Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

MEREKA TAK BANYAK BICARA...


Suatu ketika, beberapa bulan setelah saya memasuki sebuah unit kerja baru, saya melihat sebuah --menurut saya-- keluarbiasaan di sana.

Beberapa bagian dalam hierarki pekerjaan, didominasi oleh anak muda. Yach, saya sebut anak muda, karena rata-rata umur mereka antara 7-10 tahun di bawah saya yang 34 tahun tapi kata teman-teman berwajah 43 (atau malah 53?) tahun ini, hehe.

Bukan itu saja pencipta kesan dalam diri saya. Anak-anak muda itu, saya lihat sangat tekun, disiplin, dan tak banyak bicara saat bekerja. Padahal, saya melihat sebuah rutinitas besar dalam kerja mereka. Nyaris tak ada dinamika. Apa yang menjadi pekerjaannya, ya dilaksanakan. Lantas, selesai, pulang. Sama seperti hari kemarin. Juga kemarin lusa. Juga minggu lalu. Dan bahkan, juga bulan lalu.

Tak pernah saya dengar ada "protes" dari mereka kepada atasan atau sistem kerja. Jangankan "protes" atau "masukan". Nuansa diskusi mengenai bagaimana mendapatkan hasil kerja yang lebih baik pun tak ada. Secara hiperbolik saya katakan : mereka bekerja dalam diam. Robot banget.

Bereskah pekerjaannya? Dalam pengamatan saya, beres sih; persis sesuai kemauan atasan langsungnya. Yang saya tahu, kalau tak beres, suara yang keluar dari mulut atasan lah yang mendominasi ruangan mereka, dan mereka pun menerima apapun kata atasan itu dengan takzim, lalu mengerjakannya. Lalu, selesai, pulang. Seperti kemarin. Seperti kemarin lusa. Seperti minggu lalu, dan bahkan bulan lalu.

Secara kasat mata, hmm... ya, mereka bekerja dengan giat, tak banyak cingcong, dan mengerjakannya sampai selesai.

"Lho, bukannya itu bagus, Jar?" mungkin akan ada yang bertanya demikian.

Inilah yang pingin saya kemukakan.

Mereka memang bekerja dengan baik, tak banyak tingkah. Tapi cobalah datang ke ruangan itu, dan lihat satu persatu raut wajah mereka. Lihatlah gerakan badan robotik mereka itu. Wajah yang menunjukkan ketegangan dengan tarikan otot wajah yang cenderung murung, berhias senyum-senyum yang dipaksakan, dengan bibir yang mengatup bukan karena sifat dasar yang pendiam, tapi lebih karena terpaksa dikatupkan.

Saya sampai berpikir, itu kenapa mereka juga seperti saya : tampak lebih tua daripada umur yang sebenarnya. :)

Kenapa saya menyimpulkan demikian?

Karena saya kenal mereka di "luaran" sana. Di luar jam kerja, di luar hubungan atasan bawahan.

Tanpa bermaksud sombong, maaf, saya merasa, gaya kepemimpinan dan kecuekan saya lebih memungkinkan saya untuk bisa mengetahui seperti apa mereka sebenarnya. Dan mereka yang sebenarnya itu, sangat jauh dari "karakter" mereka ketika di kantor, kecuali pada tingkat kedisplinan dan keberesan kerjanya, yang di mata saya justru bisa lebih dari yang seharusnya.

Pernah suatu ketika saya berdiskusi dengan anggota tim saya, tentang anak-anak muda itu.

"Hebat ya mereka, tak banyak omong, isinya cuma kerja dan kerja," begitu 'pancingan' saya membuka diskusi.

Tahukah Anda, apa kata anggota tim saya yang notabene adalah "penghuni lama" unit kerja itu?

"Ya iya lah, Pak. Bagaimana mau banyak bicara, baru mau ngomong aja sudah di-khek!" kata anggota tim saya itu, sambil memperagakan tangan yang sedang menyembelih leher.

Hah? Rupanya benar. "Karakter" dalam bekerja itu rupanya terbentuk sebagai akibat dari gaya kepemimpinan otoriter atasan mereka. Tak ada ruang bagi mereka untuk berimprovisasi. Mengeluarkan ide. Berdiskusi untuk yang lebih baik. Berdebat untuk kepositifan. Untuk mencoba berbicara saja, rupanya mereka sudah menetapkan pilihan : lebih baik diam. Kerjakan apa yang dimaui atasan, lantas selesai dan "aman". Pulang. Terima gaji. Kalaupun ada obrolan, itu berarti sekedar pertanyaan dari anggota tim, yang dijawab dengan instruksi satu arah oleh atasannya.

Oalah...

Baguskah kepemimpinan yang seperti itu?
Untuk "ketenangan" kerja, mungkin bagus. Untuk "kedisiplinan", boleh lah. Untuk "tingkat keberesan pekerjaan", tak salah juga. Tapi, untuk pengembangan organisasi? Untuk pengembangan kemampuan diri orang lain? Si anak buah?

Itu baru masalah. Adem ayem, tenang, tak selalu berarti tak ada masalah. Orang Solo terkenal diam atas berbagai kebijakan politik, namun sesungguhnya menyimpan bara yang bisa sekonyong-konyong menimbulkan ledakan sangat besar. Berkacalah pada tragedi Mei 1998.

Lain dengan orang Surabaya, atau Medan. Yang ceplas ceplos, blak-blakan, to the point dalam bicara dan bertindak, namun setelah itu, selesai. "Bara dendam" atau "bara protes" tak disimpannya lama-lama.

Dengan acuan pola kerja versi atasan, semua memang terkesan beres. Tapi sadarkah kita, bahwa dengan sedikit membuka kran demokrasi dalam bekerja, dengan kesediaan membuka kran aspirasi, kran inspirasi dan ide, kran akses untuk bottom up dan tak sekedar top down, hasil yang diperoleh bisa jauh lebih baik?

Memang ada model kepemimpian yang mengharuskan pemimpin bersikap otoriter. Namun, saya tak melihat perlunya model kepemimpinan itu di unit kerja yang bersangkutan. Anak-anak muda itu anak-anak baik, kok. Ibadahnya rajin-rajin. Pergaulannya, saya lihat adalah pergaulan yang baik. Kecerdasannya juga tinggi. Ide-idenya banyak untuk kemajuan organisasi, yang sayangnya tak pernah bisa terlontar di bagian kerjanya, namun justru terlontar ketika berbicara dengan saya yang ada di bagian lain.

Saya mendengar sendiri ide-ide perbaikan di sana-sini. Ide-ide untuk pola pekerjaan yang lebih sistematis, dan menjadikan pekerjaan semakin efektif. Namun sekali lagi sayang, ide itu terpaksa dipendam, karena gaya kepemimpinan yang tak memungkinkan untuk mengeluarkannya.

So? Mana yang lebih baik menurut Anda?

Atasan yang jaim dan "dihormati" atas dasar ketakutan bawahan? Atau model atasan yang bersedia "menyejajarkan diri" dengan bawahan yang baik dan pinter-pinter itu, meski dengan konsekuensi seolah bawahan bisa "kurang ajar" terhadap si atasan?

Apapun jawaban Anda, tak ada yang salah menurut saya, karena itu pilihan. Yang jelas, saya memiliki keyakinan, bahwa model kedua yang lebih baik.

Tentang "kekurangajaran" bawahan? Tak usahlah ada kekhawatiran itu. Saya melihatnya sebagai sebuah keakraban, karena karyawan yang baik dan pinter, tidak akan pernah bermaksud "mencuri" kewibawaan seorang atasan. Mereka tahu bagaimana harus bersikap terhadap atasan. Atasan yang baik pun, memiliki batas-batas tertentu untuk tidak membuat timnya menjadi tim yang "bebas tak bertanggung jawab", sekaligus tetap menjaga dirinya sebagai pemimpin yang berwibawa.

Bagi saya, ide-ide, masukan dan aspirasi itu, jauh lebih penting bagi organisasi, dibanding keharusan saya untuk seolah-olah berwibawa dan ditakuti.

Kalau Anda?


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://media.economist.com

TERIMA KASIH


Mungkin, memang saya yang lemot, atau memang telat ngerti. Eh, apa sih bedanya lemot dengan telat ngerti? Sama saja, ya? Hehe...

Yang jelas, saya memang baru ngeh. Baru tahu.

Tentang apa? Tentang "makna filosofis" kata "terima kasih".

Pemahaman baru ini saya dapat dari seorang ustadz (mohon maaf, saya tidak tau nama ustadznya, karena saya terlambat datang. Yang pasti : terima kasih, Tadz!) di pengajian kantor Jum'at (20/02/09) kemarin sore.

Beliau mengambil tema habluminallah dan habluminannas. Hubungan dengan Allah, dan hubungan dengan manusia. Dalam hal ini, ada dua hal yang beliau tegakkan : mendirikan sholat untuk habluminallah, dan berzakat, bersedekah, berinfaq, memberikan sebagian rizqi di jalan Allah untuk habluminannas-nya.

Ketika berbicara tentang keharusan berinfaq, beliau menyitir sebuah ungkapan khas ketika kita menerima rizqi. Syukur pada Allah, --Alhamdulillahirabbil'alamiin--, beriring dengan ucapan "Terima kasih, ya Allah".

Ucapan "terima kasih" itu bukan tanpa makna.

"Setiap kita menerima, maka harus ada bagian yang dikasihkan kepada orang lain. Setiap menerima, lalu memberi. Menerima, lalu ngasih. Terima, kasih. Terima, kasih. Terima, kasih. Terima, kasih," kata beliau sambil menengadahkan telapak tangan di atas kepala ketika berkata "terima", dan menyodorkan telapak tangan itu ke depan ketika mengucap "kasih".

Menerima, untuk memberi. Makanya disebut "terima kasih". Bukan "terima" thok thil. Bukan sekedar "terima (karena di-)kasih".

Terima, kasih. Terima, kemudian kasihkan. Menerima, kemudian ngasih. Terima lagi, kasih lagi. Terima terus, kasih terus.

"Kalau tidak terima? Tetap ngasih! Itu baru mantaaap...," lanjut sang ustadz dengan sengau khas beliau, diikuti senyum dan tawa kecil peserta pengajian.

Ya, ya. Sekali lagi : terima, kasih. Terima, kasih. Menerima, terus ngasih. Terima lagi, kasih lagi. Terima banyak, kasih banyak. Terima sedikit? Kasih banyak! Lha, ini baru mantaaaap.... hehe.

Terima, kasih. Terima, kasih... saya mengulang-ulang ungkapan itu. Sebelum ini, sedikit banyak saya telah memahami kewajiban bersedekah, berinfaq, ataupun berzakat. Namun, hanya dengan penyadaran melalui filosofi kata "terima kasih", makna di sebaliknya justru sangat terkesan mendalam. Terngiang di telinga, tertancap senantiasa di hati.

Saya adalah salah satu yang meyakini bahwa banyak pahala, manfaat dan bahkan "keajaiban" di balik kesediaan orang untuk memberi.

Bahwa kita akan semakin dimudahkan rejekinya, semakin dimudahkan jalan kita menuju cita-cita hidup, semakin di-kaya-kan oleh Tuhan, semakin dibahagiakan, ditenangkan hatinya, dan semakin dicintai oleh-Nya.

Bukan mau promosi, tapi ada sebuah buku bagus tentang keajaiban sedekah ini. The Miracle of Giving, dari Al-Ustadz Yusuf Mansur (Penerbit Zikrul Hakim, 2008). Recommended, karena bagi saya, buku itu menggugah.

Hmm... terima, kasih. Tak sekedar menerima, tapi juga ngasih. Memberi. Terima lagi, kasih lagi. Pokoknya : terima, kasih. Terima, kasih. Terima, kasih. Terima...., ah!


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://shirari.com

FILOSOFI SUKSES SOHO


Saya memang agak terlambat membuka majalah SWA No. 03, edisi 5-18 Februari 2009, kendati sudah sejak awal bulan itu sang majalah tergeletak di meja kantor.

Edisi kali itu mengambil topik utama tentang Lompatan Kuantum SOHO Group, sebuah perusahaan raksasa bidang farmasi yang dalam 5 tahun terakhir mampu melejitkan dirinya dari posisi 13 menjadi 3 besar perusahaan sejenis, dengan omzet yang mampu menembus Rp 1 triliun per tahun.

Sesungguhnya saya belum tertarik untuk langsung membaca sajian utama ketika membuka majalah itu. Seperti biasa, saya hanya membolak-balik halaman secara sekilas dari arah belakang, hingga pada akhirnya mata saya justru tertumbuk pada ilustrasi foto yang ada di liputan tentang SOHO Group di atas. Bukan (baca : belum) pada materi sajian utama itu sendiri.

Seperti apa sih, ilustrasi foto itu?

Saya pingin mengunduhnya untuk posting ini sebenarnya, tapi hasil browsing di http://swa.co.id tidak memunculkan gambar dimaksud.

Begini gambarannya : ada dua foto, yang pertama foto Andreas Halim Djamwari dan Tan Eng Liang --keduanya adalah Presiden Direktur dan Komisaris Utama Grup SOHO--, dan yang satu foto Tan Eng Liang dan istrinya, dalam sebuah acara kebersamaan dengan para karyawannya.

Yang menarik bagi saya, adalah logo dan tulisan pada kaos yang menjadi "seragam" dalam acara itu.

Apa tulisannya? SUCCESS; Step Up your Career to Create Excellence for Self and SOHO Group. Bersebelahan dengan gambar simbol orang yang sedang "bergerak".

Saya baca berulang kali.
Hmm... sangat super! Sangat bagus, menurut saya.

Mari kita maknai bersama.

Dalam terjemahan saya yang kurang lancar bahasa Inggris ini, itu berarti : jejakkan langkah lebih tinggi dalam karirmu, untuk menciptakan keutamaan (kesempurnaan) bagi diri dan Grup SOHO.

Jika kita memahami filosofi pemberdayaan sumber daya manusia (SDM), maka "motto", "semboyan", "slogan" atau apapun namanya seperti itu sangat cerdas, dan luar biasa ketinggian filosofinya.

Bayangkan. Tuntutan untuk meningkatkan kemampuan bekerja, meningkatkan kapabilitas individu, meningkatkan hasil kinerja, dan sejenisnya, pasti merupakan sebuah tuntutan yang wajar, dan hampir menjadi kemutlakan bagi setiap organisasi.

Namun, lihatlah "tujuan" di belakangnya. Huruf S dari 2 huruf S yang terakhir dalam kata SUCCESS diterjemahkan sebagai SELF terlebih dahulu, baru S sebagai SOHO Group. Tidak SOHO Group dulu, baru SELF. Padahal, dari segi huruf pertama kata, bisa saja itu dilakukan.

Tapi saya yakin, penempatan "SELF" mendahului "SOHO Group" merupakan olah pikir dan hasil pemikiran --bahkan bentukan karakter-- yang khas dan bukan dipolitisir oleh manajemen SOHO Group. Saya yakin pula, bahwa pola pikir seperti itulah yang mendasari pola manajerial dalam perusahaan selama ini.

Semua orang, baik pemilik, pengurus maupun karyawan di seluruh tingkatannya diajak bekerja secara maksimal, terus mengembangkan diri, sesungguhnya untuk kepentingan dirinya sendiri. Artinya, karyawan sebagai individulah yang paling akan merasakan manfaatnya dari pengembangan diri dan karir itu. Semakin baik kinerjanya, maka efek positif atau manfaat yang diperoleh akan langsung dirasakan oleh dirinya sendiri. Oleh si karyawan.

Dan sebagai sebuah kerja organisasi, maka kebaikan dan kemampuan kerja yang terus meningkat itu, pada akhirnya akan berimbas juga ke perusahaan.

Bagi saya, manajemen yang membuat "motto" itu sangat jenius. Ia berhasil mengulik "ego" yang pasti dimiliki setiap orang, yaitu ego untuk mengerjakan hal-hal yang menguntungkan bagi dirinya.

Dan ketika semua karyawan bersedia berbuat yang terbaik, maka perusahaan secara otomatis akan merasakan dampak positif yang luar biasa. Konsekuensinya, perusahaan harus benar-benar berkomitmen dan bisa menghargai setiap perkembangan kemampuan karyawannya tersebut.

Bagi SOHO, itu tentu tidak masalah, karena memang, penghargaan terhadap SDM merupakan salah satu fokus utama dalam pengembangan perusahaan. Mereka sangat memahami hal tersebut, dan benar-benar mengejawantahkannya di lapangan.

Simak saja wawancara SWA dengan Tan Eng Liang. "Kekuatan SOHO sebenarnya adalah manusianya," katanya.

"Saya meyakini, jika semua karyawan termotivasi, maka akan ada added value yang besar bagi perusahaan. Jadi, jika kami perhatikan mereka, maka mereka akan perhatikan kami. Jika mereka termotivasi, maka mereka akan bekerja lebih daripada yang dirasakan," lanjutnya.

Itulah kenapa, pertengahan Desember lalu, perusahaan memberi "kejutan" dengan membagikan 3,6 milyar rupiah, yang dibagi secara "mendadak" sebesar Rp 1 juta kepada masing-masing karyawan dalam acara family gathering di Arena Pekan Raya Jakarta, Kemayoran.

Ketika ditanya "judul" pemberian itu? Jawabnya adalah "Nggak ada judulnya. Pokoknya, kasih saja." Begitu kata Andreas Halim Djamwari.

Berbagai reward yang jelas bagi yang berprestasi, dilibatkannya karyawan dalam penetapan merek dagang --bahkan dilombakan antar karyawan--, tentu menumbuhkembangkan sense of belonging alias rasa memiliki karyawan terhadap perusahaan.

Hmm.. satu lagi sebuah sebuah tauladan yang baik bagi kita. Entah kita yang ada di perusahaan berorientasi laba, maupun nirlaba. Intinya, penghargaan terhadap SDM adalah mutlak adanya, dan hal itu sangat berpengaruh terhadap kinerja perusahaan.

Itu saja.


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://www.kingonsurya.com

NICHE


"Find your niche, so you find your place in the world." Temukan cerukmu, maka akan kau temukan tempatmu di dunia. *)

Hmm... pertanyaannya : pastikah selalu ada ceruk buat kita?

Pandangan optimis mengatakan : pasti ada!

Kenapa?
Karena sesungguhnya kita semua memiliki keunikan, perbedaan, kekhasan dan kemampuan masing-masing, di antara 50-an milyar penduduk bumi. Bukankah sepasang saudara kembar identik pun tetap memiliki perbedaan? Bukankah Anda belum pernah mendengar ada sidik jari yang sama dari sekian banyak data di rumah sakit maupun kepolisian di muka bumi ini?

Kemampuan, kekhasan, keunikan dan kepemilikan perbedaan itulah yang memungkinkan selalu adanya ceruk (niche) buat kita.

Butet Kertaradjasa berhasil dalam monolog-nya, karena ia mampu mendayagunakan bakat yang diberikan Tuhan kepadanya. Ia menjadi populer karena kepiawaiannya menirukan suara dan berbagai gaya tokoh nasional.

Safir Senduk berhasil menjadi leader dalam hal perencanaan keuangan, karena ia berhasil melihat niche dalam berbagai kasus masalah keuangan keluarga.

Purdie E Chandra berhasil menjadi pelopor "pemanfaatan otak kanan" dengan tips "nekat"-nya dalam berwirausaha.

Andi F Noya dan Wimar Witoelar sukses sebagai host and presenter karena kepandaiannya menyatukan pengetahuan, wawasan dan daya kritis serta kepemilikan empatinya terhadap sesama anak bangsa.

Itang Yunazs sukses memasarkan baju koko Preview-nya karena memiliki kemampuan melihat akan perlunya penampilan modis dan "alternatif" dari baju muslim kaum pria yang semula "begitu-begitu" saja.

George Crum di New York berhasil menjadi "dedengkot" dan pioneer keripik kentang dunia karena kemampuannya melihat peluang dari komplain pelanggannya.

Aa Gym pernah sukses sebagai pendakwah karena ia berhasil memberi "taste" yang berbeda dalam ceramah-ceramahnya. Membumi, dan sangat mendasar.

Dahlan Iskan berhasil menciptakan gurita media-nya di berbagai pelosok daerah dengan kejeliannya melihat kebutuhan masyarakat lokal akan berita ke-lokal-annya. Maka, dibuatnya "radar-radar" berita sebagai kepanjangan kaki gurita Jawa Pos Group.

Andrea Hirata dan Habbiburrahman El Shirazy sukses dalam debut-debut novelnya karena berhasil menawarkan hal yang berbeda di tengah kejenuhan materi sastra yang cenderung kurang edukatif dan religius.

Bicara musik rap tanah air, siapa yang bisa menafikan nama Iwa K? Tak lain karena ia yang berani menasbihkan dirinya sebagai rapper Indonesia, sebelum pada akhirnya diikuti banyak musisi lain.

Susi Air sukses dalam jasa penerbangan jarak pendek, karena mampu melihat celah peluang dari kebutuhan publik dalam industri penerbangan domestik.

Siapa yang tak kenal Ronny Pattinasarany? Rudy Hartono ataupun Susi Susanti? Chris John? Andrie Wongso dan Tung Desem Waringin? Bondan Winarno dengan "mak nyus"-nya? Tukul Arwana? Kaos Joger atau Dagadu Djogdja?

Mereka sukses karena mereka berhasil melihat ceruk, untuk kemudian kemudian mengisinya, menekuninya, melatih kemampuan di atasnya, terus disiplin mengembangkannya, berkomitmen dalam ke-jatuhbangun-annya, dan berusaha mem-publish-nya ke hadapan khalayak.

Bagaimana dengan kita?

Yang terjadi, seringkali kita melihat ceruk, tapi gamang dalam mengeksekusinya.

Pada akhirnya, ceruk itu diisi oleh orang lain, yang kemudian sukses, dan kita hanya bisa menjadi pengekor, atau bahkan sekedar penonton.

Betul, bahwa setiap orang membawa rejeki-nya masing-masing. Tapi, rejeki itu disiapkan oleh Tuhan di ujung perjalanan kita sehari-hari. Tuhan sudah menjatahnya untuk kita. Pertanyaannya, apakah kita mau berupaya untuk berjalan menuju ujung pencapaian itu? Bersediakah kita menjemput rejeki itu dengan melakukan apa yang disebut sebagai "usaha"?

Jika tidak, dengan kewenangan-Nya yang mutlak, bisa saja Tuhan memberikannya pada orang lain. Bukan kepada kita. Sebaliknya, sangat mungkin, Tuhan akan menambahkan rejeki kita, demi melihat kegigihan usaha kita.

So, niche selalu ada. Mari coba kita cari ceruk itu. Mari juga segera kita isi, dan segera akan kita temukan, tempat terbaik kita di dunia, sekaligus di hadapan Sang Pencipta, sebagai bentuk tanggung jawab kita sebagai manusia.


Salam,

Fajar S Pramono


*) dari artikel Saudara Andi Odang, di Majalah LuarBiasa No. 2, Februari 2009.

Ilustrasi : http://www.buraak.com

KEINGINAN 24 KARAT


Di status Facebook (Fb) saya kemarin Jum'at (13/02/09) --Friday the 13th, kata Safir Senduk di Fb juga-- saya menulis : "Fajar S seneng, tadi malem dapet beli dua buku terakhir Dahlan Iskan (CEO Jawa Pos Group). Ada yg suka tulisan beliau juga?"

Ya, saya memang senang dengan tulisan-tulisan Dahlan Iskan yang selalu kritis menyikapi kondisi. Ketika sekedar bercerita tentang pengalamannya pun, gaya pengisahannya membuat saya terhipnotis. Tak mau berhenti membacanya. Juga cara beliau "mengikat makna" dari apa yang dilihat dan dirasakan.

Dan, benar kan, baru halaman 4 dari buku "Menegakkan Akal Sehat", saya sudah menemukan insight baru, tentang "Keinginan 24 Karat akan Menghasilkan Emas".

Sebenarnya saya sudah pernah membaca artikel ini di Jawa Pos Online (www.jawapos.com). Tapi, begitulah saya, lebih cepat meresapkan tulisan verbal dalam bentuk buku or cetakan ketimbang dalam bentuk e-book ataupun e-paper.

Kembali ke topik, apa "Keinginan 24 Karat" itu?

Tak lain, keinginan yang sangat besar, yang bahkan sudah menjelma menjadi obsesi dan merasuk dalam emosi, untuk menggapai atau mendapatkan sesuatu. Dalam kadarnya yang 24 karat, maka upaya pemenuhan yang dilakukan akan dicobaupayakan semaksimal mungkin. Kalo belum mentok, belum berhenti.

Dahlan Iskan berkaca dari pengalaman sederhananya --lebih tepat keinginan sederhananya-- untuk sekedar makan ikan di sebuah retoran kecil bernama Handayani di Jalan Haji Hayun, Palu.

Sederhana, bukan? Pasti Anda akan menjawab : ya.

Tapi, kondisi sesungguhnya menjadi tidak sederhana manakala keinginan itu muncul di Bandara di Balikpapan, hanya karena tahu bahwa ada jadwal penerbangan ke Palu satu jam kemudian, terhitung dari waktu kedatangannya di Balikpapan dari Jakarta hari itu. Menjadi tidak sederhana manakala keinginan itu harus berkonsekuensi pada penundaan acara beliau di Balikpapan. Menjadi tidak sederhana karena beliau bersikukuh untuk menunda jadwal makan malam yang seharusnya sudah masuk "jatuh tempo", mengingat beliau tidak boleh telat makan sebagaimana kata dokter yang mengawal masa penyembuhan "sakit hati"-nya.

Menjadi tidak sederhana pula ketika pesawat Batavia Airlines yang terjadwal berangkat pukul 19.00, molor berulang kali hingga nantinya baru bisa take off pukul 21.30. Menjadi semakin tidak sederhana ketika semua itu berarti pesawat baru bisa mendarat di Palu pukul 22.20, dan mereka baru akan sampai ke restoran sekitar pukul 23.00. Jam di mana restoran itu sendiri sudah tiba pada jadwal menutup pintunya.

Tapi, Dahlan Iskan mengaku, keinginannya sangat tinggi. 24 karat. Karenanya, dalam kurun waktu itu, ia --dibantu teman-temannya-- melakukan segala sesuatu yang memungkinkan keinginan tokoh pers ini terwujud. Mulai dari menelpon teman di Palu supaya bersedia merayu sang pemilik restoran agar tidak menutup pintu sampai rombongannya datang, meminta kesediaan pemilik restoran untuk tetap mau memasak di tengah keletihannnya menjelang tengah malam, juga memonitor kondisi kesehatan Dahlan Iskan lantaran kenekatannya menahan lapar sampai lewat beberapa jam dari jadwal yang seharusnya.

Dan, inilah yang didapat Dahlan Iskan : Restoran Handayani menunggunya. Bahkan, lantaran sempat "heboh", rencana kedatangannya diketahui beberapa koleganya di Palu, yang kemudian ikut bergabung makan. Akhirnya, malam itu berakhir "happy ending". Makan ikan keturutan, kenikmatan ter-reguk, kondisi kesehatan tak terganggu, bertemu teman-teman yang menyenangkan, yang bahkan sempat berkolaborasi dengan pemilik restoran dalam memasak sebuah menu spesial, dan pada akhirnya jadi bisa menengok progress pembangunan Gedung Graha Pena Palu milik Jawapos Group.

Dahlan Iskan sangat puas. Sangat menikmati hasilnya. Ia merasa "sukses".

Dalam istilah Dahlan : itulah buah dari keinginannya yang 24 karat. Dengan kadar karat maksimal itu, maka yang didapatkannya adalah emas murni. Benar-benar emas.

Maka, ia mengatakan : siapa saja yang punya keinginan, sebaiknya ditanyakan dulu ke dirinya sendiri. Berapa karatkah keinginannya itu? 18 karat? 20 karat? 22 karat? Atau, 24 karat?

Masing-masing karat akan menentukan derajat kesuksesannya.

Ia mencontohkan, jika keinginannya hanya 18 karat, pasti ia sudah akan tergoda oleh lapar di Balikpapan, dan akhirnya "menyerah" dengan makan malam di sana. Apalagi menurutnya, baru saja dibuka cabang rumah makan masakan Tiuchu, restoran favoritnya di Pontianak.

So, menurut akal sehatnya, keinginan yang 24 karat-lah, yang akan benar-benar menghasilkan emas. Kalau ada orang ingin memperoleh sukses terbesar, tapi kadar keinginannya hanya 18 karat, di mana letak akal sehatnya?

Dan, saya setuju dengannya.


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://www.businesspundit.com

KETERGANTUNGAN


Jelas, tak hanya obat-obatan atawa zat adiktif lainnya yang bikin kita ketergantungan.
Barang-barang sekunder, bahkan tersier atau er-er yang lain, banyak yang menciptakan ketergantungan kita atasnya.

Handphone adalah satu contoh yang jelas.

Malem Minggu lalu, waktu kami main ke Bandung dengan teman-teman di kantor, baterai hp saya habis. Abis bis. Sama sekali nggak nyala. Waktu itu pukul 11-an malam. Kurang sedikit lah.

Kebetulan, saat itu kami baru selesai dari bersantap malam dan mengadakan malam kebersamaan di Sierra Cafe. Di tengah perjalanan pulang ke Grand Seriti, saya teringat, satu tas saya ketinggalan di sana. Blaik! Itu tas isinya perlengkapan penting "panitia" je...

Mau nelpon dan minta tolong EO yang setau saya mungkin masih di lokasi, hp sudah off. Mau nelpon temen lain yang punya nomor sang EO, saya tak bisa melihat nomor kontaknya. Karena itu tadi, hp sudah sama sekali nggak nyala.

Mau balik kucing, saya pasti akan kehilangan "guide" jalanan Bandung, karena memang sejak awal ke Bandung, saya hanya pasrah nguntit rombongan kantor yang pake bis besar.

Beberapa saat, saya seolah nggak bisa mikir. Bener! Hanya karena sesuatu yang tampaknya "remeh" seperti itu. Bukankah saya bisa tetap balik ke Sierra, dan masalah tas bisa segera beres?

Masalah bingung di jalan? Bukankah masih banyak tempat bertanya di sepanjang jalan? Atau nanya dengan orang Sierra.

Entah kenapa, mungkin karena kebiasaan praktis dan "gampang", otak ini jadi malas berpikir. Bebal. Nggak kreatif.

Padahal, jaman dulu saya yakin, jika hal persis seperti itu terjadi, saya nggak akan sebingung itu. Biasa-biasa aja lah. Otak akan kreatif mencari ide or solusi, dan tak perlu muncul kepanikan seperti yang saya alami waktu itu.

Dulu, mencari seseorang, bahkan melakukan apa saja, tetap bisa beres meski teknologi belum semaju sekarang. Tapi, "gara-gara" teknologi pula, kita sekarang merasa tak bisa kerja jika sang teknologi tidak tersedia di hadapan kita.

Mau ngetik, alasan : printer-nya ngadat! Lhah, dulu, tak ada masalah kan, menggunakan mesin tik manual?

Mau pergi, nggak ada mobil. Motor lagi dipakai istri. Lha dulu? Bukannya sangat biasa naik metro mini?

Di rumah, bersama keluarga, tivi rusak, "Kok nggak enak banget sih?". Lha dulu, waktu kecil, nggak ada tivi pun oke-oke saja tuh...

Rupanya, kita sendiri yang menciptakan ketergantungan itu. Kita mulai terbiasa "meninggalkan" sebuah kebiasaan lama, dalam konteks ekstrim : menghilangkannya sebagai kemungkinan solusi yang sesungguhnya masih sangat baik dan bijak. Padahal, kebiasaan lama itulah yang pada suatu ketika bisa "menyelamatkan" kita, manakala teknologi sedang tak bersama kita.

Ketergantungan, dalam tarafnya yang tinggi, memang tidak baik. Ia bisa membuat kita tak lagi kreatif. Otak menjadi "tumpul" dan miskin solusi.

***

Pada sisi perenungan yang lain, saya membayangkan, di kantor kita, di kehidupan keluarga, di kampung, di komunitas, dan sebagainya, mungkinkah kita menjadi sang teknologi itu? Artinya, mungkinkah kita bisa membuat lingkungan kita tergantung pada keberadaan kita?

Jika bisa, ada poin positif. Yakni, pengakuan akan eksistensi kita. Ada penghargaan untuk kita, dan ada bukti bahwa kita memang dibutuhkan di sana. Ini mungkin satu sisi yang "menyenangkan". Kontribusi kita dirasakan perannya.

Saya bahkan pernah menerima "wejangan" dari sebuah bacaan, bahwa kita harus berusaha menjadi "gantungan" bagi lingkungan kita. Jika pingin menjadi pekerja berharga mahal, maka ciptakan kebergantungan kantor pada kita. Jika pingin menjadi the best player di lapangan bola, asah terus kemampuan pribadi dalam menggocek bola dan membuat gol, agar klub kita senantiasa membutuhkan kita.

Saya tidak sepenuhnya sependapat dengan "wejangan" itu. Itu bagus, tapi egoistis. Bagi saya, pekerja yang baik adalah pekerja yang memang sangat kredibel melaksanakan tugasnya, bisa memuaskan kebutuhan organisasi, tapi di sisi lain juga sangat ikhlas berbagi kemampuan dan bisa bekerja sama dengan baik dengan pekerja dan komponen kerja yang lain. Bahkan tak hanya itu : bisa ikut mengembangkan orang lain. Toh, selain kegiatan privat, nyaris tak ada pekerjaan yang dari hulu ke hilir bisa dilakukan "sorangan bae". Sendirian saja. Kita tetap butuh teman. Kita tetap butuh orang lain...

So, dalam konteks organisasi, ada (bahkan bisa jadi lebih banyak) poin negatifnya. Penciptaan ketergantungan kepada seseorang seperti ini berakibat sangat tidak baik. Karena, pada prinsipnya, ketidakberadaan seseorang tidak boleh menjadi alasan bagi organisasi itu untuk bubar jalan. Ia harus tetap bisa berjalan dengan baik. Siapapun yang berada di dalamnya.

Karena itu, dalam sebuah organisasi, kantor, keluarga, komunitas, lingkungan tempat tinggal, harus ada sebuah sistem. Keberadaan sistem inilah yang memastikan semuanya akan terus berjalan, siapapun pelaksana sistem tersebut. Catatannya hanya satu : kualitas dan hasil kerja, memang menjadi taruhannya. Artinya, dengan pelaksana yang berbeda, bisa menciptakan hasil yang berlainan. Namun, semakin baik sistem yang diciptakan, semakin standar juga hasil yang bisa digapai.

Sebaliknya, kita juga jangan membiasakan diri tergantung pada seseorang, atau pada sebuah instrumen alat tertentu dalam menyelesaikan suatu pekerjaan dan dalam mencapai sebuah tujuan. Kecuali kita dalam kondisi sakit, anfal, atau kondisi force majour lainnya.

So, pupuk terus kreatifitas, tanpa harus melupakan "cara-cara dan kebiasaan lama" yang mungkin suatu ketika bisa menjadi jalan keluar terbaik. Biasakan juga untuk tidak tergantung pada satu personil ataupun instrumen apapun dalam kehidupan ini, kecuali pada "gantungan terbaik" kita : siapa lagi kalau bukan Tuhan kita yang Maha Segala itu.

Setuju?


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : "blog-addict", from http://www.blogohblog.com

MELATIH MENTAL


Kapan sebenarnya, atau kapan sih, momen paling efektif bagi kita untuk melatih sebuah mental tertentu? Misalnya, mental bertanding, mental juara, mental untuk tampil dengan percaya diri?

Jawabnya : pada saat orang itu ikut bertanding. Pada saat individu itu terus menapak ke tangga juara. Pada saat orang-orang itu mencoba untuk benar-benar melakukan action di sebuah forum or pertunjukan.

Ya. Tanpa ikut bertanding, tanpa berani menapakkan langkah dari hulu ke hilir juara, tanpa keberanian untuk mulai mencoba, maka mental itu akan sulit terbentuk.

Melatih mental tanpa melakukan action sebagai tindak lanjutnya, sama saja belajar berenang tanpa pernah nyebur ke kolam. Persis sama dengan belajar pede dari sekolah kepribadian tanpa pernah tampil di muka umum.

Kalau seperti itu, kapan konstruksi mental yang diinginkan bisa benar-benar terwujud?

Semalam, saya meyakini telah terjadi perubahan mental dari teman-teman satu tim saya di kantor. Bukan urusan pekerjaan, tapi urusan untuk tampil menghibur di depan audience.

Ceritanya, ada kesempatan untuk menampilkan kebisaan atau atraksi atau apapun, dalam sebuah malam kebersamaan. Waktu yang hanya dua hari pasca pemberitahuan --di tengah tumpukan pekerjaan, efektifnya bahkan hanya dua jam!-- untuk latihan, sempat membuat kawan-kawan tampak bingung. Belum yakin dengan apa yang akan ditampilkan.

Saya, atau tepatnya antar kami, terus memompa keberanian, karena memang pada akhirnya kami sepakat untuk tampil "gila". All out, yang tentu berbeda sekali dengan "karakter" keseharian kami yang seringkali harus tampil serius, dengan dahi yang berkerut.

Sempat tidak pede, dan bahkan teman-teman belum bisa membayangkan seperti apa mereka nanti di pentas. Saya bilang, kita are the best! Kita paling siap, dan pasti akan tampil baik sesuai rencana.

Benarlah. Eng ing eeeng.... jreng! Tampillah kami malam tadi. Dengan bekal pede yang sudah mulai merasuk, kami benar-benar tampil all out. Hasilnya? Luar biasa! Kami dinilai tampil paling baik, dan menang! Alhamdulillah....

Tapi bukan itu. Yang penting saya ceritakan adalah, bahwa saya melihat sebuah perubahan besar terhadap teman-teman. Yang semula nggak yakin bisa tampil baik, menjadi yakin. Yang semula merasa kurang pedhe, jadi sangat pede. Yang semula deg-degan dan khawatir akan kesuksesan, menjadi percaya dan mantap bahwa "kita memang bisa!". "Penghargaan" berupa kemenangan dan antusiasme audience membuktikan semua itu.

Keyakinan, kepercayaan diri dan ketetapan hati bahwa "kita memang bisa!" tadi saya yakini tak akan muncul secepat dan seefektif itu terbentuknya, jika kami tak berani untuk mulai mencoba. Kalau hanya membayangkan di atas kertas atau di dalam benak, saya tak yakin mental itu akan terlatih.

Saya bahkan yakin, setelah ini, semua personel akan berubah menjadi sangat pede jika ada permintaan tampil. Tak ada malu-malu yang kontraproduktif lagi. Tak ada ragu-ragu bahwa mereka bisa berbuat yang terbaik.

Semoga semua itu merasuk ke kepercayaan diri dalam bekerja. Amien.

Dan itu, memang pe-er buat kami.


Salam,

Fajar S Pramono


--Thanks to Ricky Andriano yang sangat mendukung kami dalam "latihan mental" ini. You're the best, Rick!--


Ilustrasi : http://kiatpenjualan.com

LUNA MAYA MARAH!


Luna Maya marah!

Lantas, kenapa?

Ya itulah. Itu juga yang menjadi pertanyaan dalam hati saya. Kalau seseorang marah --entah itu pejabat, selebriti, manusia biasa ataupun gembel (maaf) sekalipun--, bukankah itu hal biasa? Bukankah itu manusiawi?

Lantas, kenapa musti jadi berita? Di mana nilai beritanya?

Ah, kalau ada Budiman Hakim di sebelah saya, dan bersama saya ngomongin soal berita infotainment ini, pasti dia akan berkomentar sebagaimana ia tulis dalam buku terbarunya, Sex After Dugem; Catatan Seorang Copywriter :

"Saya nggak pernah ngerti, kenapa orang bisa mencari uang dengan cara begitu ya? Kalo beritanya tentang perkembangan karir atau tentang profesinya si artis sih gak masalah. Atau kalo memberitakan selebriti itu ketangkep karena narkoba juga ok. Ada celeb yang berbuat kriminal juga masih boleh dipublikasikan. Tapi sebagian besar berita infotainment ini memasuki wilayah privasi para public figure itu. Bahkan nyari beritanya maksa dan cenderung neror banget lagi. Ada yang camping di depan rumah si artis segala. Ada yang ngegebrak mobil si selebriti kalo mereka nggak mau ngasih info. Biadab banget ya?

Harusnya kan ada kode etik untuk menghormati kehidupan pribadi orang lain. Kok tega banget ngorek-ngorek borok orang terus disebarkan ke khalayak ramai? Kan gak enak nerima gaji tiap bulan dari hasil menyebarkan aib orang lain? Masa tega sih ngasih makan anak bini kita dari uang hasil kerja seperti itu?"

Itu kata Budiman --yang notabene orang iklan dan akrab dengan artis sekaligus dekat dengan wartawan-- di halaman 189.

Demi melihat "kasus" Luna Maya marah, lihatlah bagaimana sang pemburu berita itu meneror Luna. Tak memberi space sedikitpun bagi Luna untuk "bernafas". Tak ada lagi ruang privat dalam hidup selebriti. Padahal, menikmati ruang privat adalah hak setiap orang, bukan?

Setelahnya, infotainment lantas berulang kali memberitakan tanpa mendalami kembali penyebab marahnya. Ah, Budiman pasti juga akan nyolot seperti tulisannya di halaman 192 :

"Nah, gimana menurut kalian? Kampungan banget kan gosipnya? Masa gitu-gituan jadi berita? Katanya wartawan? Katanya udah resmi jadi anggota PWI? Masa bikin berita kayak gitu? Mana news valuenya? Tolol banget ga sih?"

Saya setuju. Terutama dengan ketiadaan news value-nya.

Maka, menjadi tolol juga kalau posting ini hanya cerita soal Luna Maya yang emosi, kemudian marah. Hehe...

Supaya nggak berubah jadi "postingan tolol", bagaimana kalau saya ajak Anda untuk menengok salah satu salah kaprah dari pengertian emosi? Mau aja ya? :)

Sebenarnya, emosi adalah sesuatu yang bisa kita kendalikan. Ia berada di wilayah yang bisa kita kuasai, seberapapun besarnya pengaruh dari luar diri kita. Meskipun, tetaplah manusiawi jika pada suatu ketika kita "tergoda" untuk emosi, dan kemudian marah.

Bicara tentang pengelolaan emosi, maka buku Emotional Quality Management dari Anthony Dio Martin adalah salah satu buku terbaik, selain Emotional Spiritual Quotient (ESQ)-nya Ary Ginanjar Gustian tentunya.

Salah satu salah kaprah dari pengertian emosi adalah, dimengertinya "emosi" sebagai padanan kata "marah". Luna Maya emosi! Luna Maya marah!

Padahal, marah itu hanya salah satu dari ribuan jenis emosi. "Emosi" sendiri sebenarnya berarti "penuh perasaan." Karenanya, emosi itu tidak melulu adalah persoalan yang jelek. Emosi bisa juga menjadi sesuatu yang baik. Dalam bahasa Anthony Dio Martin, lebih tepat dikatakan, ada "emosi yang menyenangkan" dan ada "emosi yang tidak menyenangkan."

"Emosi pada dasarnya adalah kondisi yang netral. Emosi 'baru' menjadi negatif atau positif tergantung kepada akibat yang ditimbulkannya," kata Anthony.

Ia mencontohkan rasa emosi berupa rasa iri. Jika fakta yang menyebabkan iri ditanggapi sebagai "ancaman", sehingga si peng-iri lantas menjelek-jelekkan atau bahkan memfitnah orang yang di-iri-kan, itu berarti emosi yang negatif. Tapi, kalau rasa iri itu berubah menjadi semangat untuk mengatakan "Ya, aku juga pasti bisa seperti dia!" lalu diikuti perbaikan diri, maka ia adalah emosi yang positif.

So, sekali lagi, emosi itu sebenarnya netral.

Nah, pe-er bagi kita sebenarnya adalah pengendalian itu. Bagaimana rasa iri, rasa sedih, rasa senang, rasa jengkel, rasa bersalah, rasa marah, rasa kare ayam, rasa baso sapi, rasa ayam bawang.. (eh, tiga yang terakhir ini bukan! Itu rasa salah satu merk mie instan.. hehe), dan sebagainya itu wajar adanya. Lha wong sejak bayi saja kita sudah dibekali tiga macam emosi dasar kok : takut, marah dan senang.

So, kepemilikan emosi bagi seorang Luna Maya ataupun Fajar S Pramono adalah wajar. Tinggal bagaimana menyikapinya, yang biasanya akan terwujud dalam tindakan nyata berikutnya.

Luna Maya memang lepas kendali. Tidak bisa mengontrol emosinya waktu itu. Maka, marahlah ia.

Lain dengan saya. Kalau saya jadi Luna Maya waktu itu (nggak mungkin banget ya? hihihi...), dan dengan bekal ilmu dan kemampuan seputar pengelolaan emosi, saya pastikan..., saya jamin..., saya lebih kalap dari dia, dan saya pastikan salah satu dari wartawan itu sudah kena tonjok tangan kanan atau kena tendang kaki kanan saya! Hahaha....

Lebih parah ternyata.... Tapi, itulah saya. :)


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : (jelas bukan) Luna Maya; dari http://gintingripka.wordpress.com

BUKAN REMEH BUKAN TEMEH


Entah kenapa, terngiang kembali kata-kata Miguel Cruzatta yang dicukil Ippho Santosa dalam bukunya, 13 Wasiat Terlarang; Dahsyat dengan Otak Kanan. Mungkin karena perut yang sakit, yang membuat udara dalam perut berputar-putar, kembung angin, dan seolah ingin kentut (maaf...), tapi nggak keluar.

Begini kata Miguel Cruzatta :
"Sopan-santun itu bagai udara di dalam ban. Harganya murah, namun bisa membuat perjalanan menjadi lebih nyaman."

Bukan soal udaranya, yang kebetulan berhubungan dengan masalah dalam perut saya. Tapi soal sesuatu yang "murah meriah", yang seringkali kita remeh-temehkan, tapi sesungguhnya sangat bermanfaat bagi kita.

Udara untuk bernafas? Jelas. Air untuk mandi, minum dan segala aktivitas keseharian? Jelas juga. Mereka itulah yang sering disebut barang non ekonomis, karena sesungguhnya sudah disediakan oleh alam dalam kadarnya yang berlimpah, tapi pada akhirnya menjadi barang ekonomis di jaman sekarang.

Mau beli O2 dalam tabung? Bayar dong....
Mau minum yang menyehatkan? Air mineral? Uangnya dulu dong....
Mau mandi air bersih di Gunungkidul? Ongkos angkutnya dong....

Ketika banyak tersedia, unsur-unsur itu seringkali dipandang sebelah mata. Pas di permukaan bumi, oksigen tak jadi masalah. Pas ke pabrik yang polutif? Ketika di pesawat terbang yang terus meninggi? Hmmm... pasti oksigen menjadi kebutuhan yang mahal harganya.

Itu yang menyangkut barang non ekonomis.

Kentut tadi itu sendiri? Wah, di hari-hari "normal", kehadirannya dicaci maki! Dijauhi, disingkirkan dari kerumunan, dikucilkan! :)

Tapi, pas sakit kayak begini, hmmm... betapa saya merindukannya! :D

Itu pula sebabnya, saya sering memelesetkan lagu Doel Sumbang (judulnya lupa), yang berbunyi, "Cinta itu anugerah, maka berbahagialah...", menjadi "Kentut itu anugerah, maka berbahagialah..." ketika saya diprotes anggota keluarga karena menghadirkan "tamu istimewa" itu.

Kemudian, yang menyangkut barang-barang fisik sehari-hari? Anak saya yang cewek, hampir selalu membeli setengah lusin atau bahkan selusin karet pengikat rambut ketika jalan-jalan Sabtu atau Minggu. Karet itu digunakannya sebagai kelengkapan alat mandi, agar rambutnya tak ikut basah. Ia memang dibiasakan untuk tidak membasahi rambut, kecuali ketika harus keramas.

Tapi, hampir di tiap pagi atau sore, saat si cewek ini harus mandi, ia selalu berteriak, gedubrak gedubruk mencari karetnya. Dan... memang jarang ketemu! Hehe... Akhirnya, ritual membeli karet menjadi suatu kebiasaan mingguan.

Memang murah, tapi kok ya membuat heboh jika ia tak ada ya?

Masih banyak contoh, yang pasti bisa membuat blog ini penuh hanya dengan menampilkannya. Sandal jepit di kantor, tas kresek di rumah, tusuk gigi di meja makan(wah, tanpa ini hidup saya kehilangan kenyamanannya! Thanks to penemunya....), sapu tangan di saku celana, semua itu contoh barang yang mungkin dibilang "remeh temeh" bagi sebagian orang, tapi sangat berarti bagi saya! Anda pasti punya contoh sendiri-sendiri.

Pertanyaannya : kenapa sih, ada sesuatu --juga seseorang-- yang seringkali kita anggap remeh temeh, padahal pada saat tertentu, ketiadaannya mampu mengurangi kadar kenyamanan, dan bahkan kebahagiaan kita?

Pelajarannya : semua unsur, semua barang, dan semua orang sesungguhnya mempunyai peran masing-masing. Bahkan yang haram, makruh, negatif, merusak sekalipun. Ingat, daging babi menjadi boleh dimakan ketika kriteria force majour versi Al-Qur'an menemukan kualifikasinya. Obat-obatan dan bahan kimia terlarang, bisa menjadi obat manakala digunakan secara tepat sesuai kaidah kedokteran. Yakinlah, Tuhan menciptakannya bukan tanpa guna. Hanya kita, bisa mendayagunakannya secara tepat atau tidak. Secara halal atau tidak.

So sekali lagi, jangan pernah remeh dan temehkan apapun dan siapapun. OK?


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://www2.kompas.com