Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

FRESH








Tuh kan... Alhamdulillah.
Berangkat dari niat baik, Allah selalu bersedia memberi berkah dan kebahagiaan.

Ya. Pada akhirnya, hari Minggu kemarin (29/06), saya benar-benar membatalkan acara ke Pesta Buku Jakarta 2008. Bukan karena kapok (baca posting sebelumnya : Anti Klimaks), tapi lebih karena niat membahagiakan keluarga besar (baca juga posting : "Gangguan" yang "Menyenangkan").

Pagi sampai siang, kami bergembira, karena bisa bersilaturahim dengan keluarga "adik dari bapak mertua" yang selama ini bertugas di Papua, dan sangat jarang bisa bersua. Kebetulan, per tanggal 30 Juni ini beliau pindah tugas ke Jakarta.

Di tempat tinggal beliau, kami sekaligus juga bisa bertemu keluarga sepupu dari istri, yang meskipun sudah lama hijrah ke Jakarta, namun baru bertemu dua kali sepanjang satu satengah tahun ke belakang.

Rame, semua senang.

Menjelang sore, kami jalan ke Ancol. Sebagian ke Gelanggang Samudra 4D, sebagian ke Sea World. Sengaja kami nggak ke Dufan, karena sebagian rombongan masih "di bawah umur" dan "di bawah tinggi badan minimal", yang banyak dipersyaratkan di anjungan-anjungan rekreatif di dalam Dunia Fantasi.

Dari situ, kami menyeberang ke Atlantis. Itu sebenarnya tujuan kami. Dan, seperti kami duga, di situ semua bergembira. Hampir semuanya "basah". Termasuk saya, bahkan mertua! Kalau tak percaya, lihat foto! Hmm... itu foto saya, anak saya yang pertama (cewek berbaju renang pink), tiga keponakan, dan satu bapak mertua! Hehe.. emang berapa bapak mertuanya?

Anak saya yang kedua, yang belum genap 2 tahun umurnya, tak mau ketinggalan. Ia pun "renang" dengan gayanya sendiri.

Jam 19.00, kami keluar Atlantis, dan pindah ke "dunia balon" Bouncy Town di depannya. Melompat-lompat, berperosotan, menjatuhkan diri di atas bola gas, menciptakan kehangatan tubuh anak-anak dan keponakan.

Yang paling membahagiakan dari semua itu, adalah melihat semuanya senang. Terlebih lagi anak-anak dan keponakan. Masa kecil yang indah memang sebaiknya tak ditinggalkan, karena itu sangat berbekas dalam memori, dan turut menentukan arah mereka ke depan. Kegembiraan, rasa semangat dan sejenisnya, tentu merupakan unsur yang baik untuk perkembangan diri mereka.

Sampai di rumah menjelang pukul 21.00, Alhamdulillah semua sehat. Tak terlihat ada yang kecapekan.

Menjelang tidur, saya kembali mengucap syukur. Kebahagiaan di hari Minggu ini, tak akan tercecap oleh saya (dan mungkin mereka dan beliau juga), jika saja saya lebih mementingkan "ego" untuk jalan sendiri ke Pesta Buku. Haha!

Ini juga "evaluasi" bagi diri saya sendiri, yang seringkali "mengorbankan" keluarga demi "ego-ego" diri lainnya.

Itulah salah satu hikmah. Hikmah lain : hari ini saya merasa sangat fresh, dan siap bekerja kembali, dengan semangat yang lebih baik! Amien...


Salam,

Fajar S Pramono

Notes : kalau ada yang belum tau istri saya, itu lho : cewek cantik yang (maaf) belum pake jilbab di dalam rombongan Kethoprak Mataram yang berpose bareng-bareng di depan Sea World. :)

ANTI KLIMAKS






Mohon maaf, kalau saya merasa harus menulis postingan ini, di hari pertama berlangsungnya Pesta Buku Jakarta 2008.

Sedianya, saya ingin menunggu sampai pagelaran buku rutin tahunan ini selesai. Namun, uneg-uneg di hati ini butuh penyaluran. Butuh katarsis.

Sekali lagi, saya minta maaf, teriring do’a : semoga coretan kali ini tak berpengaruh negatif terhadap animo kawan-kawan untuk hadir di pesta buku tersebut. Amien...

***

Begini.

Sebagaimana sudah saya ceritakan sebelumnya, sebagai peminat buku, saya sangat serius melakukan persiapan untuk menyongsong hajatan IKAPI DKI Jakarta ini. Persiapan waktu, persiapan anggaran, bahkan persiapan fisik (serius!) plus pengkondisian suasana dalam keluarga.

Tapi, sungguh, apa yang saya temui adalah anti klimaks.

Dengan semangat 45, masih ditambah semangat Malari 74 dan semangat reformasi 98, saya berangkat. Sengaja saya tak membawa kendaraan pribadi, karena saya malas untuk antri sejak keluar Gatot Subroto sampai dengan parkiran. Sampai di parkir pun, dijamin harus ekstra sabar, karena tidak gampang mencari parkir di tengah berbagai event yang diselenggarakan dalam waktu dan areal yang sama. Ada Kampung Maen, ada pagelaran untuk anak dari Bobo danDancow, ada pos pelayanan SIM Komunitas sekaligus expo dari Polda Metro Jaya, ada pameran tanaman hias dan binatang piaraan, ada pertunjukan robot dinosaurus dari luar negeri, dan pesta buku itu sendiri.

Bagi saya, semua itu adalah ”membuang waktu”. Saya memilih naik taksi.

Sampai di sana, saya kaget.

Pertama, kok “sepi” pesta buku kali ini? Dibanding tahun lalu, saya bilang : jauh!

Saya ingat sekali, tahun lalu saya bahkan selalu kesulitan untuk “menembus” kerumunan orang, baik pintu masuk, di stand-stand, di lorong-lorong pameran, di tangga, di toilet, di areal makan, bahkan di areal santai tribun Istora. Semuanya penuh. Sesak.

Saya tidak akan berani membandingkan jika dalam periode pameran saya hanya datang sekali. Saya datang beberapa kali dalam beberapa hari waktu itu. Saya pun tak akan berani membandingkan, jika saya tidak sama-sama hadir pada hari pertama pembukaan pesta.

Wah, jauh banget. Beda sekali suasananya.

Kedua, buku-buku itu, rasanya tak ada yang ”baru”, selain memang ”mereka” yang bertajuk ”buku baru”. Terus terang, salah satu target saya adalah : bisa membeli buku-buku terbitan lama dengan harga yang lebih murah.

Tapi ternyata, buku murah yang ditawarkan, boleh saya katakan, ya buku-buku yang tahun lalu ditawarkan dalam pola yang sama. Artinya, barangkali itu memang buku-buku yang ”tidak laku” (mohon maaf bagi penulis/pengarang yang bukunya masuk dalam daftar discount gedhe-gedhean setiap tahun –tak ada maksud untuk "mengecilkan").

Pada akhirnya, saya tidak jadi memborong buku ”lama”. Hanya satu : Lelakone Si lan Man, karya Suparto Brata, yang merupakan kumpulan cerita cekak (cerpen) berbahasa Jawa. Buku itu diterbitkan oleh Penerbit Narasi Yogyakarta di tahun 2005.

Lainnya : buku baru. Dua-ribu-delapan. Sebagai buku baru, harga discount-nya tentu tak sebanding dengan ongkos taksi karena males bawa mobil! Haha!

Tak apa lah.

Ketiga, meski digembar-gemborkan diikuti oleh 242 penerbit dari dalam dan luar Jakarta, pada kenyataannya hanya ada sekitar 75 pengisi stand, yang tentu saja bukan semuanya merupakan penerbit. Sebagian ”hanya” merupakan toko buku, seperti Gunung Agung, Kharisma dan Jabal yang ”merangkap” penerbit. Itu pun tidak selamanya menjual buku, tapi justru menjual alat tulis dan kantor. Begitu juga Gramedia. Selain Gramedia Group yang memang memajang buku terbitannya, ada Gramedia Stationary, yang justru jualan alat tulis, peralatan sekolah dan tetek bengeknya.

Tampaknya, kesempatan liburan sekaligus momentum menjelang tahun ajaran baru ini juga ”ditangkap” sebagai momen potensial untuk jualan barang non buku. Bahkan ada juga stand yang hanya berjualan mainan edukatif thok thil. Apa bedanya dengan Inacraft dan Icra 2008 kemarin dulu ya? :)

Tahun lalu, jumlah pengisi stand (ingat : pengisi stand tidak identik dengan penerbit/toko buku/praktisi buku) juga sebanyak 75 peserta.

Keempat, berkaitan dengan yang ketiga, rasanya semakin banyak peserta yang mengambil lebih dari satu stand atau satu deret atau satu luasan square stand, sebagai bentuk strategi menyebar peluang. Walhasil, berjalan dari stand penerbit A di sisi Barat ke arah Timur, ketemu lagi dengan stand penerbit yang sama di ujungnya. Begitu juga dengan peserta B,C, dan lainnya.

Saya sampai sempat bingung, setelah masuk Ruang Cempaka, keluar lagi, baru belok sekali, kok sudah sampai ke ”tempat semula” ya? Hehe.. Apalagi, ada peserta yang khusus menawarkan program buku murah, yang pilihan stand-standnya sengaja mengambil lokasi di hampir tiap sudut istora. Isi standnya pun : sama persis. Jadi, lho kok ini lagi ini lagi?

Pada akhirnya, ”perjalanan” di dalam pesta kali ini terasa sangat cepat.

Sampai di rumah, saya mencoba membandingkan isi buku panduan Pesta Buku Jakarta 2007 dengan Pesta Buku Jakarta 2008. Ternyata, dari jumlah peserta, memang sama.
Hanya, dari jumlah stand, jika dilaporkan saat ini hanya ada 184 stand, tahun lalu hanya dilaporkan 180 buah.

Keberapa sekarang?

Oh iya, kelima. Animo pengunjung dalam acara bedah buku atau jumpa pengarang, juga menurun, dalam pandangan saya. Percaya atau tidak, sebuah talk show computer technologic tentang ”melawan virus dengan antivirus” di stand Buku Kita, hanya ”dihadiri” oleh panitia itu sendiri. Untungnya, moderator dan pembicara tetap pedhe abis, sehingga acara tersebut tetap terselenggara.

Saya tidak bermaksud menjelek-jelekkan. Kesekian kalinya saya mohon maaf. Tapi, saya merasa menjadi ”benar” ketika komentar yang sama justru keluar dari mulut salah satu dedengkot penerbit yang sudah beberapa tahun mengikuti berbagai event perbukuan nasional.

”Sepi banget, Mas!” katanya. ”Dulu nggak seperti ini lho... termasuk dibandingkan dengan Islamic Book Fair beberapa bulan lalu. Makanya, barusan saya malah tidur pules di atas,” sambungnya tanpa saya tanya. ”Atas” yang dimaksud adalah bangku-bangku di tribun Istora Senayan yang kali ini sangat longgar dan ”tenang”. Cocok untuk tidur memang.


Kalaupun ada talk show yang ramai, hanyalah saat bedah buku Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66. Sebuah buku karya H. Maulwi Saelan, mantan Wakil Komandan Pasukan Cakra Birawa jaman Bung Karno dulu, yang juga menghadirkan sejarawan dan peneliti senior LIPI Bapak Asvi Warman Adam.

Buku yang diterbitkan oleh Visimedia itu memang cukup mengundang penasaran, karena –lagi-lagi— menghadapkan ”perseteruan kebenaran” antara Bung Karno dan Pak Harto. Acara ini berjalan sukses dalam kacamata saya, dengan antusiasme yang cukup tinggi dari para peserta.

Bedah buku atau event buku lainnya : no! :)

Kesekian. Keenam, maksudnya. Tragis, ada beberapa stand yang sampai menjelang malam belum juga menempati stand yang sudah dipesannya. Kalau cuma satu, mungkin itu ”kecelakaan”. Tapi ini lebih dari dua!

Bukan apa-apa. Yang pasti, tahun lalu itu tak terjadi. Pertanyaan saya, ”niat” nggak sih, peserta itu?

Bung, Pesta Buku Jakarta bukan ajang buku yang insidentil dan diselenggarakan secara mendadak. Ia sudah merupakan agenda rutin tahunan, dan dipersiapkan dalam jangka waktu yang cukup oleh panitianya. Termasuk publikasinya.

Naif rasanya, jika peserta yang sudah mengajukan diri justru tak mampu melakukan preparation yang notabene pasti tidak lebih kompleks dari penyelenggaraan itu sendiri. Seberapa sibukkah ia?

***

Saya tidak tahu pasti, apakah ada hubungan kenaikan BBM dan meningkatnya inflasi ekonomi terhadap fenomena ini. Secara momentum, penyelenggaraan di saat libur semestinya merupakan momentum yang tidak salah, dan bahkan sangat baik.

Tapi mungkin, hubungan itu memang ada. Masyarakat saat ini, di tengah himpitan biaya hidup yang meninggi, benar-benar lebih memprioritaskan pemenuhan kebutuhan pokoknya. ”Pokok” pun tidak lagi berarti papan, pangan dan sandang.

Kebutuhan pokok saat ini bahkan banyak diejawantahkan dalam satu bentuk saja : pangan. Baju celana dan sejenisnya, pakai yang lama. Mempercantik rumah atau renovasi, nanti dululah. Asal nggak bocor ketika hujan, sudahlah. Bahkan meski bocor, kalau belum membuat banjir lokal dalam rumah, ”nikmati” saja lah.

Kebutuhan pokok justru beralih kepada pemenuhan biaya pendidikan. Masyarakat kita semakin sadar akan pentingnya pendidikan. Tapi di sisi lain, ”harga” yang harus dibayar terlalu mahal. Dan karena itu pulalah, masyarakat terpaksa mereduksi bentuk kebutuhan pokok yang papan dan sandang tadi. Menyedihkan ya... :(

Tapi yang pasti, fenomena ini tidak hanya terjadi di Pesta Buku Jakarta 2008. Di pameran Interior dan Handycraft (Icra) 2008 minggu lalu, juga pameran Franchise, Business Opportunity and License yang diselenggarakan pada waktu yang sama, kemudian juga Inacraft yang selama ini diklaim sebagai pameran hasil kerajinan terbesar pada beberapa bulan sebelumnya, juga dilanda kesepian yang sama.

Saya sendiri menjadi saksi mata, dan itu dibenarkan oleh para peserta yang sempat berbincang dengan saya.

***

Jujur saja, saya bukan siapa-siapa. Juga bukan apa-apa. Negara ini tentu tak lantas terpuruk hanya karena tak ada saya. Jangankan negara, aktivitas RT tempat saya tinggal pun bisa jadi tak terpengaruh dengan ada dan tiadanya saya. Yang terasa, mungkin hanya di lingkungan keluarga. Itu pun masih ”mungkin”.... :)

Tapi, saya sedih. Bahkan saya ingin sekali mengatakan, ”Saya kecewa!”. Tapi ya itu tadi, seperti kata iklan rokok, ”Emangnye, siape sih loe?

Loe bilang kecewa, loe bilang jelek, loe bilang ancur, emang gue pikirin? Nggak ngaruh, tau!” kata ”seseorang” (atau ”sesuatu” ya?) di seberang saya.

Ya sudahlah. Sekali lagi, ini hanya uneg-uneg. Saya bela-belain tulis di tengah-tengah kecapean yang menerjang, sekedar untuk melegakan hati. Biar plong.

Lantas, kalau sudah plong?

Ya tidur, lah! Zzz... zz... zzzz... zz..z....

***

Salam buku,

Fajar S Pramono

"GANGGUAN" YANG "MENYENANGKAN"


Rencana untuk fullday di Pesta Buku Jakarta 2008 tanggal 28 dan 29 Juni ini, tampaknya akan “terganggu”.

Pertama, karena menjelang malam kemarin sore, saya menerima kabar dadakan bahwa keluarga besar istri dari Solo akan ke Jakarta Sabtu ini, dan yang pasti, akan stay untuk sementara di rumah saya. Ada mertua, kakak-kakak ipar, dan keponakan-keponakan.

Apa iya, kehadiran mereka dan beliau *) mau saya cuekin? Apa iya, mereka dan beliau saya biarkan mencari taksi sendiri dan menelusuri sumpeknya rimba beton Jakarta ini sendirian, sementara ada saya, dan bahkan memang kami yang menjadi tujuan kedatangannya?

Itu yang saya sebut dengan “gangguan” pertama.

Kedua, ketika saya sudah melakukan prepare dengan menuntaskan pekerjaan-pekerjaan kantor yang ”berat” dan saya khawatirkan bisa mengganggu ”kekhusyukan” hunting buku di pesta yang mengambil tema ”Jakarta Banjir Buku” itu, Jum’at kemarin (27/06), saya mendapat kabar, bahwa kami harus siap mempresentasikan dua prakarsa kredit kami yang secara total mencapai 50 milyar rupiah.

Padahal, semula saya perkirakan, pembahasan kredit di Kantor Wilayah baru akan dilakukan minggu ke-2 Juli. Ternyata, speed kerja teman-teman Kanwil luar biasa, dan awal minggu depan ini sudah akan dilakukan pengambilan keputusan.

Weleh-weleh...
Respon awal saya, “Waduh! Buyar deh, ’impian’ saya yang hanya sekali datang dalam setahun… “ :)

Pikiran seperti ini membuat saya merengut. Semalam sebelum tidur, saya masih keukeuh, ngotot, bahwa rencana harus tetap berjalan. Saya bilang ke istri, bahwa rencana saya tidak boleh diganggu. Mutlak. Pesta Buku Jakarta adalah prioritas. Ia tidak datang dua kali tahun ini. Tahun depan, saya tak bisa memprediksi, apakah saya masih bertugas di Jakarta. Maklum, penugasan di perusahaan saya mirip penugasan di angkatan bersenjata, yang seringkali bersifat tiba-tiba dan tanpa dinyana.

Namun, semalam, menjelang tidur, saya merenung : (1) menghormati tamu, adalah ajaran agama. ”Muliakanlah tamu-mu”, kata Nabi. Keluarga besar Solo yang mau datang, adalah tamu saya. Kenapa saya harus bertindak ”seolah” tidak menghormati mereka dan beliau? (2) Mertua adalah orang tuamu juga. Kakak istri pun kakak kamu juga. Keluarga istri, keluarga kamu juga. Mereka dan beliau adalah ”kita”. So, kenapa kamu tidak mau mengalah untuk menghormati mereka dan beliau, yang notabene berarti menghargai kita sendiri?

(3) Silaturahim akan membawa berkah. Benarkah rencana saya untuk ’konsen’ di pameran buku harus mengalahkan segala sesuatunya –bahkan sampai harus mengorbankan keeratan tali silaturahim? Meskipun sebenarnya, keluarga besar saya sangat paham dengan hobi dan karakter saya seputar buku. Tapi, apa salahnya kali ini saya yang ”mengerti” mereka dan beliau? :) Di balik silaturahim yang baik, Insya Allah akan ada berkah yang baik pula.

(4) Segala tujuan yang mulia, Insya Allah akan ”dimuliakan” juga oleh Allah SWT, dan kita akan mendapat ganjaran baik di sebaliknya. Dan terakhir, tentang waktu, (5) menjalankan berbagai aktivitas dalam periode waktu yang sama, sesungguhnya bisa diatur dengan me-manage waktu sebaik-baiknya.

Pada akhirnya, ya, kenapa tidak?

Dengan itikad baik, ditunjang upaya memanfaatkan waktu sebaik mungkin, saya memutuskan bahwa saya akan mengurangi ”ego” saya, dan akan memberikan ”penghormatan terbaik” kepada keluarga yang akan datang.

Dengan itikad baik seperti itu pula, saya yakin Allah akan menunjukkan, bahwa sesuatu yang semula saya anggap sebagai ”gangguan”, akan berubah menjadi sesuatu yang ”menyenangkan”. Saya yakin, saya akan mendapat pembuktian tentang itu.

***

Gusti Allah memang Maha Pintar untuk memberi petunjuk terbaik buat kita. Saya tidak bisa mengerti, kenapa di tengah serangan kantuk tadi malam, saya ”dituntun” untuk mengambil buku Save or Sorry!-nya Hendri Hartopo.
Buku itu sudah sekian lama saya miliki dan saya baca. Bahkan, buku itu sudah terselip di antara buku-buku ”lama” di lemari. Sementara buku-buku baru yang menunggu untuk dibaca, bejibun di meja kerja.

Apa bacaan yang saya temukan dalam kondisi alpha itu?

Sebaris kalimat “Anda mendapatkan yang terbaik dari orang lain ketika Anda memberikan yang terbaik dari Anda” dari Harvey Firestone di halaman 155 buku itu, membuat saya terhenyak. Saya merasa Allah “mengingatkan” saya lewat kalimat itu.

Tiba-tiba saya merasa, Allah kembali memberi saya kesempatan untuk ”memberi yang terbaik” dari saya, agar saya bisa mendapat “yang terbaik” pula dari-Nya.

Tiba-tiba pula saya merasa, “gangguan” yang akan datang terasa amat “menyenangkan”, karena Allah tidak akan pernah ingkar janji!


Salam,

Fajar S Pramono

Notes :
*) frasa "beliau" saya pisahkan secara khusus dengan frasa "mereka", semata untuk memberi penghormatan khusus kepada bapak mertua saya. Selamat datang kembali, Bapak! :)

Ilustrasi foto : salah dua di antara tiga keponakan yang mau datang.

BUKU KEDUA, INSYA ALLAH


Kalau pagi ini tema posting saya seputar rencana buku saya yang ke-2, tentu ini bukan mau “bersaing” ama posting-an Jendral TDA, Uda Roni, kemaren. Hehe…

Tapi, begitulah. Cerita tentang buku ini, memang memiliki beberapa “kesamaan” dengan cerita Uda Roni.

Pertama, tentang penerbit. Tulisan-tulisan kami ternyata akan diterbitkan oleh penerbit yang sama. Seorang praktisi media, yang memang sebelumnya sudah menerbitkan sejumlah buku : Mas Isdiyanto.

Di TDA dan komunitas wirausaha lainnya, siapa sih, yang tidak kenal Mas Is?

Kedua, tentang rencana awal. Seingat saya, sekitar awal Februari 2008 lalu saya dihubungi oleh Mas Is, yang menyatakan keinginan beliau untuk membukukan tulisan-tulisan saya. Tanggal persisnya saya lupa, namun saya ingat sekali, waktunya tak beda jauh dengan posting-a Uda Roni tentang rencana Mas Is membukukan tulisan-tulisan dari blog Uda Roni.

Artinya, rencana Mas Is untuk membukukan ”karya-karya” kami datang pada waktu yang sama. Dan belakangan baru saya tahu, Mas Is memang berencana membuat buku dari 4 orang kawan : Uda Roni, Anne Ahira, Mas Fauzi Rahmanto dan saya. Tentang rencana ini –kata beliau di telpon– sudah di-posting di media maya-nya TDA.

Ketiga, tentang materi. ”Bakal” isi buku Uda Roni dan saya sama-sama merupakan kumpulan tulisan. Hanya, kalau materi buku Uda Roni diambil dari ribuan coretannya di “Business and Beyond by Badroni Yuzirman”, rencana materi buku saya akan diambil dari artikel-artikel saya yang muncul di media cetak. Dan untuk menjadi buku, saya harus menambahkan beberapa judul baru, untuk mengejar keluasan konten sebuah buku.

Keempat, rencana peluncurannya. Direncanakan, buku saya juga bisa terbit di bulan Agustus 2008 ini. Bareng dengan buku Mas Roni? Insya Allah tidak, karena masing-masing buku punya karakteristik yang berbeda, yang justru akan sangat bagus bila diluncurkan dalam waktu dan audiens yang sedikit berbeda. Rencana Mas Is, hanya berbeda minggu. Kalau tentang ini, saya yakin seratus persen, ”syaraf kreatif” dan insting Mas Is akan membuat masing-masing peluncuran buku itu menjadi lebih pas dan mengenai sasaran, sesuai dengan target market masing-masing bukunya.

***

Pertemuan dengan Mas Is, bagi saya memang sangat membawa berkah. Jika ”kebangkitan” menulis dan ”come back”-nya saya menulis artikel di media massa di-leverage oleh Mas Eben Ezer Siadari (Majalah DUIT!) pada satu bulan pertama saya hijrah ke Jakarta (Januari 2007), maka ”keberhasilan” saya menulis buku banyak di-leverage oleh Mas Is. Ini terjadi pada bulan kedua saya di Jakarta (Februari 2007). Pada saat itu saya berkesempatan mengikuti sebuah workshop kepenulisan, di mana di situ saya kenal Mas Is. Waktu itu, beliau menjadi pembicara bersama Masbukhin Pradhana, Johannes Wijaya, Mas Achmad Ghozali, Mas Didik Darmanto dan Eni Kusuma.

Bermula dengan menceritakan keinginan saya menulis buku ke Mas Is dan Mas Didik saat jeda santai, saya ”menemukan” penerbit yang bersedia mewujudkan keinginan saya. Penerbit itu tak lain dan tak bukan adalah Action Publishing, sebuah self publishing milik Mas Didik Darmanto sendiri.

Dalam lanjutan komunikasi dengan Mas Is sendiri, saya memasukkan ”lamaran” untuk menulis di Majalah Wirausaha & Keuangan (WK) yang dikomandoinya. Saya ajukan sebuah konsep penulisan yang khas untuk WK. Saya ingat, saat itu saya membuat 4 buah contoh artikel, plus menceritakan ”sepak terjang” saya menulis di media selama ini.

Alhamdulillah, keempatnya ”...memenuhi syarat dan layak muat, Mas!” kata Mas Is di seberang telepon.

Nah, itulah sebuah ”riwayat”, hingga Alhamdulillah, pada akhirnya saya diberi kesempatan mengisi secara rutin rubrik 'edukasi perbankan' (spesialisasi seputar kredit usaha) di majalah itu. Sampai sekarang.

***

Kelihatan serba kebetulan dan 'gampang' ya? Tampaknya iya. Tapi, kalau kita sudah belajar tentang Hukum Ketertarikan alias LoA, tentu itu ”bukan kebetulan”. Sesuatu yang tampak sebagai kebetulan, tetaplah hasil dari usaha yang sudah kita lakukan.

Contoh, keikutsertaan saya di workshop kepenulisan itu adalah kali pertama saya merelakan diri untuk tidak pulang ke Solo di akhir pekan, semenjak saya pindah tugas dari Medan ke Jakarta pada akhir Desember 2006. Sebelumnya, Sabtu dan Minggu saya selalu ada di Solo, melepas rindu dengan keluarga, yang saat itu saya “titipkan” di Solo sembari menunggu kesiapan rumah dinas yang saya tempati sekarang.

Apa yang terjadi jika pada saat itu saya tidak mau “berkorban” untuk tidak pulang, dan lebih mementingkan keinginan bertemu dengan keluarga di Solo? Jawabannya : mungkin saat ini saya belum kenal Mas Is, Mas Didik, dll; plus belum tentu saya berhasil menerbitkan buku. Padahal, menulis buku dan artikel di media massa adalah obsesi saya sejak lama.

Intinya, kalau pada waktu itu saya tidak “berbuat” ke arah perwujudan obsesi, apakah mungkin ada hasil seperti sekarang? Tidak. So, semua itu bukan kebetulan.

LoA juga yang membawa saya berani (baca : nekat) menunjukkan outline bakal buku saya ke Mas Didik saat itu juga. Padahal, outline buku itu hanya saya ketik di communicator saya, dan sama sekali belum saya kembangkan dalam bentuk tulisan lengkap. Tapi, Mas Didik merasa tertarik dan pada akhirnya bercerita, bahwa beliau memiliki sebuah self publishing, dan meminta saya menunjukkan hasil pengembangan outline itu ke beliau.

***

Bermula dari usaha dan ”pengorbanan” kecil, semua ini bisa terjadi. Bagaimana jika kita bersedia berusaha lebih giat dan berani “berkorban” yang lebih besar? Insya Allah, lebih banyak yang bisa terjadi.

Obsesi. Keinginan. Itu semua yang membuat kita ”bergerak”. Gerakan itu yang membuat kita, pada akhirnya, menemukan ”jalan terang”. Jalan terang itu membuat kita bersemangat. Semangat membuat kita kreatif dan memiliki tenaga ”ekstra” dalam mewujudkannya. Dengan kreatifitas dan kerja keras, Insya Allah, kesuksesan menjadi ganjarannya.

Bukankah demikian?

Begitulah. So, mari berkeinginan. Mari berobsesi, agar kita mau bergerak, menemukan jalan terang, terus bersemangat, selalu berpikir kreatif, dan senantiasa memiliki energi untuk mewujudkannya.

***

Wah, cerita santai saya tentang rencana buku ke-2, jadi bergeser kepada masalah serius tentang LoA dan motivasi. Yach, mohon maaf saja? :)

Yang terpenting, apapun itu, semoga bisa bermanfaat. Bukan begitu?


Salam sukses,

Fajar S Pramono

Note : foto di atas adalah foto saat "peluncuran" buku pertama saya di kantor.

NGGAK TIDUR LAGI


Ini hari ke-2 berturut-turut saya nggak tidur malam.

Kalo kemarin karena nunggu Belanda dan Rusia rebutan bola, kali ini lebih karena tugas yang "nyaris tak selesai". Bukan karena pingin liat partai Italia-Spanyol yang pada akhirnya dimenangi Spanyol. Kali ini saya "terpaksa", karena Minggu pagi kemaren, jadwal di mana seharusnya saya memaksimalkan tenaga untuk membuat persiapan presentasi kinerja Cabang di Kantor Wilayah pagi ini, malah saya serahkan pada sang ngantuk yang tak tertahan. Ya, aku molor sampe siang.

Hasilnya, bangun tidur aras-arasen. Males. Tugas pun tak kunjung dimulai. Padahal jelas banget kata Horace Greeley : "Cara untuk bekerja adalah memulainya."

Padahal juga, saya pernah kasih tau teman satu tim di kantor, menyitir kata bijak juga : "Pekerjaan yang tak kunjung selesai adalah pekerjaan yang tak pernah dimulai."

Tapi itulah. Masalahnya ada pada saya. Bukan karena ngantuk adalah ke-manusiawi-an. Ngantuk ini adalah "buah" dari keteledoran saya yang tidak memanfaatkan waktu dengan baik.
Ya, saya sadar. Saya masih manusia biasa yang harus terus belajar.

Jadi, ini hukuman buat saya. "Sakit" badan karena tidak tidur, "ke-ngantuk-an" yang sangat amat, dan bahkan mungkin kecapean yang akan saya alami hari ini adalah sebuah konsekuensi. Tapi please, do'ain semua itu tidak terjadi ya... amien! :)

Pagi ini, saya makin bisa belajar. Terima kasih atas "peringatan"-nya, Tuhan.

Akhirnya, siap-siap ngantor yuk! Udah jam 05.20!


***

Salam,

Fajar S Pramono


NB :
- Ilustrasi foto : hasil jepretan paparazzi yang seorang manajer atas 'kinerja' anak buahnya! Hahaha!

SEREMONIA BANGSA SAKIT -- yang ingin bangkit


1 //

Sengaja aku menunggu saat
membiarkan makna kebangkitan
menyeruat menyemburat mencuat luap
bersama idealita sekaligus ego-ego sekulernya

Sengaja aku menunggu masa
sekedar untuk melihat dalam fana
Adakah bangkit akan menyerupa karsa
yang mencipta karya dan menyempurna?

Kutengok di gelora di jalanan di media di layar kaca
Kucoba mencecap segala aroma segala indra

Tak terasa
tak tertancap apapun jua
Kebangkitan masih sebatas upacara
yang ambruk di bawah selera manja manusia

Sungguh,
Seremoni takkan kuasa mencipta makna



2 //

Menelikung segala nyata di depan mata
bukan sesuatu yang mustahil bagi kita

Berikan bumbu-bumbu perasa
kepada perilaku manja dan pelaku hampa
maka gelegak api di bawah tungku pemanas
pastikan sanggup mengganti ritual sang naga
untuk bangun dari tidur siangnya

Berpercayalah beryakinkanlah
tak ada yang tak bisa
karena sungguh dalam hati tertanam jiwa
kasihan Indonesia


3 //

Mengendus rasa bahagia
terasuk infus-infus pencipta bangga
Naga pura-pura naga rasa-rasa
telah menjelma menjadi naga yang sebenarnya

Riuh rendah dan rendah riuh seremonia
tak memalukan, tak memerlukan buangan muka
Bersama nyata yang tertelikung
terasa nyaman sebuah negara
terasa indah sebagai keluarga



• Menyebelah Rutan Salemba, 21 Mei 2008


***

Salam sastra,

Fajar S Pramono

NB : Ilustrasi diambil dari Media Indonesia

SEDIH, TAPI JUGA SENANG



Swear, subuh ini saya sedih. Dibilang sedih banget, mungkin iya. Tapi, dibilang nggak banget, iya juga.

Ini tentang Piala Eropa. Dan khusus, untuk pertandingan antara Belanda dan Rusia di perempat final.

Dari kecil, saya suka kesebelasan "mantan penjajah" kita itu. Entah kenapa, di setiap kejuaraan apapun, dan Belanda ada di sana, hati kecil saya "membela"-nya. Meskipun, dengan berbagai pertimbangan analitis dan rasional, pada akhirnya secara lisan saya tidak berani menjagokan mereka untuk juara.

Khusus untuk Piala Eropa kali ini, saya memang berharap banyak pada Belanda. Kegarangan mereka di babak penyisihan, seakan merupakan "garansi" bagi cikal bakal kesuksesan Belanda kali ini. Sehingga, untuk kejuaraan empat tahunan yang kali ini diselenggarakan di Swiss-Austria ini, hati dan lisan saya bisa berucap sama : Belanda.

Tapi, sejak momentum Piala Dunia 2002 bersama Korea Selatan, saya juga selalu bersimpati pada Meneer Guus Hiddink yang saat ini menjadi arsitek bagi Rusia. Ia luar biasa menurut saya. Sehingga, manakala Belanda musti ketemu "Belanda" di perempat final ini, saya goyah.

Di kantor, saya tak lagi berani berkoar Belanda akan menang. Hati saya "terbelah". Saya cinta Belanda, tapi cinta saya pada Guus Hiddink (baca : bukan Rusia) sama besarnya. Saya ingin Belanda menang, tapi tak mampu bohong kalau saya juga menginginkan Guus Hiddink kembali membuat fenomena dan mengukuhkan dirinya sebagai "Raja Midas" yang mampu menyulap segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas.

Perasaan itu bahkan saya lontarkan pada teman-teman di kantor secara terbuka.

Dan, pagi ini, saya tidak tahu perasaan mana yang mendominasi. Sang Raja Midas terbukti mampu mengalahkan pasukan yang se-tanah dan se-air dengannya. Guus Hiddink berhasil menjadi "pengkhianat", sesuai harapan dan komitmennya sebagai pelatih profesional. Bukan sebagai "warga negara" yang tidak nasionalis tentunya.

Saya sedih, tapi juga senang. Saya senang tapi juga sedih.

Ini hampir sama dengan ketika Markis Kido/Hendra Setiawan (Indonesia) dikalahkan Candra Wijaya/Toni Gunawan (Indonesia/Amerika Serikat) di kejuaraan bulutangkis Indonesian Super Series 2008 Jum'at lalu (20/06/08).

Candra/Toni adalah pasangan favorit saya sejak awal mereka dipertemukan, selain pasangan Ricky Subagja/Rexi Mainaki. Saya senang banget dengan semangat dan mental mereka. Semangat dan mental itulah yang saya rasa belum pernah saya temukan pada pasangan-pasangan generasi penggantinya.

Walhasil, ketika Kido/Hendra yang Indonesia harus bertemu Candra/Toni yang notabene sudah "tidak Indonesia" lagi di perempat final, "nasionalisme" saya goyah. Pada akhir pertandingan itu, perasaan seperti saat inilah yang muncul : sedih tapi senang, senang tapi sedih.

***

Rusia 3, Belanda 1. Gol-gol Pavlyuchenko, Torbinski dan Arshavin memang luar biasa. Gol Nistelrooy, pada akhirnya hanya menjadi gol penghibur. Rusia on fire, Belanda justru anti klimaks.

Itu memang "penyakit" Belanda. Materi pemain yang hebat, tapi rasanya memang tidak "ditakdirkan" menjadi juara. Mental juara Belanda, memang paling sering dikeluhkan. Dan semakin pantas rasanya, predikat "juara tanpa gelar" untuk mereka.

Sebaliknya, untuk Guus Hiddink, rasanya memang semakin pantas julukan Si "Raja Midas" untuknya. Prestasi Belanda sendiri di 1998, Korea Selatan di 2002, Australia di 2006 dan Rusia di 2008, merupakan pembuktian dan catatan sukses sang pelatih bertubuh gempal itu.

***

Ya, saya harus menerima kekalahan-kekalahan itu. Sebagaimana "kekalahan-kekalahan" dalam perjalanan hidup, semua itu tidak sekedar untuk disesali. Tapi harus dijadikan pengalaman, sarana belajar, sarana instrospeksi, sarana memperbaiki diri dan menjadi pemacu untuk tidak kalah lagi. Untuk tidak gagal lagi.

Begitu, bukan?


Salam,

Fajar S Pramono


NB :
- Alhamdulillah, setelah menulis ini, saya bisa tersenyum lega. Ikhlas banget rasanya. Luar biasa ternyata, pengaruh menulis untuk jiwa... :)

- Pagi ini saya ngantuk berat, karena saya belum tidur. Saya takut ketinggalan momen penting Belanda-Rusia tadi... Mau berangkat tidur, apa daya, pekerjaan masih banyak. Termasuk nge-blog...

- Foto : (1) Guus Hiddink, (2) Marco Van Basten (pelatih Belanda saat ini) di Piala Eropa 1988

"AKSI", TAK SEKEDAR "TAHU"


Quote of the day Harian Sindo hari ini lumayan asik, meski esensinya sudah sangat sering kita denger. Fungsi quotation memang antara lain untuk mengingatkan kok. Tak harus selalu memberitahu sesuatu yang bersifat baru.

"Tujuan utama pendidikan bukanlah ilmu pengetahuan, melainkan aksi nyata."
(Herbert Spencer, 1820-1903, filsuf Inggris)

Ya. "Kesalahan tujuan" itu pula yang sejak dulu menjadi tema pokok ketika kita membicarakan tentang kenapa lulusan sekolah-sekolah tinggi tidak siap langsung terjun di lapangan kerja.

Itu pula yang menyebabkan banyak peserta seminar pengembangan diri, pembaca khusyuk buku-buku pencerahan dan sebagainya, terhenti di tataran "mengetahui", namun mengalami kesulitan untuk masuk ke tataran "mempraktekkan".

Dengan kesadaran itu pulalah, banyak orang sekarang mengajarkan untuk "take action". Learning bisa sambil doing, small think big action, dan sebagainya lagi. Termasuk kurikulum-nya teman-teman TDA yang mencantumkan kata "ACTION" sebagai salah satu item kurikulum pembelajarannya.

Pendidikan itu sendiri, tentu tak boleh diartikan dalam bentuk pembelajaran secara formal. Belajar bisa di mana saja, kapan saja, dari siapa saja, tentang apa saja. Coca-cola lah! Tak ada batasan.

Memang, rasanya tak banyak manfaat dari belajar jika kita tidak bersedia mengaplikasikan hasil pembelajaran itu.

Setuju?

***

Salam pencerahan,

Fajar S Pramono


NB :
- Pagi ini rencana mau posting yang panjang, tapi ternyata nggak selesai nulis sampe jam 7 kurang 1/4 tadi. So, posting yang panjang di-draft-kan dulu, dan demi komitmen serta konsistensi seorang blogger (halah!), saya menulis yang pendek saja.

- Saya mau tenis dulu. Olah raga. Biar sehat. Harus di-aksinyata-kan, karena kata buku begitu. Kata ortu juga begitu. Kata teman juga begitu. Kata istri saja yang tidak selalu begitu, karena sesudahnya saya malah sering ngeluh kecapekan, dan ujung-ujungnya : minta pijit! Haha...

PESTA BUKU JAKARTA 2008


Wuih, ritual tahunan itu segera datang lagi. Tinggal 8 hari lagi!
Ritual yang sangat menyenangkan, sekaligus juga menciptakan ”penyesalan”.

Bagaimana tidak? Sangat menyenangkan, karena saya serasa menemukan sebuah ”planet” di luar bumi yang berisi orang-orang yang se-aliran dengan saya : peminat buku.

Yach, meskipun pada kenyataannya banyak juga orang yang sekedar jalan-jalan mengisi waktu dengan datang ke sana beserta keluarganya. Tapi, itupun juga termasuk baik, karena siapapun tidak akan datang ke sana kalau memang tidak tertarik dengan apa yang disebut buku.

Kesenangan berikutnya, tentu seputar discount yang senantiasa ditawarkan oleh para penerbit di stand-stand yang ada. Sangat sangat lumayan dan sangat-sangat membantu.

Kesenangan berikutnya lagi, banyak kesempatan untuk bertemu dengan penulis terkenal. Kendati belum tentu bisa kenalan, tapi setidaknya, dekat dengan mereka secara fisik dan menyaksikan langsung figur serta aura seorang penulis, membuat jiwa ini... gimana, gitu. Desir yang aneh, ceile!

Di acara itu juga, banyak kesempatan untuk bertemu teman se-hobi. So, banyak diskusi-diskusi kecil tapi membangun yang bisa dilakukan sembari santai di sana.

Banyak juga bedah buku dan event-event seputar buku lain, yang intinya membuat kita bisa makin cinte ame itu buku. Hmm... siapa bilang dicintai selalu lebih asyik daripada mencintai?

Nah, soal penyesalan nih. ”Penyesalan” itu muncul, karena tentunya saya tidak bisa setiap hari bisa melototin buku di sana. Yach, itulah salah satu ”duka”-nya seorang TDB alias Tangan Di Bawah alias pekerja kantor. Senin sampai Jum’at merupakan ”hari wajib”. Saya musti ada di kantor. Apalagi tanggal 23 Juni – 4 Juli nanti saya harus menerima amanah dan kepercayaan yang lebih besar dari kantor.

Berarti, dari 9 hari pelaksanaan Pesta Buku Jakarta 2008, praktis maksimal 4 hari atau 2 kali Sabtu-Minggu saya berkesempatan untuk fullday ke sana. Tapi apa iya mau fullday di 4 hari itu? Anak istri dikemanain dong? Diajak fullday, ya kasian dong.. masa’ kasian lah. Halah!

Lalu, ada nggak persiapan khusus yang saya lakukan?

Kayaknya memang ada. Pertama, membuat anggaran. Haha... ini serius. Saya termasuk orang yang suka lupa diri ketika ada di pameran dan toko buku. Berapapun budget, pasti habis. Bahkan yang seringkali terjadi : over limit! Nah lo. So, pelaksanaan pameran yang tanggal 28 ini sangat tepat dirasa oleh orang-orang yang gajian tanggal 25 seperti saya! Hahaha....

Kedua, cek tas ransel. Hihihi... ini bedanya. Kalau mau bepergian jauh pun, saya jarang memutuskan mau pakai tas mana untuk mendukung perjalanan yang ada. Tapi untuk ke pameran buku, saya memang prepare tas khusus, dengan spesifikasi : gampang dibawa, tidak bikin pegel tangan, bisa diajak bergerak lincah di antara kerumunan orang, kuat jahitan, dan mampu menampung sebanyak mungkin buku! Hehe...

Ketiga, ngeberesin kerjaan kantor, sehingga sebisa mungkin tak ada pe-er seputar kerjaan. Apa enaknya sih, ”raga” ada di Istora Gelora Bung Karno, tapi ”jiwa” ada di tumpukan kerjaan kantor? :)

Keempat, mengkondisikan keadaan di rumah. Yang pasti, sejak jauh hari saya harus ”ijin” kepada seluruh anggota keluarga untuk ”minta” waktu liburan yang biasanya diisi dengan jalan-jalan bersama mereka, karena hari-hari itu rasanya saya akan memilih untuk ”sendiri”. Meski tidak tergabung dalam ISTI alias Ikatan Suami Takut Istri bersama Bang Tigor, Uda Faizal, Karyo dan Pak Erte di serial Suami-Suami Takut Istri-nya Trans TV, saya merasa wajib menghormati mereka.

Lhah, kenapa nggak diajak saja? Nggak sayang keluarga ya?

Wow, bukan begitu. Semua oke dan semua senang dengan buku. Tapi, untuk seharian penuh, tentu lain perkara. Istri mungkin oke. Tapi, anak-anak kami yang baru 5 tahun dan belum 2 tahun itu? Kasian. Kalau kecapean dan sakit, kami semua juga yang repot.

Lepas dari itu semua, tak sabar rasanya menunggu tanggal 28 itu.

Ada kawan-kawan yang se-perasaan dengan saya? Mari bergabung.

***

Salam buku,

Fajar S Pramono

1 DETIK HARI INI = 1 DETIK DI MASA LALU


Pernahkah Anda menunda mengerjakan sesuatu --baik karena sedang "M" alias males, merasa "tanggung" waktu, berpikir bahwa dikerjakan besok pun bisa cepet, dsb--, dan lantas ketika benar-benar kita kerjakan ternyata hanya memakan waktu dan energi yang bagi kita sendiri, sangat singkat dan tak seberapa?

Kalau Anda pernah, maka saya sering.

Swear saja, ya begitulah.

Beberapa buku tentang time management dan habit busting sudah saya baca. Tapi, "penyakit" itu pun masih seringkali hinggap. Sebagian orang bilang itu manusiawi. Karena, manusia punya yang namanya "mood". Kendati sadar, kalau pas nggak mood, kumat dah!

Tapi, bagi idealita insan manusia yang memiliki etos kerja tinggi, "kemanusiawian" itu tak bisa dijadikan alasan. Mood harus dikendalikan. Kuasa angin-anginan harus kalah dengan kuasa semangat.

Waktu bergerak terus. Ia tak bisa menunggu. Seringkali kita merasa, "Rasanya baru saja Jum'at, kok sudah mau Jum'at lagi ya?!"

Begitulah. Dari dulu sampai sekarang, 1 jam ya 60 menit. Satu menit ya tetep 60 detik. Sejak jaman bahulea juga, durasi lamanya "satu detik" ya persis seperti "satu detik" di hari ini. Di jaman kita.

Lantas, kenapa waktu terasa begitu cepat berlalu ya?

Saya pikir, ini subyektif. Waktu terasa cepat dan tidak bisa meng-cover seluruh kebutuhan kerja dan keseharian kerja kita, lebih karena kita sendiri yang tidak mengefektifkan pengisian waktu itu. Bukan karena putaran detik yang semakin cepat dibanding dulu.

Saya juga merasakan, bahwa yang bisa merasakan "waktu semakin cepat" adalah kita-kita yang semakin dewasa (boleh juga dibaca : semakin tua! Hehe...). Ketika saya amati, itu lebih banyak karena memang semakin dewasa kita, semakin banyak juga kepentingan dan aktivitas yang harus kita lakukan. Ya kerja, ya bisnis, ya ngurus anak, ya berusaha membahagiakan pasangan, orang tua, plus berbagai keinginan dan obsesi diri. Kenalan dan kerabat semakin banyak, sehingga silaturahim dan undangan semakin banyak yang harus dipenuhi. Yang dulu cuma jadi pelaksana, sekarang jadi manajer. Ya wajarlah, kalau kerjaan semakin banyak. Kalaupun kerjaan administratif semakin sedikit, kerjaan strategis dan konseptual-lah yang sering menghabiskan energi dan waktu.

Jadi ada 2 : pemanfaatan waktu yang tidak efektif, dan memang semakin banyak yang harus kita lakukan dalam waktu yang relatif tetap itu.

Saya sering mencoba membuat "jadwal harian" yang ketat dan benar-benar berusaha saya patuhi. Tertera, banyak sekali hal yang harus saya lakukan, dan itu tidak hanya di satu tempat. Di beberapa lokasi. Anda bisa bayangkan tuntutan "mutasi" lokasi seperti itu di Jakarta yang ruwet ini. Materi acaranya pun bisa bervariasi dalam satu hari. Masalah hobi, pindah ke masalah kerjaan, pindah ke masalah pemenuhan obsesi, pindah lagi ke olahraga. Contoh konkritnya : dini hari menulis, persiapan kerja (termasuk menyelesaikan lemburan) dan kerja (ini juga kesono kemari), sore ke Taman Ismail Marzuki menghadiri acara sastra, malamnya maen badminton. Masih sering ditambah, kerja lembur sepulangnya.

Ketika bersemangat mengerjakan dan mencoba mematuhi semua itu, ternyata semua bisa dikerjakan! Ketika semula sempat membayangkan, "Apa cukup ya, waktu yang hanya satu jam untuk memutus puluhan permohonan kredit pegawai ini?", ternyata bisa selesai, tak sampai 45 menit ketika pekerjaan itu benar-benar saya lakukan!

Intinya, sebenarnya kita bisa! Sebenarnya kita tak pernah kekurangan waktu!

Tapi ya itu. Pe-er kita adalah bagaimana menjaga bahwa semangat itu selalu ada. Bahwa mood kita senantiasa merupakan mood yang baik. Tak ada yang namanya mood jelek. Bad mood dilarang masuk!

Dan apakah saya sudah bisa? Jujur saja : belum.

Lantas, kenapa sok pintar dan nekat menulis di blog ini? Ya, supaya saya banyak teman yang bisa sama-sama saling mengingatkan, manakala di antara kita ada yang tiba-tiba kehilangan semangat.

Saya cuma ngajak belajar bareng-bareng kok. Mau menemani ya syukur, nggak mau menemani ya monggo. Saya hanya yakin, orang-orang yang mau berubah menjadi semakin baik dari hari ke hari itulah, yang akan menjadi "pemenang" di masa depan.

Yang tidak, berarti kalah? Ya iya lah... masa' ya iya dong. Aku kan sekolah, masa' seko dong.... hehe.

Sekali lagi, ini ajakan dan upaya saling mengingatkan, agar kita semua bisa jadi "juara masa depan". Sama sekali bukan ancaman. :)

Ocre, Bro?

***


Salam pencerahan,

Fajar S Pramono

HASRAT MERUBAH DIRI


Ketika aku masih muda dan bebas berkhayal,
aku bermimpi untuk merubah DUNIA.

Seiring dengan bertambahnya usia dan kearifanku,
kudapati bahwa
dunia tidak kunjung berubah.

Maka cita-cita itu pun agak kupersempit,
lalu kuputuskan hanya untuk merubah NEGERI-ku.

Namun tampaknya,
Hasrat itu pun tiada hasilnya.

Ketika usiaku semakin senja,
dengan semangatku yang masih tersisa,
kuputuskan untuk merubah KELUARGA-ku,
orang-orang yang paling dekat denganku.

Tetapi celakanya,
mereka pun tidak mau dirubah!

Dan kini,
sementara aku berbaring saat ajal menjelang,
tiba-tiba kusadari :

”Andaikan yang pertama-tama kurubah adalah DIRI-ku,

Maka dengan menjadikan diriku sebagai panutan,
mungkin aku bisa merubah KELUARGA-ku.

Lalu berkat inspirasi dan dorongan mereka,
bisa jadi aku pun mampu memperbaiki NEGERI-ku;

Kemudian siapa tahu,
Aku bahkan bisa merubah DUNIA!”

--- terukir di sebuah makam di Westminster Abbay, Inggris, 1100 M ---


***

Semoga terinspirasi,


Fajar S Pramono

NB :
- Kalimat-kalimat di atas saya "curi" dari sebuah pigura yang tertempel di kantor seorang nasabah. Thanks Pak Amin Sapa!
- Ilustrasi dari ilustrasi cerpen Media Indonesia.

AKU MENDAMBA PURBA


Sekian jauh tak terhitung jejak
Berbanyak dengus tak terbilang nafas
Aku mendambamu, purba
Masa lalu
yang semestinya terbakar

Lacur dikata, tak tera dimakna
Ketika bara hanya mengerang di tengah api
Jangan pernah berpikir hangus, jika
Hitam pun tak sanggup menorehkan kuasa

Aku mendambamu, purba
Masa dulu
yang seharusnya terbuang

Tak ada yang tak mungkin
Sebagaimana angin yang menerobos dinding
Seperti air yang menembus batu


Rawasari, 310508


***

Salam sastra,

Fajar S Pramono

NB : Ilustrasi diambil dari ilustrasi cerpen Media Indonesia.

MARI MENJADI (SEOLAH) BODOH


Malam dan pagi ini saya banyak jalan-jalan ke blog kawan-kawan sastrawan kondang. Eka Kurniawan, Ratih Kumala, Djenar Maesa Ayu, Jonru, Pidi Baiq, Gus Muh, Nur Mursidi, Dewi Dee, Binhad Nurrohmat, dll. Perlu dicatat : istilah “kawan-kawan” ini adalah versi saya sendiri, karena saya yang merasa mengenal mereka. Sementara, mereka dijamin nggak kenal saya! Haha.
Tragis ya? Biarlah.

Swear, entah kenapa dan darimana, keinginan membuat sebuah karya sastra sudah setengah tahunan ini begitu menggelegak di dalam rongga otak, berimpit berpilin dengan urat-urat syaraf pikir yang lain. (Halah! Belum apa-apa, udah sok nyastra gitu! Hehe...)

Tapi, adakah larangan itu? Saya rasa tidak. Tak ada rambu bulat berwarna merah dengan sebuah garis melintang putih di tengahnya. You boleh masuk, itu artinya.

So, why not kenapa tidak? :)

Tapi lagi, saya belum bisa mulai. Entah memang belum mampu, atau belum mau ya? Pokok inti kesimpulannya : belum.

Sekarang, saya sedang belajar. Mempelajari. Mencari ajaran. Ngelmu. Golek ilmu. Mengais pengetahuan. (ini latihan bikin metafora –red)

Apa kunci agar kita sukses belajar?

INI PERTANYAAN SERIUS. Banyak sekali sekolah, kursus, training, seminar, dll dsb, yang bisa menjadi tempat belajar. Tentang efektifitasnya, kita sendiri kuncinya.

Dan kunci itu, ada dalam petuah, yang salah satunya selalu digembar-gemborkan oleh Bob Sadino. Dia kawan saya juga. Tapi saya nggak tahu, saya kawannya atau bukan. :)

Apa katanya? ”Jadilah goblok terlebih dahulu,” kata Bob.

Hah? Kasar banget sih, omongannya.

Eits, jangan keburu emosi. Kalau Anda tersinggung, itu memang tujuan dia. ”Biar mereka segera bersikap!” alasannya.
Itu memang gaya dia, sebagaimana eksentriknya gaya celana pendek dan bajunya yang seolah nggak pernah ganti baju itu. Itulah personal trade mark-nya.

Kita lihat saja makna di balik kalimat itu : dengan gobloknya itu seseorang mau belajar, mau memulai, mau berdiri jika jatuh, dan mau terus bangkit dengan segala rintangan yang menghadang.

And the golden words-nya adalah :
”SESEORANG YANG SUDAH MERASA PINTAR, BERARTI TELAH KEHILANGAN KESEMPATAN MENJADI ORANG PINTAR YANG SESUNGGUHNYA.”

Saya sependapat dengan kata-kata emasnya itu.

So, marilah ”merasa bodoh” untuk sesuatu yang akan kita pelajari. Agar pikiran kita terus terbuka lebar. Agar otak kita terus haus suplemen keilmuan. Agar hati kita senantiasa merendah untuk dapat dialiri air pengetahuan.

Di sisi lain, jangan lupa untuk tetap bersyukur, akan apa yang sudah berhasil kita raih.
Karena kadang tak baik juga, ketika kita senantiasa merasa kekurangan, sementara sejatinya Tuhan juga telah banyak memberikan yang terbaik di sebelumnya.

Mekaten, pareng.

***

Salam pencerahan,

Fajar S Pramono


NB : Kata-kata Om Bob saya olah dari rubrik ”Setrum Utama” Majalah Wirausaha & Keuangan edisi Juni 2008. Suwun, Mas Is!

UJAN. KESEIMBANGAN.


Seharian semalaman, boleh dibilang, ujan tak berhenti. Sedih juga, karena Sabtu pagi tadi nggak bisa tenis. Tapi seneng juga, karena akhirnya aku nggak jadi nyesel, karena memang sesungguhnya pagi itu aku harus nganter Faya naik pentas. Main operet. Jadi kupu-kupu.

Sedih lagi, karena sore barusan musti nerobos ujan untuk ngambil kerjaan di kantor, ”kiriman” anak buah yang overload. Kasian kalo tak dibantu. Lagian, kerugian tim juga jika aku sebagai leader tak mau sekali-kali ”turun” dan ”menjadi” mereka.

Seneng lagi, karena dengan kemauan nerobos ujan, aku jadi bisa ke Pak Tessy, beli Media Indonesia dan Koran Jakarta. Bisa juga mampir Indomaret. Beli Indomie goreng kesukaan, yang belakangan ini sengaja tidak di-stok ame bini gare-gare diabisin mulu ama pembokat. Hehe... Pelit ya? Tauk ah! :)

By the way busway, ujan seharian semaleman, ternyata bikin seger juga. Siang tadi, aku bisa nyaman nge-net di ”meja kerja” tanpa perlu kipas-kipas. Adem.

Teh anget yang biasanya jarang kusentuh ketika masih panas, jadi nikmat banget dinikmati sembari ditiup. Kaos sempit yang biasanya kuhindari karena mampu mempercepat proses ”keringetisasi”, bisa kupake tanpa khawatir segera basah.

Kesimpulannya, setelah panas yang tak pernah merasa capek mendera beberapa waktu terakhir ini, ujan menjadi sesuatu yang sangat menyegarkan. Semoga ini juga yang terjadi di sembilan desa di Kecamatan Terisi, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.

Jujur sejujur-ajurnya, hatiku trenyuh banget waktu membaca berita di Republika hari ini, Sabtu 14/06/08, bahwa warga kesembilan desa tersebut (Karangasem, Rajasinga, Cikawung, Jatimungkul, Jatimulya, Plosokerep, Cibereng, Kendayakan dan Manggungan) melakukan ikhtiar, tirakat dengan menjalankan puasa tiga hari sejak Senin sampe Rabu, 9 sampe 11 Juni lalu. Seperti sunnah Nabi Muhammad SAW.

Kamisnya (12/06/08), warga kesembilan desa itu menggelar Sholat Istisqo. Demi kebasahan. Demi ketidakkeringan. Demi keberhasilan panen. Demi cucu anak istri. Demi keberkahan untuk semua.

Luar biasa. Aku hanya bisa membantu do’a dan mengucap ”Amieenn...” yang panjang. Dalam hati. Semoga Allah SWT mengabulkan.

Sesuatu yang ’terlalu’ memang lebih banyak tidak baiknya. Kemarau yang terlalu lama, menciptakan kekeringan. Ujan yang terlalu lama, bisa bikin banjir. Kerjaan yang terlalu overload, juga bisa bikin sakit. Bukti nyata : 4 hari dari 5 hari kerja di kantorku diisi oleh ketidakhadiran 3 orang dari 7 orang anggota timku yang tidak masuk karena sakit secara bergantian! Itu pun harus dengan catatan : 2 orang lainnya memaksa masuk meski jeritan khas hidung berupa ”...hatsyii!” dan rasa greges-greges mengiringi.

Tidur dan istirahat terlalu lama pun, tidak baik. Ia bisa bikin ‘aras-arasen’, alias males di sesudahnya. Olah raga yang katanya baik untuk kesehatan, berbalik menjadi penjajah bagi kesehatan jika tenaga terlalu terforsir.

Bahkan percaya atau tidak, terlalu baik hati pun seringkali menciptakan ‘masalah’ bagi si empunya hati. Yang dimanfaatkan orang lain lah, yang dibohongi lah, dan sebagainya. Tapi, yang terakhir ini versi dunia. Versi akhirat, wallahu a’lam bishawab.

So, semua memang butuh keseimbangan. Harus ada kering, harus ada ujan. Musti kerja keras, musti juga istirahat.

Itu kesimpulannya. So, mari tengok kepada diri kita sendiri, saat ini kita sedang ”terlalu” apa? Segera cari ’lawan’-nya. Cari keseimbangannya.

***

Salam,

Fajar S Pramono

PILIHAN YANG BERTANGGUNG JAWAB


Jangan terpana melihat judul postingan kali ini. Sebuah judul yang "sok serius" ya? :)
Swear, jangan diseriusi dengan jidat berlipat. Justru postingan kali ini sangat sangat dan sangat ringan.

Yup! Judul di atas sebenarnya "hanya" sebuah judul cerita anak, hasil olah "iseng" saya manakala "putus asa" membuat cerpen serius! Haha!

Tapi, "keisengan" itu ternyata berbuah. Dari iseng menulis (ssst...di kantor pula!), iseng mengirim ke Kompas (nggak tanggung-tanggung kan?), dan ternyata dimuat! Meskipun musti nunggu 9 bulan 18 hari! Ya, saya kirim 07 Februari 2007, dimuat 25 November 2007! Hehe... kalau janin udah telat 8 hari untuk lahir! Hehehe...

Sekarang, iseng juga, saya posting di blog ini. Biar nggak serius terus ini blog! :)

Selamat membaca!


Pilihan yang bertanggung jawab
Oleh : Fajar S Pramono

Hari Minggu ini, aku akan bertanding bulutangkis menghadapi Santi di babak final. Santi adalah juara bertahan kejuaraan Piala Bintang, sebuah kejuaraan yang diselenggarakan untuk mencari bibit unggul usia 8 – 12 tahun. Aku sendiri saat ini berusia hampir 9 tahun, sementara Santi berusia 11 tahun.

Sejak mendaftarkan diri di kejuaraan tingkat kotamadya ini, aku merasa sangat bersemangat. Dan hari ini, semangat itu mencapai puncaknya.

“Aku akan buktikan, bahwa pilihanku menekuni olahraga ini tidak salah!” tekadku.

***

Aku masih ingat, ketika dua tahun lalu aku dipanggil kedua orang tuaku.

“Faya, kenapa kamu selalu bolos les balet dan kursus model di tempat Om Jansen?” ibuku langsung bertanya begitu aku sampai di depannya.

Aku diam.

“Kenapa, Nak?” bapak ikut bertanya, tapi dalam nada yang jauh lebih tenang. “Ibumu sudah membayar semua biaya les dan kursus itu. Nggak murah lho, Sayang…”

Hening. Aku masih diam, ketika ibu menyambung, “Iya. Ibu dan Bapak ingin kamu berprestasi. Lihat tuh, si Anna, Jessie, Asti, semua udah top sekarang. Pialanya sudah berderet-deret di ruang tamu. Apa kamu nggak ingin seperti mereka?”

Aku menunduk lebih dalam.

“Bu….” kataku pelan. Ibu dan bapak menunggu kelanjutannya.

“Saya nggak suka, Bu....” lanjutku kemudian.

“Hah? Nggak suka? Bagaimana sih? Kamu itu kan perempuan. Cantik, putih, dan menurut Ibu, kamu punya bakat jadi model,” Ibu langsung membombardir dengan kata-katanya.

“Dengar, Faya. Betapa banyak teman-temanmu yang ingin jadi model cantik dan terkenal. Kamu tidak hanya cantik, tapi kamu punya ibu bapak yang mendukung dan mau mengeluarkan biaya. Sementara yang lain, banyak yang tidak sanggup ikut kursus karena keterbatasan biaya. Mestinya kamu nurut dong, Faya…” Ibu masih terus bicara. Tampak sekali kekecewaan di dalam ucapannya.

“Bu, jangan begitu… Biarlah Faya berpikir dulu. Kalau memang dia tidak suka, apa kita mau memaksa?” Bapak menenangkan ibu. Dalam hati, aku bersyukur punya bapak yang bijaksana.

“Coba sekarang, katakan pada Ibu. Kamu sebenarnya ingin jadi apa? Kalau tidak di model, kamu mau berprestasi di bidang apa selain menjadi juara kelas seperti saat ini?” Ibu masih kelihatan kesal. Aku malah makin diam.

“Katakan keinginanmu, Sayang…” kata Bapak sembari mengelus rambutku. Aku merasa nyaman diperlakukan seperti itu.

“Faya ingin jadi atlet bulutangkis, Bapak…” aku memberanikan diri menjawab.

“Apa? Jadi atlet? Kamu mau badanmu yang bagus ini jadi berotot dan menghitam akibat seringnya latihan fisik? Ya ampun, Faya….” respon ibu. Diletakkanlah punggungnya di sandaran kursi. Tampaknya, lengkap sudah kekecewaan ibu.

Aku menyesal dalam hati. Kenapa aku bicara terus terang soal keinginanku? Tapi menurutku, nggak ada yang salah dari cita-citaku. Betapa mulianya, seseorang yang mau mengabdikan dirinya untuk berprestasi di bidang olah raga. Apalagi, bulutangkis adalah cabang olahraga yang hingga saat ini mampu mengharumkan nama bangsa dan tanah air di mata dunia.

Jujur, aku kecewa atas tanggapan ibu. Aku langsung berlari ke kamar, diikuti langkah panjang bapakku.

“Faya…” panggil bapak setelah sampai di kamar.

Bapak merangkulku. “Bagus, Sayang. Kamu punya cita-cita mulia. Bapak akan dukung keinginanmu. Soal ibu, biar Bapak yang menjelaskannya.”

Aku justru terisak.

“Bapak akan masukkan kamu ke klub Prestasi. Bapak kenal baik dengan pelatihnya, Pak Barno. Tapi kamu harus janji, kamu akan serius berlatih, agar suatu ketika kamu bisa buktikan kepada ibumu, bahwa pilihanmu tidak salah. Bahwa kamu bisa juga terkenal dan berprestasi seperti teman-teman kamu yang lain. Sanggup?” kata bapak panjang lebar.
Aku mengangguk mantap. Mantap sekali.

“Faya akan buktikan, Bapak!” kataku tegas. Aku memeluk bapak lebih erat. Betapa bijaksananya beliau, batinku lagi.

***

Itu peristiwa dua tahun lalu. Peristiwa yang tak mungkin aku lupakan, karena peristiwa itu pulalah yang pada akhirnya senantiasa memacu semangatku.

“Match point, dua puluh, lima belas!” suara wasit menggema. Tepuk tangan dan sorak sorai membahana.

“Ayo, Faya! Satu angka lagi!” teriakan demi teriakan penggelora semangat terdengar dari arah tribun.

Aku lihat di sisi kanan, bapak dan ibu berdiri tegang, menanti saat-saat yang dinantikan.

Aku melakukan servis. Setelah beberapa kali berbalas pukul, sebuah bola tanggung dari Santi kusambut dengan smash tajam di sisi kirinya.

“Game…!” wasit berteriak lantang. Sorak sorai penonton yang sebelumnya sudah sangat ramai, makin riuh ketika aku berlari menuju tempat di mana kedua orang tuaku berdiri.

“Juara baru telah lahir. Fadya Nabila Fajarpoetri…!” kata-kata pembawa acara di tengah keramaian penonton.

Aku memeluk bapak dan ibu. Kami menangis gembira. Terharu.

“Ibu bangga padamu, Faya…” kata ibu tak kuasa menahan air matanya.

“Maafkan Ibu ya, Sayang. Kamu telah memilih jalan yang benar, dan kamu telah membuktikannya kepada Ibu,” kata ibu masih terisak.

“Selamat ya, Sayang…” kata bapak dan ibu berbarengan.

Aku pun tak sanggup menahan tangis kegembiraan dan kebanggaanku. Gembira, karena aku menjadi juara. Bangga, karena aku mampu bertanggung jawab atas pilihanku sendiri.

***


Salam sastra,

Fajar S Pramono


NB :

1. Foto ilustrasi di atas adalah persona Fadya Nabila Fajarpoetri yang sesungguhnya : anak pertama gue yang cantik seperti ayahnya yang juga cantik! :)

2. Gara-gara cerpen ini, Faya terus merengek minta diajarin main bulutangkis. Kasihannya, keinginan itu belum bisa terpenuhi, karena ayahnya sibuk sendiri : bermain bulutangkis bersama teman-temannya! Haha!

EKSTASE DALAM SENDIRI


Ketika kebuntuan
menjelujurkan jemari di hati yang meruah
Ketika jelejak sesak
menelikung bara sebuah tubuh yang menggelisah
Tak lagi tercipta opsi
Bahwasanya,
aku inginkan sunyi

Meretas jalanan dalam arahan kawan
Pilihan hati tak kuasa menjati diri
Ditikam tawan kesumpekan yang melemparkan
Kedua kali,
aku inginkan sunyi
Berseberang memang tak selamanya bermusuhan
Berjalan beriring jua tak senantiasa satu rasa
Lalu, apatah arti mendiri nafas
Jika tak nampak sepotong batang tujuan

Kacau balau galau

Ketiga kali dan selebih,
aku inginkan sunyi

Tak terperi dan justru seringkali; bagiku
Kesunyian adalah damba yang meramaikan


Gunung Agung Kwitang, 270508

***


Salam sastra,

Fajar S Pramono

NB : Ilustrasi diambil dari ilustrasi cerpen di Media Indonesia.

BLOG BUKU



Dear All,

Sebuah keinginan untuk membuat blog khusus buku --sebagai "tindak lanjut" niat diri pasca menghadiri Temu Blogger Buku se-Indonesia tanggal 17 Mei 2008 lalu-- akhirnya terwujud.

Meski supply untuk blog tersebut belum seberapa dan masih didominasi celoteh tentang buku-buku lama, well, bagaimanapun itu lebih baik daripada tidak segera memulai.

Ini saya dedikasikan juga bagi afirmasi diri untuk menjadi peresensi buku. Sebuah media yang saya yakini sangat mendukung obsesi tersebut.

So, bersama ini saya umumkan, bahwa telah hadir sebuah blog buku baru : http://www.celotehbuku.blogspot.com.

Silakan dibuka, silakan dinikmati dan silakan dikritisi.
Semoga bermanfaat, amien.



Salam buku,

Fajar S Pramono

NGIWO LAJENG MAWON


















Jika Anda kebetulan melintas di perempatan Sumber, Solo, tepatnya dari arah Jajar ke Banyuanyar, coba Anda perhatikan. Di bawah lampu lalu lintas, ada petunjuk “Kiri Jalan Terus, Ngiwo Lajeng Mawon”! Kreatif, dan bermanfaat buat yang “Buta Bahasa Indonesia”!


Salam,

Fajar S Pramono

MEMELIHARA HARAPAN


Ketika kita bicara tentang cita-cita, ketika kita bicara tentang obsesi, apa yg sebenarnya melatarbelakangi itu semua? Tak lain dan tak bukan adalah : harapan.

Secara harfiah, memang susah membedakan harapan dengan cita-cita atau obsesi. Kosakata itu tidak saja senantiasa berjalan beriringan, tapi sesungguhnya saling melengkapi. Inheren, menyatu satu sama lain.

Namun demikian, saya meletakkan harapan sebagai roh dari cita-cita atau obsesi. Kenapa demikian? Karena tanpa memiliki harapan, maka kita tidak akan pernah berani mempunyai cita-cita dan merilis sebuah obsesi.

Cita-cita, obsesi, adalah sesuatu yang mungkin kita raih. Boleh jadi ia sebuah angan-angan yang sangat tinggi, tapi ia bukan sebuah khayalan.

Dalam sebuah tulisan saya di sebuah media, saya membedakan apa itu angan-angan, dan apa itu khayalan. Angan-angan, adalah sebuah impian yang (sangat) mungkin kita kejar dan dapatkan. Karena apa? Karena sifatnya yang riil. Membumi, berdasar, dan dimungkinkan untuk terwujud.

Saya misalnya, berangan-angan menjadi pengusaha besar dengan passive income yang lebih dari cukup. Anda berangan-angan memiliki 300 gerai toko roti bermerek nama Anda di antero Nusantara, atau berkeinginan menjadi motivator hebat melebihi Andre Wongso dan Tung Desem Waringin. Itu semua angan-angan. Angan-angan yang mungkin sangat tinggi, tapi sangat tidak mustahil untuk diwujudkan.

Sementara khayalan, saya golongkan atas sesuatu yang bersifat musykil. Saya ingin jadi Superman, yang bisa terbang hanya dengan memakai "jubah sakti"-nya. Atau Anda ingin bisa mendirikan pusat perbelanjaan dengan hanya mengucap "sim salabim abrakadabra!". Itu khayalan. Sesuatu yang tidak mungkin untuk dicapai.

Nah, kembali ke permasalahan awal. Ketika kita sadar bahwa cita-cita, obsesi, ataupun angan-angan itu adalah sesuatu yang (sangat) mungkin kita wujudkan, maka kita berhak dan harus memiliki harapan. Manakala harapan itu ada, maka tetapkanlah berbagai cita-cita, obsesi dan angan-angan itu sebagai target yang harus kita kejar dan wujudkan. Dan yang terpenting, dengan memiliki harapan, maka kita akan mau berusaha.

Masalahnya, memelihara harapan, bukan hal yang mudah. Contoh simpel : kita pingin jadi “raja seluler”. Di tengah-tengah harapan yang tinggi, tiba-tiba saja kita tertipu oleh rekanan dengan cek kosongnya. Atau karena kurang membaca keadaan, barang yang baru kita ambil dalam jumlah besar tiba-tiba saja turun drastis harga jualnya akibat munculnya produk baru yang jauh lebih canggih dengan harga yang sama, sehingga mau tak mau barang itu harus kita lepas dengan harga rugi.

Nah, “cobaan” yang demikian seringkali melumpuhkan harapan. Seringkali membuat kita tenggelam dalam kenelangsaan, kehilangan kepercayaan diri, motivasi dan pada akhirnya kehilangan harapan.

Ini yang tidak boleh terjadi. Ketika kita merasa tidak memiliki harapan, maka itulah jalan tol menuju kegagalan yang sesungguhnya.

Kenapa begitu? Karena, ketika harapan itu sirna, maka takkan ada lagi langkah kita menuju keterwujudan angan-angan tadi. Kita yang semula rajin membuka internet untuk mengetahui produk-produk kartu seluler terbaru, menjadi malas mengaksesnya kembali. Kita yang semula rajin mencipta jaringan, menjadi ogah bergerak.

Intinya, ketika harapan itu menghilang dari diri kita, maka apa yang kita lakukan kemudian adalah antitesa dari sesuatu yang seharusnya kita lakukan. Ini tentu sangat kontraproduktif bagi realisasi cita-cita dan obsesi kita. Alhasil, sesuatu yang sebenarnya mungkin kita raih, akhirnya cuma menjadi impian di siang hari bolong.

Lebih parah lagi, jika pada akhirnya kita bahkan tidak berani bermimpi, karena merasa tidak ada harapan. Padahal, tanpa mimpi, tanpa usaha, mungkinkah kita akan memperoleh hasil seperti yang tercetak dalam benak angan-angan kita tadi? Jawabnya jelas : tidak.

Nah, dari ilustrasi di atas jelaslah, bahwa memelihara harapan merupakan sesuatu yang mutlak harus kita lakukan. Keberanian memelihara harapan, merupakan modal yang nilainya tak terhingga bagi pencapaian sebuah angan-angan.

Jika kita rajin membaca literatur motivasi, tentu kita tahu bagaimana suka duka Abraham Lincoln hingga akhirnya menjadi Presiden AS. Jika kita rajin belajar teori pengembangan diri, pasti tidak terkejut mendengar bagaimana perjalanan Thomas Alfa Edison sampai akhirnya dia menemukan bola lampu pijar. Atau kalau kita rajin menelaah biografi orang sukses, tentu tidak heran jika pada akhirnya Henry Ford bisa menjadi “orang besar”. Apa kunci semua itu? Tak lain karena adanya harapan yang terpelihara.

Bahkan, para bijak berkata : salah satu kegagalan terbesar manusia adalah ketidakmampuan dirinya memelihara harapan.

***


Salam pencerahan,

Fajar S Pramono


NB : Artikel ini dipublikasikan di Majalah Pengusaha Edisi 71, April 2007.

MENYIBAK TABIR POLITIK KEPENTINGAN FPI




Judul Buku : Gerakan Islam Simbolik; Politik Kepentingan FPI
Penulis : Al-Zastrouw Ng
Penerbit : LKiS, Jogjakarta
Cetakan : I, November 2006
Tebal : xviii + 192 halaman


Berani, namun berdasar. Saya pikir, dua kata itu cukup mewakili semangat yang ada di buku ini. Buku berjudul “Gerakan Islam Simbolik; Politik Kepentingan FPI” yang ditulis oleh Al-Zastrouw Ng ini secara berani mengungkap apa yang sesungguhnya ada di balik jubah gerakan radikal Islam bernama Front Pembela Islam (FPI). Tidak hanya dalam pengungkapan, namun juga sangat berani dalam hal penyimpulan.

Apa kesimpulan buku ini? Seperti terpampang pada sampul belakang, “Salah satu kesimpulan penting dari buku ini adalah bahwa gerakan Islam radikal FPI bukanlah termasuk gerakan Islam-radikal-fundamentalis yang memiliki komitmen tinggi untuk memperjuangkan Islam dan mencita-citakan berdirinya Negara Islam. Akan tetapi, ia merupakan gerakan Islam-radikal-politik, yang menjadikan agama sebagai kedok untuk menutupi kepentingan politik dan ekonomi para pemimpinnya.

Siapa juga Al-Zastrouw Ng, yang dengan lantang berani menulis kesimpulan ini?

Al-Zastrouw Ng bukan nama baru di kancah wacana dan praksis perpolitikan negeri. Ia adalah aktivis di lembaga penelitian sosial INDOS (Institute for Indonesian Sociology), Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia NU, relawan di LAKPESDAM NU, LKiS, dan berbagai forum lainnya. Selain aktif menulis di berbagai media, dia juga pernah menjadi dosen luar biasa pada program Pasca Sarjana UI untuk mata kuliah Sosiologi Agama.

Tak kurang dari sepuluh tahun, Al-Zastrouw mengikuti perjalanan dan menjadi orang dekat Gus Dur. Tahun 2000, dia kembali ke kampus untuk mengambil studi S2 dengan konsentrasi sosiologi. Sebagai orang yang berkutat dengan kegiatan intelektual, materi dalam buku ini merupakan hasil penelitiannya saat menyusun tesis. Itulah mengapa, selain saya nilai berani, apa yang diungkap dalam buku ini juga berdasar.

Pertanyaannya : benarkah argumentasi itu cukup kuat?

Seperti telah dipaparkan di atas, materi buku ini merupakan hasil riset/penelitian penulis selama lebih dari 2 tahun (2000 – 2002), ketika menyelesaikan S2-nya di UI. Ini berarti, materi yang disampaikan telah melalui analisa kritis yang complicated, dan telah berhasil dipertanggungjawabkan di dalam ruang akademik.

Di luar itu, Al-Zastrouw membedah tubuh dan gerakan FPI melalui berbagai macam teori. Antara lain, menggunakan kacamata konstruksi sosial Peter L Berger.
Dalam teori Berger, ada tiga tahap proses dialektis yang membentuk sebuah konstruksi sosial. Eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Tesis Al-Zastrouw dimulai dengan membangun asumsi dalam proses internalisasi.

Sebagai sebuah organisasi dengan beragam akar sosial, ada dua kelompok yang berperan dalam proses internalisasi FPI. Yaitu, masyarakat religius yang diwakili oleh para haba’ib dan ulama, serta masyarakat awam (tradisional, abangan) yang diwakili oleh intelektual kampus dan mahasiswa, kelompok preman dan anak jalanan, serta kaum awam.
Hal ini menciptakan dua konstruksi pemikiran keagamaan : konstruksi pemikiran puritan, simbolik dan formal, serta konstruksi pemikiran awam-tradisional.

Masalahnya akan muncul di dalam proses objektivasi. Kelompok haba’ib menilai bahwa ajaran agama tidak semata-mata merupakan tuntunan hidup dalam mengatasi kekacauan. Menurutnya, agama bisa menjadi komoditas ekonomi dan aset politik yang bisa meningkatkan bargaining di hadapan kelompok lain. Bagi kelompok intelektual, agama bisa menjadi alat legitimasi dalam melakukan mobilitas sosial secara vertikal.

Bagi kelompok preman, agama dapat menjadi tempat berlindung atas tindakan kejahatan yang mereka lakukan. Sedang bagi kaum awam, agama menjadi pelarian dari kenyataan hidup yang kompleks untuk memperoleh ketenangan melalui janji-janji kebahagiaan hidup di akhirat nanti (hal. 134).

Perbedaan inilah yang pada proses eksternalisasi akan menimbulkan discrepancies (penyimpangan) antara eksternalisasi retorik dengan praksis, serta antara konstruksi ideal dengan faktual.

Melalui kerangka teori modernisme dan fundamentalisme, Al-Zastrouw juga melihat ketidaksinkronan antara gerakan Islam radikal FPI dengan teori tersebut. Dalam tataran teori, modernisasi bertentangan dengan fundamentalisme. Kaum fundamentalis selalu mencurigai kaum modernis dengan tuduhan “membaratkan” dan “mensekulerkan” Islam. Sebaliknya, kaum modernis seperti Fazlur Rahman sering menyebut kaum fundamentalis sebagai orang-orang yang “dangkal dan superfisial”, “anti intelektual” dan “tidak bersumber Al-Qur’an serta budaya intelektual tradisional Islam”.

Faktanya, FPI tidak berada di kedua-duanya. Dalam Risalah Historis dan Garis Perjuangan FPI, tampak bahwa FPI tidak bersikap frontal terhadap arus modernisasi, tapi justru saling memanfaatkan. Risalah yang sama juga menunjukkan bahwa FPI tidak bersifat fundamentalis. Baik dalam penerapan amar ma’ruf nahi munkar-nya, serta adanya kelonggaran bagi tiap kelompok sosial dalam memahami nilai keislaman. Simbol-simbol keislaman FPI hanya dipakai sebagai perekat gerakan, dan bukan sebagai basis ideologi gerakan.

Teori lain yang dipakai adalah teori pertukaran sosial dari George C Homans dan Peter Blau. Dengan menggunakan perspektif Blau, maka akan tampak bahwa institusi FPI bukanlah gerak kelembagaan sistemik, tapi lebih merupakan prakarsa individu (dalam hal ini haba’ib dan tokoh-tokoh FPI) yang bekerja sama dan membangun jaringan kelompok kepentingan. Baik dengan kelompok militer, mantan penguasa yang ingin kembali berkuasa, serta pemilik modal/pengusaha.

Mengacu kepada teori Homans, akan terlihat bahwa gerak FPI lebih mengarah pada praktik pertukaran sosial yang mengedepankan masalah ongkos, keuntungan dan ganjaran. Artinya, gerakan berpijak dari apa yang bisa didapat dari ketiga kelompok kepentingan di atas, sebagai sesuatu yang esensial.

Masih banyak argumentasi Al-Zastrouw Ng dalam membuat kesimpulan. Termasuk, dengan melihat bentuk jaringan dan sistem kerja FPI. Semua itu bisa Anda baca secara detail dalam buku terbitan LKiS ini.

Sebagai sebuah wawasan dan kesimpulan yang berani –apalagi didukung promosi yang baik-- mestinya buku ini akan jadi kontroversi. Pihak yang selama ini kurang simpati dengan keberadaan FPI, akan mendapat pembenarannya. Namun --tanpa bermaksud mengadu domba-- FPI mestinya merasa gerah kalau kesimpulan Al-Zastrouw dianggap salah. Bukan tidak mungkin akan muncul “buku putih” dari FPI yang akan meng-counter kesimpulan buku ini.

Sebagai pembaca yang haus wawasan, sayang juga jika pandangan yang ada hanya berasal dari satu pihak. Soal mana yang akan diyakini, kita serahkan pada masing-masing pembaca. Wallahu a’lam.

***


Salam buku,

Fajar S Pramono