Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

KEBAHAGIAAN


--Apakah kita tidak bahagia dalam menjalani hidup ini?--

Minggu lalu, seorang kawan menawarkan sebuah "alat" untuk menge-test perasaan : Apakah Anda Bahagia dengan Hidup Saat Ini? Anda bisa lihat di http://roniyuzirman.blogspot.com/2008/12/tes-apakah-anda-bahagia-dengan-hidup.html. Isinya tentang "tantangan" untuk menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan Robert Holden, di mana skor akhirnya akan menunjukkan apakah Anda masuk kepada kategori
"tidak puas pada kehidupan saat ini", "tidak menikmati kehidupan saat ini", atau memang sudah "puas dan bahagia dengan kehidupan saat ini".

--Apakah kita tidak bahagia dalam menjalani hidup ini?--

Minggu lalu juga (Jum'at 26/12/08), Prof. Dr. Komaruddin Hidayat --Rektor UIN Syarif Hidayatullah-- menulis di Harian SINDO : The Art of Happiness. Berkisah bahwa untuk bahagia, diperlukan sebuah ketrampilan dan penghayatan seni. Ketrampilan dan seni untuk merangkai dan memaknai potongan serta aktivitas kita sehari-hari dengan kecerdasan, kejujuran pada diri sendiri, serta kreativitas untuk menggubah hal-hal yang tampaknya kecil agar menjadi besar dan bermakna.

--Apakah kita tidak bahagia dalam menjalani hidup ini?--

Minggu lalu juga (Sabtu 27/12/08), Agung Adiprasetyo --CEO Kompas Gramedia-- menulis dalam kolom Kopi Sabtu Pagi-nya di Harian KONTAN, tentang : Memburu Kebahagiaan. Sebuah renungan yang diawali dengan sitiran kalimat dalam film The Pursuit of Happyness --sebuah pengisahan hidup seorang Christopher Gardner, seorang tuna wisma dan single parents yang berjuang dalam hidup bersama anaknya hingga berhasil menjadi jutawan dan CEO sebuah perusahaan stockbroker ternama di Amerika--, "Tuhan, jangan singkirkan gunung di hadapanku, tetapi berilah jalan dan kekuatan untuk melewatinya."

Di uraian selanjutnya, Agung mengingatkan, bahwa kebahagiaan, sesungguhnya memang adalah cara pandang. Cara pandang terhadap sebuah masalah. Sebuah persoalan. Lebih tepatnya lagi, sebuah fakta. Ketika melihat di sebuah gang becek beraroma selokan sekelompok pria berjoget sepenuh hati dengan mata yang merem-melek mengikuti alunan musik dari sebuah sound system di atas sebuah gerobak dangdut keliling, bisa diyakini mereka sedang sangat berbahagia.

Sebaliknya, banyak orang merasa tidak bahagia karena senantiasa khawatir. Khawatir akan kehilangan. Ya kehilangan kenikmatan duduk di first class pesawat terbang terbaik, kehilangan kenikmatan dilayani oleh banyak pembantu, takut kehilangan kemewahan gaya hidup, kesempatan makan enak, dan sebagainya. Kekhawatiran itu yang menciptakan rasa tidak bahagia.

Karenanya, di akhir tulisan Agung menulis : banyak orang memburu kebahagiaan di tempat-tempat yang "jauh". Padahal jangan-jangan, semua tergantung apa yang ada di dalam hati kita. Hati, yang tentunya amat sangat dekat sekali dengan kita. Bahkan "di dalam kita".

Saya mengamini pandangan Agung ini. Juga Pak Komaruddin, yang berkisah tentang bagaimana sebuah gitar menciptakan kebahagiaan (dan juga ketidakbahagiaan) bagi lima orang berbeda yang menerimanya. Juga epilog posting Uda Roni di atas : bahwa kebahagiaan dunia akhirat lah tujuan utama kita. Semua yang coba kira raih sesungguhnya hanyalah alat, sarana untuk mencapai kebahagiaan itu. "Dan, luar biasanya, ternyata kita bisa berbahagia saat ini juga, tidak perlu besok. Tidak perlu harus punya mobil Alphard dan rumah di Pondok Indah. Tidak perlu harus punya cabang sekian atau omzet sekian," tulis Uda.

Ya. Pertanyaan pertama saya memang : Apakah kita tidak bahagia dalam menjalani hidup ini?

Jangan-jangan iya. Buktinya, banyak orang yang menulis tentang "perburuan" kebahagiaan ini. Buktinya, banyak juga yang membacanya, termasuk saya.

Saya jadi ingat, saya punya beberapa koleksi buku tentang inspirasi kebahagiaan ini. Ada The Art of Happines at Work, karya inspiratif dari Dalai Lama yang bekerja sama dengan Howard C. Cutler, M.D. Ada juga buku The Pursuit of Happyness, versi lain media dari kisah Chris Gardner., yang ditulis bersama Quincy Troupe. Dan tentu saja yang terbaru : The 7 Laws of Happiness dari Arvan Pradiansyah. Saya sangat yakin, masih ada beberapa buku lain yang berkisah khusus tentang "perburuan" ini.

Pertanyaannya kemudian, dengan menengok kepada diri saya sendiri adalah : Sesungguhnya kebahagiaan sudah dimiliki banyak orang, hanya mereka belum bisa "menemukan" cara memetiknya. Begitukah?

Ya. Karena ternyata, seperti kata Uda Roni, Agung Adiprasetyo dan Pak Komaruddin Hidayat --juga Arvan dan Dalai Lama--, bahwa kita hanya "salah memandang". Salah memaknai. Banyak sumber kebahagiaan yang ada di sekitar kita, bahkan melekat pada kita, namun kita tidak bisa menyadari dan menemukannya, karena belum tahun "rahasia" itu.

So, buku-buku dan tulisan itu memang perlu dibuat, untuk memberi tahu kepada kita "rahasia perburuan" ini. Jangan sampai, kita merasa lelah berburu --bahkan akhirnya berujung keputusasaan--, namun tetap saja tidak mendapatkan sang kebahagiaan itu. Semoga kita terhindar dari yang demikian ini.

Analogkan kata "indah" dengan kata "bahagia" pada quote John Cage ini :

"Pertanyaan pertama yang saya tanyakan kepada diri sendiri saat sesuatu tidak terlihat indah (=bahagia)adalah : mengapa saya merasa hal itu tidak indah (=membahagiakan). Dan saya akan segera menemukan bahwa alasannya tidak ada."

Tak ada alasan memang, untuk tidak berbahagia. Karena kuncinya adalah kesyukuran. Mensyukuri apa yang ada di hadapan kita.

Tapi ingat, "mensyukuri keadaan" berbeda dengan "merasa puas". Jika kepuasan yang Anda cari, maka hakikat manusia yang tidak pernah puas yang akan menjawabnya. Hasilnya? Anda tidak akan pernah bersyukur.

Mensyukuri keadaan, mensyukuri nikmat, tidak berarti menghentikan usaha pencapaian yang lebih tinggi. Ini yang perlu kita ingat bersama.

"Dua orang menatap keluar dari jeruji yang sama : yang seorang melihat lumpur dan yang lain melihat bintang." (Frederick Langbridge).

Kalimat inspiratif ini juga tidak hanya cocok untuk menggambarkan sebuah optimisme ataupun pikiran positif. Ia juga menyiratkan sebuah esensi, bahwa persepsi orang, tergantung dari cara memandangnya.

Dan saya menetapkan tekad, bahwa saya akan tetap memandang berbagai kondisi melalui sudut pandang kesyukuran, yang saya yakini akan senantiasa membahagiakan.

Jadi, sekali lagi, apakah kebahagiaan perlu kita buru di tempat yang jauh?


Salam perenungan,

Fajar S Pramono

RYAN FARRINGTON : AKU HARUS BERGEGAS....


Catatan awal : kalau saya sering menyebut nama buku atau nama majalah sebagai sumber inspirasi, yakinlah ini bukan pesan sponsor. :) Hanya karena hobi membaca lah, yang menempatkan literasi sebagai sumber ide, sumber motivasi, sumber pemahaman baru, dan sumber introspeksi.

Termasuk juga untuk posting kali ini.

Saya tidak menyarankan Anda membeli buku atau majalahnya, tapi hanya menganjurkan Anda untuk membacanya. Ya, sekedar membacanya. Buku atau majalahnya boleh pinjem. Boleh liat di internet, kalau ada. Boleh juga sekedar ngintip di toko buku atau di kios koran dan majalah.

***

Adalah Ryan Farrington, yang menjadi tempat berkaca kali ini. Dan adalah Reader's Digest Indonesia edisi Januari 2009, sumber inspirasinya.

Bacalah sendiri, karena saya tak akan bisa menceritakan kisah Ryan sebagaimana Robert Kiener --penulis artikel itu-- berkisah.

Ryan Farrington adalah seorang pemuda Birmingham, Inggris. Saat ini, usianya 19 tahun. Dan ia adalah salah satu dari 10 pelari terbaik Inggris saat ini di kelompok umurnya.

Sekilas, tak ada yang istimewa. Seorang pemuda berprestasi, itu hal yang wajar. Namun, tahukah Anda bahwa Ryan sesungguhnya adalah seorang penderita distonia?

Apa itu distonia?

Distonia adalah sebuah penyakit langka, dengan gejala dan reaksi layaknya penderita penyakit parkinson. Ia tidak hanya tak mampu mengendalikan gerak tubuhnya ketika penyakit itu menyerang, namun bahkan memberikan efek sakit yang luar biasa kepada obyek yang diserangnya.

Dalam sebuah kesempatan, Ryan menulis dalam buku hariannya, "Rasa sakitnya seperti disengat listrik tegangan tinggi. Seakan aku dihunjam pisau. Aku terus menyembunyikan rasa sakit itu karena ketakutan, malu dan frustasi."

Berdasarkan keterangan ahli, rasa sakit itu memang akan terus meningkat seiring peningkatan umurnya. Dan yang lebih parah, disinyalir belum ada obat untuk menyembuhkan penyakit itu.

Jangankan obat. Penyebab munculnya penyakit itu pun belum jelas diketahui. Dugaan para peneliti, ia merupakan akibat kondisi abnormal di basal ganglia, yakni bagian dari otak yang berfungsi layaknya "papan sirkuit" yang memproses berbagai perintah untuk mengontrol gerak tubuh.

Dalam ketidakberdayaannya mengendalikan gerak tubuh itulah, maka Ryan pernah ditemukan keluarganya sedang terkapar di tengah trotoar, tanpa daya dan bahkan kesakitan. Tiba-tiba kakinya tak bisa digerakkan. "Rasanya sakiiiit sekali," ujar Ryan kecil --saat itu usianya 9 tahun-- merintih. Ia pun tak kuat lagi berdiri.

Di rumah pun, tak jarang orang tuanya dikejutkan oleh teriakan Ryan yang tiba-tiba menjadi "lumpuh". Tak berdaya sama sekali. Suatu ketika ia ditemukan tertelungkup di lantai, dengan otot-otot punggung yang tertarik karena kejang hebat. Digambarkan, seolah ada beberapa ulat kecil yang sedang merayapi dan membelit tubuh Ryan.

Sakit itu bisa berumur hanya dua minggu, tapi tak jarang justru lebih beberapa minggu lagi. Sebuah masa yang hampir selalu sama dengan "masa sehat"-nya. Dan ketika penyakit itu muncul, ia memang "terpaksa" menjadi orang yang seolah cacat : memakai kursi roda, dan harus mendapat bantuan pihak ketiga untuk beraktivitas.

Ketika berkonsultsi dengan dokter, Ryan dan ibunya justru dihadapkan pada kemungkinan kelumpuhan otak, yang secara otomatis mengakibatkan kelumpuhan fisik. Menurut sang dokter, ada cara untuk membuat tulang belakangnya tidak merasakan sakit lagi, yakni dengan membuat syarafnya mati rasa. Tetapi konsekuensinya, kedua kakinya tidak bisa dipergunakan lagi. Ryan harus memakai kursi roda seumur hidupnya, kata dokter itu. Dan bagi Ryan dan ibunya, itu adalah, "Tidaaaak...!!!"

***

Namun, lihatlah kebesaran Tuhan, dan saksikanlah kebesaran tekad. Tubuh Ryan memang bisa lumpuh karena distonia, namun tidak dengan tekadnya.

Adalah Samantha Butts, seorang fisioterapis di klinik rehabilitasi Manor Hospital, yang mampu memberi kepercayaan diri luar biasa kepada Ryan. Waktu itu ia berumur 13 tahun. Tahun 2002. Samantha lah yang selalu mengatakan, "Kau bisa melakukannya. Aku tahu kamu pasti bisa."

Mulailah Ryan belajar berjalan di papan keseimbangan, berpegang dua tangan pada besi tumpuan, untuk kemudian bisa berlari di treadmill! Sampai suatu ketika, saat umur Ryan menunjuk angka 15, ia mendapat kesempatan untuk menjadi murid Frank Gardner. Seorang pelatih atletik di klub Birchfield Harriers.

Dari pengalamannya melatih ribuan anak, ia meyakini ada yang istimewa dalam diri Ryan. Dan sejak awal bertemu Ryan, ia bisa melihat "keistimewaan" itu : "nyala api" yang berkobar di matanya! Sebuah gambaran tekad yang luar biasa! Dan dari pengalaman Gardner, itulah ciri yang dimiliki semua juara.

***

Luar biasa. Maha Besar Allah. Maha Besar Tuhan. Hanya dengan tekad luar biasa dan kebesaran Tuhan, maka tak ada yang tak mungkin. Masih banyak orang yang tak percaya bahwa sang jagoan lari itu, seorang Ryan Farrington, adalah pengidap penyakit distonia, bahkan sampai dengan saat ini!

Ada dua hal menyentuh dari cerita yang dikisahkan secara apik itu.

Pertama, Lisa --ibunda Ryan-- saat ini telah mengajukan cuti kepada bosnya selama dua minggu pada 2012 (baca lagi : dua ribu dua belas!), saat di mana Olimpiade musim panas akan dilaksanakan di London. Untuk apa? Untuk menyaksikan Ryan berlomba di ajang itu, karena ia percaya sepenuh hati, bahwa akan ada nama anaknya yang luar biasa di dalam daftar peserta lomba empat tahun nanti! Masya Allah... sebuah optimisme, dukungan dan bukti kepercayaan yang luar biasa dari seorang ibu.

Kedua, ada kata-kata yang menyentuh, yang keluar dari bibir Ryan. Kata Ryan, "Aku tidak tahu berapa lama lagi aku bisa berlari. Jadi aku harus bergegas...."

Untuk kalimat terakhir ini, saya menitikkan air mata....

***

Ya. Tak ada yang tak mungkin, jika Tuhan berkehendak. Ryan pun sudah membuktikan, kekuatan tekad dan optimisme adalah modal yang luar biasa.

Dan tentang "berlari", "bergegas", saya jadi teringat sebuah puisi tradisional rimba Afrika, yang saya temukan di buku karya William Tanuwidjaja. Kendati tak sepenuhnya berkorelasi dengan kisah di atas, saya rasa tak ada jeleknya untuk dijadikan tambahan bahan renungan kita hari ini.

Inilah puisi itu :

Setiap kali saat fajar menyingsing,
seekor rusa terjaga.
Ia tahu hari ini ia harus lari lebih cepat
dari seekor singa yang tercepat.
Jika tidak, ia akan terbunuh.

Setiap kali saat fajar menyingsing,
seekor singa terbangun dari tidurnya.
Ia tahun hari ini ia harus mampu
mengejar rusa yang paling lambat.
Jika tidak, ia akan mati kelaparan.

Tak masalah apakah kau seekor rusa,
atau seekor singa.
Karena setiap kali fajar menyingsing,
sebaiknya engkau mulai berlari.

***


Salam perenungan,

Fajar S Pramono


Foto Ryan Farrington : http://www.bbc.co.uk

ENDORSEMENT


Hari ini saya ke Gramedia Matraman. Selain beberapa buku baru dan juga buku untuk anak-anak, saya juga membeli buku keempat Cak Eko, yang pada akhirnya terbit dengan judul besar "The Cak Eko Way". Juga cetakan ketiga dari buku Pak Thomas Sugiarto --"Your Great Success Starts from Now!".

Buku Cak Eko memang buku baru. Sementara buku Pak Thomas, ini adalah kali keempat saya membelinya. Yang pertama untuk saya sendiri, dan yang kedua untuk kawan marketer saya di kantor lama.

Lantas, kenapa saya membeli lagi?

Ya, karena "kebetulan", ada endorsement saya di sana. Beberapa waktu lalu, Pak Thomas memang minta endorsement ke saya. Sebuah kehormatan, dan Alhamdulillah, karena saya merasa mendapat manfaat dari buku tersebut, dengan senang hati saya memberikannya.

Khusus untuk buku Cak Eko, ini adalah kali ketiga saya dimintai endorsement oleh beliau. Saya bersyukur dan senang mendapat kepercayaan yang tak semua orang bisa dapatkan itu. Sebelum buku-buku Cak Eko, juga sudah ada buku dari penulis lain yang di dalamnya memuat endorsement saya.

***

Bicara tentang endorsement, sesungguhnya saya punya "ganjelan". Ada sesuatu yang "merisaukan". Bukan dalam konteks endorsement yang harus saya buat dan sampaikan, tetapi pandangan sebagian orang (baca : termasuk para penulis) tentang endorsement itu sendiri.

Dalam sebuah situs, saya membaca tulisan tentang beberapa manfaat endorsement, dilihat dari sisi orang yang dimintai endorsement. Kebetulan, tulisan tersebut menceritakan manfaat endorsement dari sudut personal branding jika kita juga seorang penulis (buku).

Salah satunya, menurut penulis artikel itu, selain menjadi alat promosi bagi buku yang di-endorse, sesungguhnya pemberi endorsement juga sedang diiklankan atau dipromosikan oleh buku tersebut. "Melalui endorsement itulah akhirnya orang tahu siapa kita dan apa karya kita," begitu tulisnya. Dalam bagian selanjutnya, ia menyarankan bagaimana agar endorsement yang kita berikan bisa memberi nilai tambah bagi kita.

Lebih lanjut lagi, ia juga memberikan tips agar endorsement yang kita berikan bisa "menarik perhatian", lantas muncul di kaver belakang buku (atau bahkan kaver depan), dan pada akhirnya, semakin tenar dan populer lah personal brand kita.

***

Artikel itu bagus, dan bagaimanapun, kendati ia mengedepankan "keuntungan" endorser sebagai wahana branding, ia masih menyarankan suatu tips yang baik : jujur.

Kalau begitu, apa "ganjelan" di hati saya?

Kendati tidak sepenuhnya tidak setuju terhadap isi tulisan itu, kok saya merasa bahwa "tujuan" mem-branding diri lewat endorsement kok kurang..., gimana gitu! Saya kok kurang sreg ya?

Pikiran saya mengatakan begini : seorang penulis buku minta endorsement, tentu dengan tujuan agar kita bisa memperkuat aspek persuasi kepada calon pembaca, dengan menyampaikan keunggulan atau kekuatan buku secara jujur. Artinya, obyek dari kehadiran endorsement itu adalah penilaian bahwa buku yang di-endorse tadi layak untuk dibaca, dan tentunya juga dibeli. Artinya lagi, itu untuk kepentingan penulis buku. Bukan kita.

Menurut saya, ini yang seharusnya menjadi niat kita ketika meng-endorse. Cukup itu saja. Nggak perlu ada "niat" lain, apalagi yang berkaitan dengan kepentingan kita sendiri. Kalaupun ada "keuntungan" yang kita peroleh --misalnya penguatan personal brand peng-endorse--, biarlah itu merupakan konsekuensi alami. Biarkan itu berjalan sesuai kehendak-Nya. Itu sekedar dampak; dampak yang menyenangkan, yang tak perlu "di-niat-i".

Itu menurut saya. Dan karena prinsip itulah, saya pernah kaget --bahkan kehilangan simpati; mohon maaf-- ketika ada seorang penulis yang memberi ucapan kepada saya waktu buku saya terbit, dan kemudian berpesan, "Nanti aku dimintai endorsement untuk buku kedua kamu ya!"

Deg! Permintaan itu diucapkan dengan sangat serius. Sang penulis itu sendiri adalah teman, bahkan saya telah menganggapnya sebagai sahabat. Hanya, bidang kepenulisannya sangat berbeda dengan saya. Dan sekali lagi mohon maaf, tampak sekali bahwa yang diinginkannya, sesungguhnya adalah bagaimana dia bisa ikut dan menjadi lebih "populer" dibanding saat ia bicara.

Well. Ia tak salah. Ia berhak untuk memiliki kepentingan itu. Tapi bagi saya, kok naif sekali ya?

Aktivitas memberi, memang lebih baik daripada menerima. Tapi, jika niat di belakangnya kurang (baca : tidak) pas atau bahkan kurang baik, apa ya bisa dinilai bagus aktivitas "memberi" itu?

(Hampir) sama dengan seperti orang beribadah, bersedekah, atau apapun kegiatan baik lainnya, tapi dengan harapan dilihat orang sebagai "orang baik". Niatnya tidak sepenuhnya atas nama Yang Di Atas.

Tapi, entahlah. Wallahu a'lam bishawab. Saya juga sekedar "curhat".


Salam curhat,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://media.independent.com

REMY SYLADO DAN ERIKA


Siapa Remy Silado?

Meskipun --katakanlah-- Anda bukan peminat tinggi di bidang sastra, saya yakin Anda pernah mendengar nama besar sang satrawan ini. Ya, ia adalah seorang novelis, seorang penyair dan seorang seniman berkarakter "unik", di antaranya adalah kesukaannya berbaju serba putih.

Karya-karya luar biasa sekaligus master piece sastrawan bernama asli Yapi Panda Abdiel Tambayong alias Yapi Tambayong dan juga sering menulis dengan nama pena Alif Danya Munsyi untuk tulisan-tulisan kebahasaannya antara lain adalah Ca Bau Kan, Sam Po Kong, Kerudung Merah Kirmizi, Kembang Jepun, Parijs van Java, 9 Oktober 1740, Siau Ling, Menunggu Matahari Melbourne, Mimi lan Mintuna, dua seri Novel Pangeran Diponegoro, Boulevard de Clichy, kumpulan esai bahasa 9 dari 10 Bahasa Indonesia adalah Asing, Bahasa Menunjukkan Bangsa, Kamus Bahasa dan Budaya Manado, kumpulan Puisi Mbeling, puisi-puisi dalam Kerygma dan Martyria, juga Sang FX.

Lalu, siapakah Erika?

Sepintas, ia mirip nama seorang wanita. Istrinya kah? Kekasihnya kah?

Bukan. Meskipun bukan istri atau kekasih, ia pasti akan mengakui bahwa sang Erika adalah tambatan hatinya. Sebuah nama yang sangat berarti baginya. Bahkan sampai sekarang tetap ada di relung cintanya.

Lalu, siapakah Erika?

Ia adalah sebuah merk mesin tik produksi Jerman pada awal 1940-an, yang menjadi mesin tik pertama yang bisa dimiliki Remy Sylado ketika menjadi wartawan di Semarang.

Mesin tik Erika inilah yang membuat lelaki kelahiran Makassar 12 Juli 1945 itu tidak pernah bisa berhenti berkarya, dan memulai ranah pengembaraannya di jagad sastra Indonesia.

Kecintaannya pada Erika, menciptakan kecintaan yang dalam pada sebuah alat bernama mesin tik. Dan tahukah Anda, jika di balik kesuksesan dan hasil karyanya yang luar biasa hingga saat ini, seorang Remy tak pernah mau berkarya dengan mesin tulis modern selayaknya komputer atau notebook, dan tetap setia pada pijitan jari di atas tuts mesin tiknya?

"Bagi saya, kenyamanan menggunakan mesin tik tidak bisa tergantikan. Suara tuts ketika ditekan seolah menjadi musik pengiring saat menulis, yang dapat memicu ide-ide cerita baru," katanya di majalah Reader's Digest edisi November 2008.

Mesin tik, bagi Remy, seolah adalah "nyawa" kepenulisannya. Kini ia mengaku tengah mengetik novel terbarunya menggunakan mesin tik. Kali ini bukan bersama yang terkasih Erika, tapi bersama "saudara laki-laki"-nya, alias Brother. Di penghujung tuturannya, ia menegaskan, "Dan sampai kapan pun saya akan terus menggunakan mesin tik untuk menghasilkan lebih banyak karya sastra."

***


Ada pelajaran dari kisah Remy dan Erika?

Setidaknya kita bisa menangkap, bahwa tak selamanya sebuah hasil kerja yang bagus harus didukung oleh kekuatan teknologi. Harus di-back up oleh fasilitas yang "wah". Harus ditopang oleh "modal" yang tidak sedikit.

Remy, tentu tidak akan menemui kendala jika sekedar ingin punya PC ataupun notebook. Tapi, saya yakin dia sendiri akan sangsi, adakah karya ciptaannya akan sebagus jika ia menggunakan mesin tik manual? Belum tentu. Sisi emosionalnya yang bicara.

Itu juga sebabnya sekarang, banyak orang mencoba kembali kepada "khittah"-nya. Banyak yang ingin "kembali ke alam" misalnya. Rumah, kantor, dan sebagainya, dikonsep tanpa meninggalkan keasrian alam. Karena apa? Karena nuansa alam akan mampu menyejukkan jiwa. Mneyegarkan otak. Tanaman hijau, bau pupuk kandang, kicauan burung, bunyi gemericik air, tak akan bisa tergantikan oleh tanaman plastik, aroma parfum bernuansa kotoran hewan, rekaman suara burung ataupun kaset tentang gemericik air.

Menyenangkan juga, banyak orang juga mencoba kembali kepada "khittah" spiritualitasnya. Para generasi sukses, kembali "mengingat" Tuhan, manakala perjuangannya ke arah sukses terpaksa banyak meninggalkan kesempatannya bercengkerama dengan Tuhan. Kepedulian sosial, kesediaan berderma dan bersedekah, program Corporate Social Responsibility, semuanya menunjukkan kesadaran bahwa kita ini hanyalah "pelaku hidup", yang tak bisa meninggalkan sisi kemanusiaan dan ke-Tuhan-annya.

Semua itu demi pencapaian yang lebih baik.

***


Kembali kepada Remy dan Erika.

Rasanya, tak ada alasan lagi untuk menunda sukses, hanya karena kebelumadaan fasilitas. Ide kreatif, ide bisnis, juga ide kesuksesan bisa muncul di mana saja. Tak pandang tempat, ada fasilitas ataupun tidak. So, jangan hanya karena ketiadaan itu, kita menunda sukses. Laksanakan segera, dalam kondisi seperti apapun itu. Manfaatkan apa yang sudah tersedia di sekitar kita. Syukur-syukur, jika pada kemudiannya kita bisa melengkapinya dengan fasilitas terbaik.

Karena, kunci kesuksesan antara lain adalah : mulai dari sekarang.

Menurut Anda?


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi :
- Remy Sylado : http://www.kapanlagi.com
- Erika Typewriter : http://farm1.static.flickr.com

RENUNGAN BUAT PARA BANKIR


Sungguh, saya "ngenes" abis, sedih, bahkan sempat "tersinggung" membaca sebuah quote dari Mark Twain di sebuah buku yang baru saya beli di Gunung Agung Kwitang minggu lalu. Padahal, quotation adalah salah satu sarapan rohani saya yang bukan hanya saya makan ketika saya menemukan, tapi bahkan saya cari-cari ketika saya tidak melihatnya di meja makan kerohanian saya.

Tapi, buru-buru saya menepis, bahwa saya tidak boleh "tersinggung". Buru-buru saya mengingatkan diri sendiri, bahwa kritik adalah pengawal jiwa kita, yang bekerja tanpa bayaran.

Hingga akhirnya, saya bisa tersenyum, dan pada akhirnya bersedia merenung.

Apa sih, kata Mark Twain?

Kata beliau, "Seorang bankir adalah seorang kawan yang meminjamkan payung kepada Anda tatkala matahari bersinar terik dan menginginkannya kembali beberapa menit sebelum turun hujan."

Ya Allah, apakah se-"hina" itu pekerjaan saya?
Ya Allah, apakah memang begitu profesi bankir di mata orang?

Saya mengaku diri sebagai bankir. Saya banyak berhubungan dengan begitu banyak orang, dan merasa paling bahagia ketika bisa memberikan layanan terbaik yang bisa membantu orang-orang itu. Menjadi lebih berbahagia, ketika saya ada di posisi yang memungkinkan bantuan layanan itu tidak hanya dapat dilakukan pada jam kerja, namun bahkan pada jam-jam di luar jam kerja. Sekedar diskusi, ngobrol, ada yang menyebutnya "konsultasi", ada yang curhat. Tidak hanya kepada nasabah kantor saya, tapi kepada siapa pun.

Saya menulis edukasi perbankan di media massa. Menulis opini dan gagasan untuk urun rembug masalah perbankan di sana-sini. Saya menulis buku. Saya mengisi forum-forum pertemuan. Seminar, workshop, sampai yang sekedar kumpul-kumpul. Semua itu semata untuk bisa memberi payung, tidak saja ketika hujan mendera, tapi sebisa mungkin menyiapkan payungnya sebelum hujan itu datang.

Selasa pagi kemarin (23/12/08), dua SMS masuk. Yang satu dari seorang bapak di Probolinggo, Jawa Timur, yang satu dari seorang ibu di Singkawang, Kalimatan Barat.

Pak B dari Probolinggo mengucapkan terima kasih, karena hanya dengan bertanya via SMS serta membaca buku saya yang kemudian beliau aplikasikan isinya, saat ini beliau telah dipercaya untuk menerima fasilitas pembiayaan dari sebuah bank, yang kemudian dirasakannya sangat membantu usahanya. Apalagi momentumnya sangat pas, di mana kondisi ekonomi menuntut peningkatan modal yang tidak sedikit untuk usaha yang sedang digelutinya.

Ibu J dari Singkawang minta waktu untuk konsultasi (saya lebih senang menyebutnya curhat atau sharing), dan Alhamdulillah sudah bisa saya penuhi tadi malam. Beliau berkisah tentang sedang adanya masalah antara beliau dan bank-nya, dan merasa sangat senang karena akhirnya mendapatkan pencerahan dan bahkan solusi tambahan bagi masalahnya tersebut.

Mohon maaf, saya bukan mau narsis. Mau nggedhein kepala. Enggak. Saya terpaksa sampaikan, hanya karena saya merasa tidak melakukan apa yang dikatakan Mark Twain kali ini.

***

Tapi, Alhamdulillah, dengan tetap berpikir dan bersikap positif, saya bisa mengerti. Mungkin Mark Twain sekedar mengingatkan, bahwa tak selamanya bank bisa menjadi "sinterklas" bagi kesulitan likuiditas yang sedang dihadapi seorang pengusaha. Bank tak selalu bisa menjadi "juru selamat" bagi masalah keuangan seseorang.

Untuk itu, saya bisa mengiyakan. Karena memang, tak semua produk yang ada bisa mengakomodir sebegitu banyak permasalahan rigid yang ada di masyarakat.

Ketika saya menganggap quote itu sebagai pengawal jiwa, saya justru mengucap terima kasih pada Mark Twain. Saya sangat merasa diingatkan, agar saya tidak menjadi bankir seperti yang beliau gambarkan. Yang seenaknya sendiri, yang hanya mengambil keuntungan sesaat dengan men-dzalimi nasabah, dan tetap berpegang teguh pada prinsip melayani.

Berpikir seperti itu, saya menjadi lebih bersyukur. Thank you, Mr. Mark Twain. Anda telah mengingatkan saya.

Tak hanya itu. Jika Anda yang sedang membaca posting ini juga berprofesi sebagai bankir, mari kita jadikan quote di atas sebagai bahan renungan kita. Mari kita tunjukkan, bahwa isi quote itu tidak sesuai dengan kenyataan.

Mari.


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://www.hbtauctions.com

SELALU MENUJU YANG TERBAIK


Edisi khusus akhir tahun Majalah Berita Mingguan TEMPO, edisi 22-28 Desember 2008 menampilkan 10 Tokoh 2008; Mereka Bekerja dengan Hati Menggerakkan Daerah.
Kebetulan, jajaran redaksi TEMPO memang melakukan pemilihan dengan kriteria sosok tokoh yang berbuat positif dan menginspirasi. Bukan sekedar yang terbaik, yang dalam konteks luasnya bahkan terdengar lebih "heroik" --memimjam istilah mereka sendiri--, yakni "turut merawat Indonesia ke arah yang lebih baik".

Tapi, bukan profil kesepuluh tokoh itu yang hendak saya bahas. Bukan juga tentang ke-heroik-an mereka dalam "merawat Indonesia".

Saya hanya mencoba mengambil hikmah, setelah jiwa narsis saya membayangkan diri saya sendiri : kapan ya, bisa "diakui" seperti itu?

Hey, jangan diketawain dong, Mas, Mbak, Pak, Bu ataupun Dik. Mengkhayal boleh dan halal kan? Hehe... Apalagi kata Eyang Einstein, "Imajinasi lebih penting dari pengetahuan."

Nah lo, terbukti banyak kenyataan yang bermula dari khayalan. Bahkan "ajaran" LoA pun mengatakan, apa yang terjadi adalah apa yang kita pikirkan. Yang kita bayangkan. Secara physicly, visualisasi itu kan kayak orang ngalamun atau mengkhayal to? Hehe...

***

Kembali ke lap... top!

Konsep tentang yang terbaik. Keinginan menjadi kelompok "yang terbaik". Semua sah saja.

Pertanyaannya, bagaimana bisa menjadi yang terbaik?

Saya kira kuncinya sederhana, dan bisa dilaksanakan atau "dilatih" step by step.

Tak usah membayangkan yang tersulit, kalau sesungguhnya kita bahkan bisa melakukan yang termudah. Sekali lagi, melakukan. Bukan sekedar membayangkan.

Begini. Inti dasarnya : selalu berbuatlah yang terbaik. Ini mutlak.

Kemudian, berkaitan dengan "ajaran" step by step, tak usah muluk-muluk. Berusahalah menjadi kelompok "yang terbaik", di dalam bidang yang Anda lakoni saat ini, dalam lingkungan yang seperti apapun. Sekecil apapun.

Misalnya begini. Anda marketer di kantor. Seluruhnya, ada 20 marketer. Maka, mulailah untuk menjadi 10 marketer terbaik. Terlalu gampang? Naikkan target Anda menjadi 5 terbaik. Masih terlalu gampang juga? Bagaimana kalau 3 terbaik? Terlalu enteng? Ya sudah kalau begitu, target Anda adalah "yang terbaik". Nomor satu. Number one. Numero uno (bener nggak artinya? hehe).

Setelah menjadi yang terbaik, kembangkan target menjadi 10 besar marketer terbaik, se-kantor wilayah misalnya. Kalau 10 besar tercapai, buat lagi target yang lebih menantang. 5 terbaik, 3 terbaik, atau 1 terbaik lagi.

Tercapai? Bagaimana kalau secara nasional? 10 marketer terbaik nasional; berani? Kalau tak banyak aral, tingkatkan lagi menjadi 5 terbaik, dan seterusnya sampai menjadi 1 terbaik.

Banyak contoh yang bisa dikemukakan. Di lingkungan, jadilah 10 kepala keluarga teraktif dalam kegiatan kampung. Jadilah 10 orang yang paling disukai warga kompleks. Jadilah 10 orang yang paling sedikit meninggalkan kewajiban siskamling.

Kalau Anda masih sekolah atau kuliah, jadilah yang terbaik di kelas. Kemudian antar kelas. Kemudian antar sekolah. Kemudian antar sekolah antar kabupaten. Kemudian antar sekolah antar propinsi. Emangnya yang bisa antar propinsi cuman bis antar kota saja apa? Hehe....

Sekali lagi : di segala bidang yang kita lakoni, di dalam lingkungan yang seperti apapun.

Intinya adalah menjadi kelompok "yang terbaik", untuk kemudian menuju "satu yang terbaik". Dari semula "terbaik" di satu bidang saja, menjadi yang terbaik di banyak bidang. Dari yang terbaik di banyak bidang, menjadi yang terbaik di semua bidang.

***

Muluk sekali ya? Mungkin iya. Saya pun tidak menyalahkan statement itu.

Masalahnya, bukan statement atawa pencapaian itu sendiri yang menjadi ukuran dan tujuan.

Begini lagi. Jika kita selalu memiliki semangat untuk menjadi yang terbaik, maka secara otomatis kita akan menjadi orang yang berusaha semakin hari semakin baik. Karena, selalu saja ada pesaing sehat untuk itu. Kalau kita tidak fight, tentu "gelar" terbaik itu tidak akan menjadi milik kita. Ia akan menjadi milik orang lain yang ber-fighting spirit tinggi.

Keberanian untuk fight, dalam artian positif, menuntut pengembangan diri yang terus menerus. Pengembangan diri yang terus menerus, bukankah merupakan suatu kondisi yang sangat sangat amat amat baik sekali, kalau tak boleh dibilang sangat sangat sangat sangat amat amat amat amat baik sekali?

Apalagi kalau lingkungan kita memang dipenuhi orang-orang yang memiliki mental fight yang tinggi. Maka semua akan berlomba untuk semakin baik. Standar "yang terbaik" pun juga terus meninggi. Dengan menafikan istilah "kalah-menang", maka kesemua "kontestan" akan terus berkembang ke arah yang lebih baik.

Bukankah konsep ini konsep yang menyenangkan dan menguntungkan pribadi pelakunya?

Kalau jawaban Anda "iya", kenapa juga tidak segera mulai mencanangkan diri untuk selalu menjadi 10, 5, 3 atau bahkan 1 yang terbaik; diawali di sebuah bidang, ke 3 bidang yang lain, ke 5 bidang yang lain lagi, dan pada akhirnya di semua bidang?

Ingatlah selalu : langsung tidak langsung, Anda akan terus berkembang menjadi lebih baik. Sadar atau tidak sadar.

Cobalah! Dan Anda akan percaya.


Salam introspektif,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://api.ning.com

ITU BUKAN MASA TUA KITA


Indopos, Minggu 21/12/08. Saya tak menyangka, kalau warga senior alias kaum tua Jepang begitu mencemaskan hari tuanya.

Hari tua menjadi saat menakutkan bagi warga Jepang. Tak ada teman, tak punya keluarga di rumah. Mereka pun melakukan "apa saja" agar mendapatkan teman ngobrol. Termasuk melakukan kejahatan kecil-kecilan.

Ya, kabarnya, mereka rela masuk penjara, hanya sekedar untuk memiliki teman ngobrol.

Naudzubillahi min dzalik. Semoga itu tidak terjadi pada kita.

***

Dikisahkan dalam artikel itu, bagaimana para warga senior --warga berusia 65 tahun ke atas-- terus berupaya bisa bekerja, sekedar untuk menangkis rasa kesepian. Dengan bertemu teman kerja, klien, atau tamu perusahaan, maka mereka merasa "hidup".

Lihatlah Kaneko. Beliau adalah seorang wanita 70-an tahun, yang masih terus berkeinginan untuk bisa bekerja sebagai cleaning service di Hotel Shinagawa Prince Hotel, Tokyo. Atau Yoshui, pria 60 tahun yang masih bekerja di bagian kebersihan Stasiun Kereta Api Yokohama.

Mereka bekerja bukan untuk uang. Sebagaimana juga teman-teman Yuji, yang sengaja mencopet atau mengutil di supermarket, agar bisa dihukum. Aneh? "Di penjara banyak teman ngobrol," kata Yuji menceritakan alasan teman-temannya.

Satir dan getirnya, Yuji sendiri juga penderita sindrom kesepian. Hampir tiap malam ia tertidur di rumah makan langganannya, sampai-sampai si pegawai rumah makan itu tak tega mengusirnya. Ya, semata karena tahu alasan, kenapa Yuji "terpaksa" begitu. Ia tak punya teman di rumah...

Di luaran, tak sedikit "senior" yang menghabiskan waktu untuk berkeliaran tak tentu arah, sekedar duduk atau bahkan rebahan di depan pertokoan.

Sekali lagi, mereka bukan tak punya uang, atau tak punya rumah. Mereka kesepian.

***

Saya yakin, itu bukan masa depan dambaan kita. Tentu kita inginkan masa tua yang bahagia.

Apa yang kira-kira bisa kita lakukan ya? Saya punya beberapa pikiran.

Pertama, mari investasikan waktu kita untuk berteman. Membuka jejaring. Network.

Berteman sendiri adalah investasi masa depan. Pertemanan yang hangat dan baik, saling menguntungkan, saling mengingatkan dan saling mengisi, tak akan bisa lekang oleh waktu. Ia bisa berumur sampai kita dipanggil Yang Kuasa. Tak pandang usia. Apalagi, kondisi dan teknologi telah mampu membuat jarak yang panjang menjadi seolah tak berjarak.

Kedua, mari membentuk keluarga yang hangat. Sakinah, mawahdah, warrohmah. Saling menghormati, saling menghargai. Ya antar saudara, apalagi antara anak dan orang tua.

Adalah kewajiban mutlak seorang anak untuk menghormati orang tua, berbakti, sekaligus menjaganya sepanjang waktu. Pun sebaliknya. Jika dalam keluarga tercipta kehangatan yang membahagiakan, mulai dari kakek buyut hingga cicit, mulai dari saudara sepupu hingga saudara jauh, rasanya tak ada alasan untuk kesepian dan tidak berbahagia di hari tua.

Dari artikel itu juga tampak, bahwa salah satu pemicu kesepian di hari tua adalah pilihan hidup melajang di masa muda. Walhasil, ketika hari tua menjelang, ia tak punya siapa-siapa lagi. Juga pilihan untuk meminimalkan kelahiran dalam keluarga.

Data di Jepang menunjukkan, angka kelahiran turun 27 persen dalam 27 tahun terakhir. Diperkirakan, pada 2050, perbandingan warga tua dan muda mencapai 4 : 1.

Maka yang terjadi adalah kebalikan kebijakan pemerintah di Indonesia. Kalau di negeri kita dianjurkan untuk menekan angka kelahiran, dengan program andalannya "Keluarga Berencana"; maka di Jepang, pemerintah justru berusaha memberikan kenaikan tunjangan anak. Dengan harapan, pasangan muda di sana tertarik untuk punya anak. Nah lo... :)

Ketiga, mari selalu berbuat baik dengan tetangga. Banyak yang bilang, tetangga seringkali lebih dari saudara. Merekalah sesungguhnya orang-orang terdekat kita, yang akan selalu saling membutuhkan. Mari jadikan mereka semua saudara kita juga.

Sangat mungkin, merekalah yang akan menjadi teman paling setia bagi hari tua kita. Harmonisasi dan kepedulian dengan lingkungan serta warga sekitar, dus menjadi kemutlakan.

Keempat, mari kita usahakan untuk selalu memiliki kesibukan sejak sekarang. Kesibukan, yang bisa kita gunakan untuk mengisi hari tua kita, sekaligus yang bisa kita gunakan untuk terus mengasah otak kita. Menghindarkan kepikunan. Kesibukan, yang tidak mengenal masa pensiun.

Kalau sekedar bekerja di kantor, apalagi sebagai pekerja, maka ada suatu masa kita akan pensiun. Tapi, berwirausaha, beraktivitas keagamaan, aktivitas sosial, ikut klub olahraga, menulis dan sebagainya, maka ia tak akan mengenal umur pensiun. Mari kita mencoba aktif di sana, mulai sekarang.

Ingat sekali lagi, waktu adalah salah satu alat investasi terbaik yang harus dimanfaatkan. Semakin banyak waktu yang bisa kita investasikan di sana, semakin luas dan banyak manfaat serta hasil yang bisa kita dapatkan.

***

Ah, saya tak mau membayangkan, seperti apa hari tua seperti yang dijalani generasi tua Jepang itu. Yang pasti, saya tak ingin mengalaminya. Saya yakin, begitu juga Anda.

Ada komentar dari Anda?

Saya sendiri, jadi ingin segera menelpon bapak saya di Surabaya...
I love you, Dad! Very very much!


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://farm1.static.flickr.com

PREDIKSI PENGANGGURAN 2009 : semoga apa, ya?!


Headline harian KONTAN hari ini (Sabtu, 20/12/08) : Tahun Baru Banyak Penganggur Baru.

Glek! Mau kemana Indonesiaku? Mau dikemanakan rakyatmu?

80.000 buruh industri tekstil dan produk tekstil kehilangan pekerjaan. Industri alas kaki kehilangan 30.000 pekerja sampai tahun depan. Otomotif akan mengurangi shift, dari 3 shift menjadi 1 shift. Industri sawit juga akan memberhentikan 300.000 buruh tahun depan. 10% tenaga di bidang konstruksi akan menganggur.

Glek lagi!

Sekitar 1,5 juta pekerja bakal kehilangan pekerjaan. Pendapatan industri TPT bakal menurun 50%. Pendapatan industri alas kaki bakal turun hingga 20%. Tahun depan, penjualan otomotif bakal terpangkas 30%.

GLEK! GLEK!

Pahit kerongkongan ini. Makin susah untuk menelan ludah. Kalau itu prediksi pengamat, mungkin saya masih tak terlampau "glek". Lha ini, yang ngomong bos Apindo sendiri. Asosiasi Pengusaha Indonesia. Bapak Sofyan Wanandi.

Kemudian juga, Pak Benny Soetrisno, yang Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API). Lalu Pak Eddy Widjanarko, Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo). Terus juga, Pak Gunadi Sidhuwinata, Ketua Umum Asosiasi Sepeda Motor Indonesia (AISI).

Mereka bisa ngomong, karena memang merekalah --para pengusaha itu-- yang terpaksa melakukan rasionalisasi --bahasa halus untuk PHK--. Mereka pelaku, bukan sekedar pengamat, sehingga prediksi ini dikhawatirkan menjadi kenyataan. Contoh konkritnya, dari prediksi 80.000 PHK di industri TPT, yang sudah dilakukan hingga Desember ini adalah 30.000. Dari prediksi 30.000 PHK di industri alas kaki, hingga akhir tahun ini sudah terbukti tak kurang dari angka 10.000 pekerja ter-PHK. Waduh!

Terus, saya ingin berdoa. Cuma bingung, semoga apa ya?

Semoga prediksi itu tidak menjadi kenyataan, atau biarkan semua itu terjadi, dengan hikmah indah di sebaliknya?

Hikmah apa? Ya, siapa tahu dengan PHK itu, the power of kepepet-nya orang Indonesia muncul. Ide-ide brilian keluar. Entrepreneur-entrepreneur baru tercipta. Kalau selama ini banyak orang mencari pekerjaan, nantinya banyak orang mencipta lapangan pekerjaan. Quantum Leap yang diharapkan Dr. Ir. Ciputra terwujud : banyak orang mewujud menjadi entrepreneur, yang beliau yakini bukan hanya mengubah masa depan orang itu sendiri, tapi bahkan mengubah masa depan bangsa ini.

Duh, mau berdoa untuk yang mana ya?

Atau, dua-duanya?

Atau, Anda punya saran untuk saya? Untuk kita semua?


Salam tetap optimis,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : www.kabarindonesia.com

ATURAN EMAS UNTUK MAJU


Menemukan aturan emas untuk maju dari H. Jackson Brown, Jr., saya jadi ingat jaman kuliah atawa opspek di awal perkuliahan dulu.

Dulu, waktu pelaksanaan opspek yang lekat dengan aroma arogansi itu, ada aturan :
Pasal 1. Senior/panitia tidak pernah salah.
Pasal 2. Jika senior/panitia salah, lihat pasal 1.
Nah, ingat dan banyak yang menjadi korban? Saya yakin iya, hehe.

Di dunia perpolitikan, sering juga ada yang sinis dengan menggunakan aturan emas versi pemimpin yang otoriter :
Pasal 1. Pemimpin tak pernah salah.
Pasal 2. Jika pemimpin salah, lihat pasal 1.
Nah lo... mau apa kamu? Begitu kira-kira, gambaran ketakberdayaan yunior ataupun anak buah, yang sengaja diciptakan oleh sistem. Tapi, itu tentu sesuatu yang nggak baik...

***

Kaitannya dengan aturan emas-nya Jackson Brown?

Ya, saya pikir aturan emas untuk maju dari Brown, justru menjadi sesuatu yang harus kita pegang. Kenapa? Karena aturan ini baik. Aturan ini memotivasi.

Seperti apa aturan emas untuk maju dari Brown?

Pasal 1. Lakukan selangkah demi selangkah.
Pasal 2. Bila merasa tak mampu lagi, kembalilah ke aturan nomor 1.

Hmm... apakah Anda bisa setuju kalau ini dijadikan "pegangan hidup" kita?


Salam,

Fajar S Pramono
NB :
Thanks to Pak Buca atas kiriman bukunya. Aturan emas di atas saya dapatkan dari buku itu. Sungguh memotivasi.

Ilustrasi : http://enengnurul.files.wordpress.com

BANGGALAH MENJADI KARYAWAN


Hmm... rasa-rasanya, jika hanya melihat judulnya saja, pasti kawan-kawan penggerak entrepreneurship Indonesia padha protes. Tes! Padha sebel. Bel! Padha jengkel. Kel! Hehe...

Pastinya, sangat mungkin juga temen-temen dan sahabat di komunitas Tangan Di Atas (TDA), yang awal tahun depan akan mewisuda banyak lagi anggota yang telah menetapkan pilihan hidup baru sebagai pengusaha --bukan pekerja lagi--, gusar setengah hidup, hehe.

Tapi, please. jangan gusar dulu. Sudah jelas, saya juga penganut paham "lebih baik jadi bos kecil daripada jadi kuli gedhe", seperti yang ayah Bang Jaya Setiabudi (Direktur Young Entrepreneur Academy, pengelola www.yukbisnis.com) katakan kepada Bang Jaya.

Mirip juga jawaban Mario Teguh atas seorang penanya by phone di acara Mario Teguh Golden Ways minggu lalu. Ketika itu si penanya bertanya, "Lebih baik mana, Pak Mario : jadi bos yang kecil, atau jadi kacung yang besar?"

Dan jawaban pendek tegas Pak Mario Teguh adalah, "Sebesar-besarnya seorang kacung, ia tetaplah seorang kacung!" Itu berati, tetap lebih baik menjadi bos, meski "bos kecil".

***

Tapi, sebentar. "Karyawan" yang saya maksudkan di sini adalah "karyawan versi Herry Tjahjono". Saya sebut begitu, karena saya menemukan ide posting ini dalam buku beliau, The Six Says; Siapa Cepat Dia Dapat (Elex Media Komputindo, 2008), yang saya comot dari rak buku Gramedia beberapa hari lalu.

Apa kata beliau?

Meski bukan ulasan khusus dan hanya sekedar contoh tentang toxic belief, beliau berkisah tentang salah kaprah mindset dalam terminologi kata "karyawan".

Selama ini, banyak yang mengartikan bahwa karyawan berarti "orang gajian". Itu mindset kebanyakan orang. Padahal menurut beliau, terminologi "karyawan" memiliki arti yang jauh lebih dalam. Untuk membedakannya, arti kedua ini saya tuliskan dalam huruf kapital : KARYAWAN.

KARYAWAN berasal dari kata dasar "karya". Dalam kata dasar itu, terkandung unsur kreatifitas dan proses penciptaan. So, KARYAWAN mestinya tidak sekedar diartikan sebagai "orang gajian", tapi harus diartikan sebagai "MANUSIA YANG MELAHIRKAN KARYA".

Nah, jika itu yang menjadi paradigma baru, maka setiap karyawan (ingat : ini pakai huruf kecil), akan jauh lebih menghargai status dan profesinya sebagai KARYAWAN.

Jika seorang karyawan telah memiliki keyakinan sebagai KARYAWAN, maka bisa dipastikan, perilaku dan hasil kinerjanya akan jauh lebih baik daripada sekedar karyawan yang ber-mindset sebagai "orang gajian". Perhatikan saja.

Seorang KARYAWAN akan menuntut dirinya untuk bisa bertindak lebih, tak sekedar melaksanakan tugas, mengerjakan rutinitas, tapi juga secara sadar dan aktif memberikan ide-idenya, berbuat lebih banyak, bekerja lebih cerdas bahkan lebih keras, karena tanpa itu ia merasa belum layak disebut "melahirkan sebuah karya". So, KARYAWAN bukan sekedar karyawan.

***

Di sisi lain, dengan terminologi yang demikian, bisa jadi seorang pengusaha, entrepreneur yang hanya sekedar melakukan proses usaha tanpa berusaha memberikan added value dalam usahanya, yang sekedar menjalankan bisnis tanpa inovasi dan pikiran serta ide kreatif, nir-kemauan mengembangkan diri, nir-keinginan memperbesar jaringan dan sebagainya --selayaknya tuntutan bisnis yang harus berkembang, maka ia tak ubahnya sebagai karyawan --dalam huruf kecil--.

Sebaliknya, pengusaha yang aktif, kreatif, bekerja cerdas, selalu mencari terobosan baru dan melakukan action terbaik, maka ia bisa disebut sebagai KARYAWAN --dalam huruf besar--.

Pertanyaannya, mau nggak ya, teman-teman entrepreneur saya sebut sebagai KARYAWAN? Hehe.

Saya membayangkan, ketika bertemu mereka, lalu dengan lantang saya sapa, "Halo, para KARYAWAN!". Ah, mereka pasti "gondok". Protes. Sebel. Jengkel. Padahal maksud saya baik, kan? Hehe...

Masalah ya itu, kalimat lisan tidak bisa menampakkan, apakah kata "karyawan" yang saya ucapkan itu berhuruf besar atau berhuruf kecil... hehehe.

***

Oke deh, cukup. Hanya intermezo. Yang jelas, sebagai karyawan, saya terpacu untuk bisa menjadi KARYAWAN. KARYAWAN yang juga pengusaha, juga pengusaha yang KARYAWAN.

Halah, jadi bingung sendiri saya... Mbuh, ah! :)


Salam intermezo,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://www.clipartof.com

THE POWER OF KEPEPET -- the other version--


Sebentar lagi, Bang Jaya Setiabudi, salah seorang penebar virus entrepreneurship di negeri ini, akan meluncurkan buku pertamanya : The Power of Kepepet. Jika melihat kiprahnya selama ini, maka prinsip "kepepet-isme" itu lebih berarti pada kondisi keterdesakan, keterhimpitan, keterpaksaan dan sejenisnya yang sifatnya "mengancam". Di tengah "ancaman" itulah biasanya, kreatifitas kita muncul. Ide-ide cemerlang terbit. Keberanian untuk action mengedepan.

Namun, omong-omong, ada juga lho, "keterpaksaan" yang lain. Dan ini jelas-jelas "keterpepetan" yang disengaja. Diciptakan sendiri.

Begini. Beberapa waktu lalu, seorang senior saya bercerita, bagaimana ia pada akhirnya mau belajar menyetir. Bukan karena ia punya mobil, lantas tidak ada yang nganter sehingga ia tidak bisa bepergian. Kalau itu, kepepet beneran namanya.. hehe.

Yang terjadi, pada awalnya ia males banget belajar nyetir. Padahal jelas-jelas, ketrampilan itu dibutuhkan untuk mendukung aktivitas keseharian dan pekerjaannya. Dan, Anda tahu apa yang ia lakukan?

Ia membeli mobil, meski jelas-jelas ia belum bisa menyetir sendiri!

Apa maksudnya? Ya, ia akan merasa sayang apabila mobil yang sudah dibelinya hanya ngejogrog tanpa daya dan manfaat di rumahnya, hanya karena ia tak bisa mengendarai! Sayang juga kan, duit tabungan udah dibelanjakan, tapi ia sendiri seolah tak bisa menikmati?

Hmm..., masuk akal juga.

***

Masih dengan orang yang sama, beberapa hari lalu ia kami ajak main bowling. Meski belum pernah sama sekali menginjakkan kaki di arena lempar, bahkan belum pernah menyentuh bola bowling sekalipun, ia segera membeli sepatu bowling yang harganya cukup tinggi untuk ukuran kami! Gila, pikir kami.

Tapi, ia memang profil orang yang energik. Orang yang bersemangat, dan mau belajar. Ketika saya tanya, "Mau serius nih, belajar bowlingnya?"

Ia menjawab, "Justru inilah yang akan aku jadikan pemacu semangat. Bayangkan saja, aku udah beli ini sepatu. Gak tanggung-tanggung, kupilih yang terbaik. Ketika sudah keluar kocek segini besar, terus aku hanya sekali belajar dan berhenti, kan sayang sekali, Jar...."

"Aku pasti akan menyempatkan diri dan bermain di sini, jika ingat bahwa sudah sedemikian banyak biaya kukeluarkan. Seringkali, 'strategi' diri yang beginilah yang membuat aku cepat maju," katanya lagi.

Saya terdiam, hingga akhirnya sampai pada kesimpulan tadi : "kepepet" tidak selalu berkonotasi dengan "ancaman" yang menakutkan, tapi juga bisa berupa "rasa sayang alias eman", akibat investasi yang telanjur dikeluarkan. Sebuah "keterpepetan" yang menurut saya, menyenangkan. Ehm! :)

Dan sebenarnya, anjuran untuk action, action dan action sekaligus menggunakan otak kanan dalam ajaran wirausaha itu, memiliki "roh pola pikir" yang sama dengan the power of kepepet di versi yang lain tadi.

Contohnya saya. Saya merasa, tidak sedikit uang yang sudah saya tanam ke bisnis bakso saya. Jika hasilnya ternyata belum sesuai harapan, maka otak ini akan dipaksa berpikir, agar supaya aktivitas hariannya bisa sesuai dengan proyeksi. Jika tidak, eman kan? Sayang kan, uang yang sudah saya tanam tadi? Bisa hilang dan "menguap" begitu saja tanpa hasil....

Dalam dunia tulis menulis, saya pernah juga menggunakan "strategi" itu. Saya membeli laptop, tapi dengan sebuah target : bahwa dalam sekian bulan, saya sudah harus "mencapai BEP alias Break Even Point", alias lagi : bisa menghasilkan uang dari menulis untuk "menebus" biaya yang saya keluarkan untuk membelinya.

***

So, sama seperti kesimpulan banyak orang, bahwa sesekali "keterpepetan" itu harus kita ciptakan sendiri, untuk merangsang percik-percik ide dalam syaraf otak kita; untuk memancing kelenturan otot-otot aksional; dan untuk segera berbuat yang terbaik demi kemajuan diri.

Syukur-syukur memang, jika motivasi kita sudah bisa secara permanen muncul, sehingga tak perlu lagi lah, yang namanya "kepepet" itu.

Begitu?


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://www.m-pijarharapan.com

JANGAN RESESI, JANGAN DEPRESI


Entah kenapa, meski hampir genap dua minggu, "ucapan" Bang Rhenald Kasali dalam artikelnya di Kompas (01/12/08) masing terngiang.

"Kalau tetangga kehilangan pekerjaan, itu namanya resesi. Kalau Anda juga kehilangan pekerjaan, itu depresi."

Begitu tulisan salah satu begawan ekonomi itu.

Saya terkesan akan dua kalimat tadi. Lucu, tapi membuat nyinyir perasaan ini. Saya tersenyum, tapi bukan senyum kegelian. Mungkin senyum pembenaran, yang berarti mengiyakan sebuah pesimisme.

Ups, lupa mengingatkan. Tulisan tadi memang paling cocok untuk kami-kami yang TDB alias Tangan Di Bawah (baca : pekerja), dan mungkin kurang tidak cocok bagi Anda yang sudah TDA (Tangan Di Atas alias pengusaha).

Tapi, kalau misalnya --ini misalnya lho, hehe-- itu diganti : "Kalau tetangga terpaksa menutup usaha, itu resesi. Kalau Anda juga terpaksa menutup usaha, itu depresi", bagaimana?

Eits, nggak boleh pesimis, Jar! Apalagi berandai-andai yang enggak-enggak... Apalagi "cari temen" yang bisa diajak depresi! Hehe...

Enggak lah. Kendati mungkin sebentar lagi memang ada salah satu unit usaha yang harus kami tutup, saya enggak depresi kok. Saya tetap optimis. Karena, saya masih punya banyak harapan yang lebih besar dari sekedar yang ada sekarang.

So, mari kita nilai "ucapan" Bang Rhenald di atas sebagai lecutan bagi kita semua, untuk bersama-sama membuktikan, bahwa apa yang disampaikan Bang Rhenald itu tidak akan mewujud dalam kenyataan.

Nggak usah ada resesi, tak perlu juga jadi depresi. Jayalah kita semua! Amien...

Setuju, Kawan?


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://i45.photobucket.com

BAHKAN SEKEDAR KEINGINAN...


Suatu ketika, dalam sebuah wawancara kenaikan jabatan, dalam bilangan tak sampai lima menit pertama, sebagai pewawancara saya menyatakan, "Cukup! Saya tidak akan bertanya apapun lagi." Saya lempar pernyataan ini ke forum, utamanya kepada dua pewawancara lainnya. Bagi saya, wawancara kepada sang calon tak ada gunanya, dan kesimpulan saya adalah : yang bersangkutan tidak lolos!

Lho, emangnya kenapa?

Bagaimana tidak?

Sebutlah seleksi itu untuk posisi X. Ketika sebagai penanya pertama saya bertanya mengenai motivasi sang calon untuk menjadi seorang X, ia hanya menggelengkan kepala. Jelas saya heran. Saya dhedhes (apa ya, bahasa Indonesianya "dhedhes"? Hehe... saya "kejar" lagi lah, begitu mungkin) lagi, sebenarnya ia kepingin jadi X nggak sih?

Tahu jawabnya? "Tidak," plus ketegasan sikap berupa gelengan kepala, meski disampaikannya sembari tertunduk lemah tanpa gairah dan tatapan mata yang tak berani memandang ke arah pewawancara.

"Hah? Sekedar ingin pun tidak?" tanya saya lagi.

Dan ia tetap menggelengkan kepala.

Masih penasaran, dan karena saya tahu bahwa bahkan orang tuanya adalah "alumnus" yang cukup sukses di perusahaan yang sama dengannya, serta dengan asumsi ia sangat paham mengenai "peluang karir" di perusahaan itu, saya tanya lagi ke sang calon, yang terus tertunduk itu.

"Hari ini, berapa umur Saudara?"

"Tiga puluh satu." Sebuah jawaban, yang --lagi-lagi-- disampaikan tanpa gairah.

"Tiga puluh satu. Berarti, perjalanan karir Anda masih memungkinkan hingga dua puluh empat tahun ke depan," kata saya. "Masih cukup panjang untuk bisa mengejar suatu target posisi atau jabatan tertentu mestinya."

"Nah," lanjut saya, "Saudara tahu bukan, jenjang karir yang ada di perusahaan Saudara?" Sang calon mengangguk.

"Kalau begitu, Anda masih mungkin menjadi Y, Z, A ataupun B," simpul saya.

"Apa 'cita-cita' Anda, apa 'obsesi' Anda, atau posisi minimal apa yang menjadi target Anda dalam berkarir di perusahaan ini sebelum Anda pensiun?" kata saya lagi.

Diam. Hening. Sang calon tak menjawab apapun.

"Tak punya cita-cita atau target?" kejar saya.

Masih cukup lama terdiam, sebelum akhirnya ia menggeleng.

Gubrak!!! Emosi saya yang "naik".

"Benar, Anda tak punya keinginan tertentu?" Saya mencari ketegasan.

Ia mengangguk. Lemah.

Ya ampuuun... Dalam hati saya bertanya, bagaimana ia bisa sampai ke ruangan ini?

Kami berempat --saya, dua pewawancara lain dan si calon-- masih mencipta hening. Sampai akhirnya, "kata hati" saya terlontarkan.

"Mas, kalau begitu, Anda datang ke sini untuk apa?" saya bertanya.

Tak ada suara apapun. Hanya desahan dari beratnya tarikan nafas yang terdengar.

Saya bertanya lagi. "Mas, kalau Anda tak punya keinginan untuk posisi ini, bagaimana Anda bisa sampai ke ruangan ini?"

Sempat tak menjawab beberapa detik, dengan sangat lirih ia menjawab, "Ya kemarin disuruh Pak C ke sini, ya saya datang...."

"Disuruh? Lha sebenarnya, Anda tahu nggak, di sini untuk apa?" saya mulai kehilangan kesabaran.

"Untuk test X...," jawabnya lemah.

"Padahal Anda nggak berminat untuk posisi X, dan bahkan nggak punya keinginan untuk berkarir lebih tinggi dari posisi Anda sekarang?" tanya saya cepat.

Dan, si calon pun mengangguk...

Gubrak lagi! Lhadalah, bagaimana bisa ada "calon" seperti ini "diijinkan" masuk ruangan seleksi!? Saya tak habis pikir.

Tak lama kemudian, saya yang menyatakan "walk out" dari ruangan itu, jika wawancara masih mau diteruskan. Bagi saya, jawaban dia adalah sebuah kesimpulan.

Sungguh, saya pusing sekali. Saya kehilangan nalar. Kok ada ya, orang yang seperti ini di perusahaan sebesar itu?

***

Itu kisah nyata.

Ternyata ada, seseorang yang bahkan tak memiliki keinginan tertentu. Jangankan aspirasi atau obsesi, sekedar keinginan pun tak dimilikinya.

Lalu, semangat apa yang mewarnai aktivitas kerjanya sehari-hari selama ini!?

Bagi saya, ia menjadi sangat tidak layak, bahkan untuk posisinya yang sekarang! Tanpa adanya keinginan untuk maju, mungkinkan ia akan memberikan yang terbaik pada job description-nya yang sekarang? Saya yakin tidak.

Ia akan bekerja seadanya. "Tanpa hati". Konsekuensi kerja baik adalah promosi. Dan ketika ternyata ia pun tak ingin memperoleh promosi, tentu yang dikerjakannya adalah sesuatu yang dirasakannya tak akan membuat dia dipromosikan.

Saya cek ke unit kerja asal, dan dugaan saya benar adanya.

Karena saya masih penasaran, saya bertanya kepada atasan langsungnya, tentang "kisah" bagaimana ia bisa sampai ke ruangan wawancara.

Dengan bangganya, sang atasan mengatakan, bahwa membuat si calon mau datang sudah merupakan prestasi tersendiri. Prestasi "besar", menurutnya.

"Meski jelas-jelas ia tak memiliki keinginan?" tanya saya kepada si atasan itu.

"Iya, Pak!" jawab beliau tegas. Masih dalam balutan bangga.

Kebanggaan, yang bagi saya justru sangat absurd. Sangat aneh. Bagi saya, itu bukan sesuatu yang layak dibanggakan, tapi bahkan sebuah kesalahan.

Seorang pemimpin patut berbangga, jika ia mampu mengubah seorang anak buah yang semula tanpa motivasi untuk maju, menjadi seseorang yang penuh gairah kerja dan keinginan untuk berkembang. Bukan sekedar mendorongnya datang untuk sebuah kemubaziran...

Catatan saya : tengok kembali produktivitas si calon, bahkan untuk posisinya yang sekarang. Nah lo....

***

Quote of the day :

"Tragedi sesungguhnya dari orang-orang miskin adalah kemiskinan mereka akan aspirasi," kata Adam Smith.

"Tragedi sesungguhnya dari kita yang memiskinkan adalah kemiskinan kita akan keinginan dan motivasi," kata saya.

Ada qoute tambahan dari Anda sidang pembaca? Saya tunggu.


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://farm1.static.flickr.com

IBU DI SEGALA WAKTU


1 //
Ibu bergerak melingkariku
berbentangkan sayap yang meneduhkan
meliukkan kanan menepiskan kiri
sekedar memastikan kenyamananku
meletihi hidup, menelantarkan duka


2 //
Ibu mendendangkan gumam kemudian
Meninabobokan kegundahan rasa derita
Tak perlu bangun, wahai petaka
Biarkan sukaria yang mengisinya


3 //
Ibu menyadarkanku dari kematian yang semu
Membangunkan jiwa menegakkan raga
Mengenalkanku kembali kepada terang
Seraya berbilang, hadapi dunia hadapi nyatanya!
Jemputlah ia sang bahagia
Dari rumah-Nya


Rawasari, 071208

***

Salam,
untuk mengenang kedua ibu kami :
Ibu Sri Rejeki dan Ibu Siti Syamsiyah.
Kami selalu berdo'a untukmu, Ibu.

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://gallery.photo.net

KEPERGIAN ITU, BUKAN UNTUK MENINGGALKAN


Apakah Ibu harus pamit padamu
Sementara yang memiliki hidup adalah Ia?

Ibu tahu kau akan bertemu geganas luka
Ibu paham jika setelahnya
Goresan rasa akan menyobek hatimu
Rasa sesal rasa salah rasa duka rasa rindu
Karena Ibu tahu kau menyimpan cinta itu

Apakah Ibu harus pamit padamu
Sementara yang memiliki hidup adalah Ia?

Tak boleh ada muram dan juga durja
Dalam ramuan keseharian hidupmu
Hidupmu sepenuhnya milikmu
Dan ibu, hanya mengantarkanmu kepada halaman hidup
Sebagaimana Ibu mengantarmu ke sekolahmu dulu

Dalam padanya, Ibu hanya bertugas melayanimu
Di tengahnya, Ibu hanya berwenang melindungimu

Jadi, Nak…
Apakah Ibu harus pamit padamu
Jika memang waktu adalah awal sekaligus akhir
Yang membatasi pelaksanaan tugas Ibu sebagai Ibumu?

Sementara, yang memiliki hidup adalah Ia?


Rawasari, 071208


***

Salam,
untuk mengenang kedua ibu kami :
Ibu Sri Rejeki dan Ibu Siti Syamsiyah.
Kami selalu berdo'a untukmu, Ibu.

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://destiutami.files.wordpress.com

MENGENANG IBU


Haruskah aku menunggu ibu meninggalkan dunia fana ini; hanya sekedar untuk bisa mengenangnya?
Mustikah aku merasakan kehentian kasih ibu; semata untuk bisa menikmati sedihnya?

Sayang Ibu, tak sekedar hadir dalam nyata. Ia pun menyentuh dalam maya.
Sosok Ibu tak semata yang ada di depan mata. Tapi ia pun yang menggendong kita dalam jaraknya.

Tertanamkah getar manakala kita menggurat do’a untuk orang tua? Tergerakkah ketika terdengar dongeng tentang Baginda Nabi yang menyebutkan namanya tiga kali sebelum nama yang lain untuk dibakti-i? Tersengatkah saat seorang anak meneteskan air mata ketika menembangkan lagu Bunda di televisi kecil kita?

Rasakan getar gerak dan sengat itu. Hunjamkan ke dalam hatimu, riuh perasaan sayang yang mendatangimu. Lekatkan ke kedalaman dinding sebongkah daging merah dalam dadamu.

Rabalah dan nikmati.
Itulah kasih sayang Ibu, Nak….


Rawasari, 071208

***

Salam,
untuk mengenang kedua ibu kami :
Ibu Sri Rejeki dan Ibu Siti Syamsiyah.
Kami selalu berdo'a untukmu, Ibu.

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://3.bp.blogspot.com

HARI INI


Mau apa ya, hari ini?

Long weekend 3 hari, include libur Idul Adha, mau ke mana ya?

Kendati sudah saya mantapkan hati, bahwa libur (cukup) panjang ini kami tetap di Jakarta dan tidak pulkam alias pulang kampung, tapi detail rencana liburan ini, terus terang belum saya putuskan.

***

Semula saya tak merasa "bersalah" manakala saya belum memiliki "agenda khusus" berkaitan dengan hari-hari yang akan datang. Tapi, setelah membaca salah satu tulisan Samuel Tirtamiharja yang berjudul "Hari Ini", saya merasa ditohok untuk kesekian kalinya mengenai manajemen waktu.

Berulang kali? Ya, karena sebenarnya sudah banyak "peringatan" yang dikirimkan Tuhan melalui ucapan sahabat, melalui buku-buku para "suheng", melalui kutipan-kutipan dalam success story seseorang yang telah menjadi "orang besar", sudah "jadi orang", dan istilah orang sukses lainnya. Bahkan juga melalui "takdir" Tuhan untuk saya sendiri!

Apa kata Sam Tirta?

"Strike while the iron is hot!" katanya, menirukan sebuah pepatah lama.
"Jangan menunda suatu cita-cita yang indah untuk hidup ini!"

Itu intinya.

Perubahan dalam hidup, ditentukan oleh apa yang kita lakukan setiap hari. Juga apa yang kita ubah setiap hari. Mau diubah ke arah yang lebih baik, sama seperti kemarin, atau malah mau diubah menjadi lebih buruk dari kemarin? Keputusannya ada pada kita.

Apakah hari ini akan kita jadikan "hampa", "tanpa makna", atau justru "sarat makna", kita sendiri yang memutuskan.

Setiap hari, kita dihadapkan pada pilihan : (1) bayar sekarang, main kemudian; atau
(2) main sekarang, bayar kemudian?
Sedikit "bersusah" dulu, bekerja keras saat ini, untuk "bersenang-senang" dan menikmatinya kemudian; atau bersenang-senang dahulu, baru susah kemudian?

Saya semakin merasa "terlambat" untuk memutuskan "isi" hari-hari yang akan saya lalui....
Ah!

***

Masih dari Sam Tirta, ada sebuah inspirasi penting : "Jadikan hari ini sebagai hari terpenting Anda!"
Jika Anda menjadikan hari ini sebagai hari terpenting bagi Anda, maka Anda siap untuk menikmati sesuatu yang belum pernah Anda alami.

So, jika prinsip bahwa "hari ini adalah hari terpenting" kita laksanakan setiap hari, maka hari-hari kita akan senantiasa menjadi hari yang bermakna.

"Orang paling sukses dalam kehidupan ini adalah mereka yang cepat menuntaskan persoalan-persoalan penting dan mengelolanya setiap hari," kata John Maxwell.

So lagi, mari kita tetapkan, bahwa hari adalah hari terpenting bagi hidup kita. Bagi keluarga kita. Bagi pasangan hidup kita. Bagi anak-anak kita. Bagi teman-teman kita. Bagi sahabat-sahabat kita. Bagi perusahaan kita. Bagi bisnis kita. Bagi masa depan kita.

***

Jadi, mau apa ya hari ini? Mau ngapain saja ya, di tiga hari libur ini? Mau mengagendakan apa ya, untuk pekerjaan di minggu depan? Untuk weekend minggu berikutnya? Untuk minggu depannya lagi? Dan seterusnya dan seterusnya?

Saat ini, ada pekerjaan kantor yang terpaksa saya bawa pulang. Ada janji untuk mempersiapkan makalah karena ada pemintaan "bicara" di depan para calon pensiunan sebuah institusi. Ada permintaan tulisan yang belum saya buat. Ada kelanjutan pertandingan bulutangkis dalam rangka ulang tahun perusahaan. Ada janji untuk mempersiapkan perayaan sederhana ulang tahun anak saya. Ada rencana mberes-mberesin koleksi buku yang mulai amburadul lagi. Ah, begitu banyak yang harus saya lakukan, dan itu semua pasti kacau balau --bahkan banyak yang akan tak terselesaikan-- bila saya tidak me-manage waktunya.

Jadi?

Jadi, saya lebih baik pamit dulu. Mau segera bikin schedulle. Mau segera "berbuat", agar waktu ke depan semakin bermakna. Agar masa depan yang cemerlang itu semakin nyata. Amien...


Salam,

Fajar S Pramono

NB :
Inspirasi-inspirasi Sam Tirta (Prof. Ir. Samuel H. Tirtamihardja, MSc) bisa Anda baca dalam buku Inspirasi 5 Menit, diterbitkan oleh Yayasan YASKI-Heartline Center, 2008.


Ilustrasi : eriksupit.files.wordpress.com

PRODUKTIVITAS


Ada beberapa teman yang kemarin menanyakan, "Kok tumben berpuisi lagi?"

Ada juga yang sekedar menanya, "Ada maksud apa nih, kok postingnya dalam bentuk puisi?"

Ya, ini berkaitan dengan posting saya sebelum ini (Ujung Lembata Masih di Mata).

***

Baiklah. Saya jelaskan. Bahwa "puisi" (saya kasih tanda petik, soalnya saya sendiri nggak ngeh banyak soal puisi, meski cukup banyak puisi saya yang "diakui" oleh redaksi media massa yang kemudian memuatnya, hehe...) yang saya buat kemarin hanyalah salah satu bentuk apresiasi saya atas sebuah produktivitas yang ditunjukkan seorang F. Rahardi.

Saya sendiri belum pernah mengenalnya secara langsung. Saya hanya sering membaca tulisan-tulisannya. Baik karya yang sastrawi (puisi, novel), esai (sastra, pertanian, agribisnis, bahkan politik) maupun karya dalam bentuknya yang lain.

***

Tentang produktivitas, apa yang sedang dilakoni oleh F. Rahardi tak ubahnya seperti apa yang dilakoni oleh Cak Eko (lihat posting "Luar Biasa, Cak Eko!"). Dalam waktu singkat --sejak Juli 2008, ia sudah mengeluarkan 2 buku (15 Jurus Antirugi Buka Usaha Rumah Makan dan "Obat" Paling Mujarab Sembuhkan Penyakit Penyebab Kebangkrutan Usaha), di luar buku pertamanya yang terbit tahun lalu (Resep Paling Manjur Menjadi Karyawan Kaya Raya). Hebatnya, dalam waktu dekat akan segera terbit buku ke-4-nya, yang direncanakan berjudul Kiat Menggapai Sukses dengan Modal Tekad dan Sedekah.

Atau juga produktivitas "gila-gilaan" seorang Arswendo Atmowiloto. Hanya dalam rentang bulan, setidaknya tercatat 5 buah novelnya diterbitkan pihak Gramedia : Horeluya, Blakanis, 3 Cinta 1 Pria, Dewi Kawi, dan Mereka Memanggilku Malaikat. "Gila" dalam arti yang positif : luar biasa...

F. Rahardi pun saya nilai sangat produktif di novel belakangan ini. Setelah Lembata, Ritual Gunung Kemukus, sebentar lagi kita "dijanjikan" akan bertemu novel ketiganya : Para Calon Presiden. Lagi-lagi, ck ck ck.. luar biasa....

***

Omong-omong tentang produktivitas, maka kita semua juga dituntut untuk produktif, di bidang kita masing-masing. Bukan begitu?

Namun, apa sih sebenarnya definisi produktivitas itu?

Definisi sederhana dan mudah dimengerti salah satunya adalah : perbandingan antara jumlah keluaran (performance) dengan energi (waktu dan tenaga) yang dikeluarkan.
Ini definisi "singkat padat" versi KH. Toto Tasmara.

Dan omong-omong lagi tentang produktivitas, tahukah Anda bahwa tingkat atau derajat produktivitas bisa diukur dari beberapa indikator, yang salah satunya adalah kecepatan jalan kaki per satuan waktunya?

Kalau sudah tahu, Alhamdulillah. Kalau belum, mari kita lihat.

Hasil penelitian Levine (1984), Guru Besar Psikologi dari California State University terhadap kecepatan jalan para pejalan kaki di beberapa negara menunjukkan perbandingan yang lurus dengan produktivitas manusia di negara yang bersangkutan.

Singkat kata, dari enam negara sampel hasilnya adalah sebagai berikut :

Untuk menempuh jarak 100 kaki (23,8 meter), maka manusia di :
1. Jepang, membutuhkan waktu 20,7 detik
2. Inggris, membutuhkan waktu 21,6 detik
3. Amerika, membutuhkan waktu 22,5 detik
4. Italia, membutuhkan waktu 23,6 detik
5. Taiwan, membutuhkan waktu 24,2 detik
6. Indonesia, membutuhkan waktu 27,2 detik.
Hmm....
Kesimpulannya, manusia Indonesia paling lamban (santai) dalam hal berjalan kaki.

Kenapa ini bisa dibandingkan dengan tingkat produktivitas? Karena, perspektif penggunaan waktu berkorelasi dan berpengaruh kuat terhadap proses psikologis, mulai dari motivasi, emosi, spontanitas, kesiapan menempuh risiko, kreativitas dan penyelesaian persoalan. Nah lo....

Tak cuma itu. ada juga riset "iseng" (tapi serius kok) tentang kecepatan mengetik manual. Di Indonesia, jarang sekali yang bisa mengetik dengan jumlah hentakan sebanyak 300 hentakan per menit. Bahkan, kursus mengetik di negara kita sudah akan menyatakan "lulus" jika kemampuan mengetik kita ada di angka 120 hentakan per menit.

Sementara, tahukah Anda berapa kecepatan mengetik para sekretaris berkebangsaan Amerika di Kedubes AS di Indonesia? Lebih dari 300 hentakan per menit, dengan tingkat kesalahan kurang dari 10 persen! Nah lo lagi...

***

Saya yakin, itu bukan masalah kaki kita lebih pendek dari orang Jepang, Inggris, Amerika, italia, atau Taiwan. Juga bukan masalah jari para sekretaris berkebangsaan Amerika itu lebih panjang atau lebih lentik dari gadis-gadis asli negeri kita.

Saya sendiri sering mengalami, betapa saya harus "bersusah payah" mengikuti para pengusaha sukses (enggak peduli ia orang Cina, Jawa atau Padang), ketika melakukan survey keliling pabrik, meninjau lokasi usaha dan sebagainya. Rata-rata kecepatan jalan kaki mereka di atas rata-rata! Buktikan sendiri.

***

Inti pertama, mari kita berbesar hati jika kita masih dinilai belum atau kurang produktif. Inti kedua, yakinlah, bahwa tak ada alasan fundamental bagi kita untuk "kalah produktif" dibanding orang lain. Inti ketiga, yakini bahwa kita semua masih bisa meningkatkan derajat produktivitas kita sampai taraf optimal, atau bahkan maksimal.

Ayo, kita bisa, Mas, Mbak!

F. Rahardi, Cak Eko dan Arswendo Atmowiloto sudah membuktikannya! Sekarang, giliran kita, Kawan!


Salam semangat,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://azuranime.files.wordpress.com

UJUNG LEMBATA MASIH DI MATA


:: F. Rahardi


Ujung Lembata masih di mata
ketika kau ajak aku menyeberang pulau bernusa
Bahkan pun bau tanah Lewoleba
masih tersangkut dalam bulu hidung
yang tegak berdiri pada kedua lubang buatan-Nya

Ujung Lembata masih di mata
ketika gegar Gunung Kemukus kau hadirkan
secara tegak berdiri menutup sapuan pandang
kedua mata hasil ciptaan-Nya

Aku bahkan merasa bau badan Ola sang Luciola
masih menempel lekat pada seringai tubuh hitamku
Sebagaimana sosok Romo Pedro
yang demikian kuat beriman
dalam godaan kasih asih yang menggelora

Sekuat ingat juga pada asap ikan bakarmu yang membubung
setelah menyapa Solor, Adonara dan Ile Mandiri-mu

Terkesiap aku malam ini manakala
Romo Drajad menjemputku
juga Romo Islam yang Romo Jowo itu

Tak ada selubung keinginan mereka yang lain kecuali
sekedar untuk menggugatku
sehanya mempertanyakanku
karena aku telah menjadi Badrun
dalam kisahmu

Jakarta, 301108


---
Salam,

Fajar S Pramono

Catatan :
Sebuah apresiasi untuk wawasan pandang baru dari seorang F. Rahardi.
Agustus lalu, saya "diajak" beliau melihat Lembata di Nusa Tenggara Timur, melalui kisahnya dalam novel Lembata (Lamalera, Juli 2008). Kini, saya sudah "bersama" beliau di Gunung Kemukus Jawa Tengah, membacakan halaman demi halaman dalam novel Ritual Gunung Kemukus (Lamalera, November 2008). Sebuah kinerja sastra riset sekaligus sastra historis yang luar biasa menurut saya.
Selamat, Bung! Saya tunggu Para Calon Presiden-mu!

Ilustrasi : Sebuah pemandangan salah satu gunung volcano di Lembata. Diambil dari image53.webshots.com.

ORANG CERDAS


Dari jalan-jalan ke blognya Bang Eben (http://www.sarimatondang.blogspot.com), ketemulah saya dengan kata-kata Einstein yang ada dalam artikel Sang Guru Etos, Jansen Sinamo yang diposting Bang Eben.

Kata Einstein, "Orang cerdas ialah orang yang mampu membuat perkara sulit jadi mudah dipahami, sedangkan orang bodoh sebaliknya, membuat perkara mudah jadi sukar dimengerti."

***

Ah, saya yang pada awal memulai menulis artikel perbankan untuk UMKM di media massa dengan gaya dan bahasa yang sangat "lugu" dan "polos" (ehm!) --ini sangat beda dengan tulisan-tulisan saya terdahulu di bidang politik dan sastra-- rada-rada malu, kini jadi sangat bangga.

Memang, saya terinspirasi dengan Mas Safir Senduk. Tulisannya sangat membumi. Bahasanya sederhana, tanpa mengurangi inti materi yang mau disampaikan. Membaca tulisannya, seolah merasakan Mas Safir sedang "bicara" dengan saya. Dan ternyata, "gaya" seperti itu menciptakan respon yang baiknya luar biasa.

Itulah kecerdasan Mas Safir. Ia mampu menjelaskan sesuatu yang baru dan semula "sulit" menjadi mudah dipahami.

***

Dua buah pesan pendek dari orang yang sama di hp saya, tadi malam (26/11/08) pukul 23:47:06 dan 23:58:46 berbunyi :

"AssWrWb.Mas Fajar,sy Budi 26th dr Probolinggo-Jatim. 1 thn yg lalu sy mmbli buku Anda "RAHASIA SUKSES NGUTANG DIBANK", saat ini sy mmbthkn dana u/ pngmbgn usaha toko&sy mngajukn kredit di BRI Cab.PROB yg msh dlm proses.Sy mngucapkn trmksh yg bnyk krn dgn trik2/ilmu dr Buku Mas Fajar sy lbh mngenal prBankan."

"Ohya Mas,slma 4 thn sy mengmbgkn usaha toko retail perlengkpn sekolah sdh mmiliki 3 otlet. Sltlh mengkti Seminar Purdie Chandra di Entrepreneur University sy Jd ikut praktekkan "BOSOL" Dan dibimbing jg dari Buku krgn Mas Fajar. Skli lg trmrh bnyk, smoga Mas & keluarga sht w afiat slalu, amin3X. Budi-PROB."

Ini salah satu kebahagiaan saya. Tak sedikit pembaca yang berkabar karena merasa terbantu. Tak sedikit yang berkirim sms bahkan telpon langsung untuk "konsultasi". Apa yang bisa saya berikan, Insya Allah akan saya sampaikan. Tapi tentu saja, juga tak hanya satu dua kritik --bahkan "gugatan"-- yang masuk untuk pengembangan diri saya. Untuk semuanya, saya berbahagia dan berterima kasih.

(catatan red : mudah-mudahan tidak dianggap sebagai ketakaburan, amien)

***

Ah, naskah bakal buku saya yang saat ini ada di penerbit, juga kembali menggunakan bahasa-bahasa yang ringan. Bahkan "sangat ringan". Dengan model "obrolan", apalagi. Mudah-mudahan saya bisa mentransfer sesuatu menjadi lebih mudah dipahami.

Dan dengan itu, saya bisa tergolong sebagai bagian dari orang-orang yang cerdas... hahaha! Amien....


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://inibukuanak.files.wordpress.com

KAMBING


Tak sampai dua minggu ke depan, Idul Adha. Ingat hari raya kurban, ingat kambing. Ingat sapi.

Saya tengah membaca bagian awal kisah seorang Matari Anas, seorang tokoh sentral dalam novel 9 Matahari karya Adenita (Grasindo, 2008), ketika saya menjadi teringat akan sesuatu. Sesuatu itu juga "berbau" kambing.

Adalah Matari Anas, seorang muda yang diceritakan tinggal di pinggiran Jakarta --bahkan pingsel alias pinggiran sekali-- yang sangat tinggi semangatnya untuk sekolah, namun terkendala masalah klasik : biaya.

Ketika pada akhirnya ia "berhasil" berkuliah, tentu itu merupakan sebuah perjuangan yang tak ringan yang musti ia lakoni. Dan itu salah satu inti dan pembelajaran dari kisah dalam novel setebal 359 halaman + xii itu.

Saya jadi ingat kejadian tahun 1992 dulu. Tahun di mana saya lulus SMA, dan kemudian memutuskan untuk terus sekolah.

"Pokoknya, Jar. Kalau kamu nggak diterima di negeri, Bapak nggak sanggup membiayai kamu di swasta. Bapak akan belikan saja kamu beberapa ekor kambing, dan jadilah gembala. Angon*) sana!" kata bapak saya waktu itu.

Deg! Meskipun seharusnya saya tidak perlu kaget, mau tak mau itu jadi beban. Saya paham kondisi keluarga, sekaligus kemampuan ekonomi orang tua waktu itu.

Saya hanya mengangguk.

Itu sebabnya, saya ambil IPC waktu itu, yang memungkinkan adanya lebih banyak pilihan fakultas dan universitas. Strateginya : dua pilihan teratas adalah pilihan ke fakultas-fakultas "berat" (terutama karena persaingannya), dan satu pilihan "ringan" sebagai pilihan ketiga. Pikir saya, kalau dua pilihan utama nggak masuk, saya optimis diterima di pilihan terakhir. Yang penting, bisa kuliah di universitas negeri. 'Daripada angon kambing di kampung?' batin saya waktu itu.

Dan benar. LoA yang bicara, mungkin. Karena optimisnya di pilihan ketiga, ya pilihan terakhir itulah yang saya dapatkan.

Alhamdulillah, akhirnya saya diijinkan kuliah, lulus 6 tahun kemudian (hehe, saya termasuk "mapala" : mahasiswa paling lama...), dan akhirnya jadi pekerja seperti sekarang ini.

Bukan tidak bersyukur, ketika saya ingat kejadian di atas. Kenapa sih, waktu itu saya berbuat seolah hanya demi menghindari jadi gembala kambing?

Saya mencoba mencari excuse. Mencari pemakluman --bahkan pembenaran-- diri atas pilihan yang saya ambil.

---
Ya, karena dulu saya belum terkena virus wirausaha. Entrepreneurship. Ini salah satu excuse saya.

Mungkin, kalau dulu saya sudah memiliki jiwa wirausaha, saya tak akan risau dengan opsi yang bapak saya berikan. Jadi gembala kambing, kenapa tidak?

Bukankah dari dua ekor kambing, bisa menjadi banyak kambing? Entah dengan dikembangbiakkan, entah dengan memeliharanya secara baik hingga menjadi besar, bernilai lebih, dijual, dibelikan "bakalan" lagi, dan seterusnya sehingga pada akhinrya saya bisa menjadi juragan kambing?

Siapa yang bilang, bahwa "gaji" juragan kambing lebih kecil daripada pegawai kantoran? Ya, kalau kambingnya tak sampai sepuluh ekor. Kalau puluhan? Kalau ratusan atau bahkan ribuan? Nah lo...

Ketika beberapa minggu lalu saya ke Pekanbaru, saya berkesempatan menengok sebuah peternakan sapi. Di sana, sapi impor dari Australia digemukkan. Sekitar 3 bulan kemudian, baru dijual, dengan harga yang tentunya memiliki margin keuntungan yang berlipat dibanding harga beli plus harga pokok pemeliharaannya.

Dan siapa yang "menunggui" peternakan di hamparan 300 hektar serta berada di daerah "kampung" yang jauh dari perkotaan itu? Seorang anak muda, umurnya baru kepala dua, yang bersedia tinggal di sebuah rumah di tengah-tengah hamparan lahan peternakan dan bersedia meninggalkan glamouritas kehidupan Jakarta yang sesungguhnya bisa ia temui dan ia ikuti setiap hari!

Ia merasa jauh lebih berbahagia hidup di tengah sapi-sapinya daripada hidup di tengah keruwetan Jakarta. Baginya, memandang dan "bergabung" dengan ribuan sapinya, "berkotor-kotor" dengan kotoran sapi di kandang-kandang, dan mengelus badan sapi sebagaimana mengelus "seorang kekasih" dengan hayatan perasaan cinta, jauh lebih menyenangkan. Damai. Toh, ketika sekali waktu atau kapanpun ia ingin kembali ke "peradaban kota", ia tak akan mengalami kendala karena kesuksesan yang telah digenggamnya.

---
Excuse kedua : ya, mungkin inilah jalan terbaik yang diberikan Tuhan kepada saya.

Lho, kok seperti itu dibilang excuse? Nggak bersyukur ya?!

Bukan begitu. Orang mungkin memandang, bukannya sudah enak sekarang bisa jadi pegawai?

Ya, Alhamdulillah. Saya pasti bersyukur.

Tapi, ketika orang merasa "cukup", menganggap apa yang dimiliki saat ini adalah "yang terbaik", maka semangat untuk bisa "lebih dan lebih", baik dari segi prestasi, perolehan nafkah, pemenuhan kebutuhan, bahkan kebutuhan ilmu, bisa menjadi sangat kecil. Karena "kepuasan" tadi. Karena merasa sudah "mapan" dan "cukup".

Dan ini "bahaya" lho...

---
Jadi, masih sambil membaca novel Adenita di atas, saya membayangkan. Seandainya saat itu saya memilih jadi gembala kambing, sangat bisa jadi saat ini saya tinggal di sebuah lahan peternakan yang besar, dengan ribuan kambing yang menemani keseharian saya dan keluarga, di sebuah kampung yang adem ayem, sejuk, dan hangat kekeluargaannya dengan warga desa; dengan kebutuhan primer, sekunder bahkan tersier yang dapat terpenuhi dengan kendala tak berarti, hmmm....

Kenapa saya tak memilih itu ya?

Hidup memang sebuah pilihan!

Intinya, jangan pernah remehkan sebuah kesempatan. Jangan pernah lihat sebelah mata sebuah pilihan hidup. Di manapun, menjadi apapun, selama kita terus menjaga semangat untuk maju, semuanya adalah pilihan yang baik.

Modernitas atau justru ke-konvensional-an gaya hidup, tinggal di kota atau di desa, bekerja dengan dasi mencekik leher setiap hari atau dengan celana pendek dan berlepotan kotoran kambing pada sepatu boot kita, tak perlu di-dikotomi-kan bahwa salah satu lebih baik. Semuanya baik, selama itu semua dilaksanakan dengan benar dan menuju ke satu tujuan utama : beribadah, bersyukur, dan demi kebahagiaan dunia akhirat.

Bukan begitu?

Sekali lagi, hidup memang sebuah pilihan.


Salam,

Fajar S Pramono

*) angon = menggembala
Ilustrasi : http://3.bp.blogspot.com.