Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

FILSAFAT BOLAK-BALIK (1)


Seorang kawan fesbuker meng-unduh sebuah catatan bertajuk "Filsafat Bolak-Balik". Salah satunya :

"Masih muda, korbankan kesehatan untuk mencari harta.
Sudah tua, korbankan harta untuk mencari kesehatan."


--"catatan fesbuk" Nur Habib, bersumber dari www.syukriy.wordpress.com--

***

Apa yang bisa kita "baca" dari untaian kalimat "bolak-balik" di atas?
Saya mencoba mengawali "pembacaan" itu, melalui kacamata saya yang paling sederhana.

Pertama, ironi. Ya, tentu sebuah ironisme yang sangat ketika terdapat sebuah tujuan dalam hidup yang ingin dicapai, namun justru tak bisa dinikmati ketika tujuan itu tercapai.

Sadarkah kita, bahwa kita sering berbuat banyak hal "konyol" seperti itu?

Begitu menggebunya kita membeli buku, untuk dibaca. Ratusan ribu rupiah keluar dari kantong. Keinginan memiliki bahan bacaan yang banyak pun terwujud. Tapi membacanya? "Tak sempat pula awak ini," meminjam istilah kawan di seberang. Pada akhirnya, kita sekadar membeli kertas berjilid, tanpa ada ilmu yang bertambah di dalam otak.

Mencari dan mengeluarkan uang ratusan ribu adalah sebuah pengorbanan. Menyediakan waktu ke toko buku, atau "berdarah-darah" dalam desakan dan "tsunami" gelombang pengunjung pameran buku berdiskon, tentu juga sebuah pengorbanan.

Tapi manakala tujuan memperoleh ilmu dari buku-buku tersebut tak terwujud, maka "pengorbanan" itu mendekati sia-sia.

Contoh lain, kita bekerja untuk "membesarkan anak". Katanya. Lantas kita bekerja siang malam. Tak kenal Sabtu Minggu. Semua untuk upaya mencari rejeki, untuk "membesarkan anak".

Tapi, kesibukan itu ternyata membuat kita tak bisa melihat perkembangan si anak alias proses "membesarnya" si anak. Tahu-tahu saja ia sudah besar. Tahu-tahu mereka sudah kenal pacaran. Tahu-tahu anak-anak itu harus masuk SMA.

Ini yang selalu diingatkan oleh istri saya juga. "Ayah, kalau waktu untuk keluarga kurang, nanti kaget lho, tahu-tahu anaknya sudah gedhe...."

Saya pikir benar kata istri saya. Kita bisa tak sempat menikmati proses sekaligus hasil dari upaya kita.

***

Kedua, adalah tentang "cara" kita berupaya. Ternyata seringkali kita menggunakan cara yang "salah" dalam upaya kita mencapai cita-cita.

"Mengorbankan kesehatan" dalam rangka mencari harta, tentu bukan "cara" yang benar.
Yang benar, tentu dengan tetap memperhatikan kesehatan.

Tapi tujuan kan tercapai? Iya benar, tujuan tercapai.
Tapi juga, untuk apa tujuan tercapai kalau menyebabkan kita sendiri tak bisa menikmati apa yang kita capai?

Namun demikian, bicara cara yang salah dalam proses mencapai tujuan, sekadar "mengorbankan kesehatan" masih "bagus", karena yang dikorbankan adalah diri sendiri. Kalau selain diri sendiri, yang harus dikorbankan juga adalah orang lain, organisasi, atau suatu sistem yang baik? Lebih menyesakkan.

Lihatlah kasus korupsi. Siapa dikorbankan? Semua orang yang seharusnya berhak atas uang yang dikorupnya. Berarti, ia telah menghilangkan hak orang lain. Lalu, organisasi di mana ia melakukan korupsi. Organisasi kehilangan kesempatan untuk maju dan besar lebih cepat. Lalu juga, harga diri dan kehormatan keluarga. Ketika kasus itu terungkap ke publik, dan si pelaku mendapat hukuman, ke mana muka si pelaku dan keluarganya yang --mungkin-- tak tahu-menahu, harus disembunyikan? Hukuman fisikal mungkin hanya beberapa tahun. Tapi hukuman sosial, bisa jadi seumur hidup atau bahkan turun temurun.

Na'udzubillahi min dzalik. Semoga kita tak termasuk golongan ini, amien.

***

Lalu, bagaimana seharusnya? Saya yakin Anda semua bisa menyimpulkannya.

Saya yakin, ada banyak "pembacaan" lain dari "filsafat bolak-balik" selain yang saya sampaikan di atas. Dipersilakan sharing.


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://www.msmedicalsupplyonline.com

MENGUBAH PR MENJADI RP


"Apa bedanya seorang tentara waktu berangkat tugas ke Aceh, dan sepulang dari Aceh?" tanya sebuah anekdot.

Tak banyak orang di kantor yang bisa menjawab, ketika guyonan itu dilontarkan. Termasuk saya.

Sampai akhirnya, "Tentara ke Aceh bawa M-16, pulangnya bawa 16 M!" jawab si penanya sendiri.

Maksudnya?!

"Berangkat bawa senapan M-16, pulangnya bawa duit 16 M....," terangnya.

Lho?! Dari mana?!

"Dari mengawal ganja! Hahaha...," terangnya lagi.

***

Itu hanya sebuah anekdot, yang berkembang ketika Aceh lekat dengan GAM. Ketika Aceh "identik" dengan ladang ganja.

Cerita tentang M-16 dan 16 M itu sontak muncul dalam ingatan ketika beberapa waktu membaca status Facebook seorang sahabat : Mas Iim Rusyamsi, Presiden TDA (Tangan Di Atas). Ia menulis : "Bismillah...lanjut selesaikan PR untuk jadi RP...amin...". Juga catatan seorang kawan --Nur Habib-- tentang "Filsafat Bolak-Balik".

Apa hubungannya dengan anekdot di atas?

Enggak ada, memang. Saya hanya suka anekdot dan kata-kata "mutiara" yang gampang diingat dengan keunikannya. Lihat : M-16, 16 M. PR, RP. Saya terkesan, karena menurut saya, itu kalimat cerdas.

Tentang "Filsafat Bolak-Balik"-nya kawan Nur Habib, kapan-kapan saya sharing, dan kita bahas bersama.

***

Menyelesaikan PR untuk jadi RP. Hmm... menyelesaikan "Pekerjaan Rumah" agar menjadi "Rupiah". Great!

Mas Iim mengingatkan kita, bahwa banyak hal produktif yang bisa kita selesaikan. Bahwa banyak aktivitas yang bisa dijadikan ladang rejeki. Bahwa banyak pekerjaan tertunda, yang semestinya bisa segera memberikan hasil bagi kita.

Pemahaman ini tentu layak diperluas. Bahwa output produktivitas tentu tidak saja berupa materi. Uang. Ia bisa berupa apa saja yang positif bagi kehidupan kita.

Contoh : silaturahmi dengan teman. Ia mungkin tidak menghasilkan rupiah (baca : uang) kalau kita lakukan. Bisa jadi kita malah keluar uang. Untuk mentraktir misalnya. Tapi, berkah silaturahmi, bisa mewujud dalam hal yang lain. Networking bisnis, keliaran ide positif, pembelajaran tentang hal baru, sharing pengalaman, kesempatan, dan lain-lain.

Bagaimana dengan kesempatan berolahraga, misalnya? Ya, kesempatan itu sesungguhnya adalah "PR". Apa output-nya kalau kita kerjakan? Uang? Bukan. Kita bahkan mungkin membayar untuk menyewa gedung olahraga, membeli peralatan, dan lain-lain. Tapi, Insya Allah kita akan sehat. Dan sehat itu anugerah yang luar biasa, bukan?

Bangun pagi, membuat catatan yang (semoga) positif, lalu sharing. Dapet apa? Pahala, Insya Allah, amien. (Hehe...)

So, RP itu bukan sekadar uang. Ia bermakna "anugerah". Anugerah yang barokah.

Dan itu bisa diperoleh dari mana saja. Seorang istri yang dengan senang hati "mengerjakan PR" memasak untuk suaminya, Insya Allah beroleh pahala dan keharmonisan rumah tangga. Seorang karyawan yang "mengerjakan PR", yakni dengan ikhlas memberi bimbingan kepada teman kerja barunya, Insya Allah mendapatkan pahala, kehormatan dan kepantasan sebagai rekan kerja yang baik, sekaligus kehangatan sebuah "keluarga kantor".

Intinya : selama PR itu adalah kegiatan atau amalan positif, yang kemudian dikerjakan dengan baik dan ikhlas, maka ia pasti menghasilkan RP. Menghasilkan anugerah.

Itu janji Tuhan, bukan?

So, terima kasih Mas Iim, atas status-nya yang luar biasa.


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://ceritalangitbiru.files.wordpress.com

KEPADAKU, ENGKAU BENAR


Menggeliyutlah engkau pada tubuhku
Berlenggak-lenggok menjilat
tabung usus besarku
Tak apa
tak perlu ada mengapa

Datang dan masuklah
Karena aku memang telah membangunnya
Sebuah pelabuhan kebenaran bagi niscaya

Karena aku telah membukanya
Sekuintal pintu bagi benarmu


Cikarang, 02 Desember 2009

Ilustrasi : http://media.photobucket.com

HAMPA SEEKOR KAMBOJA


: kepada sunyi


Kehampaan ini terasa anyir
melekat menyerupa lem tikus
pada daki tubuhku
Menjarakkan aku atas dekat
Menutupkan tampak dari mata

Keliaran makhluk Tuhan di seputaranku
tak mampu mencipta rasa ada
dalam senyawa rongga di dada
Bahkan kepulan asap serta sangit aroma pun
tak kunjung terbit dari luapan api yang terus meraksasa

Aku heran, bagaimana kesepian ini bisa meraja
Meluluhpingsankan atma gembira
Melindasletihkan jiwa bahagia

Nyatanya sederhana,
karena yang kudamba sekadar sesorai sukma
Layaknya bangga seekor kamboja jantan
yang diperkenankan membuahi betinanya


Cikarang, 02 Desember 2009


Ilustrasi : http://1.bp.blogspot.com

DUKA


Sebuah cinta tertoreh. Bukan tombak. Tapi sembilu.
Sesembilu senyapku. Sekuyu wajah sukmaku.

Tombak meruncing menancap pada sebuah noktah. Tapi sembilu?
Ia merata mencicipi setiap jengkal tanah bernama hati.
Seonggok regosol yang subur bagi lara. Sekepalan latosol legawa bersungai darah.

Ketika lara membuncah. Ketika darah meruah. Segala merah.
Itulah duka.


Cikarang, 02 Desember 2009


Ilustrasi : holis.blogdrive.com

ANUGERAH KEKUATAN

Saya tertegun membaca tulisan Garin Nugroho dalam Who is God?-nya (2009).

"Tuhan tidak pernah menjanjikan kepada manusia hari-hari tanpa sakit, tertawa tanpa kesedihan, atau kesenangan tanpa tantangan. Tuhan memberikan anugerah berupa kekuatan kepada manusia untuk mengatasi masalahnya," tulis Garin.

Saya pikir, betul.

Ketika bahagia, tertawa, bahkan sehat pun adalah pilihan, maka, anugerah apa yang sebenarnya Tuhan berikan kepada kita?

Kekuatan menghadapi dan mengatasi potensi ketidakbahagiaan, potensi kesedihan, dan potensi rasa sakit! Itu yang Tuhan berikan.

"Potensi" untuk tidak bahagia, "bekal" untuk sedih, dan "bakat" untuk sakit, diberikan kepada semua manusia, sebagaimana Tuhan memberikan semua obyek di luar diri masing-masing manusia untuk kepentingannya. Alam seisinya, makhluk binatang, makhluk tanaman, dan seluruh dzat yang Ia ciptakan, yang bisa dimanfaatkan manusia, diberikan kepada semua kita tanpa kecuali. Pada akhirnya terserah kita, dzat dan anugerah isi alam mana yang akan kita gunakan dan manfaatkan.

Robin Sharma mengatakan : kebahagiaan adalah suatu keadaan yang Anda ciptakan karena pilihan. Kebahagiaan adalah keputusan. Sebuah "tindakan yang dikehendaki".

Artinya, mau bahagia atau tidak, mau tertawa atau tidak, mau merasa sehat atau merasa sakit, itu adalah pilihan. Penerimaan kita atas suatu obyek dan masalah, yang menentukan "rasa" kita.

Nah. Tuhan telah memberikan bekal berupa "kekuatan" itu. Tinggal di mana kita sanggup menggunakan kekuatan itu untuk menghadapi masalah di depan kita. Jika kita menang dan lulus menghadapinya, maka hasil terbaik --bahagia, tertawa dan sehat-- akan menjadi "milik" kita.


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://nanpunya.files.wordpress.com

KEASYIKAN, KETEKUNAN DAN KUALITAS HASIL

Sebuah kisah pada sebuah malam yang basah. Bukan lagi gerimis kecil sesungguhnya, karena butir-butir air yang jatuh cukup besar dan deras.

Tapi orang itu --seorang pria yang tak lagi muda, bercelana panjang hitam dan berkaos oblong putih-- tampak begitu cuek dan asyik "ber-handphone ria" di atas sepeda motor, yang ia hentikan secara sedikit serampangan di pinggir gang perumahan saya. Tak ada jas hujan, payung, atau bahkan sekedar topi di atas kepalanya. Suara dan tawanya yang sangat-sangat lepas terdengar jelas di telinga saya, kendatipun saya sudah menutup rapat kaca mobil yang saya kendarai. Raut mukanya yang masih bisa terlihat akibat tempias cahaya lampu rumah terdekat, menyiratkan sebuah kebahagiaan yang tiada tara. Haha.. wajah seorang cowok SLTP yang diijinkan mengajak cewek idamannya pergi malam minggu besok, istilah batin saya.

Begitulah. Saya yang kebetulan pulang melewati jalan yang sama dengan lelaki itu sepulang kerja, tersenyum sendiri. Betapa tidak? Saya melihat sebuah tubuh yang basah. Tapi dari bahasa tubuh yang memancarkan kebahagiaan itu, tak tampak sedikitpun ketidaknyamanan pada dirinya. Tubuh dingin dan basah yang berpotensi sakit, posisi minggir kendaraan yang tak sempurna dan berisiko terserempet kendaraan lain, risiko handphone yang rusak akibat tertimpa air hujan, sama sekali tak nampak dalam perhitungannya.

Ia begitu asyik. Semua hal lain "kalah" oleh keasyikannya itu. Keasyikan yang muncul karena kebahagiaan tiada tara yang tercipta melalui hubungan via telepon seluler tadi --entah dengan siapa, dan entah apa yang dibicarakannya--.

***

Saya selalu ingat sebuah pelajaran. Sebuah teori. Bahwasanya, jika kita bisa mengerjakan sesuatu karena adanya kebahagiaan yang muncul dari padanya, maka kita bisa menjadi orang yang "lupa diri". Ekstase.

Lihatlah orang yang begitu hobi main catur. Ditantang main jam berapapun, hayuk saja. Melihat sebuah pertarungan bidak-bidak catur yang seru di gardu ronda, sampai pagi pun oke. Membicarakan strategi menyerang dan bertahan sebuah teori permainan dari sebuah buku catur atau guntingan koran minggu, begitu bersemangat. Tak kenal capek ia bicara. Tak kenal haus tenggorokannya.

Seorang penulis novel yang sedang "trance" dan hanyut pada lakon yang ditulisnya, tiba-tiba menjadi seseorang yang seolah tak mau kehilangan satu detikpun dari plot kisah yang sedang dituangkannya. Segala sesuatu yang lain menjadi hal yang tak penting. Nomor sekian. Bahkan keinginan tidur pun dianggapnya sebagai "teroris" bagi keberhasilan karyanya.

Demikianlah.

Lantas, pikiran saya membayangkan, seandainya pekerjaan kita, atau apa yang kita lakukan dalam rangka mencari nafkah sekaligus yang kita upayakan bisa menjadi ladang ibadah bagi kita adalah sesuatu yang bisa membuat kita "trance" dan berbahagia di alam bawah sadar, hmm... betapa menyenangkannya.

Itulah yang sering disebut orang sebagai "passion". Sesuatu yang secara jiwa telah mencipta ketertarikan diri, dan sangat membahagiakan sang jiwa bila diperkenankan mengerjakannya. Terlebih lagi, jika passion tersebut mampu memberikan hasil material bagi pemenuhan kebutuhan hidupnya.

Maka ia akan melakoninya dengan segenap jiwa. Maka ia akan menjalaninya sepenuh hati.

Hanya saja, pasti kita harus membuang sisi negatif dari "kelupadirian" akibat keasyikan tersebut. Risiko harus tetap dipertimbangkan. Melupakan hal lain di luar itu --menelantarkan anak istri misalnya, atau melupakan kewajiban-kewajiban individu serta sosial--, tak boleh terjadi.

Jika itu bisa kita olah, maka akan terwujud sebuah ketekunan kerja.

***

Ketekunan menghadapi pekerjaan pada hakikatnya bisa berasal dari beberapa kausa, namun menghasilkan "penampakan" ketekunan yang sama.

Pertama, karena passion tadi.

Kedua, karena kesadaran. Bahwa apa yang harus dilakukannya, merupakan sebuah sarana mencari nafkah yang harus ia syukuri dan menjadi "wajib" baginya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarga. Ketika kesadaran dan kesyukuran yang muncul, maka ia bisa bekerja dengan tekun dan bahagia.

Ketiga, karena keterpaksaan. Seseorang bisa saja nampak begitu tekun dan rajin di "luaran"-nya, namun sesungguhnya ia tersiksa dalam batinnya. Ia paham benar, jika ia tak melakukannya, maka ia tak bisa beroleh uang untuk hidup misalnya. Atau, ia akan mendapat hukuman jika tak mengerjakannya.

Ketiga penyebab di atas menciptakan gambar yang sama : seseorang yang bekerja dengan giat. Tekun. Tapi gambar yang sama tadi akan memberikan output yang berbeda. Kualitas hasil yang tak sama.

Mana yang paling baik? Tentu dimulai dari yang nomor satu. Yang berawal dari passion. Kemudian yang berasal dari kesadaran, dan yang terakhir, yang lahir dari keterpaksaan.

Kenapa bisa beda? Karena suasana hati, kegembiraan, kebahagiaan plus kadar kesyukuran yang berbeda, secara tidak langsung akan menciptakan hasil yang berbeda.

Dengan kata lain, semakin bahagia kita dalam mengerjakan sesuatu, Insya Allah, hasilnya semakin bagus. Karena pada akhirnya kita bisa bekerja dengan hati. Tulus, sekaligus nyaman.

***

Nah, sekarang mari kita tengok diri ini. Masuk kategori yang ke berapakah kita? Pertama, kedua, atau ketiga?

Jika kita masuk kategori pertama, bersyukurlah sebesar-besarnya kepada Tuhan. Jika masuk kategori kedua, ayo jadikan kesadaran itu menjadi sebuah passion yang membahagiakan. Dan jika ternyata kita masih masuk kategori ketiga, mari tumbuhkan kesadaran, agar kita bisa lebih bersyukur, dan pada akhirnya bisa menjadikan apa yang kita kerjakan sebagai bahagian dari passion kita.

Anda setuju? Kalau iya, mareee....


Salam perenungan,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://muslimdaily.net

MANTRA PENEMU

Siapa sesungguhnya yang telah membuat dunia ini semakin maju dari hari ke hari?

Jangan jawab : Tuhan. Itu sudah kemutlakan. Saat ini kita sedang bicara pada ranah makhluk. Manusia; spesifiknya.

Lihatlah manusia-manusia pembawa perubahan. Bill Gates. Steve Job. Mark Zuckerberg. Nelson Mandela. Atau yang "beraroma jadul", seperti Mahatma Gandhi, Bunda Teresa, Thomas Alfa Edison, Wright bersaudara, Henry Ford, Einstein. Masih banyak lagi tentunya.

Mereka berbeda jaman, berbeda bidang pengerjaan, tak sama geografis, berlainan jenis kelamin, berlainan kondisi ekonomi dan kepemilikan akses kekuasaan. Tapi, pasti ada yang membuat mereka bisa berperan penting pada masanya, dalam hidupnya.

Apa itu?

Rasa tak puas.

Hanya itu?

Tidak. Ada keyakinan bahwa mereka bisa berbuat lebih baik.

Itu yang "menyamakan" antar mereka, sekaligus membedakan dengan kita kebanyakan.

Kita seringkali berhenti pada rasa tak puas. Itu bagus, minimal lebih bagus daripada sekumpulan orang yang sekedar pasrah, tak ada inisiatif, bahkan mungkin tak punya opini. Apa yang ada di hadapannya-lah yang ia jalani.

Padahal, langkah lanjutan berupa upaya agar dunia ini menjadi lebih baik adalah keniscayaan, yang akan membuat dunia ini benar-benar semakin lebih baik.

Sudah banyak orang bicara : inovasi, atau mati.
Kata saya : dalam dunia yang terus berjalan ke depan, maka berhenti tak ada beda dengan berjalan mundur.

Bukankah begitu? Kita semakin tertinggal dari yang lain.

***

Sekarang, pertanyaan tertuju pada kita. Apakah kita tak ingin menjadi bagian dari pencipta perubahan, dan bukan sekadar menjadi pelaku perubahan yang telah dirintis orang lain?

Pencipta dan pelaku perubahan, sama-sama menjalani perubahan. Tapi pasti ada yang berbeda. Yakni, "derajat"-nya. Mana yang lebih tinggi? Pastilah si pencipta.

Nah. Dari buku The Greatness Guide karya Robin Sharma, terungkap sebuah "mantra penemu".

Seperti apa itu?

Simaklah : "Musuh dari yang terbaik adalah yang baik".

Anda bingung? Bagaimana sesuatu yang sudah baik masih bisa menjadi musuh?!

Sesuatu yang baik di sini, tak ubahnya sesuatu yang sudah mapan. Dan kemapanan terbukti seringkali membuat kita "tumpul", malas berinovasi, dan merasa puas.

Padahal, itulah "penyakit"! Penyakit bagi kemajuan yang berkesinambungan. Sementara, jelas kita ingin hidup ini semakin maju dari waktu ke waktu.

Karena itu, mari kita selalu ingat "mantra penemu" itu. Dan mari, kita selalu coba untuk bisa menjadi bagian dari penciptaan perubahan dunia.


Salam,

Fajar S Pramono


--Judul posting ini, saya cuplik persis seperti judul bab di buku Robin Sharma di atas. Saya kesulitan dan merasa tak pantas untuk menyebutnya dengan istilah yang lain--

Ilustrasi : http://openinno.files.wordpress.com

MANUSIA MANFAAT

Lahan itu tak seberapa luas. Hamparan itu pun tak semulus sebuah green di lapangan golf. Ada sebuah onggokan semen yang membatu di sana. Ada lebih dari satu lubang menganga, yang pada akhirnya menegaskan bahwa adalah got kotor di bawah lahan itu.

Tapi betapa orang sangat "merindukan"-nya. Betapa banyak insan yang menantikan "hak"-nya untuk bisa beraktivitas di atasnya.

Pagi dan siang hari, ia menjadi salah satu lahan parkir terbaik yang dimiliki deretan ruko di sana. Menjelang sore, ia akan dipenuhi lapak-lapak saudara-saudara pedagang pakaian, handuk, kaset, cd-vcd, kaus kaki, underwear, aksesoris, dan lain sebagainya. Begitu malam berganti pagi, di sana sekumpulan pedagang sayur mengurai kedinginan dinihari dengan aktivitas jual beli yang melimpahkan mimpi kesejahteraan bagi penjualnya. Sampai pagi, di mana lahan tersebut kembali memulai siklus hariannya.

Seluruh waktunya adalah manfaat. Seluruh denyut nadinya mengalirkan rahmat.

Mari kita bayangkan, kita menjadi lahan itu. Begitu bahagianya kita jika mampu menebar manfaat sedemikian rupa. Betapa senangnya hati ini manakala bisa terus berbagi kepada sesama. Betapa gembiranya bisa menjadi makhluk yang senantiasa dirindukan dan dinantikan.

Manusia. Tak banyak manusia yang bisa memberikan dan menebarkan manfaat sepanjang nafas kesehariannya. Pagi menebar rahmat, siang menebar maslahat, sore menebar manfaat, malam berbagi kiat. Buah pikirnya, ucapannya, pandangannya, gerakan badannya, aktivitas formalnya, dan segala apa yang dilakukannya --bahkan tidurnya--, selalu dinantikan banyak makhluk karena tak pernah lepas dari aspek kemanfaatan bagi sesama.

Karenanya saya selalu terharu jika ada yang berdo'a atau mendo'akan, agar kita bisa semakin bermanfaat bagi banyak makhluk Tuhan. Bahkan bukan hanya pada satu jenis makhluk bernama manusia, tapi juga makhluk-makhluk lain seperti binatang, tumbuhan, juga makhluk tak hidup yang ada di sekeliling kita.

Hanya dari sebuah lahan di depan bangunan kantor sebagaimana yang saya ceritakan di atas, kita bisa berkaca. Apakah kita sudah bisa menjadi manusia yang senantiasa memberi manfaat bagi sekeliling kita? Bagi keluarga kita, anak-anak kita, tetangga kita, perusahaan kita, negara kita, dan bahkan tanaman di halaman rumah kita?


Salam perenungan,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : Media Indonesia

INIKAH KE-INDONESIA-AN KITA?


Foto ini kuambil tanggal 03 Agustus 2009 kemarin. Di sebuah tempat yang sedemikian ramai, sesak dengan hingar bingar orang dan kerumunan aktivitas, pada sebuah siang yang terik.

Agustus. Bulan Agustus. Rasanya, sebagai orang Indonesia, kosa kata dan deretan huruf yang membentuk kata "Agustus" itu, segera saja mengingatkan benak akan suatu kemeriahan peringatan kemerdekaan. Kosa kata dan deretan huruf yang --segera saja--mengulik kebangsaan kita. Nasionalisme. Patriotisme. Kepedulian kepada negara. Seberapapun kecilnya. Seberapapun minimalnya.

Lantas, jika pada Agustus ini engkau melihat foto di atas, adakah rasa nasionalisme-mu itu terusik?!

Bendera memang sekedar simbol. Tapi ia adalah simbol negara. Simbol sebuah entitas. Lambang sebuah kedaulatan, dan cermin sebuah kekuatan berdiri sebuah kelompok manusia dalam sebuah negara.

Lantas, benarkah sebegitu koyak Indonesia kita, sebagaimana koyaknya bendera Merah Putih-ku itu?

Kenapa aku berteriak? Karena kuyakin itu bukan simbol tentang betapa heroiknya kita ketika merebut kembali kemerdekaan. Kuyakin itu bukan lambang dari sebuah pengorbanan "seorang Indonesia" yang harus terkoyak-koyak hati dan fisik tubuhnya demi Indonesia.

Kuyakin itu justru simbol ketidakpedulian kita akan negara ini saat ini.

Koyaknya bendera, koyaknya bangsa, yang justru timbul karena ketidakmautahuan kita atasnya. Keapatisan kita untuk peduli padanya.

Jika mengurus bendera saja tak berkenan, apa yang mau kita harapkan dari seorang anggota negara bagi bangsanya? Ketika mengurus hal yang kecil saja kita tak hirau, bagaimana kita mengurus kompleksitas dalam berbagai masalah negara?

Ingat. Semua hal besar adalah akumulasi dari hal-hal yang kecil.

***

Sekali lagi, mari kita pandangi foto di atas.
Sekali lagi, okelah, mari kita sadari bahwa bendera memang sekedar simbol. Okelah, ia memang masih terus berkibar. Lambang sebuah ketegaran dan kekuatan tekad. Mungkin.

Tapi juga sekali lagi, mari kita pikirkan dan yakinkan diri, apakah sekoyak dan selusuh itu Indonesia kita, dan sebegitu tak pedulikah kita semua pada negara ini?

Wallahua'lam.



Salam perenungan untuk Agustus kita,

Fajar S Pramono

SELALU SAJA HARUS MEMILIH


Jamak orang bilang, hidup adalah pilihan. Lebih tepatnya : selalu saja ada pilihan dalam perjalanan hidup ini.

Rutinitas perjalanan fisik saya dari rumah ke kantor setiap harinya, menciptakan analogi yang meyakinkan pernyataan tersebut.

Lihatlah. Sejak menetapkan moda jalan yang mau ditempuh --apakah melalui jalan reguler atau jalan tol--, itu sendiri sudah merupakan suatu pilihan. Ketika memilih jalan tol, maka deretan lajur gerbang tol adalah pilihan berikutnya. Apakah kita akan masuk melalui gardu 1, gardu 2, atau gardu 3 misalnya.

Ketika sudah di dalam wilayah jalan tol, pilihan-pilihan terus dihadirkan ke hadapan kita. Mau eksis di lajur 1 yang notabene "lajur lebih lambat", atau mau masuk ke lajur 4 yang notabene "lajur lebih cepat". "Lajur pendahulu".

Logika dan penamaan lajur itu sendiri memang mengisyaratkan kecepatan yang bisa diakselerasi, sekaligus mengisyaratkan panjang pendek waktu yang dapat dilalui. Logikanya, dengan memilih lajur kanan yang merupakan lajur bagi para pendahulu kendaraan lain, maka kita akan sampai tujuan lebih cepat, karena kecepatan kendaraan bisa dimaksimalkan di sana.

Namun, apakah senantiasa demikian hasilnya?

Ternyata tidak. Dalam sebuah rentang tujuan, selalu saja ada pilihan.

Ketika kendaraan di depan kita belum mengoptimalkan laju kecepatan kendaraannya kendati sudah berada di lajur paling kanan, maka kita harus memilih. Mengikuti kecepatan kendaraan di depan kita, atau bergeser lajur untuk mendahuluinya.

Ketika kita memutuskan untuk mendahului dari lajur kirinya, maka sesungguhnya kita sudah menempuh risiko yang lebih tinggi. Pertama, risiko atas "terlanggarnya" peraturan. Karena, peraturan standard berbunyi : dahului kendaraan di depan Anda dari sisi kanan. Kedua, risiko kekagetan seorang pengemudi yang didahului dari sisi kiri. Kalau Anda sering mengemudi, tentu bisa merasakan respon refleks dan keterkejutan otak serta otot tubuh kita yang sangat berbeda dengan ketika kita didahului dari sisi kanan --dalam konteks diserobot tak sopan sekalipun--. Kekagetan ini sendiri berpotensi risiko. Ketiga, risiko akibat laju kendaraan kita yang meningkat. Makin kencang kita berkendara, risiko bergerak linier dengannya.

Tapi, itu adalah pilihan.

Manakala kita sudah mengoptimalkan kecepatan, apakah itu berarti sebuah "garansi" kita akan sampai lebih dahulu di tujuan?

Ternyata tidak pula. Ketika rentang tujuan tersebut menghadirkan beberapa gerbang tol jangka pendek, maka kita kembali dihadapkan pada pilihan gardu. Lagi-lagi, gardu mana yang akan kita pilih sebagai pintu antrian, akan berkontribusi terhadap keseluruhan hasil proses perjalanan ini.

Pernahkah Anda berkendara berkecepatan tinggi, menyalip kanan kiri dan --seingat Anda-- bahkan tak ada yang menyalip Anda, lalu tiba-tiba menyadari bahwa kendaraan-kendaraan yang Anda dahului tadi telah menampakkan bemper belakang mobilnya di depan Anda lagi, yang berarti mereka ternyata sudah ada di depan Anda kembali?

Haha. Anda boleh jengkel, boleh keki, boleh masygul. Ke mana aja Anda selama itu?

Ternyata, pilihan gardu tol lah yang mengkondisikannya. Anda ternyata "salah" memilih gardu tol, karena kebetulan gardu tol yang Anda pilih berantrian lebih panjang. Atau ternyata, pelayanan petugas tol di gardu Anda lebih lambat. Atau ternyata, ada sebuah mobil di deretan antrian Anda yang kehilangan kartu tolnya, sehingga terpaksa berurusan lebih lama secara administratif dengan penjaga pintu tol. Atau deretan pendek yang sudah Anda pilih, ternyata terdiri dari 8 kendaraan, sementara ada deretan yang terlihat lebih panjang, tapi sesungguhnya hanya terdiri dari 4 truk kontainer, sehingga antrian di tempat yang panjang tersebut justru lebih lancar.

Itulah pilihan. Begitu juga di jalan reguler. Jalan reguler yang kini sudah banyak menyediakan lebih dari satu jalur berkendara, menghadapkan hal yang sama bagi kita : pilihan.

Ketika kita berhasil menyalip sekaligus lima sampai enam kendaraan dari lajur sebelah kiri, sekonyong-konyong kita harus "terjebak" dalam stagnasi berkendara karena sebuah angkot berhenti menunggu penumpang di ujung depan sana. Walhasil, lima sampai enam kendaraan yang telah kita dahului tadi kembali mendahului kita dengan kecepatan yang lansam, yang "sopan", dan tak tampak grusa-grusu atau "nafsu" sebagaimana ketika kita mendahului mereka sebelumnya.

Haha. Kembali Anda boleh jengkel, boleh keki, dan boleh masygul.

Itulah pilihan.

So, pilihan ternyata selalu ada di hadapan Anda, setiap waktu, setiap saat, pada setiap jengkal kemajuan dan setiap jengkal proses perjalanan. Keberanian berkendara kencang, kemampuan kendaraan yang dibekali kecanggihan akselerasi, tak selamanya menjamin kecepatan mencapai tujuan. Ia --bagaimanapun-- sekedar item pendukung dan bagian dari ikhtiar kita. Kecermatan memilih justru menjadi bagian penting yang luar biasa menentukan. Sehingga, jangan pernah heran bahwa seorang bapak tua yang tampaknya sudah renta untuk menjadi "pembalap", menggunakan mobil butut yang tampaknya tak layak untuk bisa disebut "mobil cepat", ternyata bisa lebih dulu sampai ke tujuan yang sama dengan kita. Asam garam menentukan pilihan dalam proses perjalanan kehidupan, itulah yang membuat sang bapak menjadi "juara" dan "mengalahkan" kita.

Demikianlah. Kearifan dan ketepatan memilih dalam segala apa di depan kita, itulah intisari perenungan hari ini. Semoga memperkaya dan mencerahkan.


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://www.investment.banten.go.id

BULAN YANG MURAM


(Minggu (10/05/09) dini hari)

Bulan tampak muram//padahal sinarnya penuh//bulat tanpa cacat yang mencecap
Sebuah wajah terlihat buram//padahal dia cantik//padahal dia tampan
Suram pula masa depan//padahal ia ada//padahal dia nyata


***
Lantas, apa yang membuat mereka tampak muram, buram dan suram?

Jangan-jangan, bukan bulan yang muram. Bukan wajah perempuan ataupun laki-laki itu yang buram, dan bukan gambaran masa depan kita yang suram.

Jangan-jangan, kita sendiri yang membuat bulan itu jadi tampak muram, wajah seseorang terlihat lebih buram, dan masa depan kita menjadi bayangan suram yang seram.

+
Bulan yang bersinar penuh dan bulat, tampak muram karena adanya mendung di dekat permukaan bumi. Karena ada awan pekat di atas kita yang menimpali. Jauh dari permukaan bulan itu sendiri.

Kalau begitu, bukan bulan yang sebenarnya muram, tapi karena kita yang membiarkan mendung dan awan pekat menutupi pandangan kita. Sang bulan sendiri, tetap memantulkan cahaya matahari dengan sepenuh hati dan tawa riang gembira.

++
Wajah sang kawan, tak ada yang menampik bahwa ia cantik. Tak ada yang mengelak bahwa ia tampan. Lantas, kenapa terlihat buram?

Ternyata, karena hati kita yang iri, karena ia baru beroleh prestasi. Ternyata, karena hati kita dengki, karena ia lebih banyak dipuji. Sementara kita? Belum tampak prestasi, belum layak dipuji.

Ternyata, wajah mereka menjadi buram, karena tertutup oleh rasa tak simpati yang kita ciptakan sendiri.

+++
Masa depan yang tampak suram, karena kita tak percaya diri menghadapinya. Nasib buruk hari ini, seolah identik dengan nasib di masa mendatang. Padahal ia bisa berubah. Padahal ia bisa diubah.

Masa depan tak ada yang suram, bila kita bisa melihatnya dengan keoptimisan. Jika kita bisa hadapi dengan keyakinan. Keuletan. Kerja keras. Kerja cerdas.

Masa depan yang suram, ternyata tercipta oleh perasaan dan keyakinan yang tak benar oleh kita sendiri. Sementara sang masa depan, sesungguhnya siap memberi kenyamanan dan kebahagiaan.

***
Maka, singkirkan mendung dan awan pekat yang menutupi bulan itu. Buanglah rasa iri dan dengki yang membuat fitnah kejelekan di wajah sahabat itu. Kuburlah rasa pesimis dan ketidakyakinan kita atas masa depan yang gemilang.

Lalu lihat dan rasakan. Sinar sang bulan akan bisa kita terima penuh dalam kehangatan. Wajah semua orang akan terlihat cantik, tampan dan mengesankan. Masa depan, menjadi harapan yang menggembirakan.


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://eriek.files.wordpress.com

ALASAN


Sebuah inspirasi dari Reader Digest edisi Mei 2009, yang mengutip kata-kata Dr. Daniel T. Drubin :

"Setiap alasan yang pernah saya dengar, masuk akal bagi orang yang membuatnya."

***

Hmm... kecut senyum saya ketika membacanya. Bukan mencibir, tapi justru karena bener banget rasanya. Semua alasan itu masuk akal. Di mata siapa? Di mata si pembuat alasan itu sendiri!

Artinya? Artinya, ya belum tentu masuk akal bagi orang yang lain....

Apakah alasan capek itu membuat orang bisa memutuskan untuk sebuah janji penting yang telah terjadwal sebelumnya?

Bisa, dan masuk akal.

Di mata siapa? Di mata yang buat alasan dong. Lha di mata "lawan janji"-nya, yang telah bela-belain menyiapkan waktu dan bahkan menomorduakan keluarga untuk sementara pada weekend itu? Di mata para penepat janji yang senantiasa berprinsip bahwa janji adalah hutang?

Lalu, kesiangan. Apakah alasan tidur terlampau malam --bahkan masuk kepada dini hari-- bisa menjadi alasan bagi keterlambatan kita ke kantor?

Bisa. Masuk akal? Masuk akal.

Di mata siapa? Ya di mata yang terlambat dong. Lha di mata atasannya yang sangat disiplin? Lalu, ketika dicermati lagi bahwa keterlambatan tidurnya bukan karena lembur pekerjaan ekstra tapi "hanya" karena menuruti hobi nonton bola atau sekedar keasyikan ber-facebook hingga lupa waktu?

Tentu alasan itu menjadi sulit untuk diterima. Meskipun, tetap masuk akal bagi si pembuat alasan.

So, benar sekali kata Dr. Drubin tadi. Alasan, selalu dianggap masuk akal oleh si pembuat, tapi belum tentu bagi orang lain. Terlebih lagi bila ketidaktepatan berkomitmen itu menyebabkan kerugian pada orang lain tersebut.

***

Saya jadi ingat tulisan Mas Fauzi Rachmanto *), seorang pebisnis sekaligus pembaca dan penulis yang baik.

Suatu ketika ia "bicara" tentang CEM. Chronic Excuse Making.

Apa itu? CEM adalah "penyakit" membuat alasan yang kronis. Disebut kronis, karena baginya selalu saja ada alasan untuk sesuatu yang tidak dikerjakan semestinya. Yang laptopnya "sok" rusak-lah ketika diminta membuat laporan, yang nggak ada mobil-lah ketika diminta mengunjungi klien, yang kena macet-lah Senin pagi itu, dan sebagainya.

Bukannya kita bisa ke rental atau menggunaan PC kantor untuk membuat laporan?
Bukannya kita masih bisa memanfaatkan angkutan umum untuk menemui sang klien?
Bukannya kemacetan Senin pagi merupakan sesuatu yang klasik, yang mestinya bisa kita hindari dengan berangkat lebih pagi dibanding hari yang lain?

Seorang pengidap CEM selalu berlindung di balik alasan-alasan, untuk menutupi hal-hal yang tidak mau atau tidak mampu ia kerjakan. Seolah-olah, dengan menyampaikan excuse, maka kewajiban yang harus dilaksanakan sudah terselesaikan. Begitu tegas Mas Fauzi.

***

Lantas, tak bolehkah ada yang namanya "alasan" itu?

Tentu boleh. Ada batasan-batasan tertentu yang memungkinkan sebuah alasan dikedepankan. Kapan itu? Saya sependapat dengan Mas Fauzi, yakni : ketika kita sudah berusaha sampai limit teratas kita pada saat itu. Ketika kita sudah berusaha maksimal. Ketika kita sudah berupaya sepenuh jiwa dan tenaga.

Kalau memang dalam satu wilayah yang kebetulan kita tinggali pada saat itu tak ada rental komputer, tak mungkin menjangkau kantor dalam satu hari perjalanan, tak ada orang lain yang memungkinkan untuk kita pinjami PC atau laptop lain, bahkan tak ada mesin ketik manual, atau memang laporan tersebut tidak memungkinkan untuk dibuat secara manual tangan, silakan ber-excuse.

Kalaulah memang domisili sang klien tidak mungkin dijangkau dengan menumpang mobil lain, memakai sepeda motor, angkutan umum, taksi, atau bahkan dengan ojek sekalipun, silakan ber-excuse.

Kalau kita sudah prepare menjelang Senin pagi, berangkat tidur lebih awal, membunyikan alarm agar bangun lebih pagi, menyiapkan segala sesuatunya sejak Minggu sore dan berbagai persiapan lainnya, lantas kita terhadang kemacetan panjang akibat adanya kecelakaan maut yang membuat kita terjebak di dalam kerumunan massa, di situ mungkin excuse bisa disampaikan.

So, persis seperti yang dikatakan Mas Fauzi. Ada dua"resep" untuk menghindari penyakit CEM ini. Pertama, ingat selalu bahwa excuse tidak dapat menggantikan hasil akhir. Kedua, cobalah sampai limit kita dahulu, sebelum menyampaikan excuse.

Sekali lagi, alasan selalu masuk akal, hanya bagi orang yang membuatnya. Ingat juga, bahwa banyak pengalaman yang menunjukkan bahwa CEM adalah penghilang kesempatan untuk maju, pembuang peluang untuk menjadi besar, dan penghalang sejati bagi kesuksesan.


Salam,

Fajar S Pramono


*) http://fauzirachmanto.blogspot.com/2008/08/cem.html

Ilustrasi : http://4.bp.blogspot.com

PROSES


"Mari kita menikmati proses, dan bersyukur!"
Ini ajakan posting kali ini.

***

Perjalanan berangkat kerja yang menciptakan pergantian suasana membuat saya teringat beberapa hal. Satu di antaranya adalah : kebahagiaan menikmati proses. Menikmati langkah demi langkah yang mau tak mau harus kita lalui dalam sebuah pencapaian tujuan.

Perjalanan tol Cawang-Cibitung, misalnya.

Dimulai dari kilometer 0 (nol) di Cawang, terus berjalan ke arah Cikampek, guna menuju sebuah tujuan : exit tol Cibitung, di seputaran kilometer 24.

Tujuan sudah jelas. Yakni, exit tol Cibitung. Perkiraan waktu pun sudah jelas. Lebih kurang, maksimal 30 menit perjalanan santai. Di luar kejadian force majour tentunya. Tekad pun sudah terangkai bulat.

Lalu, mari kita nikmati proses. Tengoklah panduan kilometer yang terpasang pada pagar pembatas antara jalur tol Cawang-Cikampek dan Cikampek-Cawang. Kilometer nol! Dan, perjalanan menuju tujuan pun kita mulai.

Dua ratus meter berjalan. 0/200. Artinya, kilometer ke-0 meter ke-200. Maju lagi, 0/400. Kilometer ke-0 meter ke-400. Artinya, perjalanan kita sudah maju 200 meter lagi. Begitu seterusnya. Kilometer 1. Kilometer 2. Kilometer 3..., 3/400..., 5/600..., 7/800..., 11/600..., terus..., teruuus..., dan terus nikmati perjalanan 200 meter demi 200 meter untuk menuju kilometer ke-24!

Nikmati setapak demi setapak langkah itu...
Sadari betapa menyenangkannya 200 meter demi 200 meter yang bisa kita raih dan kita capai dalam tahap demi tahapnya....
Syukuri kilometer demi kilometer yang telah kita lewati dalam rangka menuju tujuan kita di kilometer 24....
Yakinkan diri bahwa tujuan itu akan bisa kita capai dengan meneguhkan tekad dan pemahaman, bahwa kilometer ke-24 akan kita capai setelah kita lalui 200 meter demi 200 meter..., kilometer demi kilometer..., dan satu demi satu....
Sembari pastikan bahwa ketika kita berhati-hati, tak perlu terburu-buru karena cukupnya waktu pencapaian tujuan, kita akan sampai pada tujuan tersebut dalam waktu yang juga telah diperkirakan. Maksimal, 30 menit!

Nikmat sekali rasanya! Itu yang saya rasakan.

Atau ketika Anda yang tinggal di Jakarta berencana ke Semarang lewat jalur utara Jawa. Nikmati step by step yang pastinya akan Anda lalui. Cikampek, Indramayu, Cirebon, Brebes, dan seterusnya, sampai ke tujuan akhir di Semarang.

Sesekali, cobalah sandingkan peta kendati Anda tidak memerlukan peta lagi karena sudah sangat hafal jalur yang akan Anda lalui itu. Coretlah kota demi kota yang ada pada jalur perjalanan Anda, satu demi satu, maka Anda akan bisa melihat lebih jelas bahwa, "Oo.. saya sudah menempuh seperempat jarak perjalanan menuju Semarang." Bahwa, "Alhamdulillah, saya sudah menempuh separuh perjalanan dari pencapaian tujuan saya : Semarang." Bahwa, "Puji Tuhan, tinggal beberapa kota kecamatan lagi yang harus saya lalui untuk menuju goal saya : Semarang. Terima kasih, Tuhan..."

Sekali lagi, nikmatilah proses!

Maka setidaknya kita akan punya beberapa hal :

Pertama, kita akan selalu diyakinkan, bahwa proses yang kita lalui adalah benar menuju tujuan yang telah ditetapkan. Ketika perjalanan ini dimulai dari nol dan tujuan kita adalah 24, maka pergerakan mulai dari angka 0, kemudian 1, lalu 2 dan seterusnya adalah sebuah indikasi bahwa kita melangkah maju dan benar.

Namun, jika kita sudah sampai kilometer 14 dan berikutnya kita lihat bahwa kita justru kembali berada pada kilometer 12, berarti ada yang salah. Kita mundur! Lalu, cobalah periksa, apa yang salah? Jangan-jangan kita salah arah? Jangan-jangan perjalanan ini melenceng dari tujuan yang telah ditetapkan? Jika benar bahwa kita salah arah, maka perbaiki langkah kita, dan pastikan kita kembali menuju track yang benar ke arah tujuan.

Kedua, kita akan tahu, sampai di mana kita dalam konteks perjalanan mencapai tujuan itu. Kita bisa gunakan "petunjuk kilometer" tadi sebagai bahan evaluasi jangka pendek.
"Ah, kita masih harus banyak berjuang!"
"Alhamdulillah, sudah separuh lebih perjalanan kita!"
"Tinggal sedikit lagi, maka saya akan mencapainya!"

Kesadaran bahwa kita menuju tujuan yang benar, akan semakin membangkitkan semangat kita dalam mewujudkan tujuan itu. Kesadaran bahwa semakin hari kita semakin dekat dengan tujuan kita, akan memompakan adrenalin luar biasa yang semakin memacu gelora semangat untuk menggapai tujuan.

Ketiga, kesyukuran. Dengan "mengevaluasi" langkah demi langkah dalam perjalanan kita, maka kita bisa merasakan bahwa kasih sayang Tuhan mengiringi perjalanan mencapai tujuan ini. Karena hanya dengan petunjuk dan keridloan-Nya, langkah demi langkah itu bisa kita lampaui. Tak ada 200 meter berikutnya jika Tuhan memang tidak berkehendak untuk kita. Dua ratus meter, sangat cukup bagi Tuhan untuk menghentikan perjalanan kita. Tuhan bisa beri kita kecelakaan. Tuhan bisa beri kita kerusakan mesin. Tuhan bisa beri kita ban yang kempes. Dan sebagainya.

Selalu ada wilayah kekuasaan Tuhan dalam setiap langkah kita. Dan itu adalah hak prerogatif Tuhan! Mau diberikan sebagai ujian, mau diberikan sebagai hukuman, atau bahkan mau diberikan sebagai anugerah, itu rahasia Tuhan.

Intinya, tanpa ridlo Beliau, tak akan ada pencapaian berikutnya.

Gambaran perjalanan di atas, sama sekali tak beda dengan perjalanan hidup kita. Kita punya tujuan, dan sesungguhnya kita punya "peta" tentang apa-apa yang harus kita lalui.

"Pecahlah" tujuan hidup ini dalam sebuah "tujuan-tujuan kecil". Tujuan-tujuan jangka pendek. Kalau tadi kita harus menempuh 24 kilometer, pecahlah tujuan tersebut menjadi "kita harus menuju kilometer 1". Menjelang sampai, tetapkan tujuan jangka pendek berikutnya : kilometer 2. Besyukurlah ketika kita mencapai kilometer 1, dan mulailah perjalanan selanjutnya. Begitu seterusnya.

Melalui tujuan-tujuan hidup jangka pendek yang tetap terkerangka dalam upaya pencapaian tujuan jangka panjang itulah, kita akan bisa menikmati proses, dan mendapatkan --setidaknya-- tiga hal di atas.


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://www.adaevidencelibrary.com

BERKORBAN?


Malam tadi, saya dengar dari Mario Teguh, “Berkorban itu sesungguhnya lebih untuk menambah kemuliaan bagi diri kita sendiri.”

Ia mencontohkan –dalam bahasa saya-- : kalau kita memberikan sebagian harta kita untuk zakat, infaq, sodaqoh, sebenarnya kita justru sedang membayar kewajiban dalam rangka “membersihkan” harta kita, sehingga apa yang kita miliki menjadi barokah bagi kita. Dengan “kesyukuran” yang justru sering salah kaprah kita sebut dengan “pengorbanan” itu, kita berhak menunggu janji Tuhan : bersyukurlah, maka akan Ku-tambahkan nikmatmu.

Lalu, ketika kita “berkorban” untuk anak istri atau keluarga kita, kepada siapa sesungguhnya kebahagiaan itu akan kembali? Tak hanya kepada mereka yang kita “korbani”, bukan? Namun juga pada kita. Bahkan, seringkali perumpamaan seorang tua mengatakan, ”Meskipun kita lapar, betapa bahagianya melihat wajah anak-anak kita yang ceria karena mereka bisa menikmati nasi bungkus yang kita bawa pulang, yang sesungguhnya merupakan jatah lembur kita di kantor....”

Dengan demikian, adakah ”pengorbanan” itu yang sebenarnya?

Saya sepakat, bahwa istilah ”pengorbanan” sejatinya muncul karena adanya negative mindset yang mengatakan bahwa pengorbanan identik dengan sebuah pengurangan. Istilah ”berkorban”, bahkan seringkali mengandungkan sebuah unsur ”keterpaksaan”; betapapun kecilnya.

Jika kita memberikan sebagian rizki kita kepada sesama, maka yang di-mindset-kan adalah harta kita akan berkurang. Jika kita sebagai seorang kepala rumah tangga memberikan waktu dan tenaga kita untuk bekerja demi keluarga, maka kita katakan bahwa kesempatan untuk diri kita sendiri menjadi berkurang karenanya. Jika kita relakan sesuatu yang kita miliki kepada kekasih kita, maka kita menyebutnya bahwa kita telah berkorban untuknya.

Padahal, semua itu adalah ”kewajiban”. Tak ada pengurangan di sana. Siapapun yang memiliki harta dunia, memang diwajibkan menyisihkan sebahagiannya, karena dalam hartanya terdapat hak orang lain. Barang siapa berani mengajak berkeluarga hingga berketurunan, maka kewajibannyalah mencarikan nafkah bagi orang-orang yang kepadanya “dititipkan” kehidupannya. Bagi yang ingin mendapatkan keberlanjutan hubungan cinta dengan sang kekasih, maka wajib baginya untuk memberi dan melindungi.

Jadi, bagaimana kalau kita ganti kata “berkorban” dengan “kewajiban untuk memberi”? Ketika kewajiban itu dimaknai sebagai keharusan yang datangnya dari Sang Maha Pemberi Rizki, Sang Maha Pemberi Nafkah, Sang Maha Pemberi Cinta, maka kita bisa lepaskan unsur keterpaksaan. Serasa tak ada yang perlu ”dikorbankan” di situ.

Kita ini hanyalah ”jalan rizki” bagi orang-orang yang mungkin saat ini sedang kekurangan. Kita ini adalah ”sarana” bagi kenyamanan hidup yang memang telah menjadi ”jatah” dari Tuhan untuk anak istri kita. Kita sekedar ”saluran” cinta kasih dan perlindungan yang memang seharusnya menjadi hak bagi kekasih kita.

Jadi, tak perlu ada pamrih memang.

Kembali kepada konteks bahwa memberi adalah untuk meningkatkan kemuliaan diri, memang seolah ada sesuatu yang ”rancu”. Ketika ketanpapamrihan itu merupakan sesuatu yang akan kembali kepada kita, maka ia semestinya disebut dengan ”ikhtiar”. Upaya. Bukan pengorbanan. Upaya yang disertai dengan sebuah keikhlasan, di mana nantinya akan kita lengkapi dengan kepasrahan.

Ikhtiar untuk apa? Untuk membahagiakan diri kita sendiri, melalui kebahagiaan orang lain. Sekali lagi, melalui kebahagiaan orang lain. Bukan penderitaan orang lain.

Repotnya, saat ini banyak orang merasa bahagia karena merasa berhasil mengalahkan orang lain. Banyak caleg yang merasa begitu senang karena ia berhasil terpilih dan menyisihkan saingan-saingannya, bahkan dalam satu partainya sendiri. Banyak pengusaha yang merasa bahagia karena berhasil membuat bangkrut rival bisnisnya, sehingga ia bisa sendirian berkarya sebagai leader di bidangnya.

Mestinya, si caleg baru bisa berbahagia ketika ia bisa benar-benar mengabdikan dirinya bagi nusa bangsa, dan membuat rakyat di negara ini menjadi makmur sejahtera. Kenapa sih, si pengusaha tidak berbahagia ketika ia justru bisa mengangkat harkat martabat sesama pengusaha untuk bersama-sama menjadi kumpulan pengusaha yang sukses?


Salam perenungan,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://media.photobucket.com

POTRET


Ketika membolak-balik halaman buku Sangguru; Menyapa Hati-nya Aribowo Suprajitno Adhi (2009), saya terpancang pada sebuah grafis ilustrasi beserta esai penjelasannya.

Ilustrasi berupa gambar seorang ibu yang berjalan terbungkuk-bungkuk karena membawa beban berat berupa tumpukan tinggi kardus bekas di punggungnya. Sekilas, kita akan sampai pada kesimpulan yang nyaris sama : ibu itu seorang pemulung, yang hidupnya berkesusahan.

Namun, esai penjelasannya bertuliskan kalimat yang sangat bijak : jika kita hanya melihat gambar tersebut, maka bisa jadi yang muncul adalah rasa kasihan, dan hidup si ibu yang tampak tak bahagia. Tapi, kesan ini bisa sangat lain ketika pada sore hari kita melihat sang ibu bersuka cita, bercengkerama bersama keluarganya. Hanya kebahagiaan dan kesukacitaan yang nampak pada keluarga itu, lepas dari kondisi ekonominya yang mungkin morat marit, karena kebahagiaan sesungguhnya memang tak selalu hadir seiring sejalan dengan kelimpahan materi.

Itu satu pelajaran.

Pelajaran kedua, berasal dari "kesimpulan" yang penulis buku itu sampaikan.

"Setiap potret atau snapshot kehidupan tidak bisa menjadi kesimpulan hidup yang kita jalani," tulisnya.

Benar juga! Kita tidak bisa memandang keseluruhan hidup si ibu tadi hanya dengan satu jepretan dan satu kali pandangan saja. Kita mungkin saja tak tahu, bahwa prosentase kebahagiaan dalam hidupnya selama 1 x 24 jam jauh didominasi kebahagiaan daripada "penderitaan" yang terlihat kasat mata.

Bahkan, apa yang terlihat kasat mata itu pun bisa jadi salah. Benarkah si ibu sangat merasa terpaksa ketika menjalani "ritual"-nya berupa mengumpulkan kardus bekas sebagaimana pemulung lainnya, dan lantas kemudian menjualnya kepada pengepul barang bekas? Sangat bisa jadi kita salah.

Ketika menyadari bahwa perjuangan mencari nafkah adalah sebuah ibadah dan konsekuensi untuk membahagiakan keluarga, maka seseorang akan bisa dengan sangat bahagia melakukannya. Ada keikhlasan di sana. Ada kerelaan yang menguatkan di sana.

So, bahagia tidaknya hidup seseorang, tak bisa kita lihat dari sepotong potret kehidupannya saja. Terlebih lagi, jika potret itu adalah potret dua dimensi yang tak mampu menjelaskan seperti apa isi hati obyek jepretan itu.

Selain tak bisa menjelaskan "dimensi ketiga", sebuah potret juga sekedar merupakan potongan suatu fase dalam kehidupan ini.

Ketika dalam potret itu kita terlihat kurus, apakah akan selalu demikian sepanjang hidup kita?

Ketika sebuah "potret" menggambarkan kesusahan hidup Anda di masa lalu, apakah potret itu akan selalu sama dengan gambaran Anda yang saat ini sudah hidup layak dan mapan secara ekonomi?

Sebaliknya, apakah ketika dalam potret masa lalu kita yang terlihat penuh kemakmuran, juga akan senantiasa terlihat samakah dengan potret kita saat ini?

Belum tentu.

Potret juga hanyalah sebuah penggalan episode kehidupan, yang tak bisa disimpulkan akan menjadi gambaran kondisi kita sepanjang waktu kehidupan.

Banyak contoh kasus yang menunjukkan hal tersebut.

Seorang sahabat --Hendrik Lim-- berkisah dalam bukunya rehat dulu lah... (2007). Ia memiliki seorang kawan yang ter-PHK berkali-kali, namun justru menjadikannya semakin sukses.

Dari sebuah perusahaan pembiayaan yang tak terlampau besar, si kawan ter-PHK akibat krisis moneter. Terpaksa ia menganggur. Namun, dari pesangon yang tak terlampau mengecewakan, justru ia mampu melunasi kredit kepemilikan rumahnya.

Akhirnya ia masuk ke sebuah bank milik Bakrie Group. Beberapa tahun kemudian, bank tersebut terpaksa diserahkan kepada BPPN. Si kawan pun terpaksa menganggur kembali. Namun, ajaibnya, pesangonnya sangat manis, sehingga si kawan ini justru bisa melunasi kredit mobilnya.

Nasib baik terus berpihak. Ia termasuk yang direkrut oleh BPPN, dengan status pekerja kontrak lima tahun. Ketika BPPN dilikuidasi oleh pemerintah, ia kembali menerima pesangon yang menggembirakan. Ia bahkan pindah rumah ke sebuah kawasan yang jauh lebih elite.

Nasib baik terus menaungi si kawan ini. Dari BPPN, ia termasuk orang yang direkrut sebagai staf ahli PPA, lembaga "penerus" BPPN. Saat ini, olah raganya sudah berganti menjadi golf, mobilnya sudah berganti menjadi Mercy. Padahal ketika di perusahaan pertama, ia terpaksa lebih banyak naik ojek!

Jadi, tak ada kesimpulan yang bisa dibuat dengan satu snapshot saja. Satu kepingan puzzle, tak bisa menggambarkan seperti apa gambar utuh puzzle tersebut.

Tentu kita punya banyak contoh di sekitar kita. Baik tentang orang yang "tak terlihat sebagaimana dia terlihat" --seperti ibu tadi--, ataupun seseorang yang berubah nasib secara signifikan dalam hidupnya --seperti kawan rekan Hendrik Lim tadi--.

Sekali lagi, jangan pernah menyimpulkan apapun, hanya dari selembar potret saja. Ada rahasia dan kekuatan Tuhan di sana.


Salam,

Fajar S Pramono

Ilustrasi ; http://www.swaberita.com

MENGALAHKAN DIRI SENDIRI


Kalaulah ada pertanyaan : diri kita sendiri ini, musuh ataukah sahabat?

Kalau kita sering mendengar anjuran, "Cobalah bersahabat dengan diri Anda sendiri", apakah itu berarti pada suatu ketika diri kita ini adalah "musuh" kita sendiri? Mungkinkah kita bisa bermusuhan dengan diri kita sendiri?

Jika sekedar menjawab pertanyaan yang secara harfiah membingungkan itu, kita pasti akan bingung juga. So, mungkin hal itu lebih enak kalau diperjelas dengan contoh.

Ketika kuliah, saya indekost. Demi melihat seorang teman kost --kebetulan si teman ini masih kelas 3 SMA-- tak pernah mau belajar, bahkan terus saja menuruti keinginannya untuk bermain, nonton, dan sebagainya meskipun dalam waktu sangat dekat akan menghadapi ujian akhir, saya heran. Padahal juga, "historikal" hasil pendidikannya selama kelas 1 sampai dengan kelas 3 tidak pernah menunjukkan prestasi yang boleh dikata baik.

Pada akhirnya, saya menulis sebuah esai sederhana, yang ketika iseng saya kirim ke Harian Suara Merdeka, dimuat di rubrik "Esai Lepas" pada tanggal 25 Mei 1997. Judulnya sama dengan judul posting kali ini : Mengalahkan Diri Sendiri.

Dalam esai itu, saya mengatakan bahwa ada satu hal yang seringkali sangat berat untuk kita jalani, yakni yang saya sebut dengan "mengendalikan keinginan, kehendak dan nafsu untuk melakukan sesuatu, yang sekiranya akan menghambat cita-cita."

Dengan contoh kasus teman saya di atas, saya katakan bahwa teman tersebut tidak bisa mengalahkan keinginan untuk terus bermain yang tak bermanfaat, nonton yang semestinya bukan kebutuhan pokok atau minimal bisa ditunda terlebih dahulu, padahal kegiatan yang pada akhirnya dipilihnya itu bisa jadi membuat dia gagal dalam ujian akhir sekolahnya. Ketika itu gagal, maka sebuah cita-cita yang saya yakin sebenarnya ada tercetak dalam benak dia, akan terhambat pencapaiannya, atau bahkan sama sekali hanya jadi mimpi di siang bolong.

So, dalam case tersebut, saya mengatakan bahwa teman saya tadi belum bisa mengendalikan keinginan dirinya untuk sesuatu yang jauh lebih penting. Pendek kata, ia belum bisa mengalahkan dirinya sendiri.

***

Saya kembali tersentak oleh pentingnya kesadaran itu ketika dini hari tadi saya mulai membaca buku The Last Lecture (Pesan Terakhir) karya Randy Pausch. Seorang profesor di Carnegie Mellon University, yang dibantu Jeffrey Zaslow --kolumnis di Wall Street Journal-- dalam penulisan bukunya itu.

Pausch, divonis bahwa usianya tinggal 6 bulan. Itu akibat kanker prankeas yang dideritanya. Ada sepuluh tumor yang menghinggapi levernya. Tapi lihatlah apa yang ia perbuat dalam "jatah hidup"-nya yang tinggal sedikit itu. Ia sama sekali tidak menyerah, dan justru mampu memanfaatkan waktu yang sempit itu menjadi sebuah prestasi yang luar biasa, yang membuat hidupnya jauh lebih baik, dan bahkan menginspirasi banyak sekali orang di dunia ini.

Poin utama yang saya peroleh adalah : Pausch tidak pernah menyerah, dan tidak pernah mau "mengalah" pada dirinya sendiri.

"Meski mudah saja kalau saya mau mengasihani diri, itu tidak ada baiknya untuk mereka, termasuk diri saya," kata Pausch.

"Mereka" yang dimaksudkan dalam kalimat Pausch tadi adalah istri dan ketiga anaknya.

***

Ada banyak cerita yang nyaris serupa, bahwa prestasi terbaik seringkali diperoleh justru dalam kondisi yang penuh keterbatasan.

Beberapa kisah pernah saya angkat dalam posting-posting saya. Kisah Ryan Farrington, seorang pelari muda Inggris yang sesungguhnya menderita distonia (posting tanggal 29/12/2008); Natalie du Toit, perenang maraton asal Afrika Selatan yang hanya memiliki satu kaki. Juga Maarten van der Weijden, perenang Belanda yang memperoleh emas dalam nomor renang 10 km maraton di Olimpiade Beijing 2008, yang sesungguhnya adalah penderita leukimia akut sejak 2001 (posting tanggal 23/08/2008).

Pertanyaan bagi kita semua : apakah kemampuan untuk mengalahkan diri sendiri ini baru akan muncul dalam keadaan "terpaksa" ataupun dalam kondisi penuh "keterbatasan"?

Semestinya tidak. Jika dalam kondisi yang serba terbatas saja mereka bisa menorehkan prestasi dengan cara mengalahkan dirinya sendiri, kenapa kita yang relatively lebih lenjustru tidak bisa?

Bukankah ketika tidak ada kungkungan keterbatasan, dan di sisi lain kita mampu mengalahkan diri sendiri, maka hasil yang bisa diharapkan menjadi lebih tinggi?

Namun kawan, inilah yang banyak terjadi. Kesyukuran atas keserbaadaan kita justru seringkali tidak kita ungkapkan dalam bentuk maksimalitas usaha. Maksimalitas untuk mengatasi keinginan negatif, yang bisa mengalahkan kebutuhan positif.

So, kesimpulannya, diri kita sendiri bisa menjadi "musuh" ataupun "sahabat".

Lalu, kapan diri kita menjadi "musuh" bagi diri kita sendiri?

Tentu, ketika keinginan negatif kita yang jelas-jelas mampu menghambat pencapaian cita-cita kita, justru mendapat tempat yang lebih layak dan mendapat pemenuhan yang lebih maksimal dibanding kebutuhan positif yang menjamin pencapaian cita-cita tersebut.

Jadi, mau kita tetapkan sebagai apakah diri kita sendiri? Sebagai sahabat, atau sebagai musuh?

Mari belajar dari mereka.


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : Randy Pausch bersama istri dan ketiga anaknya (http://a.abcnews.com)

PEDOMAN LENGKAP KULINER JOGJA


Judul : Jalan-Jalan Kuliner Aseli Jogja
Penulis : Suryo Sukendro
Penerbit : Media Pressindo, Yogyakarta
Terbit : Cetakan I, 2009
Tebal : iv + 123 halaman


Dunia wisata kini telah berkembang ke arah wisata kuliner. Jika dulu hanya lokasi dan obyek wisata berdasarkan keindahan atau keunikan alam yang dikunjungi, kini wisata bersama berdasarkan keunikan dan kekhasan makanan di sebuah daerah laris dilakukan dan mampu ”dijual” oleh para pemandu wisata.

Bersamaan dengan itu pula, semakin banyak muncul literatur-literatur berbasis makanan ataupun keunikan makanan dari suatu daerah tertentu. Bandung, Surabaya, Solo dan Jogja merupakan salah sedikit dari banyak daerah lain di Jawa yang memiliki kekhasan dan bahkan ”keagungan” suatu jenis makanan. Di luar Jawa, tentu kita tak dapat menafikan kegairahan wisata kuliner di Makasar, Manado ataupun Medan.

Di antara deretan literatur berupa buku petunjuk wisata kuliner, buku Jalan-Jalan Kuliner Aseli Jogja ini hadir. Buku yang ditulis Suryo Sukendro ini melengkapi beberapa literatur lain yang telah mengangkat kesohoran makanan asli Jogja, seperti Wisata Jajan Yogyakarta yang diterbitkan oleh Intisari, atau minimal berupa Katalog Kuliner Jogja yang digagas KABARE Magazine. Itu belum termasuk berbagai buku lain yang isinya merupakan ”kolaborasi” berbagai makanan khas berbagai daerah di luar Jakarta.

Apa sebenarnya manfaat yang bisa diambil oleh kita –terutama orang Jogja sendiri? Pertama jelas, ini adalah wahana promosi ”gratis” bagi para pengusaha kuliner di daerah bekas Kerajaan Mataram ini. Tak hanya itu, kehadiran buku kuliner ini serta merta memercikkan keinginan untuk sekaligus mengunjungi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terkenal masih sangat kental nuansa kerajaan dan budaya Jawa-nya.

Kedua, buku-buku seperti ini merupakan tour guide yang sangat efektif. Apalagi dalam beberapa literatur di atas, disertakan pula peta-peta lokasi di mana obyek wisata kuliner itu berada. Khusus untuk buku terbitan Media Pressindo ini, guidance-nya jauh lebih lengkap. Selain denah lokasi untuk masing-masing obyek, ia juga memuat daftar jalur bis di Jogja, jalur dan halte bus Trans Jogja, jadwal kereta api serta pesawat dari dan menuju Jogja, daftar hotel, bahkan nomor-nomor telepon penting di kota pelajar ini.

Dengan ukuran buku yang tak terlampau besar dan tak terlampau tebal, maka buku ini bisa benar-benar digunakan sebagai buku saku wisata Yogyakarta.

Manfaat ketiga, buku semacam ini bisa berperan sebagai salah satu pelestari kebudayaan dan kekhasan makanan Jogja. Sebab, tak mudah bagi siapapun untuk bisa mempertahankan kekhasan makanan daerah di manapun, terlebih lagi jika harus bicara tentang generasi yang mau tak mau harus berganti.

Ingatan ataupun memorabilia sebagaimana dimunculkan oleh buku semacam ini tentu sangat membantu bagi generasi penerus untuk bisa terus menciptakan nuansa nostalgia tanpa harus tertinggal oleh gerak roda jaman yang semakin modern. Karena perlu diingat, bahwa kekhasan tidak hanya sekedar muncul dari rasa khas makanan itu sendiri, tapi juga nuansa asli yang melingkupi kesehariannya.

Khusus buku ini sendiri, kekomplitan data juga muncul dari kejelian penulis untuk mengangkat beberapa makanan khas yang belum dimunculkan beberapa buku sebelumnya. Seperti enting-enting gepuk cap Macan, geplak, jadah tempe, lumpia nyamleng, juga yangko.

Secara keseluruhan, buku ini akan mampu menjadi pegangan para wisatawan, ataupun bacaan bagi mereka yang ingin sekedar bernostalgia dengan kota Jogja. Sayangnya, foto-foto yang ada tidak ditampilkan secara berwarna. Padahal, sebagaimana produk fashion, keindahan fotografi dan ”pewarnaan” makanan dalam sebuah ”daftar menu” sangat mempengaruhi selera para pembaca dan calon penikmatnya.


Salam buku,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : hasil scanning

PROVOKASI UNTUK (CALON) POLITISI


Judul : Kalau Mau Bahagia, Jangan Jadi Politisi!
Penulis : Arvan Pradiansyah
Penerbit : Penerbit Mizan, Bandung
Terbit : Cetakan 1, Maret 2009
Tebal : xxiv + 130 halaman


“Saya pernah melakukan kampanye setahun penuh dengan tema : ‘Jauhi politik’. Dengan subtema ‘Kerja! Kerja! Kerja!’.
Kampanye itu saya maksudkan agar orang ingat bahwa Negara ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan politik. Semakin banyak politikus akan semakin ruwet.”


Itu kata-kata Dahlan Iskan, bos Jawa Pos Group pada sampul belakang buku The MarkPlus Festival karya Hermawan Kartajaya (JP Books, 2008).

Rupanya, provokasi untuk (calon) politisi tak hanya dikampanyekan oleh Dahlan Iskan. Terbaru, seorang Arvan Pradiansyah –public speaker, motivator, kolumnis, penulis buku best seller, yang kini menjabat sebagai Managing Director dari sebuah lembaga pelatihan dan konsultasi di bidang SDM, kepemimpinan dan life management—mengkampanyekan hal yang sama.

Tak tanggung-tanggung, ia mensosialisasikan provokasinya secara lugas dan tanpa tedheng aling-aling dalam buku terbarunya : Kalau Mau Bahagia, Jangan Jadi Politisi!

Ada yang berbeda dengan buku Arvan kali ini. Arvan yang biasanya bertutur secara lembut, santun dan bahkan cenderung ”berbunga” dalam pemilihan kata dan kalimat dalam empat bukunya sebelum ini –You Are a Leader, Life is Beautiful, Cherish Every Moment dan The 7 Laws of Happiness--, kali ini terlihat cukup ”emosional”.

Dimulai dari pilihan judul, ia sudah tampak berani dan seolah ”menantang” sebuah arus yang jelas-jelas tengah bergerak ke hilir tertentu : Pemilihan Umum. Baik itu Pemilu Legislatif yang dilaksanakan 9 April 2009 ini, maupun pemilihan presiden yang akan diselenggarakan sesudahnya.

Provokasi Arvan juga langsung mengemuka demi melihat pilihan judul bab yang menohok para (calon) politisi. Lihatlah di antaranya : Jadi Caleg, Buat Apa?; Poli + Tikus; Penyakit Politisi Kita : AIDS; Saya Tidak Akan Mau Jadi Politisi; Kepentingan Rakyat? Hareee Geneee...; Kita Lebih Beruntung daripada Politisi; dan Kalau Mau Kaya, Jangan Jadi Politisi!
Sebagai ”pakar” kebahagiaan, tentu Arvan tak lupa untuk membahas case yang diangkatnya kali ini dari sudut pandang Laws of Happiness, dalam bab Politik vs Kebahagiaan.

Kapan politisi merasa berbahagia? Menurut Arvan, pertama, ketika lawan politiknya mengalami masalah. Kedua, ketika mereka mendapat keberuntungan dan kemenangan. Sebaliknya, ada dua hal pula yang tidak membahagiakan bagi politisi. Pertama, ketika lawan politiknya menang, dan kedua, ketika mereka mengalami musibah.

Kesimpulannya, rumus kebahagiaan bagi para politisi adalah : (1) susah kalau melihat lawan politik senang, dan (2) senang kalau melihat lawan politik susah.

Padahal, kata Arvan, kebahagiaan karena alasan yang ”buruk” pada dasarnya bukanlah kebahagiaan. Ketika Anda berhasil korupsi, apakah Anda berbahagia? Ketika Anda berselingkuh dan rumah tangga tetap utuh, apakah itu kebahagiaan?

Bukan. Itu adalah kesenangan. Dan kesenangan tidak sama dengan kebahagiaan. Dalam bab tersebut, Arvan menunjukkan perbedaannya.

Kelugasan Arvan juga tampak pada sinismenya tentang janji para politisi untuk sesegera mungkin berjuang untuk rakyat begitu mereka terpilih sebagai legislator. Ia sangat yakin, bahwa dengan pola kampanye yang jor-joran dan menghabiskan begitu banyak ”modal” sebagaimana tampak pada kampanye di negeri ini, maka diyakini akan ada sebuah ”perjuangan lain” sebelum para politisi itu benar-benar bekerja untuk rakyat. Apa perjuangan lain itu? Yakni, berjuang untuk mengembalikan ”modal” yang telah dikeluarkannya sebelum terpilih.

Sebuah logika yang sangat sederhana. Sebuah paradigma bisnis yang mendasar. Dus, kasus Al Amin Nasution, Yusuf Emir Faisal, Agus Tjondro ataupun Abdul Hadi Djamal adalah buktinya.

Tentang intisari politik itu sendiri, Arvan mengatakan, rumus dalam politik hanya satu : kepentingan. Dalam politik, memang tak ada kawan atau lawan yang abadi. Yang abadi adalah kepentingan politik. Padahal, semestinya yang abadi dalam kehidupan ini hanya satu : Tuhan. Sehingga, kalau para politisi menganggap kepentingan adalah keabadian, maka kepentingan sesaat telah menjadi Tuhan bagi para politisi tersebut. Dan ini adalah kesalahan yang mendasar!

Masih menurut Arvan, semestinya lembaga legislatif diisi oleh orang-orang profesional dalam bidangnya. Namun, demi melihat kondisi legislatif yang lekat dengan berbagai kepentingan yang pada akhirnya harus mengorbankan profesionalisme, para profesional itu lebih memilih berkarir di dunia swasta, di mana mereka benar-benar mendapat kesempatan untuk mengeksplorasi kemampuan dirinya secara obyektif.
Ketika para profesional itu memilih tidak masuk ke DPR atau DPRD, lantas siapa yang masuk ke sana? Silakan Anda jawab sendiri, kata Arvan.

Masalahnya sekarang, apakah sebegitu buruknya insan politik di negeri ini? Apakah di antara sebegitu banyak politisi tak ada politisi yang baik?

Kalau itu ditanyakan pada Arvan, maka ia akan menjawab tegas : ya. Lalu, insan-insan yang senantiasa ”bersih” dan senantiasa concern terhadap kepentingan rakyat, disebut apakah mereka?

Arvan tak menampik, tetap saja ada insan perpolitikan negeri yang baik. Namun, mereka itu bukanlah politisi. Mereka itu adalah negarawan, yang bagi Arvan, sangat berbeda –bahkan berlawanan– dari ”sekedar” politikus.

Membaca provokasi Arvan, kita disadarkan pada masih banyaknya kebusukan-kebusukan perilaku –bahkan prinsip hidup—yang berkelindan dalam gerak langkah politisi negeri ini. Sinis, bahkan sarkastis memang, apa yang dikatakan Arvan. Tapi, menurut saya, semua itu sangat bagus sebagai bahan perenungan untuk siapapun yang yang berniat untuk tampil dalam panggung politik.

Arvan juga mengingatkan kita, bahwa ketika kebahagiaan jangka panjang menjadi salah satu goal (tujuan) dalam hidup ini, maka ada berbagai permasalahan yang harus kita pikirkan lebih jauh, daripada sekedar mencari kesenangan-kesenangan yang sifatnya semu dan sementara. Toh, dunia politik bukanlah dunia yang harus dijauhi, jika memang ia dijalankan dalam konteksnya yang baik dan bermartabat.

Sebagai sebuah provokasi, saya rasa pilihan bentuk tulisan yang lugas dari Arvan ini merupakan pilihan yang tepat. Sebuah pilihan, yang justru bisa memperjelas penyadaran-penyadaran dasar yang seharusnya dimiliki oleh siapapun kita. Baik yang apolitis, sekedar pengamat, maupun mereka yang sudah telanjur masuk dalam pusaran politik.


Salam buku,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : hasil scanning

SELALU ADA KONSEKUENSI


Hampir dalam waktu yang bersamaan, beberapa hari lalu, saya "diingatkan" tentang konsekuensi dari sebuah keinginan.

Yang pertama, dari materi blog seorang kawan pengusaha salon. Bu Yulia Astuti namanya. Salon Moz5 "merk dagang" usahanya.

Ia menulis : "Bener juga ya... pengen aja nggak cukup!" (http://yulia-ku.blogspot.com tanggal 18 Maret 2009).

Intinya, ya cerita tentang orang yang pengen sesuatu, tapi sekedar pengen. Nggak pernah action. Diem saja. Nggak bertindak. Cuma diskusi. Omong doang.

Contohnya siapa ya, kira-kira? Ya saya ini! Ya Fajar S Pramono... hehe.

Banyak keinginannya, minim action-nya.
Banyak yang ingin dicapai, tapi usahanya mood-mood-an. Semangatnya naik turun. Mau berhasil dari Hongkong?!

Banyak yang sudah mengingatkan, tapi ya masih sering kumat-an. Ngeblog ini kan juga untuk menyemangati diri sendiri sebenarnya, tapi ya tetep aja kadang nggak konsekuen.

Lha Bu Yulia itu, saya rasa salah satu contoh yang konsekuen. Ia sangat meyakini bahwa keberhasilan hanya bisa diraih dengan action, action, dan action. Makanya, energinya tampak luar biasa. Nggak punya capek. Kesana-kemari, ikut seminar ini seminar itu, diskusi ini diskusi itu. Salut!

Anda bisa baca potongan-potongan perjalanan bisnis dan berbagai prinsip hidupnya di blog yang saya sebutkan di atas.

Ketika saya untuk kesekian kalinya merasa "tertampar" oleh Bu Yulia, saya membuka buku keduanya Farrah Gray, Get Real Get Rich! (Daras Books, Februari 2009).

Dhueeng....!!! Baru masuk Pengantar di halaman ix, serasa ada yang mengulang "tamparan" Bu Yulia. Bahkan kali ini terasa lebih keras!

Apa sih katanya?

"Semua orang ingin masuk surga, tetapi tidak ada orang yang mau mati..."

Nah lo... itu perumpamaan yang sangat ekstrim, tapi gilanya, saya setuju banget, dan tertampar banget!

Mungkin karena si penulis buku itu --Farrah-- memiliki pengalaman pribadi yang luar biasa tentang kekuatan tindakan. Coba baca lagi buku pertamanya, Reallionarie (Daras Books, November 2007).

Farrah memang meneruskan kalimatnya di atas dengan, "Semua orang ingin sukses, tetapi tidak semua orang mau melakukan apa yang dibutuhkan untuk meraih kesuksesan."

Kalimat yang "biasa' dan sering terdengar ataupun terbaca.

Tapi, perumpamaan tentang keinginan masuk surga itu lho...

Bukannya konsekuensi harus menjadi orang baiklah yang disebut Farrah sebagai "prasyarat" masuk surga, tapi justru "keberanian" untuk menghadapi maut. Bukan berarti disuruh bunuh diri lho... :) Pilihan perenungan yang sangat cerdas, menurut saya.

Menjadi orang baik dan taat, tentu tak ada seorangpun yang menggeleng kepala ketika diajak.

Tapi, kalau pertanyaannya "Mau mati?"

Hehe... kira-kira apa jawaban kita?

"Kan sudah ada takdirnya..."
"Nanti kan ada waktunya..."
"Belum siap kalee..." :)

Enggak salah sih. Kalau belum takdirnya, kalau belum waktunya, tentu tidak akan ketemu. Kalau belum siap tapi sudah waktunya, ya tetep putus lah nafas kita... :)

Tapi, semua itu tentu sekedar perumpamaan tentang sebuah konsekuensi. Bahwa harus ada sesuatu yang dilalui atau dilakukan untuk memperoleh sesuatu yang diinginkan.

Sejak membaca perumpamaan Farrah, saya merasa kekuatan saya bertambah. Kesadaran akan makna sebuah konsekuensi meningkat drastis. Mudah-mudahan saja, nggak ada peran mood baik dalam hal ini. Kalaupun iya, moga-moga saja mood buruknya sudah mati di dalam diri saya.

Pertanyaannya, apakah Anda juga tergerak?

Kalau iya, mari kita saling mengingatkan. OK?


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://pandasurya.files.wordpress.com

TENTANG HAL KECIL


Pada suatu zaman, seorang raja menginstruksikan kepada seluruh rakyatnya untuk mengisi sebuah bejana madu, pada suatu malam tertentu. Aturannya, setiap warga harus membawa satu sendok madu, untuk kemudian dimasukkan ke dalam bejana yang diletakkan di atas bukit.

Sebagai perintah raja, seluruh warga kerajaan pun serta merta mengiyakan untuk melaksanakan. Namun, ada salah satu warga yang berpikiran nakal.

"Hmm.. kalaupun saya tidak membawa satu sendok madu, namun hanya membawa satu sendok air, tentu tak akan ketahuan oleh petugas kerajaan. Pertama, karena perintah ini harus dilaksanakan pada malam hari. Kedua, tentu kalau hanya kemasukan satu sendok air, kualitas madu yang ada takkan terpengaruh. Apalah arti satu sendok air dibanding ribuan sendok madu dalam bejana itu," pikir orang itu.

Dan benarlah. Pada malam yang ditentukan, seluruh warga kerajaan memenuhi perintah sang raja.

Namun, kehebohan besar terjadi pada pagi harinya, ketika sang raja membuka bejana di hadapan seluruh rakyatnya.

Apa yang terjadi? Ternyata bejana itu hanya berisi air! Tak ada bau ataupun tanda madu sedikitpun.

Rupanya, seluruh warga kerajaan berpikir serupa dengan salah satu warga yang saya ceritakan tadi. Mereka berpikir sama, bahwa tindakan kecil yang dilakukan tak akan berpengaruh kepada isi bejana. Nyatanya?!

***

Saya yakin, Anda sudah pernah mendengar kisah di atas. Banyak buku motivasi dan penyadaran yang mencuplik kisah tersebut. Terakhir, saya baca kisah itu di bukunya Pak Jamil Azzaini.

Pesan yang ingin disampaikan hampir sama : ketika suatu tindakan negatif yang kecil dilaksanakan secara kolektif, maka akibatnya bukan lagi masalah kecil, namun masalah yang sangat besar.

Ada juga kesimpulan : kesalahan kecil yang sengaja dilakukan, tetap saja berpengaruh negatif pada pencapaian sebuah hasil atau tujuan.

Ada juga kesimpulan yang lain : jangan pernah meremehkan hidup Anda dengan berpikir, "Ah, dunia ini tak akan rusak hanya karena saya meremehkan hidup saya. Toh saya bukan siapa-siapa...". Ini kesimpulan dari Pak Jamil.

Intinya, jangan pernah pandang remeh perbuatan kecil yang merugikan. Jika semua orang berpikiran yang sama, maka kumpulan perbuatan yang merugikan itu bukan lagi perbuatan yang kecil, namun perbuatan yang besar. Dan hasilnya, tentu kerusakan yang besar pula.

***

Bagaimana kalau kita artikan sebaliknya saja kisah itu?

"Perbuatan kecil yang baik dari masing-masing orang, akan membawa perubahan signifikan dan berarti besar bagi dunia ini."

Paling enak, mari memakai contoh.

Dalam sebuah rencana penyaluran sumbangan kepada anak yatim, setiap orang berniat dalam hati mereka sendiri-sendiri untuk melebihkan Rp 5.000,- rupiah dari ketentuan minimal infaq resmi sebesar masing-masing Rp 50.000,- per bulan.

Hanya melebihkan 10%-nya, bukan?

Namun, jika kumpulan infaq diperoleh dari sebuah forum yang beranggotakan 250 orang, berapa tambahan infaq dan pahala yang bisa kita dapat? Rp 1.250.000,-!

Uang sejumlah Rp 1.250.000,- itu tentu bukan jumlah yang sedikit untuk bisa dimanfaatkan oleh dan untuk anak-anak yatim itu. Berapa pula tambahan pahala bagi anggota forum tersebut? Wallahu a'lam. Insya Allah bertambah, dengan keikhlasan yang diberikan.

Contoh lain, tentu banyak. Simak saja tulisan Andy F Noya berjudul "Empati" di buku kedua dari seri Andy's Corner-nya (hal. 150). Tentang bagaimana jika kita mencoba "membantu" para pelayan restoran dengan seminim mungkin memberantakkan meja makan kita. Atau kalau perlu, seperti di luar negeri, membuang sampahnya sendiri.

Bukan untuk sok gaya atau sok kebarat-baratan. Tapi, bayangkan bahwa kita akan bisa membuat bahagia para pelayan restoran yang senantiasa bekerja dengan rutinitas itu, dengan meminalisir keharusan mereka untuk membersihkan sisa-sisa kejorokan kita.

Atau cerita tentang seorang bapak dan anak yang rajin membersihkan tanah kosong di kompleks rumah mereka, yang pada akhirnya membuat malu para tetangga untuk tidak mengikuti jejaknya. Padahal, bapak anak itu bekerja tanpa kata. Tak ada ajakan lisan ataupun langsung. Tak ada slogan, umbul-umbul, apalagi spanduk atau baliho, kata Andy.

So, kuncinya ada pada keteladanan. Keteladanan yang kecil saja.

Andy juga bercerita tentang kekuatan senyum. Jika saja satu orang tersenyum kepada minimal satu orang lainnya yang dijumpainya hari itu, berapa orang yang akan merasakan bahagia? Sekali lagi, hanya dengan satu senyum kepada satu orang yang lain. Hal kecil, bukan?

Juga kata "terima kasih" kepada orang lain. Kepada petugas tol, misalnya. Kata anak Andy, ucapan "terima kasih" merupakan "magic word" yang juga akan membahagiakan orang.

Intinya, berbuat baiklah. Mulai dari hal kecil saja. Yang kita bisa sangat ikhlas melakukannya. Dan rasakan, bahwa kebahagiaan itu bukan hanya milik mereka yang kita beri "alat" untuk berbahagia tersebut, tapi juga akan memantul kepada diri kita sendiri. Kita pun akan bahagia.

Kalau saya Mario Teguh, mungkin saya akan berkata, "Lakukan perbuatan-perbuatan kecil yang baik itu untuk sekeliling kita, lalu perhatikan apa yang terjadi...."


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://dequim.ist.utl.pt

SEEKING A PASSION


Hampir semua pakar, ahli,konsultan, motivator, senior atau apapun istilah yang merujuk pada tingkat kepintaran yang lebih, selalu menekankan adanya faktor passion dalam upaya menggapai kesuksesan.

"Fokuslah pada apa yang menjadi passion-mu, maka seolah kamu tidak sedang berbisnis. Sekedar melaksanakan hobi."

"Cintailah apa yang kamu kerjakan sehingga ia bisa menjadi passion-mu, dan kamu akan merasakan seolah sedang tidak bekerja."

"Segala sesuatu yang dilakukan berdasarkan passion, akan selalu menguatkan dirimu untuk terus menjadi lebih baik, lebih baik dan lebih baik."

"Jadilah expert pada passion kamu, maka kamu akan selalu menuju pintu keberhasilan."

Begitu kata-kata para pakar itu.

Masalahnya adalah, bahwa ternyata tidak mudah bagi semua orang untuk tahu passion-nya sendiri. Juga, masih banyak orang yang bahkan tidak tahu bidang apa yang menjadi expert-nya. Betul itu!

Dalam perjalanan yang menciptakan persahabatan yang lebih luas, saya pun menemukan kelompok orang yang demikian, yang tak kalah dalam segi jumlah ketika dibandingkan dengan orang-orang yang merasa telah menemukan passion-nya. Atau bahkan, jangan-jangan, kelompok yang "tak tahu passion" ini lebih banyak anggotanya? Wallahu a'lam.

So, adalah kurang bijak bagi mereka yang sudah bisa berjalan di atas passion, mengembangkan dirinya berdasarkan passion, atau setidaknya tahu cara menggali passion dalam dirinya, tapi tidak mengkomunikasikannya kepada mereka yang belum tahu.

Saya berusaha mencobanya, dalam tataran yang paling rendah. Mudah-mudahan upaya saya ini bisa mengurangi jumlah orang yang "kurang bijak" itu, hehe.

Mengingat pelaksanaan passion adalah hal yang paling dekat untuk mengantarkan kepada keahlian/kecakapan (expert)--dan pada akhirnya kesuksesan--, maka saya akan mengarahkannya pada bagaimana cara kita mengetahui passion, dan pada akhirnya paham di bidang apa kita bisa expert.

Ada dua masukan sederhana dari dua orang pakar motivasi. Yang pertama, dari Pak Jamil Azzaini. Seorang Inspirator Gerakan Sukses-Mulia, yang juga Direktur PT. Kubik Kreasi Sisilain. Gagasan dan pemikirannya dapat disimak di Trijaya Network setiap hari Kamis pukul 17.00 - 18.30 WIB.

Ini saya sebut, pencarian passion dari dalam diri (internal). Saya ambil dari buku terbarunya Pak Jamil : Tuhan, Inilah Proposal Hidupku (Gramedia, 2009).

Pertama, daftarlah semua kegiatan yang telah Anda jalani dan banyak menghabiskan waktu.

Kedua, kelompokkanlah kegiatan-kegiatan itu ke dalam tiga bagian : kegiatan yang Anda kuasai, kegiatan yang Anda cintai dan kegiatan yang menghasilkan. Satu kegiatan bisa termasuk dalam tiga bagian tersebut.

Ketiga, pilih dari daftar tersebut, satu, dua atau tiga hal yang paling Anda kuasai, Anda cintai dan sekaligus menghasilkan.

Dan, itulah diri Anda. Itulah passion Anda, yang sangat memungkinkan Anda untuk menjadi expert di bidangnya. Mengerjakan passion, sekaligus tetap menghasilkan.

Setelahnya --tulis Pak Jamil-- mulailah mengalokasikan waktu Anda sebanyak-banyaknya untuk bidang tersebut.

Bidang yang lain? Delegasikan saja pada orang lain yang memang expert di bidang lain itu.

Gampang kan? Silakan dicoba.

Masukan yang kedua, datang dari Pak Mario Teguh. Saya mendapatkannya dalam Mario Teguh Golden Ways bertema "The Power of Imaginary Regrets", tadi malam (08/02/09), dan saya menyebutnya sebagai faktor eksternal, karena pengetahuan akan kehebatan kita ini justru kita yakinkan pada diri sendiri melalui respon orang lain terhadap apa yang kita lakukan.

Lakukanlah segala sesuatu, apapun itu, namun juga perhatikan tingkat keseringan orang-orang untuk mengucapkan kata-kata atau melakukan hal-hal di bawah ini :

Pertama : ucapan "Terima kasih". Semakin banyak orang yang mengucapkan terima kasih, merupakan indikasi awal bagi "kepuasan" orang lain terhadap apa yang Anda lakukan.

Kedua : desis ataupun teriakan "Wow!". Jika banyak orang yang merespon apa yang Anda lakukan dengan ungkapan "wow", ini adalah indikasi untuk menunjukkan bahwa Anda memang jago di bidang itu. "Ketakjuban" mereka adalah indikasi pengakuan terhadap kehebatan Anda.

Ketiga : bersedia membayar Anda. Kesediaan orang lain untuk mengeluarkan effort berupa biaya kepada Anda secara ikhlas untuk melakukan sesuatu, menunjukkan adanya tingkat kepakaran yang dibutuhkan oleh orang lain tersebut. Mereka tidak hanya mengakui kehebatan Anda, tapi bahkan meletakkan kehebatan itu pada kerangka profesionalitas. Kepakaran.

Keempat : pengakuan "Hanya Anda yang bisa!". Ungkapan ini lebih menunjukkan personal branding kita atas kepakaran kita dalam sebuah bidang. Dan ini berarti, tingkat ke-expert-an kita --bisa jadi-- sudah di atas rata-rata.

Kelima : ungkapan "Untung ada Anda!". Hmm.. di tingkat ini, Anda seolah seorang "peri penyelamat", yang telah membuat proses hidup orang lain menjadi lebih lancar menuju tujuannya. Istilah "untung ada Anda" bahkan menunjukkan sesuatu yang semula dibayangkan bersifat tidak mungkin (impossible), tanpa harapan (hopeless), menjadi sesuatu yang mungkin dan berpengharapan.

Gampang juga, ya? Silakan dicoba juga.

Maka dari itu, mari kita coba inventarisir berbagai respon orang terhadap apa-apa yang telah kita lakukan selama ini.

Adakah beberapa contoh ungkapan atau tindakan orang lain itu secara kuat mengindikasikan kehebatan kita?

Jika ada, itulah diri kita. Itulah kehebatan kita, dan itulah expert kita.

Mudah-mudahan, uraian di atas bisa membantu Anda untuk menemukannya.


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://www.affiliatespeedway.com