Dalam blognya, Bang Eben Ezer Siadari menulis "reportase" dan kesan beliau ketika "
brunch" di Warung Joe. Tak jelas apa nama warung itu yang benar, tapi orang memang mengenalnya dengan sebutan "Warung Joe". Joe sendiri adalah nama penjaga warung kopi dan mie instan di bilangan seputar Kramat dan Kwitang itu.
Tak sekedar nama warung yang tak jelas, bahkan, Bang Eben pun tak tahu siapa nama Joe yang sebenarnya. Sutarjo, Bejo atau Karjo? Entahlah. Ketiga nama itu pun sekedar tebakan dari Bang Eben sendiri.
Minggu lalu, juga dalam blognya, sastrawan Binhad Nurrohmat berkisah tentang Warung Alex. Sebuah warung di dalam kompleks Taman Ismail Marjuki (TIM), di mana sebutan "Warung Alex" mengalahkan nama warung yang sebenarnya : Pondok Rasa Cipta Selera.
Saya juga jadi ingat, bahwa beberapa kedai makan "legendaris" di seputar kampus saya di Solo dulu sesungguhnya adalah warung "tanpa nama resmi". So, di tempat Bu Marsih, kita menyebutnya "Warung Mbak Manis", karena pemiliknya yang dianggap manis. Ya manis orangnya, ya manis pelayanannya. Atau, jangan-jangan sebutan ini timbul karena masakannya yang manis ya? Hehe.. entahlah.
Persis di sebelah kantor yang lama, nama "Warung Uda" pun justru lebih terkenal daripada nama resminya yang "Roda Jaya". Nama "Bun Pin" sebagai pemilik toko obat, lebih terkenal daripada nama "xxx Farma" yang terpampang jelas di papan besar di tembok depan tokonya. Lalu, kendati sudah tidak menjahit sendiri, nama "Mang Kos" jauh lebih populer dibanding nama resmi "Penjahit Tasikmalaya". Kedua contoh terakhir ini ada di kampung saya, di Kutoarjo sana.
So, apa artinya? Saya tak tahu, apakah dalam konteks
business branding seperti ini pula, kata-kata Shakespeare "
Apa arti sebuah nama?" juga berlaku?
Tapi benar, banyak terjadi di jajaran bisnis usaha ritel perorangan, nama "brand" lebih identik dengan nama-nama
key person-nya. Memang, "
brand" dalam konteks ini bukan berarti "merek", namun lebih bermakna "nama usaha atau perusahaan."
Tapi, bukankah nama-nama itu yang sesungguhnya ingin dipopulerkan, sehingga penamaan usaha atau perusahaan itupun tidak dilakukan dengan gampang, apalagi sembarangan?
Jadi, apa kesimpulannya?
Begini saja. Kita sederhanakan kesimpulannya : bahwa
performance seorang
key person usaha, baik karakter orangnya, gaya pelayanannya, strategi pemenuhan kepuasan pelanggan dan bahkan kedekatannya dengan pembeli atau pelanggan sangatlah menentukan. Ia justru menjadi faktor kunci untuk usaha-usaha dibanding nama-nama "bombastis" yang seringkali dijadikan langkah
branding dalam strategi pemasarannya. Di samping kualitas produk dan kualitas layanan jasa itu sendiri tentunya.
So, itu pula yang membuat banyak orang lebih senang menggunakan namanya sendiri sebagai nama usaha, atau bahkan nama merek produk yang dihasilkannya.
Anda punya pendapat lain?
Salam,
Fajar S Pramono
Ilustrasi : www.leadingedgealliance.com
0 komentar:
Posting Komentar