Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

FILSAFAT BOLAK-BALIK (1)


Seorang kawan fesbuker meng-unduh sebuah catatan bertajuk "Filsafat Bolak-Balik". Salah satunya :

"Masih muda, korbankan kesehatan untuk mencari harta.
Sudah tua, korbankan harta untuk mencari kesehatan."


--"catatan fesbuk" Nur Habib, bersumber dari www.syukriy.wordpress.com--

***

Apa yang bisa kita "baca" dari untaian kalimat "bolak-balik" di atas?
Saya mencoba mengawali "pembacaan" itu, melalui kacamata saya yang paling sederhana.

Pertama, ironi. Ya, tentu sebuah ironisme yang sangat ketika terdapat sebuah tujuan dalam hidup yang ingin dicapai, namun justru tak bisa dinikmati ketika tujuan itu tercapai.

Sadarkah kita, bahwa kita sering berbuat banyak hal "konyol" seperti itu?

Begitu menggebunya kita membeli buku, untuk dibaca. Ratusan ribu rupiah keluar dari kantong. Keinginan memiliki bahan bacaan yang banyak pun terwujud. Tapi membacanya? "Tak sempat pula awak ini," meminjam istilah kawan di seberang. Pada akhirnya, kita sekadar membeli kertas berjilid, tanpa ada ilmu yang bertambah di dalam otak.

Mencari dan mengeluarkan uang ratusan ribu adalah sebuah pengorbanan. Menyediakan waktu ke toko buku, atau "berdarah-darah" dalam desakan dan "tsunami" gelombang pengunjung pameran buku berdiskon, tentu juga sebuah pengorbanan.

Tapi manakala tujuan memperoleh ilmu dari buku-buku tersebut tak terwujud, maka "pengorbanan" itu mendekati sia-sia.

Contoh lain, kita bekerja untuk "membesarkan anak". Katanya. Lantas kita bekerja siang malam. Tak kenal Sabtu Minggu. Semua untuk upaya mencari rejeki, untuk "membesarkan anak".

Tapi, kesibukan itu ternyata membuat kita tak bisa melihat perkembangan si anak alias proses "membesarnya" si anak. Tahu-tahu saja ia sudah besar. Tahu-tahu mereka sudah kenal pacaran. Tahu-tahu anak-anak itu harus masuk SMA.

Ini yang selalu diingatkan oleh istri saya juga. "Ayah, kalau waktu untuk keluarga kurang, nanti kaget lho, tahu-tahu anaknya sudah gedhe...."

Saya pikir benar kata istri saya. Kita bisa tak sempat menikmati proses sekaligus hasil dari upaya kita.

***

Kedua, adalah tentang "cara" kita berupaya. Ternyata seringkali kita menggunakan cara yang "salah" dalam upaya kita mencapai cita-cita.

"Mengorbankan kesehatan" dalam rangka mencari harta, tentu bukan "cara" yang benar.
Yang benar, tentu dengan tetap memperhatikan kesehatan.

Tapi tujuan kan tercapai? Iya benar, tujuan tercapai.
Tapi juga, untuk apa tujuan tercapai kalau menyebabkan kita sendiri tak bisa menikmati apa yang kita capai?

Namun demikian, bicara cara yang salah dalam proses mencapai tujuan, sekadar "mengorbankan kesehatan" masih "bagus", karena yang dikorbankan adalah diri sendiri. Kalau selain diri sendiri, yang harus dikorbankan juga adalah orang lain, organisasi, atau suatu sistem yang baik? Lebih menyesakkan.

Lihatlah kasus korupsi. Siapa dikorbankan? Semua orang yang seharusnya berhak atas uang yang dikorupnya. Berarti, ia telah menghilangkan hak orang lain. Lalu, organisasi di mana ia melakukan korupsi. Organisasi kehilangan kesempatan untuk maju dan besar lebih cepat. Lalu juga, harga diri dan kehormatan keluarga. Ketika kasus itu terungkap ke publik, dan si pelaku mendapat hukuman, ke mana muka si pelaku dan keluarganya yang --mungkin-- tak tahu-menahu, harus disembunyikan? Hukuman fisikal mungkin hanya beberapa tahun. Tapi hukuman sosial, bisa jadi seumur hidup atau bahkan turun temurun.

Na'udzubillahi min dzalik. Semoga kita tak termasuk golongan ini, amien.

***

Lalu, bagaimana seharusnya? Saya yakin Anda semua bisa menyimpulkannya.

Saya yakin, ada banyak "pembacaan" lain dari "filsafat bolak-balik" selain yang saya sampaikan di atas. Dipersilakan sharing.


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://www.msmedicalsupplyonline.com

MENGUBAH PR MENJADI RP


"Apa bedanya seorang tentara waktu berangkat tugas ke Aceh, dan sepulang dari Aceh?" tanya sebuah anekdot.

Tak banyak orang di kantor yang bisa menjawab, ketika guyonan itu dilontarkan. Termasuk saya.

Sampai akhirnya, "Tentara ke Aceh bawa M-16, pulangnya bawa 16 M!" jawab si penanya sendiri.

Maksudnya?!

"Berangkat bawa senapan M-16, pulangnya bawa duit 16 M....," terangnya.

Lho?! Dari mana?!

"Dari mengawal ganja! Hahaha...," terangnya lagi.

***

Itu hanya sebuah anekdot, yang berkembang ketika Aceh lekat dengan GAM. Ketika Aceh "identik" dengan ladang ganja.

Cerita tentang M-16 dan 16 M itu sontak muncul dalam ingatan ketika beberapa waktu membaca status Facebook seorang sahabat : Mas Iim Rusyamsi, Presiden TDA (Tangan Di Atas). Ia menulis : "Bismillah...lanjut selesaikan PR untuk jadi RP...amin...". Juga catatan seorang kawan --Nur Habib-- tentang "Filsafat Bolak-Balik".

Apa hubungannya dengan anekdot di atas?

Enggak ada, memang. Saya hanya suka anekdot dan kata-kata "mutiara" yang gampang diingat dengan keunikannya. Lihat : M-16, 16 M. PR, RP. Saya terkesan, karena menurut saya, itu kalimat cerdas.

Tentang "Filsafat Bolak-Balik"-nya kawan Nur Habib, kapan-kapan saya sharing, dan kita bahas bersama.

***

Menyelesaikan PR untuk jadi RP. Hmm... menyelesaikan "Pekerjaan Rumah" agar menjadi "Rupiah". Great!

Mas Iim mengingatkan kita, bahwa banyak hal produktif yang bisa kita selesaikan. Bahwa banyak aktivitas yang bisa dijadikan ladang rejeki. Bahwa banyak pekerjaan tertunda, yang semestinya bisa segera memberikan hasil bagi kita.

Pemahaman ini tentu layak diperluas. Bahwa output produktivitas tentu tidak saja berupa materi. Uang. Ia bisa berupa apa saja yang positif bagi kehidupan kita.

Contoh : silaturahmi dengan teman. Ia mungkin tidak menghasilkan rupiah (baca : uang) kalau kita lakukan. Bisa jadi kita malah keluar uang. Untuk mentraktir misalnya. Tapi, berkah silaturahmi, bisa mewujud dalam hal yang lain. Networking bisnis, keliaran ide positif, pembelajaran tentang hal baru, sharing pengalaman, kesempatan, dan lain-lain.

Bagaimana dengan kesempatan berolahraga, misalnya? Ya, kesempatan itu sesungguhnya adalah "PR". Apa output-nya kalau kita kerjakan? Uang? Bukan. Kita bahkan mungkin membayar untuk menyewa gedung olahraga, membeli peralatan, dan lain-lain. Tapi, Insya Allah kita akan sehat. Dan sehat itu anugerah yang luar biasa, bukan?

Bangun pagi, membuat catatan yang (semoga) positif, lalu sharing. Dapet apa? Pahala, Insya Allah, amien. (Hehe...)

So, RP itu bukan sekadar uang. Ia bermakna "anugerah". Anugerah yang barokah.

Dan itu bisa diperoleh dari mana saja. Seorang istri yang dengan senang hati "mengerjakan PR" memasak untuk suaminya, Insya Allah beroleh pahala dan keharmonisan rumah tangga. Seorang karyawan yang "mengerjakan PR", yakni dengan ikhlas memberi bimbingan kepada teman kerja barunya, Insya Allah mendapatkan pahala, kehormatan dan kepantasan sebagai rekan kerja yang baik, sekaligus kehangatan sebuah "keluarga kantor".

Intinya : selama PR itu adalah kegiatan atau amalan positif, yang kemudian dikerjakan dengan baik dan ikhlas, maka ia pasti menghasilkan RP. Menghasilkan anugerah.

Itu janji Tuhan, bukan?

So, terima kasih Mas Iim, atas status-nya yang luar biasa.


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://ceritalangitbiru.files.wordpress.com

KEPADAKU, ENGKAU BENAR


Menggeliyutlah engkau pada tubuhku
Berlenggak-lenggok menjilat
tabung usus besarku
Tak apa
tak perlu ada mengapa

Datang dan masuklah
Karena aku memang telah membangunnya
Sebuah pelabuhan kebenaran bagi niscaya

Karena aku telah membukanya
Sekuintal pintu bagi benarmu


Cikarang, 02 Desember 2009

Ilustrasi : http://media.photobucket.com

HAMPA SEEKOR KAMBOJA


: kepada sunyi


Kehampaan ini terasa anyir
melekat menyerupa lem tikus
pada daki tubuhku
Menjarakkan aku atas dekat
Menutupkan tampak dari mata

Keliaran makhluk Tuhan di seputaranku
tak mampu mencipta rasa ada
dalam senyawa rongga di dada
Bahkan kepulan asap serta sangit aroma pun
tak kunjung terbit dari luapan api yang terus meraksasa

Aku heran, bagaimana kesepian ini bisa meraja
Meluluhpingsankan atma gembira
Melindasletihkan jiwa bahagia

Nyatanya sederhana,
karena yang kudamba sekadar sesorai sukma
Layaknya bangga seekor kamboja jantan
yang diperkenankan membuahi betinanya


Cikarang, 02 Desember 2009


Ilustrasi : http://1.bp.blogspot.com

DUKA


Sebuah cinta tertoreh. Bukan tombak. Tapi sembilu.
Sesembilu senyapku. Sekuyu wajah sukmaku.

Tombak meruncing menancap pada sebuah noktah. Tapi sembilu?
Ia merata mencicipi setiap jengkal tanah bernama hati.
Seonggok regosol yang subur bagi lara. Sekepalan latosol legawa bersungai darah.

Ketika lara membuncah. Ketika darah meruah. Segala merah.
Itulah duka.


Cikarang, 02 Desember 2009


Ilustrasi : holis.blogdrive.com

ANUGERAH KEKUATAN

Saya tertegun membaca tulisan Garin Nugroho dalam Who is God?-nya (2009).

"Tuhan tidak pernah menjanjikan kepada manusia hari-hari tanpa sakit, tertawa tanpa kesedihan, atau kesenangan tanpa tantangan. Tuhan memberikan anugerah berupa kekuatan kepada manusia untuk mengatasi masalahnya," tulis Garin.

Saya pikir, betul.

Ketika bahagia, tertawa, bahkan sehat pun adalah pilihan, maka, anugerah apa yang sebenarnya Tuhan berikan kepada kita?

Kekuatan menghadapi dan mengatasi potensi ketidakbahagiaan, potensi kesedihan, dan potensi rasa sakit! Itu yang Tuhan berikan.

"Potensi" untuk tidak bahagia, "bekal" untuk sedih, dan "bakat" untuk sakit, diberikan kepada semua manusia, sebagaimana Tuhan memberikan semua obyek di luar diri masing-masing manusia untuk kepentingannya. Alam seisinya, makhluk binatang, makhluk tanaman, dan seluruh dzat yang Ia ciptakan, yang bisa dimanfaatkan manusia, diberikan kepada semua kita tanpa kecuali. Pada akhirnya terserah kita, dzat dan anugerah isi alam mana yang akan kita gunakan dan manfaatkan.

Robin Sharma mengatakan : kebahagiaan adalah suatu keadaan yang Anda ciptakan karena pilihan. Kebahagiaan adalah keputusan. Sebuah "tindakan yang dikehendaki".

Artinya, mau bahagia atau tidak, mau tertawa atau tidak, mau merasa sehat atau merasa sakit, itu adalah pilihan. Penerimaan kita atas suatu obyek dan masalah, yang menentukan "rasa" kita.

Nah. Tuhan telah memberikan bekal berupa "kekuatan" itu. Tinggal di mana kita sanggup menggunakan kekuatan itu untuk menghadapi masalah di depan kita. Jika kita menang dan lulus menghadapinya, maka hasil terbaik --bahagia, tertawa dan sehat-- akan menjadi "milik" kita.


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://nanpunya.files.wordpress.com

KEASYIKAN, KETEKUNAN DAN KUALITAS HASIL

Sebuah kisah pada sebuah malam yang basah. Bukan lagi gerimis kecil sesungguhnya, karena butir-butir air yang jatuh cukup besar dan deras.

Tapi orang itu --seorang pria yang tak lagi muda, bercelana panjang hitam dan berkaos oblong putih-- tampak begitu cuek dan asyik "ber-handphone ria" di atas sepeda motor, yang ia hentikan secara sedikit serampangan di pinggir gang perumahan saya. Tak ada jas hujan, payung, atau bahkan sekedar topi di atas kepalanya. Suara dan tawanya yang sangat-sangat lepas terdengar jelas di telinga saya, kendatipun saya sudah menutup rapat kaca mobil yang saya kendarai. Raut mukanya yang masih bisa terlihat akibat tempias cahaya lampu rumah terdekat, menyiratkan sebuah kebahagiaan yang tiada tara. Haha.. wajah seorang cowok SLTP yang diijinkan mengajak cewek idamannya pergi malam minggu besok, istilah batin saya.

Begitulah. Saya yang kebetulan pulang melewati jalan yang sama dengan lelaki itu sepulang kerja, tersenyum sendiri. Betapa tidak? Saya melihat sebuah tubuh yang basah. Tapi dari bahasa tubuh yang memancarkan kebahagiaan itu, tak tampak sedikitpun ketidaknyamanan pada dirinya. Tubuh dingin dan basah yang berpotensi sakit, posisi minggir kendaraan yang tak sempurna dan berisiko terserempet kendaraan lain, risiko handphone yang rusak akibat tertimpa air hujan, sama sekali tak nampak dalam perhitungannya.

Ia begitu asyik. Semua hal lain "kalah" oleh keasyikannya itu. Keasyikan yang muncul karena kebahagiaan tiada tara yang tercipta melalui hubungan via telepon seluler tadi --entah dengan siapa, dan entah apa yang dibicarakannya--.

***

Saya selalu ingat sebuah pelajaran. Sebuah teori. Bahwasanya, jika kita bisa mengerjakan sesuatu karena adanya kebahagiaan yang muncul dari padanya, maka kita bisa menjadi orang yang "lupa diri". Ekstase.

Lihatlah orang yang begitu hobi main catur. Ditantang main jam berapapun, hayuk saja. Melihat sebuah pertarungan bidak-bidak catur yang seru di gardu ronda, sampai pagi pun oke. Membicarakan strategi menyerang dan bertahan sebuah teori permainan dari sebuah buku catur atau guntingan koran minggu, begitu bersemangat. Tak kenal capek ia bicara. Tak kenal haus tenggorokannya.

Seorang penulis novel yang sedang "trance" dan hanyut pada lakon yang ditulisnya, tiba-tiba menjadi seseorang yang seolah tak mau kehilangan satu detikpun dari plot kisah yang sedang dituangkannya. Segala sesuatu yang lain menjadi hal yang tak penting. Nomor sekian. Bahkan keinginan tidur pun dianggapnya sebagai "teroris" bagi keberhasilan karyanya.

Demikianlah.

Lantas, pikiran saya membayangkan, seandainya pekerjaan kita, atau apa yang kita lakukan dalam rangka mencari nafkah sekaligus yang kita upayakan bisa menjadi ladang ibadah bagi kita adalah sesuatu yang bisa membuat kita "trance" dan berbahagia di alam bawah sadar, hmm... betapa menyenangkannya.

Itulah yang sering disebut orang sebagai "passion". Sesuatu yang secara jiwa telah mencipta ketertarikan diri, dan sangat membahagiakan sang jiwa bila diperkenankan mengerjakannya. Terlebih lagi, jika passion tersebut mampu memberikan hasil material bagi pemenuhan kebutuhan hidupnya.

Maka ia akan melakoninya dengan segenap jiwa. Maka ia akan menjalaninya sepenuh hati.

Hanya saja, pasti kita harus membuang sisi negatif dari "kelupadirian" akibat keasyikan tersebut. Risiko harus tetap dipertimbangkan. Melupakan hal lain di luar itu --menelantarkan anak istri misalnya, atau melupakan kewajiban-kewajiban individu serta sosial--, tak boleh terjadi.

Jika itu bisa kita olah, maka akan terwujud sebuah ketekunan kerja.

***

Ketekunan menghadapi pekerjaan pada hakikatnya bisa berasal dari beberapa kausa, namun menghasilkan "penampakan" ketekunan yang sama.

Pertama, karena passion tadi.

Kedua, karena kesadaran. Bahwa apa yang harus dilakukannya, merupakan sebuah sarana mencari nafkah yang harus ia syukuri dan menjadi "wajib" baginya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarga. Ketika kesadaran dan kesyukuran yang muncul, maka ia bisa bekerja dengan tekun dan bahagia.

Ketiga, karena keterpaksaan. Seseorang bisa saja nampak begitu tekun dan rajin di "luaran"-nya, namun sesungguhnya ia tersiksa dalam batinnya. Ia paham benar, jika ia tak melakukannya, maka ia tak bisa beroleh uang untuk hidup misalnya. Atau, ia akan mendapat hukuman jika tak mengerjakannya.

Ketiga penyebab di atas menciptakan gambar yang sama : seseorang yang bekerja dengan giat. Tekun. Tapi gambar yang sama tadi akan memberikan output yang berbeda. Kualitas hasil yang tak sama.

Mana yang paling baik? Tentu dimulai dari yang nomor satu. Yang berawal dari passion. Kemudian yang berasal dari kesadaran, dan yang terakhir, yang lahir dari keterpaksaan.

Kenapa bisa beda? Karena suasana hati, kegembiraan, kebahagiaan plus kadar kesyukuran yang berbeda, secara tidak langsung akan menciptakan hasil yang berbeda.

Dengan kata lain, semakin bahagia kita dalam mengerjakan sesuatu, Insya Allah, hasilnya semakin bagus. Karena pada akhirnya kita bisa bekerja dengan hati. Tulus, sekaligus nyaman.

***

Nah, sekarang mari kita tengok diri ini. Masuk kategori yang ke berapakah kita? Pertama, kedua, atau ketiga?

Jika kita masuk kategori pertama, bersyukurlah sebesar-besarnya kepada Tuhan. Jika masuk kategori kedua, ayo jadikan kesadaran itu menjadi sebuah passion yang membahagiakan. Dan jika ternyata kita masih masuk kategori ketiga, mari tumbuhkan kesadaran, agar kita bisa lebih bersyukur, dan pada akhirnya bisa menjadikan apa yang kita kerjakan sebagai bahagian dari passion kita.

Anda setuju? Kalau iya, mareee....


Salam perenungan,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://muslimdaily.net