Tak sampai dua minggu ke depan, Idul Adha. Ingat hari raya kurban, ingat kambing. Ingat sapi.
Saya tengah membaca bagian awal kisah seorang Matari Anas, seorang tokoh sentral dalam novel
9 Matahari karya Adenita (Grasindo, 2008), ketika saya menjadi teringat akan sesuatu. Sesuatu itu juga "berbau" kambing.
Adalah Matari Anas, seorang muda yang diceritakan tinggal di pinggiran Jakarta --bahkan
pingsel alias pinggiran sekali-- yang sangat tinggi semangatnya untuk sekolah, namun terkendala masalah klasik : biaya.
Ketika pada akhirnya ia "berhasil" berkuliah, tentu itu merupakan sebuah perjuangan yang tak ringan yang musti ia lakoni. Dan itu salah satu inti dan pembelajaran dari kisah dalam novel setebal 359 halaman + xii itu.
Saya jadi ingat kejadian tahun 1992 dulu. Tahun di mana saya lulus SMA, dan kemudian memutuskan untuk terus sekolah.
"Pokoknya, Jar. Kalau kamu nggak diterima di negeri, Bapak nggak sanggup membiayai kamu di swasta. Bapak akan belikan saja kamu beberapa ekor kambing, dan jadilah gembala.
Angon*) sana!" kata bapak saya waktu itu.
Deg! Meskipun seharusnya saya tidak perlu kaget, mau tak mau itu jadi beban. Saya paham kondisi keluarga, sekaligus kemampuan ekonomi orang tua waktu itu.
Saya hanya mengangguk.
Itu sebabnya, saya ambil IPC waktu itu, yang memungkinkan adanya lebih banyak pilihan fakultas dan universitas. Strateginya : dua pilihan teratas adalah pilihan ke fakultas-fakultas "berat" (terutama karena persaingannya), dan satu pilihan "ringan" sebagai pilihan ketiga. Pikir saya, kalau dua pilihan utama nggak masuk, saya optimis diterima di pilihan terakhir. Yang penting, bisa kuliah di universitas negeri. 'Daripada angon kambing di kampung?' batin saya waktu itu.
Dan benar. LoA yang bicara, mungkin. Karena optimisnya di pilihan ketiga, ya pilihan terakhir itulah yang saya dapatkan.
Alhamdulillah, akhirnya saya diijinkan kuliah, lulus 6 tahun kemudian (
hehe, saya termasuk "mapala" : mahasiswa paling lama...), dan akhirnya jadi pekerja seperti sekarang ini.
Bukan tidak bersyukur, ketika saya ingat kejadian di atas. Kenapa sih, waktu itu saya berbuat seolah hanya demi menghindari jadi gembala kambing?
Saya mencoba mencari
excuse. Mencari pemakluman --bahkan pembenaran-- diri atas pilihan yang saya ambil.
---
Ya, karena dulu saya belum terkena virus wirausaha.
Entrepreneurship. Ini salah satu
excuse saya.
Mungkin, kalau dulu saya sudah memiliki jiwa wirausaha, saya tak akan risau dengan opsi yang bapak saya berikan. Jadi gembala kambing, kenapa tidak?
Bukankah dari dua ekor kambing, bisa menjadi banyak kambing? Entah dengan dikembangbiakkan, entah dengan memeliharanya secara baik hingga menjadi besar, bernilai lebih, dijual, dibelikan "bakalan" lagi, dan seterusnya sehingga pada akhinrya saya bisa menjadi juragan kambing?
Siapa yang bilang, bahwa "gaji" juragan kambing lebih kecil daripada pegawai kantoran? Ya, kalau kambingnya tak sampai sepuluh ekor. Kalau puluhan? Kalau ratusan atau bahkan ribuan? Nah lo...
Ketika beberapa minggu lalu saya ke Pekanbaru, saya berkesempatan menengok sebuah peternakan sapi. Di sana, sapi impor dari Australia digemukkan. Sekitar 3 bulan kemudian, baru dijual, dengan harga yang tentunya memiliki margin keuntungan yang berlipat dibanding harga beli plus harga pokok pemeliharaannya.
Dan siapa yang "menunggui" peternakan di hamparan 300 hektar serta berada di daerah "kampung" yang jauh dari perkotaan itu? Seorang anak muda, umurnya baru kepala dua, yang bersedia tinggal di sebuah rumah di tengah-tengah hamparan lahan peternakan dan bersedia meninggalkan glamouritas kehidupan Jakarta yang sesungguhnya bisa ia temui dan ia ikuti setiap hari!
Ia merasa jauh lebih berbahagia hidup di tengah sapi-sapinya daripada hidup di tengah keruwetan Jakarta. Baginya, memandang dan "bergabung" dengan ribuan sapinya, "berkotor-kotor" dengan kotoran sapi di kandang-kandang, dan mengelus badan sapi sebagaimana mengelus "seorang kekasih" dengan hayatan perasaan cinta, jauh lebih menyenangkan. Damai. Toh, ketika sekali waktu atau kapanpun ia ingin kembali ke "peradaban kota", ia tak akan mengalami kendala karena kesuksesan yang telah digenggamnya.
---
Excuse kedua : ya, mungkin inilah jalan terbaik yang diberikan Tuhan kepada saya.
Lho, kok seperti itu dibilang
excuse? Nggak bersyukur ya?!
Bukan begitu. Orang mungkin memandang, bukannya sudah enak sekarang bisa jadi pegawai?
Ya, Alhamdulillah. Saya pasti bersyukur.
Tapi, ketika orang merasa "cukup", menganggap apa yang dimiliki saat ini adalah "yang terbaik", maka semangat untuk bisa "lebih dan lebih", baik dari segi prestasi, perolehan nafkah, pemenuhan kebutuhan, bahkan kebutuhan ilmu, bisa menjadi sangat kecil. Karena "kepuasan" tadi. Karena merasa sudah "mapan" dan "cukup".
Dan ini "bahaya" lho...
---
Jadi, masih sambil membaca novel Adenita di atas, saya membayangkan. Seandainya saat itu saya memilih jadi gembala kambing, sangat bisa jadi saat ini saya tinggal di sebuah lahan peternakan yang besar, dengan ribuan kambing yang menemani keseharian saya dan keluarga, di sebuah kampung yang adem ayem, sejuk, dan hangat kekeluargaannya dengan warga desa; dengan kebutuhan primer, sekunder bahkan tersier yang dapat terpenuhi dengan kendala tak berarti, hmmm....
Kenapa saya tak memilih itu ya?
Hidup memang sebuah pilihan!
Intinya, jangan pernah remehkan sebuah kesempatan. Jangan pernah lihat sebelah mata sebuah pilihan hidup. Di manapun, menjadi apapun, selama kita terus menjaga semangat untuk maju, semuanya adalah pilihan yang baik.
Modernitas atau justru ke-konvensional-an gaya hidup, tinggal di kota atau di desa, bekerja dengan dasi mencekik leher setiap hari atau dengan celana pendek dan berlepotan kotoran kambing pada sepatu boot kita, tak perlu di-dikotomi-kan bahwa salah satu lebih baik. Semuanya baik, selama itu semua dilaksanakan dengan benar dan menuju ke satu tujuan utama : beribadah, bersyukur, dan demi kebahagiaan dunia akhirat.
Bukan begitu?
Sekali lagi, hidup memang sebuah pilihan.
Salam,
Fajar S Pramono*)
angon = menggembala
Ilustrasi : http://3.bp.blogspot.com.
0 komentar:
Posting Komentar