cantik d sebuah pesta.. loe samperin trus minta nomor henponnya..
besokannya loe telpon dia trus langsung ngomong,'Gw orang kaya, nikah sama gw yuk!'
Itu namanya Telemarketing

--empat--
Loe liat seorang cewek cantik d sebuah pesta.. loe rapihin dasi gembel loe, loe tuangin minum buat dia, bukain pintu buat dia, bawain barang2nya, trus sambil loe anterin pulang loe ngomong,'btw gw orang kayak, nikah sama gw yuk!'
Itu namanya Public Relations

--lima--
Loe liat cewek cantik di sebuah pesta..
Dia nyamperin loe trus ngmg,'Loe orang kaya kan , nikah sama gw yuk!'
Itu namanya Brand Recognition

--enam--
Loe liat seorang cewek cantik d sebuah pesta..
loe samperin trus langsung ngomong,'Gw orang kaya, nikah sama gw yuk!'
.. trus loe dapet gamparan pedes dari dia..
Itu namanya Customer Feedback

--tujuh--
Loe liat seorang cewek cantik d sebuah pesta..
loe samperin trus langsung ngomong,'Gw orang kaya, nikah sama gw yuk!'
.. trus dia kenalin loe ke suaminya..
Itu namanya Demand and Supply Gap

--delapan--
Loe liat seorang cewek cantik d sebuah pesta.. loe samperin tp blom juga loe sempet ngmg apa2, ada cowo laen dateng trus langsung ngomong,'Gw orang kaya, nikah sama gw yuk!' ..
Itu namanya Marketing Competition

--sembilan--
Loe liat seorang cewek cantik d sebuah pesta.. loe samperin tp blom juga loe sempet ngmg apa2, ada cowo laen dateng trus langsung ngomong,'Gw orang kaya, nikah sama gw yuk!' dan tuh cewe cabut pergi ma itu cowo..
Itu namanya Losing Market Share

--sepuluh--
Loe liat seorang cewek cantik d sebuah pesta..
loe samperin tp blom juga loe sempet ngmg 'Gw orang kaya, nikah sama gw yuk!' .. tiba2 istri loe nongol..!
Itu namanya Barrier To New Market Entry

***

Pfuuh! Saya salut pada pencipta "teori" di atas. Anda boleh tersenyum simpul, tersenyum tidak simpul, tertawa kecil, atau bahkan tertawa besar. Tapi, semua isi posting itu, semua contoh-contoh yang digunakan untuk menggambarkan istilah itu, sangat benar adanya. Ia yang tampak becanda, sesungguhnya adalah serius. Dan justru "kebecandaan"-nya itu yang membuat istilah-istilah marketing (itu bener-bener istilah marketing lho! --red) menjadi sangat mudah dipahami.

Ah, andaikan buku-buku teori yang "sok ilmiah" itu bisa diterjemahkan dalam bentuk yang paling sederhana, sebagaimana sesuatu yang dialami dalam keseharian kita, tentu banyak orang makin paham berbagai teori ilmiah dan literer "susah-susah" itu.

Saya jadi ingat, "semangat" ketika membuat buku pertama dulu. Semangat "memudahkan" pemahaman orang itulah yang saya pakai dalam gaya tulisan saya. Karena dalam pandangan saya, cukup "memusingkan" bagi orang awam jika harus dicekoki berbagai istilah perbankan yang banyak diambil dari istilah akuntasi berbau western.

"Semangat" itu juga yang saya pakai dalam mengisi kolom saya di Majalah Wirausaha & Keuangan, yang rencananya akan diterbitkan sebagai sebuah buku menjelang akhir tahun ini.

Namun tentu saja, kemampuan saya dalam "memudahkan" pemahaman orang masih sangat jauh dibanding pencipta posting di atas.

***

Ah, untuk jadi pintar, memang tak selalu harus mengkonsumsi sesuatu yang "sok sulit". Kadang, untuk jadi sehat, tak harus selalu mengkonsumsi obat-obatan dan suplemen yang pahit-pahit itu. Ada buah-buahan yang segar, juga ada sayur-sayuran yang enak. Itu kata orang yang suka sayur dan buah, yang pastinya bukan saya yang "alergi" serat alami... (makanya jadi gendut begini, hehe...)

Kadang juga, untuk jadi sukses, tak harus dengan ide-ide besar, yang bahkan dalam pelaksanaannya menjadi kegamangan. Banyak kesuksesan yang berasal dari ide kecil, namun menjadi sesuatu yang besar karena dilaksanakan dengan keseriusan yang tinggi.

Menutup posting ini, saya jadi kepikiran untuk membuat contoh-contoh mudah untuk istilah-istilah perbankan. Mampu nggak ya? :)


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://school.scrabble-assoc.com

INVESTASI TERBAIK


Dunia investasi memang sedang goncang. Gonjang, sekaligus gonjing. Carut, sekaligus marut. Kacau, sekaligus balau. Acak, sekaligus adul. Apa lagi ya? Hehe.:)

Dari halaman 1 Harian Kompas edisi Kamis, 16 Oktober 2008, terkisah sebuah cerita "pilu". Adalah Vincent Lingga, nasabah Citigold, Citibank Jakarta yang harus kehilangan Rp 450 juta-nya, akibat kebangkrutan Lehman Brothers 15 September lalu. Citigold itu sendiri adalah produk keluaran Lehman Brothers yang dipasarkan Citibank.

Angka kerugian Vincent di atas merupakan angka yang ia gelontorkan untuk produk investasi pada Juni 2007 lalu.

Malam harinya, saya menerima telpon dari adik sepupu. Ia bercerita tentang kerugiannya akibat bermain saham. Akhirnya, untuk sementara ini, ia hanya mau berinvestasi dan menyimpan satu item saham perusahaan saja : saham bank terbaik di negeri ini. (kalau saya sebut, nanti ujung-ujungnya pasti disebut promosi... hehe)

Tapi bagus. Ia tidak kapok. Bahkan ia menanyakan ke saya, apakah saya punya "jatah" saham berdiskon karena saya adalah pekerja di perusahaan yang ia buru sahamnya. Ia ingin "mengganti" kerugian-kerugian yang ia alami akibat bursa global yang anjlok tak keruan ini. Saya sendiri tidak bisa berjanji, dan hanya bilang, "Insya Allah".

***

Karenanya, saya tersenyum simpul saat membaca sebuah Anotasi di Koran Sindo Jum'at (17/10) kemarin.

"Pengalaman mengajariku beberapa hal. Pertama, dengar kata hatimu betapapun bagusnya suatu hal di atas kertas. Kedua, sebaiknya tetap berpegang pada apa yang kau kuasai. Ketiga, terkadang investasi terbaik adalah investasi yang tidak kau lakukan."
(Donald Trump, taipan properti AS)

Aha! Saya sendiri bukan sekali dua membeli saham, tapi Alhamdulillah, semuanya sudah terjual dalam kondisi sangat-sangat menguntungkan. Tapi "lucu" juga, mendengar kesimpulan terakhir dari pengalaman Trump : terkadang, investasi terbaik adalah investasi yang tidak kita lakukan.

Dalam kondisi seperti saat ini, tentu banyak orang meng-amin-i. Di antaranya yang pasti : orang-orang yang memang tidak melakukan investasi (utamanya) dalam bentuk saham. Entah karena paham kondisi, atau karena memang tidak punya uang. :)

Tapi, cobalah baca kesimpulan Trump tadi dalam kondisi cateris paribus. Kondisi normal, di mana jual beli saham, permainan derivatif, otak-atik option, reksadana dan sebagainya di pasar uang berjalan dalam kisaran predictable non spekulatif. Ia (kesimpulan itu) pasti dianggap sesuatu yang "bodoh".

***

Salah satu peng-amin kesimpulan Trump, tentu adalah orang-orang yang selama ini memang "takut" berinvestasi. Namun demikian, apakah kesimpulan Trump adalah sebuah kebenaran, hanya karena ia adalah "pakar" dan sosok seseorang yang telah membuktikan kesuksesannya dalam berinvestasi?

Saya sendiri tidak menentang pendapat Trump. Namun, saya justru takut jika "dogma" Trump ini dijadikan pegangan banyak orang.

Begini. Logikanya, kita tidak akan pernah merugi dalam investasi, karena kita memang tidak pernah berinvestasi. Ya, mana mungkin kita rugi akibat anjloknya harga saham jika kita tidak pernah membeli lembar-lembar saham itu? Tentu tidak.

Tapi, ketika saham itu menguntungkan, ketika investasi itu menghasilkan, apakah kita pernah merasa "rugi" karena kita tidak memiliki lembar-lembar sahamnya? Seharusnya, "Ya."

Dalam "ketakutan" saya itu, saya ingat sebuah "petuah" dari senior di kantor. "Kalau nggak berani punya kredit macet, ya jangan ekspansi kredit. Diem saja. Nggak usah mutus kredit. Pasti nggak akan pernah ada yang nunggak!" katanya.

Salahkah kata-katanya? Tidak. Tapi, perusahaan jelas akan rugi jika para pemasar dan pemutus kreditnya tidak ekspansif.

Seorang kawan sering berkelakar pada seorang kawan lain yang sangat rajin membersihkan motornya. "Kalau takut kotor, dibungkus saja tuh motor, ditaruh di garasi, dan jangan pernah dipakai!"

Atau, kata seorang karib sewaktu kuliah, "Nih aku, nggak pernah ditolak cewek!" Dan ketika teman-teman lain merasa kagum, dengan kalemnya dia meneruskan, "Ya bagaimana mau ketolak, lha wong nembak cewek saja belum pernah...." Hehe.

Apa artinya? Semua cerita itu menyiratkan, seolah-olah kita akan aman dari risiko, kalau kita tidak melakukan apa-apa.

Tapi, benarkah? Saya menjawab tegas : tidak!

Ketidakberanian berinvestasi, akan "merugikan" jika sesungguhnya investasi tersebut terbukti menguntungkan bagi investornya. Ketakutan akan ditolak lawan jenis, tentu bisa "merugikan", karena bisa jadi seseorang tidak akan pernah mendapatkan tipe pasangan yang menjadi idealitanya. Pemutus kredit yang tidak berani menggunakan kewenangannya, memang seolah terhindar dari non performing loan alias kredit bermasalah, tapi perusahaannya pasti "rugi" karena tidak akan mendapatkan keuntungan berupa pendapatan bunga pinjaman yang lebih besar.

Dan bahkan, tidak melakukan apa-apa justru seringkali merupakan sumber kerugian!

Ingat, melakukan suatu tindakan produktif dengan berbagai kemungkinan risiko di sekelilingnya, menghasilkan dua kemungkinan : untung, atau tidak. Sepanjang kita memperhitungkan segala sesuatunya sebelum bertindak, maka prosentase untuk memperoleh keuntungan sangat mungkin lebih besar dari prosentase kemungkinan tidak mendapat untung.

Tapi, kalau kita diam dan tidak bertindak, maka kemungkinan hasilnya cuma satu : tidak untung.

So, seperti ketika kita dihadapkan pada tantangan untuk mencoba sesuatu yang baru guna kemajuan diri. Kemungkinannya dua : berhasil, atau gagal. Jika kita melakukan persiapan, maka keberhasilan lebih dekat ke kita. Tapi, kalau bahkan kita tidak berani mencoba, maka tidak ada lagi kemungkinan. Yang ada adalah sebuah kepastian, yakni : pasti gagal. Pasti kita tidak akan pernah akan maju.

***

Itu saja. Mohon pamit. :)


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://nofieiman.com

BAHAGIA DALAM BEKERJA : "BERHENTILAH BEKERJA"


Ah, saya punya janji : menjawab sebuah pertanyaan di akhir postingan "Cintakan Anda pada Pekerjaan Anda?" beberapa waktu lalu.

Lantas, bagaimana jika semua jawaban mengatakan "ya", sementara dengan jujur pula kita akui bahwa kita membutuhkan "sesuatu" (baca : materi/uang) dari pekerjaan itu?


Itu pertanyaannya. (Saran, baca lagi posting di atas)

Masih dari Arvan Pradiansyah, kita harus "berhenti bekerja". Hah? Berhenti bekerja?
Ya. Begitulah kata Arvan. Istilah "berhenti bekerja", sesungguhnya merujuk pada bagaimana kita dapat menghasilkan uang dari sesuatu yang kita sukai (hobi). Jika kita melakukan sebuah hobi, misalnya membuat kerajinan tangan, melukis, bernyanyi, memasak, menulis dan sebagainya, dan di sisi lain semua itu menghasilkan uang, apakah kita akan mengistilahkannya sebagai "bekerja"? Tidak bukan? Kita menyebutnya sebagai "mengerjakan hobi". Bukan "bekerja".

Tentang ini, panjang lebar Arvan menguraikan. Ia mengatakan ada sebuah kunci agar kita bahagia dalam bekerja. Bahkan ia menyebutnya sebagai salah satu "kunci sorga" di dunia.

Apa itu?

Pertama, kita melakukan apa yang kita sukai (hobi kita). Kedua, melakukan apa yang kita kuasai (sesuai dengan keahlian kita). Dan ketiga, pekerjaan tersebut menghasilkan uang (memiliki nilai ekonomis).

Masalahnya, "kunci" versi Arvan ini dapat digunakan untuk masuk kenyamanan "surga" jika ketiganya terpenuhi.

Sementara, di lapangan, sangat banyak kenyataan yang seringkali tidak bisa mendukung perfeksionalitas seperti di atas.

Salah satunya, banyak aktivitas yang disukai, tapi tidak bisa dijadikan pekerjaan.
Untuk case ini, menurut Arvan, sesungguhnya adalah masalah paradigma. Selama ini kita melakukan pemisahan antara hobi dan pekerjaan. Hobi adalah apa yang kita sukai, sementara pekerjaan adalah apa yang kita lakukan untuk memperoleh nafkah (yang mungkin tidak kita sukai). Jika paradigma ini yang kita gunakan, maka kita akan sangat sulit mencapai kebahagiaan dalam bekerja.

Berbicara mengenai paradigma, maka kita diajak berbicara masalah belief (kepercayaan). Menurut Arvan, setiap hobi yang kita miliki --sesederhana apapun-- pasti dapat menghasilkan uang. Hanya masalahnya, kita yakin atau tidak? Ia mencontohkan Rudy Choirudin yang hobi memasak, atau Deddy Corbuzer yang memang hobi sulap. Atlet profesional, kebanyakan juga melakukan aktivitas keatletannya berlandaskan hobi.

Nah, ketika ketidakyakinan bahwa hobi bisa mendatangkan uang itu yang ada di pikiran kita, maka kita akan berhenti menekuni hobi, lantas kemudian mencari pekerjaan yang mendatangkan uang. Pada akhirnya kita memang memperoleh sesuatu yang menghasilkan uang, tapi apa yang kita lakukan sebenarnya bukan sesuatu yang kita sukai. Akibatnya, konsentrasi sering terbelah. Badan dan pikiran tidak berada dalam satu tempat. Dalam kondisi yang demikian, kebahagiaan dalam bekerja seringkali menjadi sebuah utopia.

Dan orang yang tidak berbahagia dalam bekerja, biasanya mereka hanya akan melakukan pekerjaan sebatas job desk mereka. Hanya melakukan apa yang diminta atasan atau perusahaan. Tidak banyak inisiatif, atau terobosan. Pada akhirnya mereka lebih suka berpikir jangka pendek. Short cut. Yang penting hari ini beres. Masalah besok, lusa atau masa mendatang, ya nanti lah.

Lalu, bagaimana agar badan dan pikiran kita menyatu? Inilah menurut saya, bagian terpenting dari uraian Arvan.

Menurutnya, ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama, mari duduk dan merenung. Ambil waktu khusus untuk aktivitas ini. Pikirkan tentang diri kita. Apakah kita sudah melakukan sesuatu yang kita sukai? Atau, apakah sebenarnya pekerjaan yang kita sukai? Jika perlu, "kembalilah" kita ke masa kecil atau masa muda : apa yang pernah sangat kita inginkan dan cita-citakan?

Kalau kita sudah menemukan passion atau kesukaan itu, maka langkah kedua adalah berusaha menguasai keahlian-keahlian agar bisa menjalankan hobi tersebut semaksimal mungkin. Kita harus berusaha menjadi yang terbaik dalam hobi itu. Dan dengan dukungan belief tadi, maka bolehlah kita berharap bahwa "pekerjaan" berbasis hobi ini bisa juga bernilai ekonomis alias menghasilkan uang.

Tentu tidak gampang dan membutuhkan waktu?

Pasti. Saran Arvan, untuk sekarang tekuni saja pekerjaan kita, sambil kita mengasah diri untuk menguasai keahlian yang berdasarkan kesukaan kita. Menurutnya, yang paling penting saat ini, temukan dulu apa sesungguhnya minat dalam jatidiri kita, yang bisa membuat kita seolah "flowing" dan ketagihan dalam bekerja, bahkan mau berkorban apapun untuk melakukannya.

***

Sebuah masukan yang manis, tapi saya pun menyadari, tidaklah mudah pelaksanaannya. Apalagi bagi kita-kita yang "telanjur" masuk dalam sebuah kubangan pekerjaan yang notabene memang bukan hobi kita. Tapi minimal, kita bisa mengerti, betapa passion adalah suatu entitas yang urgen bagi pembentukan kebahagiaan hidup.

Sangat bagus jika kita bisa menerapkan saran Arvan. Tapi jika belum, setidaknya ada yang bisa kita lakukan dalam konteks sebaliknya : berusahalah semakin mencintai pekerjaan kita. Pikirkan hal-hal postif tentang pekerjaan yang sedang kita jalani. Buat pemacu-pemacu semangat dalam bekerja, sehingga kita bisa mencintai pekerjaan itu.

Tapi, jika memang ada yang terbaik dan benar-benar sesuai dengan passion, kenapa tidak itu yang kita lakukan?

Ah, saya tersadar kembali, kenapa kawan-kawan selalu memasukkan unsur "fun" ke dalam "kurikulum" kerja ataupun bisnis mereka. Siapa sih, yang nggak mau melakukan sesuatu yang fun sekaligus bisa mendapatkan uang dari sana?

Saya juga mau! :)


Salam,

Fajar S Pramono


Gambar : buku Arvan Pradiansyah, Cherish Every Moment, diambil dari www.ilm.co.id.

GAMPANG DIMAAFKAN, GAMPANG BIKIN SALAH


Karena maaf jadi gampang,
jadi gampang bikin salah
( ) Gampang maafin
( ) Gampang bikin salah


Itu bunyi iklan "bukan basa-basi"-nya A Mild.
Kreatif menurut saya.

Tapi, kali ini, bukan kreatifitas itu yang mau dibahas. Tapi tentang isi hasil kreatifitas itu sendiri.

Ya, tentang maaf. Mumpung masih Syawal, mumpung masih suasana lebaran.

Dalam sesi materi Hard to Say I'm Sorry, Mario Teguh menegaskan, bahwa hanya orang yang kuat yang memiliki kemampuan memaafkan. Maka, karena kita harus bisa menjadi orang yang kuat, maafkanlah.

Tapi, bunyi iklan di atas telah mengangkat sebuah persoalan yang menarik. Jika semua orang dengan mudah memaafkan, akan ada sebuah "peluang" bagi para pencipta kesalahan untuk mengulang kembali kesalahan yang sama, sebagaimana opsi kedua dalam pilihan jawaban iklan tersebut.

Salahkah jika ada orang yang memilih opsi kedua itu? Tidak, karena itu adalah pilihan.

Dan karena pilihan yang kendati sah itu tidak baik, maka saya mengajak melihat dari dua sisi.

Sisi pertama, dari pelaku kesalahan. Intinya, jangan karena orang yang akan dengan mudah memaafkan kita, kita akan dengan gampang terus melakukan kesalahan. Apalagi kesalahan yang sama. Ingat juga, bahwa hapusnya dosa akibat kesalahan ada dua syarat : dimaafkan oleh yang bersangkutan, dan diampuni oleh Tuhan. So, apakah kita bisa menjamin bahwa Tuhan akan mengampuni kesalahan kita, manakala pemberian maaf sudah kita terima dari orang yang kita "salah-i"? Saya rasa, tidak.

Kemudian, mari kita lihat dari sisi kedua, yakni dari sisi orang yang kita "salah-i" tadi. Mario Teguh mengingatkan, bahwa dalam diri orang yang menjadi obyek kesalahan kita, tidak hanya hak untuk memaafkan yang ia miliki. Ia juga memiliki hak untuk menghukum. Ini yang perlu kita camkan benar-benar.

Jika seseorang memaafkan kita, maka itu berarti ia telah menyingkirkan haknya untuk menghukum. Ia telah dengan sukarela tidak menggunakan haknya. Dan bahkan, orang yang memaafkan sesungguhnya telah menghilangkan haknya sendiri untuk "melukai" orang yang telah bersalah kepadanya.

Itu tentu sebuah pengorbanan yang luar biasa darinya. Karena itu pulalah, sekali lagi, hanya orang yang kuat dan benar-benar besar hati yang bisa melakukannya.

Namun demikian, semua bentuk kesabaran ada batasnya. Bersyukurlah kita, jika orang yang menjadi obyek kesalahan kita memiliki range kesabaran yang luas. Jika tidak, maka ia akan lebih cepat menggunakan haknya untuk menghukum, "melukai", atau bahkan tidak memaafkan kita lagi. So, ketika dua syarat pemaafan pihak lain serta pengampunan dari Tuhan tidak kita peroleh, itu adalah dosa yang "dibawa mati". Na'udzubillahi min dzalik.

So, apa yang musti kita lakukan? Tentu saja, minimalisir kesalahan, selalu berbesar hati untuk meminta maaf sekaligus memaafkan, dan memohon ampun kepada Tuhan. Tak ada yang lain menurut saya.

Menurut Anda?


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : img165.imageshack.us

CINTAKAH ANDA PADA PEKERJAAN ANDA?


Apakah saat ini Anda bekerja dalam sebuah perusahaan atau dalam sebuah institusi?

Pernahkah Anda merenung, apakah Anda bekerja karena Anda memang mencintai pekerjaan itu, atau karena semata "mencintai" uang dari pekerjaan Anda?

Artinya, apakah Anda semata bekerja demi uang, dan menafikan tentang kenyamanan atau rasa cinta Anda kepada pekerjaan yang Anda harus lakukan?

Arvan Pradiansyah, dalam bukunya Cherish Every Moment (2007) mengatakan, ada beberapa "ciri" untuk bisa mengetahui dengan gampang : apakah seseorang bekerja karena cinta, atau sekedar bekerja karena uang.

--pertama--
Cobalah jawab dengan jujur pertanyaan-pertanyaan ini :
- Apakah Anda merasa malas dan berat datang ke kantor?
- Apakah ketika bekerja, Anda sering merasa bahwa waktu berjalan begitu lambat?
- Apakah ketika Anda di kantor, pikiran Anda seringkali "melayang" ke tempat lain?
Jika ya, maka sesungguhnya pekerjaan tersebut sangat tidak menyenangkan bagi Anda.

--kedua--Apakah Anda sering mengeluhkan kondisi pekerjaan Anda kepada orang lain? Jika ya, maka Anda bekerja dengan kategori "terpaksa". Ingat, mengeluh adalah salah satu kecenderungan orang yang tidak bahagia.

--ketiga--Mereka yang tidak bahagia dalam bekerja memiliki bahasa-bahasa jargon yang khas.
Thanks God It's Friday (TGIF), adalah salah satunya. Seolah, Sabtu Minggu adalah "hari kebebasan" buatnya. Hari di mana ia akan terbebas dari belenggu dan tekanan yang besar dalam pekerjaan.
Jargon lainnya : I don't like Monday, atau I hate Monday! Ini tak beda dengan point pertama, di mana moment "memulai" pekerjaan menjadi sebbuah beban yang amat berat baginya.
Ada juga jargon lain : merasa memiliki happy hours, yang oleh banyak orang diejawantahkan sebagai "waktu bebas" selepas jam kerja. Jika istilah happy hours menjadi jargonnya, lantas berarti apakah waktu-waktu yang berjalan dalam jam kerja sebelumnya? Unhappy hours, bukan?

Itu semua "ciri" yang bisa kita tilik dari alam bawah sadar kita. Jawaban-jawaban atas pertanyaan di atas pun hanya bisa muncul dari aras kejujuran kita. So, tanyakan jawabannya pada sisi terdalam hati kita.

Lantas, bagaimana jika semua jawaban mengatakan "ya", sementara dengan jujur pula kita akui bahwa kita membutuhkan "sesuatu" (baca : materi/uang) dari pekerjaan itu?

Jawabnya, ada di posting berikutnya.

Tahapan yang penting sekarang adalah : renungkan, dan tanyakan pada kedalaman diri Anda, tentang pertanyaan-pertanyaan dan pernyataan-pernyataan di atas. Kalau Anda perlu, lakukan berulang-ulang.


OK? Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : a.abcnews.com

JASAD YANG SEHAT


Manusia (baca : saya) memang seringkali keterlaluan. Ia baru ingat kalau badan ini bisa sakit ketika sudah merasa kelelahan. Merasa nggak enak badan. Greges-greges. Merasa memang mau sakit. Pas "bersenang-senang" kerja, berbisnis, atau aktivitas apapun yang menyenangkan baginya, ia seolah "lupa" kalau badan bisa sakit.

Sama seperti pas punya duit. Ia kadang lupa kalau suatu saat duit itu bisa habis. Minim. Pas duit menipis, ia baru inget, bahwa masih banyak sekali kebutuhan yang harus terpenuhi. Bingung jadinya.

Tentang "kepemilikan" waktu, juga seringkali begitu. Pas punya waktu luang, malah over nyantai. Pas libur panjang, malah nggak ngapa-ngapain. Tidur seoanjang hari. Giliran waktu kosong habis dan diharuskan berhadapan dengan banyak deadline, bingunglah ia. Gedubrag-gedubrug. Waktunya kok sempit banget ya?

Ujung-ujungnya, si manusia itu (baca lagi : saya) nyesel. Kok kemarin memforsir tenaga ya? Kok kemarin terlalu boros ya? Kok kemarin nggak memanfaatkan waktu longgar untuk refreshing, bermain-main dengan anak dan keluarga, jalan-jalan menciptakan kebersamaan di tempat hiburan, atau mengisinya untuk mencicil beberapa pekerjaan yang tak terlampau membebani pikiran?

Telanjur. Nasi sudah menjadi bubur (wuih, perumpamaan yang klasik banget ya? Hehe..)

***

Merasa kecapekan, itulah yang mungkin sedang saya alami. Hari-hari belakangan, di tempat kerja yang baru, memang mengharuskan saya mengeluarkan lebih banyak energi.

Saya senang-senang saja, karena saya selalu berprinsip tentang "indahnya tantangan". (ceile! narsis memang...). Tapi ya itu, karena merasa "senang", jadi lupa, bahwa badan ini bisa capek. Bahwa raga ini punya keterbatasan. Semangat harus, tapi selalu ingat kapasitas. Meningkatkan kapasitas musti, namun harus ingat perlunya tahap-tahapan. Penyesuaian.

Lha itu yang sering saya lupa.
Pas merasa kurang sehat, baru inget : bagaimana jiwa kita bisa sehat kalau tubuh kita sakit?

Terima kasih pada satu iklan rokok di TV, tentang obsesi ber-"taste lebih" sebagai seorang orator. "Mensana in corpore sano!" teriaknya di depan kawan-kawannya.

Seingat saya, ungkapan itu berarti : di dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang sehat.

Betul kan? Bagaimana jiwa kita bisa sehat kalau tubuh kita enggak sehat?

Dan ternyata, tidak hanya jiwa yang akan sakit kalau badan kita sakit. Akal kita juga ikut sakit!

Tanyalah ke kalangan santri, seputar maqalah : "Al'aqlu al-saliim fi al-ljismi al-saliim". Akal yang sehat terletak pada jasad yang sehat.

Dus, makin jelas kan, kalau kita ingin jiwa dan akal kita ini sehat, maka jasad kita, tubuh kita, badan kita, harus sehat juga.

Dan disebut apa orang yang jiwa dan akalnya tidak sehat?
(Apa? Orang gila? Itu Anda yang jawab lho, ya... :) )

So, mari kita sehat, agar kita tidak menjadi orang "ge-i-el-a".


Sekian, salam.
--sebuah ingatan untuk diri sendiri--


Fajar S Pramono


Ilustrasi : www.foodbankrgv.com

KRITIK : PENGAWAL JIWA


Dalam kondisi sedikit kesulitan mengoptimalkan waktu, blog ini menjadi "korban". Hampir seminggu tak "tersentuh" postingan baru. Padahal di dalamnya ada komitmen. Ada janji.

Dalam pada itu (bahasa apa sih ini!? Yang saya tau bahasa para pejabat Orba, hihihi...), banyak "protes" dari kawan-kawan. Setiap ada keingkaran janji, ada Mas Nanang, ada Pak Budi Cahaya, ada Ricky, yang selalu menanyakan. Mengingatkan.

Contohnya, SMS dari Mas Nanang : Kok msh hr "minggu" ini khan sdh hr selasa Mas?

Lebih parah lagi yang ini. Masih dari beliau juga : "jarkoni" tenan iki lha wis dino rebo kok isih dino minggu wae, sajake repote rak ketulungan ki :D

Terjemahan bebasnya : "jarkoni" betul ini. Sudah hari Rabu kok masih tetap hari Minggu, tampaknya repotnya luar biasa nih!

"Jarkoni" sendiri adalah singkatan dari kalimat bahasa Jawa "Isa Ujar Ra Isa Nglakoni". Bisa berujar tapi tak bisa melaksanakannya sendiri.

Hehehe... Saya mungkin orang yang paling cerewet ke Mas Nanang, kalau blog dia terlalu lama tidak di-up date. Padahal juga, saya adalah orang yang mendorongnya menjadi blogger. So kini, semua kata-kata saya "berbalik arah" ke saya.. hehe.

Tapi, bagaimanapun, saya senang. Saya bahagia jika di antara kita saling mendorong untuk kemajuan. Saling memotivasi. Indah sekali.

Saya selalu ingat sebuah quotation, yang lebih kurang berbunyi begini : "(Pemberi) Kritik adalah pengawal jiwa yang bekerja tanpa bayaran." Sayang saya lupa siapa yang bicara itu.

So, tak ada kata lain, selain ucapan terima kasih kepada para "pengawal jiwa" yang telah bersukarela "bekerja" untuk saya. Tanpa dibayar, apalagi. :)

Saya sangat senang, karena keberadaan teman-teman yang seperti inilah yang saya yakini bisa membuat saya semakin maju dan berkembang.

Ocre, Bro? Tetap setia jadi "pengawal jiwa" saya ya! Thanks.


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : indiamos.files.wordpress.com

CERITA MUDIK 2008


Alhamdulillah, kami sekeluarga jadi mudik ke Jawa (halah! ini istilah orang jakarte yang entah kenapa, seolah-olah bukan orang jawa meskipun jelas-jelas tinggal di atas pulau jawa!).

Semula, saya memang telah memutuskan untuk tidak pulang kampung, jika memang ternyata saya harus masuk kerja di tanggal-tanggal persis sebelum dan sesudah 1 Syawal 1429 H. "Tanggung", menurut saya. Capek, bayangan saya.

Tapi, sekali lagi, Alhamdulillah. Saya dan keluarga bisa pulkam, enggak "tanggung", dan juga enggak capek.

Kok bisa?

Lha inilah, hikmah yang bisa saya dapat. Padahal, saya belum pernah mudik dari Jakarta bawa kendaraan sendiri. Tentang jalanan saya "buta", tentang titik-titik rawan macet saya "tuli", dan tentang kekuatan tubuh saya untuk menyetir, saya "lumpuh". Hiperbolik mungkin, tapi maksud saya : saya belum bisa ngebayangin! Belum punya gambaran! Gitu loh, maksudnya... :)

Pertama, hikmah dari "kekejaman" (semula memang itu pendapat saya; swear!) perusahaan karena saya masih harus masuk tanggal 29 September lalu. Walhasil, kalaupun saya pada akhirnya memutuskan mudik, kami baru bisa berangkat paling cepat 29 malam. Itupun dengan catatan saya tidak terlalu capek, dan risiko yang bisa saja timbul jika saya kecapekan tetapi harus menyetir sendiri. Untuk minta tolong driver, rasanya nggak tega. Karena seluruh sopir kantor juga muslim, yang pastinya ingin merayakan hari H Idul Fitri bersama keluarganya.

Tapi ternyata, "kekejaman" perusahaan itu berbuah manis bagi perjalanan mudik kami. Berulang kali saya menceritakan kesan saya kepada mereka yang bertanya tentang kondisi perjalanan pulang, "Kayak main game balap mobil tanpa lawan!". Begitu kata saya selalu.

Bener banget. Kami berangkat pukul 22.30 WIB. Keluar kompleks rumah dinas, segera masuk tol, dan tak ada halangan berarti sampai menjelang Cikampek. Memutuskan untuk lewat jalur selatan, tak jadi turun di Sadang (dari yang semula berencana menggunakan jalur alternatif Subang-Majalengka-Ciamis untuk menghindari Nagrek) karena tol ke arah Bandung justru jauh lebih sepi.

Walhasil lagi, gerbang tol Cileunyi kami lewati menjelang pukul 00.00 WIB. Membayangkan antrian di tanjakan Nagrek, tak ada wujud nyatanya. Bahkan jujur, sampai Tasikmalaya pun, saya belum tahu persis di mana lokasi kemacetan Nagrek yang melegenda itu. Parah ya, daku ini? Hehe...

Jam 03.00 WIB, kami sudah sampai perbatasan Jabar-Jateng. Tepatnya di Majenang. Kami mampir RM. Pringsewu untuk sahur. Setengah jam kemudian, kami berangkat lagi. Mampir Sholat Subuh di daerah Karangpucung, sebelum Wangon. Jam 07.00 WIB kami sampai di Kutoarjo, kampung saya. Berarti, hanya 9 jam perjalanan mudik kami Jakarta-Kutoarjo! Wow...

Bahkan, berhubung merasa masih "terlalu sebentar" dan masih banyak "sisa energi" (hei, kok "takabur" begitu sich? --red), kami memutuskan untuk langsung ke Magelang, untuk bisa bersilaturahim dengan neneknda dan saudara-saudara dari ibu saya yang banyak bermukim di sana. Kutoarjo pun hanya kami sapa dengan senyum, sembari lewat. Siang harinya, kami baru balik kucing ke Kutoarjo, beriringan dengan keluarga kakak, adik-adik dan bokap tercinta.

Alhamdulillah, dua hari kami lalui dengan menggembirakan di Kutoarjo. Rabu malam, sekitar pukul 22.15 WIB, kami bertolak ke Solo. Ke rumah keluarga istri.

Sampai di Solo pukul 00.15 WIB. "Cuma" 2 jam, dari yang biasanya bisa 3 jam. Alhamdulillah lagi, kondisi jalan memang sangat lancar. Apalagi anak-anak tidak rewel.

Saya memutuskan hanya dua hari di Solo. "Biar adil dengan Kutoarjo" kelakar saya kepada yang bertanya. Saya putuskan, Jum'at malam berangkat, antara pukul 22.00 - 23.00 WIB. Kali ini pakai jasa driver. Teman dekat mertua, yang sudah biasa melakukan perjalanan Solo-Jakarta pp.

Alhamdulillah, saya berkesempatan mencoba jalur utara saat itu. Dan syukur tak terkira, bayangan ramainya arus mudik yang menurut perkiraan Sabtu-Minggu (4-5 Oktober) tak tergambarkan dalam kenyataan. Jalanan lancar. Seperti bukan lebaran!

Pukul 05.00 kami sudah ada di Cirebon. Mampir untuk sholat sekaligus makan di RM. Pringsewu Cirebon (kok Pringsewu terus ya? Yang pasti, bukan promosi. Hanya kebetulan cukup familier buat kami).

Satu jam lebih kami di situ. Berangkat lagi, dan Alhamdulillah, jam 11.00 hari Sabtu itu kami sudah ada di rumah Jakarta lagi. Gerbang tol Cikampek kami lalui tanpa antrian, dan total waktu perjalanan balik "hanya" 12 jam! Luar biasa kemurahan Tuhan bagi perjalanan kami, padahal ini lebaran lho! Terima kasih, Tuhan.

Hikmah kedua : bahwa untuk memperoleh kelancaran (analog : kesuksesan), harus ada "strategi" dan "pengorbanan".

"Strategi" yang saya maksud adalah, pemilihan waktu keberangkatan atau pilihan waktu perjalanan. Anda lihat, saya selalu mengambil waktu keberangkatan di atas pukul 22.00 WIB. Asumsi saya, orang banyak berangkat sore atau menjelang malam, dan pagi dini hari atau pagi sebelum jam 08.00 WIB. Sehingga, saya tidak harus beriring bersamaan dengan "gelombang" yang tercipta.

Namun jujur saja, hikmah pertama (terutama tentang kepulangan ke kampung) saya dapatkan lebih karena "kemurahan hati" perusahaan yang masih mengharuskan saya masuk di tanggal 29 itu. Jika tidak, hampir pasti saya akan berangkat Jum'at malam (26/09), di mana pada saat itu ternyata adalah dimulainya puncak arus mudik. Dari cerita banyak kawan di kampung yang mudik hari itu, nyaris semuanya berupa "keluhan" tentang kemacetan yang dialami.

Di sisi lain, "strategi" yang saya buat membutuhkan "pengorbanan". (1) tentang waktu start menjelang tengah malam, di mana saat itu adalah saat "ngantuk-ngantuknya". Apalagi setelah seharian beraktivitas tiada henti. Ini tentu membuthkan stamina yang "lebih". (2) Anak-anak pun dipaksa "menyesuaikan". Untunglah, menjelang jam-jam itu, anak saya yang kecil sudah tidur, sehingga tinggal memindahkannya ke mobil. Sementara anak yang besar, kendati belum tidur, hampir sampai pada ambang batas kengantukannya, sehingga hanya diperlukan waktu beberapa menit perjalanan untuk mengantarkannya ke alam tidurnya yang indah.

(3) "Pengorbanan" lain adalah singkatnya waktu silaturahim. Bisa saja kami pulang Sabtu malam, atau bahkan Minggu pagi (5 Oktober), demi kesempatan sua yang lebih lama dengan keluarga. Tapi hal itu terpaksa kami abaikan. Bagi kami, tak perlu kuantitas yang lama, jika pada akhirnya justru kecapekan yang akan kami rasakan akibat perjalanan yang panjang. Kami lebih memilih untuk memaksimalkan kualitas silaturahim dibanding kuantitasnya.

Dan Alhamdulillah, semuanya berjalan lancar. Hari Sabtu dan Minggu ini kami masih bisa menikmati lengangnya kota Jakarta, yang katanya memang hanya berlangsung sekali dalam setahun itu.

Alhamdulillah juga (kami memang merasa harus banyak-banyak mengucap syukur, apalagi demi melihat berbagai fenomena "derita mudik" di tayangan televisi), semua tujuan kami seputar lebaran tahun ini bisa terpenuhi. Silaturahim di kampung dapat dilakukan, keinginan mudik anak dan istri bisa diwujudkan, dan perjalanan yang sangat menyenangkan serta tidak mencapekkan.

Kesekian kalinya, terima kasih Tuhan. Alhamdulillahi robbil 'alamin...

Sungguh, tak ada maksud bersombong dengan cerita ini. Semata hanya ingin berbagi cerita, berbagi pengalaman. Semoga ada pelajaran.


Salam Idul Fitri, kembali kepada kesucian. Amien.

Fajar S Pramono


Ilustrasi : www.vhrmedia.com

SELAMAT IDUL FITRI 1429 H


Mengucapkan :
SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1429 H

Taqabalallahu Minna Wa Minkum,
Minal Aidin wal Faidzin

Mohon maaf lahir dan batin, semoga kita senantiasa termasuk golongan orang-orang yang menang. Amien.


Salam,

Fajar S Pramono dan keluarga


Gambar : http://upload.wikimedia.org