Krisis keuangan Amerika bukan lagi sekedar ancaman bagi kondisi ekonomi negeri kita. Ia telah menjelma menjadi sebuah "wabah" dalam kedomestikan Indonesia, yang efeknya telah nyata-nyata dirasakan bersama.
Anjloknya indeks harga saham, membubungnya nilai tukar dollar terhadap rupiah, melesatnya suku bunga kredit, mengemukanya gejala
rush yang akan mempengaruhi likuiditas bank, pembatasan ekspansi kredit atas usaha-usaha tertentu, pengetatan transaksi devisa dan derivatif, sungguh bukan hal yang ringan untuk dihadapi.
Dan sektor mana yang paling terpukul? Lagi-lagi, ingatan krisis moneter sepuluh tahun lalu, 1997/1998, mengedepan. Sektor industri dan perusahaan skala besar lah yang mendapat tamparan terkeras dari tsunami keuangan itu.
Dan sekarang?
Jas bukak iket blangkon.
Sama juga' sami mawon. Lagi-lagi, sektor industri dan perusahaan skala besar yang paling cepat merasakan hawa panas dari krisis tahun ini.
Dan, persis juga kejadian sepuluh tahun lalu, di tengah "derita" yang dialami sektor industri dan perusahaan skala besar, pemerintah, kalangan usaha, dan setiap orang baru
ngeh untuk menengok sektor ekonomi yang terlupakan : sektor pertanian dan UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah). Seluruh pihak seolah baru ingat, bahwa ada sektor dan skala ekonomi yang selama ini sesungguhnya sangat kuat, eksis dan terus menghasilkan, bahkan terbukti mampu melewati krisis dengan masa kebangkitan tercepat.
Baca saja koran seminggu belakangan ini. Tidak saja kepedulian berbagai pihak terhadap sektor pertanian dan UMKM yang mengemuka, namun justru setingkat lebih tinggi, yakni harapan yang pada akhirnya digantungkan pada pundak kedua sektor dan skala ekonomi yang lebih sering "terlupakan" manakala kondisi ekonomi berjalan "normal".
Ini tak ubahnya kisah seorang anak yang terlupakan oleh orang tuanya. Selama ini, sang orang tua hanya memberi perhatian besar kepada anak-anaknya yang dianggap tampil paling cantik, paling ganteng, berpenghasilan besar, sehingga sering menganaktirikan anaknya yang (dalam pandangan sang orang tua) berwajah "biasa-biasa" saja, tidak banyak berkontribusi terhadap kantong uang orang tua, bahkan kadangkala "memalukan" untuk ditampilkan di muka kawan-kawan, namun sesungguhnya secara kontinu bergerak maju dan tegar terhadap segala ancaman, sehingga layak dibanggakan dan bahkan didukung perkembangannya.
Ah, mungkinkah semua ini lahir dari kecenderungan sifat bawaan lahir seorang manusia? Kemanusiawian dan kealamian manusia kah, dalih semua ini?
Mungkin saja.
Pengelola negara memang manusia. Tapi, negara ini adalah sistem, dan pengelolaan ekonominya membutuhkan aspek manajemen serta profesionalitas yang tinggi. Ia tidak boleh terbawa arus sifat manusia yang hanya senang kepada glamouritas dan gebyar tampilan semata, kendati pengelolaannya tetap harus mengedepankan sisi kemanusiaan.
Dan bahkan, dari sudut kemanusiaan, semestinya semua anak diperhatikan sesuai porsi yang seharusnya. Tak boleh ada yang terlampau berlebihan, karena perhatian yang berlebihan itu akan mengakibatkan kekurangperhatian untuk anak yang lain. Tidak juga harus sama rata, karena sekali lagi, anak butuh porsi perhatiannya masing-masing.
Masalahnya, yang terjadi sekarang ini adalah ketimpangan perhatian. Seorang anak diperhatikan secara
over, sementara anak yang lain di bawah batas perhatian yang seharusnya. Baru ketika si anak yang disebut pertama dirasa "mengecewakan", sang orang tua baru melirik anak yang selama ini kurang diperhatikan, untuk kemudian diberi "beban" yang berat ikut menanggung hasil negatif dari kelakuan si anak yang "mengecewakan" tadi.
Pertanyaannya : adilkah? Kapan pemerintah akan "berubah"? Haruskah sektor pertanian dan UMKM selalu menunggu dulu datangnya wabah bencana finansial untuk memperoleh perhatian yang cukup?
Sungguh, kasihan mereka.
Salam,
Fajar S PramonoIlustrasi : www.diperta.jabarprov.go.id
0 komentar:
Posting Komentar