Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

TENTANG HAL KECIL


Pada suatu zaman, seorang raja menginstruksikan kepada seluruh rakyatnya untuk mengisi sebuah bejana madu, pada suatu malam tertentu. Aturannya, setiap warga harus membawa satu sendok madu, untuk kemudian dimasukkan ke dalam bejana yang diletakkan di atas bukit.

Sebagai perintah raja, seluruh warga kerajaan pun serta merta mengiyakan untuk melaksanakan. Namun, ada salah satu warga yang berpikiran nakal.

"Hmm.. kalaupun saya tidak membawa satu sendok madu, namun hanya membawa satu sendok air, tentu tak akan ketahuan oleh petugas kerajaan. Pertama, karena perintah ini harus dilaksanakan pada malam hari. Kedua, tentu kalau hanya kemasukan satu sendok air, kualitas madu yang ada takkan terpengaruh. Apalah arti satu sendok air dibanding ribuan sendok madu dalam bejana itu," pikir orang itu.

Dan benarlah. Pada malam yang ditentukan, seluruh warga kerajaan memenuhi perintah sang raja.

Namun, kehebohan besar terjadi pada pagi harinya, ketika sang raja membuka bejana di hadapan seluruh rakyatnya.

Apa yang terjadi? Ternyata bejana itu hanya berisi air! Tak ada bau ataupun tanda madu sedikitpun.

Rupanya, seluruh warga kerajaan berpikir serupa dengan salah satu warga yang saya ceritakan tadi. Mereka berpikir sama, bahwa tindakan kecil yang dilakukan tak akan berpengaruh kepada isi bejana. Nyatanya?!

***

Saya yakin, Anda sudah pernah mendengar kisah di atas. Banyak buku motivasi dan penyadaran yang mencuplik kisah tersebut. Terakhir, saya baca kisah itu di bukunya Pak Jamil Azzaini.

Pesan yang ingin disampaikan hampir sama : ketika suatu tindakan negatif yang kecil dilaksanakan secara kolektif, maka akibatnya bukan lagi masalah kecil, namun masalah yang sangat besar.

Ada juga kesimpulan : kesalahan kecil yang sengaja dilakukan, tetap saja berpengaruh negatif pada pencapaian sebuah hasil atau tujuan.

Ada juga kesimpulan yang lain : jangan pernah meremehkan hidup Anda dengan berpikir, "Ah, dunia ini tak akan rusak hanya karena saya meremehkan hidup saya. Toh saya bukan siapa-siapa...". Ini kesimpulan dari Pak Jamil.

Intinya, jangan pernah pandang remeh perbuatan kecil yang merugikan. Jika semua orang berpikiran yang sama, maka kumpulan perbuatan yang merugikan itu bukan lagi perbuatan yang kecil, namun perbuatan yang besar. Dan hasilnya, tentu kerusakan yang besar pula.

***

Bagaimana kalau kita artikan sebaliknya saja kisah itu?

"Perbuatan kecil yang baik dari masing-masing orang, akan membawa perubahan signifikan dan berarti besar bagi dunia ini."

Paling enak, mari memakai contoh.

Dalam sebuah rencana penyaluran sumbangan kepada anak yatim, setiap orang berniat dalam hati mereka sendiri-sendiri untuk melebihkan Rp 5.000,- rupiah dari ketentuan minimal infaq resmi sebesar masing-masing Rp 50.000,- per bulan.

Hanya melebihkan 10%-nya, bukan?

Namun, jika kumpulan infaq diperoleh dari sebuah forum yang beranggotakan 250 orang, berapa tambahan infaq dan pahala yang bisa kita dapat? Rp 1.250.000,-!

Uang sejumlah Rp 1.250.000,- itu tentu bukan jumlah yang sedikit untuk bisa dimanfaatkan oleh dan untuk anak-anak yatim itu. Berapa pula tambahan pahala bagi anggota forum tersebut? Wallahu a'lam. Insya Allah bertambah, dengan keikhlasan yang diberikan.

Contoh lain, tentu banyak. Simak saja tulisan Andy F Noya berjudul "Empati" di buku kedua dari seri Andy's Corner-nya (hal. 150). Tentang bagaimana jika kita mencoba "membantu" para pelayan restoran dengan seminim mungkin memberantakkan meja makan kita. Atau kalau perlu, seperti di luar negeri, membuang sampahnya sendiri.

Bukan untuk sok gaya atau sok kebarat-baratan. Tapi, bayangkan bahwa kita akan bisa membuat bahagia para pelayan restoran yang senantiasa bekerja dengan rutinitas itu, dengan meminalisir keharusan mereka untuk membersihkan sisa-sisa kejorokan kita.

Atau cerita tentang seorang bapak dan anak yang rajin membersihkan tanah kosong di kompleks rumah mereka, yang pada akhirnya membuat malu para tetangga untuk tidak mengikuti jejaknya. Padahal, bapak anak itu bekerja tanpa kata. Tak ada ajakan lisan ataupun langsung. Tak ada slogan, umbul-umbul, apalagi spanduk atau baliho, kata Andy.

So, kuncinya ada pada keteladanan. Keteladanan yang kecil saja.

Andy juga bercerita tentang kekuatan senyum. Jika saja satu orang tersenyum kepada minimal satu orang lainnya yang dijumpainya hari itu, berapa orang yang akan merasakan bahagia? Sekali lagi, hanya dengan satu senyum kepada satu orang yang lain. Hal kecil, bukan?

Juga kata "terima kasih" kepada orang lain. Kepada petugas tol, misalnya. Kata anak Andy, ucapan "terima kasih" merupakan "magic word" yang juga akan membahagiakan orang.

Intinya, berbuat baiklah. Mulai dari hal kecil saja. Yang kita bisa sangat ikhlas melakukannya. Dan rasakan, bahwa kebahagiaan itu bukan hanya milik mereka yang kita beri "alat" untuk berbahagia tersebut, tapi juga akan memantul kepada diri kita sendiri. Kita pun akan bahagia.

Kalau saya Mario Teguh, mungkin saya akan berkata, "Lakukan perbuatan-perbuatan kecil yang baik itu untuk sekeliling kita, lalu perhatikan apa yang terjadi...."


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://dequim.ist.utl.pt

SEEKING A PASSION


Hampir semua pakar, ahli,konsultan, motivator, senior atau apapun istilah yang merujuk pada tingkat kepintaran yang lebih, selalu menekankan adanya faktor passion dalam upaya menggapai kesuksesan.

"Fokuslah pada apa yang menjadi passion-mu, maka seolah kamu tidak sedang berbisnis. Sekedar melaksanakan hobi."

"Cintailah apa yang kamu kerjakan sehingga ia bisa menjadi passion-mu, dan kamu akan merasakan seolah sedang tidak bekerja."

"Segala sesuatu yang dilakukan berdasarkan passion, akan selalu menguatkan dirimu untuk terus menjadi lebih baik, lebih baik dan lebih baik."

"Jadilah expert pada passion kamu, maka kamu akan selalu menuju pintu keberhasilan."

Begitu kata-kata para pakar itu.

Masalahnya adalah, bahwa ternyata tidak mudah bagi semua orang untuk tahu passion-nya sendiri. Juga, masih banyak orang yang bahkan tidak tahu bidang apa yang menjadi expert-nya. Betul itu!

Dalam perjalanan yang menciptakan persahabatan yang lebih luas, saya pun menemukan kelompok orang yang demikian, yang tak kalah dalam segi jumlah ketika dibandingkan dengan orang-orang yang merasa telah menemukan passion-nya. Atau bahkan, jangan-jangan, kelompok yang "tak tahu passion" ini lebih banyak anggotanya? Wallahu a'lam.

So, adalah kurang bijak bagi mereka yang sudah bisa berjalan di atas passion, mengembangkan dirinya berdasarkan passion, atau setidaknya tahu cara menggali passion dalam dirinya, tapi tidak mengkomunikasikannya kepada mereka yang belum tahu.

Saya berusaha mencobanya, dalam tataran yang paling rendah. Mudah-mudahan upaya saya ini bisa mengurangi jumlah orang yang "kurang bijak" itu, hehe.

Mengingat pelaksanaan passion adalah hal yang paling dekat untuk mengantarkan kepada keahlian/kecakapan (expert)--dan pada akhirnya kesuksesan--, maka saya akan mengarahkannya pada bagaimana cara kita mengetahui passion, dan pada akhirnya paham di bidang apa kita bisa expert.

Ada dua masukan sederhana dari dua orang pakar motivasi. Yang pertama, dari Pak Jamil Azzaini. Seorang Inspirator Gerakan Sukses-Mulia, yang juga Direktur PT. Kubik Kreasi Sisilain. Gagasan dan pemikirannya dapat disimak di Trijaya Network setiap hari Kamis pukul 17.00 - 18.30 WIB.

Ini saya sebut, pencarian passion dari dalam diri (internal). Saya ambil dari buku terbarunya Pak Jamil : Tuhan, Inilah Proposal Hidupku (Gramedia, 2009).

Pertama, daftarlah semua kegiatan yang telah Anda jalani dan banyak menghabiskan waktu.

Kedua, kelompokkanlah kegiatan-kegiatan itu ke dalam tiga bagian : kegiatan yang Anda kuasai, kegiatan yang Anda cintai dan kegiatan yang menghasilkan. Satu kegiatan bisa termasuk dalam tiga bagian tersebut.

Ketiga, pilih dari daftar tersebut, satu, dua atau tiga hal yang paling Anda kuasai, Anda cintai dan sekaligus menghasilkan.

Dan, itulah diri Anda. Itulah passion Anda, yang sangat memungkinkan Anda untuk menjadi expert di bidangnya. Mengerjakan passion, sekaligus tetap menghasilkan.

Setelahnya --tulis Pak Jamil-- mulailah mengalokasikan waktu Anda sebanyak-banyaknya untuk bidang tersebut.

Bidang yang lain? Delegasikan saja pada orang lain yang memang expert di bidang lain itu.

Gampang kan? Silakan dicoba.

Masukan yang kedua, datang dari Pak Mario Teguh. Saya mendapatkannya dalam Mario Teguh Golden Ways bertema "The Power of Imaginary Regrets", tadi malam (08/02/09), dan saya menyebutnya sebagai faktor eksternal, karena pengetahuan akan kehebatan kita ini justru kita yakinkan pada diri sendiri melalui respon orang lain terhadap apa yang kita lakukan.

Lakukanlah segala sesuatu, apapun itu, namun juga perhatikan tingkat keseringan orang-orang untuk mengucapkan kata-kata atau melakukan hal-hal di bawah ini :

Pertama : ucapan "Terima kasih". Semakin banyak orang yang mengucapkan terima kasih, merupakan indikasi awal bagi "kepuasan" orang lain terhadap apa yang Anda lakukan.

Kedua : desis ataupun teriakan "Wow!". Jika banyak orang yang merespon apa yang Anda lakukan dengan ungkapan "wow", ini adalah indikasi untuk menunjukkan bahwa Anda memang jago di bidang itu. "Ketakjuban" mereka adalah indikasi pengakuan terhadap kehebatan Anda.

Ketiga : bersedia membayar Anda. Kesediaan orang lain untuk mengeluarkan effort berupa biaya kepada Anda secara ikhlas untuk melakukan sesuatu, menunjukkan adanya tingkat kepakaran yang dibutuhkan oleh orang lain tersebut. Mereka tidak hanya mengakui kehebatan Anda, tapi bahkan meletakkan kehebatan itu pada kerangka profesionalitas. Kepakaran.

Keempat : pengakuan "Hanya Anda yang bisa!". Ungkapan ini lebih menunjukkan personal branding kita atas kepakaran kita dalam sebuah bidang. Dan ini berarti, tingkat ke-expert-an kita --bisa jadi-- sudah di atas rata-rata.

Kelima : ungkapan "Untung ada Anda!". Hmm.. di tingkat ini, Anda seolah seorang "peri penyelamat", yang telah membuat proses hidup orang lain menjadi lebih lancar menuju tujuannya. Istilah "untung ada Anda" bahkan menunjukkan sesuatu yang semula dibayangkan bersifat tidak mungkin (impossible), tanpa harapan (hopeless), menjadi sesuatu yang mungkin dan berpengharapan.

Gampang juga, ya? Silakan dicoba juga.

Maka dari itu, mari kita coba inventarisir berbagai respon orang terhadap apa-apa yang telah kita lakukan selama ini.

Adakah beberapa contoh ungkapan atau tindakan orang lain itu secara kuat mengindikasikan kehebatan kita?

Jika ada, itulah diri kita. Itulah kehebatan kita, dan itulah expert kita.

Mudah-mudahan, uraian di atas bisa membantu Anda untuk menemukannya.


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://www.affiliatespeedway.com

PENYESALAN ITU BERGUNA


Tuh kan... persis seperti yang saya bilang.

Dalam salah satu posting saya terdahulu (Reaktif (+/-), Proaktif (+++), Pasif (---); Rabu 07/01/09), saya mengatakan :
"...Penyesalan memang kurang ada gunanya. (Saya tulis "kurang", bukan "tidak", karena saya kadang merasa menyesal itu ada gunanya juga... hehe)."
Dan malam tadi, saya beroleh teman, yang mengiyakan pendapat saya itu. Nggak tanggung-tanggung si teman itu : Mario Teguh.

Kata beliau, tak perlu selamanya menyesal dengan yang namanya kesalahan.

"Sebuah kesalahan akan berhenti menjadi kesalahan bila kita menggunakannya untuk menjadi pribadi yang lebih baik."
So, penyesalan tak selamanya merupakan sesuatu yang tak berguna. Jika setelah menyesalkan sesuatu, kita bisa menjadikannya pelajaran berharga untuk perbaikan diri, kenapa tidak?

Penyesalan adalah wujud nyata bahwa kita tahu bahwa ada sesuatu yang salah. Sesuatu yang tak berkenan. Baik karena kelakuan diri, kesalahan orang lain maupun karena keadaan.

Dari kelakuan yang salah itulah kita belajar. Dari kesalahan orang lain itulah kita berintrospeksi. Dan dari keadaan yang tak menyamankan itulah kita berkaca diri.

So, jadikan perbaikan diri sebagai tujuan dari munculnya sebuah penyesalan.

Penyesalan yang tidak menciptakan dorongan untuk memperbaiki diri, adalah penyesalan yang melemahkan. Dan inilah yang seringkali terjadi pada kita.

Pada orang-orang yang sukses, penyesalan membuat orang itu menjadi hebat. Karena dia mau belajar, mau berubah ke arah perbaikan diri.

So lagi, kata Pak Mario :

"Kalau Anda bisa menyesal untuk menjadi hebat, kenapa harus menyesal untuk menjadi lemah?"
Hmm... saya memilih untuk menjadi yang pertama. Menjadi yang hebat.

Anda?

***

Masih dari Pak Mario Teguh, ada sebuah penyesalan lain yang bisa menjadi pembangun. Yakni : menyesali sesuatu yang belum terjadi.

Bingung?

Begini ilustrasinya :
Jika Anda saat ini masih sekolah di sekolah menengah atas alias SMA, lalu membayangkan bahwa 10 tahun ke depan Anda menjadi seorang pengangguran, tidak diterima bekerja di manapun, tidak memiliki bisnis apapun, dan kesulitan menafkahi anak istri Anda karena kondisi ekonomi yang kurang baik, di mana itu semua diakibatkan karena Anda tidak belajar dengan serius pada saat Anda sekolah sekarang ini, apakah Anda akan menyesal?

Bila Anda saat ini tidak bisa menabung meskipun sudah berpenghasilan, istri tidak bekerja dan tidak pula berbisnis, anak-anak masih sekolah di usia dininya, lalu 10 tahun ke depan Anda sakit yang mengakibatkan Anda tidak bisa bekerja dan menghasilkan nafkah terbaik untuk keluarga, apakah Anda akan menyesal?

Saya yakin, semuanya akan menjawab "ya". Saya juga.

Pada akhirnya, Anda yang sedang sekolah merasa harus menjadi anak yang rajin dalam belajar.

Anda yang saat ini tak bisa menabung, akan berusaha menabung ataupun mencari alternatif pemasukan lain untuk menanggulangi kondisi darurat, apabila semua bayangan buruk tadi harus terjadi.

So, di situlah penyesalan menjadi sesuatu yang membangun. Yang menghebatkan.

So lagi, beginilah kata Pak Mario :

"Penyesalan adalah hal yang kurang mendidik. Namun, menyesali sesuatu yang belum terjadi adalah pendidikan yang memesrakan."

"Dia yang semasa muda menjadi budak dari kesenangan-kesenangan sementara, akan menjadi tawanan dari penyesalan-penyesalan di masa mendatang."
Lagi-lagi, hmmm... seperti yang saya dapat, apakah Anda mendapat sebuah inspirasi baru?


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://farm1.static.flickr.com

BIBIT


"... Ada banyak bibit di dalam diri manusia. Ada bibit kebodohan, keserakahan, kemarahan, iri hati, dendam. Ada juga bibit kesabaran, kasih sayang, cinta, memaafkan, persahabatan. Pertanyaan berikutnya, bibit-bibit mana yang kita sirami setiap harinya?"

--Gede Prama; dalam pengantar buku "Andy's Corner" Andy F. Noya yang kedua--


Buka internet pagi ini, untuk menyiram bibit yang mana?
Ngeblog hari ini, untuk menumbuhkan bibit yang mana?
Membaca buku sore nanti, untuk meninggikan bibit yang mana?
Rencana pergi esok hari, untuk memupuk bibit yang mana?
Agenda silaturahim besok siang, untuk mendorong bibit yang mana?
Bekerja kembali lusa, untuk mengembangkan bibit yang mana?
Ke tempat ibadah setiap harinya, untuk bibit yang mana?
Berdo'a setiap waktu, demi bibit yang mana?

***

Ayolah kawan, saya yang jahat atau Anda yang tidak jahat, semuanya tahu mana bibit yang sesungguhnya baik. Masalahnya hanya, mau atau tidak kita mengakui bahwa bibit-bibit itu baik, untuk kemudian kita pupuk tumbuh dan kembangkan.

Tak terpungkiri, kadang ada rasa malu ketika menyiramnya. Ada rasa takut dianggap "sok alim", "sok peduli", "sok sosial", "sok rajin", "sok religius", dan sok-sok yang lain manakala menumbuhkannya.

Itulah godaan. Itulah tantangan. Bahwa hasil akhir senantiasa menjadi lebih indah saat kita harus berjuang keras dalam meraihnya, itu adalah kemutlakan. Bahwa semakin keras perjuangan, derajat kenikmatan hasilnya juga semakin besar, itu adalah keniscayaan.

Lalu, kenapa musti mundur? Kenapa musti malu? Kenapa berhenti menyiram bibit yang baik?


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://files.myopera.com

INTEGRITAS --dari Bunda Teresa--


Pernahkah Anda punya niatan baik, tapi justru ditentang oleh orang lain?

Pasti pernah.

Pernahkah Anda melakukan hal baik --bahkan yang terbaik dan mulia--, namun malah mendapat cibiran dan cemoohan dari teman-teman di sekitar Anda?

Mungkin tak hanya sekali dua kali.

Pernahkah Anda berjalan lurus dalam kebenaran, namun justru dianggap sok benar?

Mungkin sering.

Biarkan. Biarkan semua itu terjadi. Tak usahlah kita anggap itu penting.

Integritas, tak terpengaruh oleh omongan orang. Tak tergoyahkan oleh respon negatif dari sekitar. Selama kita berpegang pada kebenaran yang sebenar-benarnya, sepanjang kita mendasarkan pada nilai-nilai kemuliaan yang sudah dituntunkan-Nya, jangan berubah.

Sebuah perenungan dari Bunda Teresa yang saya kutip dari majalah LuarBiasa Januari 2009, semoga bisa jadi pencipta tegar bagi diri kita :

Orang sering keterlaluan, tidak logis, dan hanya mementingkan diri sendiri; bagaimanapun, maafkanlah mereka.

Bila engkau baik hati, bisa saja orang lain menuduhmu punya pamrih; bagaimanapun, berbaik hatilah.

Bila engkau sukses, engkau akan mendapat teman palsu, dan beberapa yang sejati; bagaimanapun, jadilah sukses.

Bila engkau jujur dan terbuka, mungkin saja orang lain akan menipumu; bagaimanapun, jujur dan terbukalah.

Apa yang engkau bangun selama bertahun-tahun, mungkin saja dihancurkan orang lain hanya dalam semalam; bagaimanapun, bangunlah.

Bila engkau mendapat ketenangan dan kebahagiaan, mungkin saja oang lain jadi iri; bagaimanapun, berbahagialah.

Kebaikan yang engkau lakukan hari ini, mungkin saja besok sudah dilupakan orang; bagaimanapun, berbuat baiklah.

Bagaimanapun, berikan yang terbaik dari dirimu. Engkau lihat, akhirnya ini adalah urusan antara engkau dengan Tuhanmu; bagaimanapun ini bukan urusan engkau dengan mereka.



Salam perenungan,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://www.rightbrainterrain.com

KETIKA "TERPAKSA" KALAH....


"Kalau kena tampar, hendaklah dari tangan yang bercincin," kata petuah lama.

Apa maksudnya?

Konon itu berarti, kalau dikalahkan atau dihinakan, lebih baik oleh pihak yang memang lebih kuat, lebih mampu, atau lebih terhormat daripada kita sendiri.

Itulah konteks yang saya baca dari tulisan Nuim Khaiyat dalam buku Dunia di Mata Nuim Khaiyath (2009). Ia sedang "berbicara" masalah Janji Amerika dan Dinasti Bush, yang bercerita tentang "hilangnya tongkat orang tua" bernama Amerika untuk kedua kalinya akibat nafsu besar dalam konflik Timur Tengah (Irak), ketika mencuplik petuah di atas (hal.93).

Saya tak akan mengaitkan petuah itu untuk kasus Amerika. Saya hanya tertarik untuk mengambilnya sebagai "roh" posting hari ini. Tentang kekalahan. Tentang kita jika suatu saat "terpaksa kalah".

Lepas dari aura optimisme yang harus selalu ada dalam langkah kehidupan kita sehari-hari, rasanya tak ada yang salah jika kita tetap memperbincangkan masalah kekalahan.

Sebuah pertandingan, sebuah kompetisi atau persaingan, sebuah perseteruan, tak selamanya bisa menghasilkan kemenangan bersama ataupun win-win solution. Dalam apa saja. Olahraga, olimpiade science, cerdas cermat, persaingan pasar bisnis, tender proyek, bahkan persaingan dalam "memperebutkan" pasangan hidup, dsb. Ada saatnya, harus ada "pemenang". Sehingga pihak lainnya terpaksa menerima sebutan sebagai pihak yang "kalah".

Dalam hal yang demikian, rasanya menjadi sangat bijak petuah orang tua jaman dahulu itu. Kalau terpaksa kalah, kalahlah dari yang memang lebih baik.

Berarti, kapan kita "boleh" terpaksa kalah?

Pertama, jika kita sudah berusaha semaksimal mungkin, prepare sesiap mungkin, belajar seoptimal mungkin, berlatih sekuat mungkin, dan berdo'a sekhusyuk mungkin.

Kalau Anda kalah kendati sudah melakukan semua itu semua, tetap berbahagialah. Karena Anda memang kalah dari yang lebih baik. Mungkin usaha Anda, persiapan Anda, belajar Anda, latihan Anda dan do'a Anda masih bisa ditingkatkan dari ukuran "maksimal" atau "optimal" versi Anda sekarang ini.

Jika saat ini Anda menganggap latihan 6 jam perhari adalah maksimal, mungkin sebenarnya "maksimal yang benar" adalah 8 jam per hari. Dan ini mungkin dilakukan oleh si pemenang.

Kalau do'a Anda tak pernah lupa dipanjatkan setelah sholat wajib, mungkin sang juara menambahkan doa-doa-nya melalui sarana sholat malam.

Artinya, sesungguhnya masih ada "batas atas" yang lebih tinggi dari ukuran kemaksimalan kita.

So, mari kita tengok, adakah batas atas yang lebih tinggi dari usaha yang sudah kita lakukan untuk menghadapi "pertandingan" itu.

Kedua, kita sesungguhnya tetap jadi "pemenang" jika kita telah melakukan persiapan terbaik atau maksimal tadi. Minimal, kita menang melawan ketidakmauan untuk berlatih, ketidakmauan untuk belajar, bersiap dan berdo'a. Minimal, kita telah menang melawan "nafsu buruk" kita : males-malesan, berlatih asal-asalan, dan keinginan menuruti "bisikan" untuk tidak memohon kepada Tuhan.

Ketiga, tak ada istilah "kalah" sesungguhnya, jika segala usaha, latihan, persiapan, belajar dan do'a tadi telah membuat kita mampu menjadi orang yang lebih baik dari hari ke hari. Konteks kekalahan dalam bertanding atau berkompetisi, bergeser menjadi konteks kemenangan melawan masa lalu. Bukankan menjadi keinginan kita bersama, bahwa kita ingin selalu menjadi yang lebih baik dari hari ke hari?

Keempat, kalaupun harus disebut "kalah", semua itu harus berujung pada tuntutan diri untuk menginstropeksi diri, memperbaiki diri, dan senantiasa membuat diri ini lebih maju. Jika sebuah kekalahan tidak menjadi alasan untuk "nglokro", putus harapan, patah semangat, lupa Tuhan, dan justru menjadi pemacu untuk lebih baik, maka sesungguhnya kita tidak "kalah". Kita tetap menang.

Kelima, selalu ingatlah : menang dan kalah dalam kehidupan di dunia adalah sebuah keniscayaan. Selalu ada orang yang lebih baik dari orang yang lainnya. Dan "pertandingan dunia" itu memang tak selalu membuka pintu bagi semuanya untuk menjadi pemenang.

Lalu, di mana kemenangan bisa menjadi milik semua orang? Di mata Tuhan kita. Dan ini yang terpenting. Di mata Beliau, kita semua bisa menjadi pemenang. Hanya "kompetisi" yang Tuhan buat lah, yang memungkinkan kita semua jadi pemenang.

Pesan posting : so, untuk yang terakhir ini, jangan sampai --naudzubillahi min dzalik-- kita tidak menjadi pemenangnya. Kita semua, tanpa kecuali. Karena Tuhan menyediakan luasan tempat yang tak terbatas untuk para pemenang kehidupan dunia sekaligus akhirat ini.

Namun, kendati luasannya tak terbatas, tidaklah gampang untuk bisa menjadi pemenang di mata Sang Maha Segala. Dan itu menjadi pe-er buat kita semua.

Terutama, saya sendiri.


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://www1.istockphoto.com