Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

Usaha yang Layak di Mata Bank

Alhamdulillah, setelah begitu lama tak sempat berkumpul untuk melaksanakan “diskusi balai kampung” di pendopo, kerinduan akan kehangatan diskusi bersama Bli Wayan, Bang Sinaga dan Uda Mail dapat terwujud kembali malam ini.

“Akhirnya, bisa juga kita berkumpul lagi,” kata Bang Sinaga membuka obrolan.

”Betul, Bang. Padahal sudah cukup lama aku memendam pertanyaan buat Mas Ndoet... hehe,” Uda Mail menimpali.

”Apa itu, Da?” timpal Bli Wayan seketika. Wah, tampaknya diskusi malam ini bakal segera ”memanas”.

Bang Sinaga menggeser posisi duduknya, mendekat ke arah Uda Mail. Antusiasme dan rasa penasaran nampak jelas pada raut wajahnya.

Saya sendiri pun, sesungguhnya tak beda dengan Bang Sinaga. Saya pun beringsut mendekat.

Uda Mail cepat tanggap, dan langsung to the point.

“Betul, Mas Ndoet. Kemarin tetangga toko saya bertanya, kenapa permohonan kreditnya ditolak, sementara temannya yang berbarengan mengajukan permohonan bisa dikabulkan. Padahal menurutnya, skala usahanya tak berbeda jauh.”

Pandangan ketiga sahabat saya beralih kepada saya.

“Ehm,” saya mencoba memulainya dengan berdehem. “Saya tak akan bisa menjawab secara pasti, tanpa tahu kondisi detailnya.”

Semua terdiam mendengar jawaban saya.

”Tapi begini,” sambung saya demi melihat kevakuman yang terjadi, ”Saya akan bicara hal yang mendasar saja. Bahwa, hanya ada dua kondisi dari empat kondisi usaha saja yang layak mendapat pembiayaan atau kredit dari bank.”

”Apa saja itu, Mas?” sahut Bang Sinaga cepat.

“Empat kondisi usaha?! Seperti apa itu, Mas?” Uda Mail pun menyahut tak kalah cepat.
Saya tersenyum. Saya paling senang kalau ada antusiasme dalam sebuah diskusi.

”Kondisi usaha bisa dibagi menjadi empat kelompok,” saya meneruskan.

”Pertama, diistilahkan sebagai kelompok ’Star’. Usaha seseorang yang masuk kelompok ini adalah usaha yang masih dalam posisi terus berkembang alias growth, kuat dalam persaingan, tingkat return atau kemampuan menghasilkan labanya juga tinggi, bahkan memungkinkan untuk melakukan investasi baru. Usahanya sehat dan masih bisa tumbuh.”

Saya mengambil jeda sejenak, sekaligus menunggu tanggapan. Tapi tak ada respon yang menyela, sehingga saya pun meneruskan.

”Kedua, kelompok ’Cash Cows’. Usaha yang tergolong pada kelompok ini masih bagus, kuat bersaing, mampu menghasilkan laba yang tinggi, dan memungkinkan adanya investasi. Tapi sesungguhnya, prospek untuk meningkatkan sales atau penjualan sudah mulai sangat terbatas. Atau bahkan boleh dikatakan stagnan. Omzet dari periode ke periode sudah tak bisa bertambah. Bisa karena pasar yang terbatas, bisa juga karena kemampuan internal usaha atau si pengusaha yang tak mendukung.”

Saya mengambil nafas panjang, dan kemudian diam.

”Yang ketiga dan keempat, Mas?” Bang Sinaga tampak tak sabar. Saya tersenyum lagi.

”Nggak sabar ya, Bang? Hehe.... Yang ketiga, kelompok ’Dogs”.

”Dogs?” desis Bli Wayan.

”Itu sekedar istilah, Bli. Jangan diartikan secara harfiah...,” kata saya sembari melebarkan senyum. ”Di kelompok ini, pendapatan dari usaha sudah lebih kecil dari biaya operasionalnya. Ia sudah mulai merugi, tapi sesungguhnya masih punya kemungkinan untuk dikembangkan lagi, karena sebenarnya peluang pasarnya masih ada. Tapi ini perlu effort yang cukup besar. Misalnya dengan divestasi atau penjualan sebagian aset.”

”Ooo... begitu ya. Yang keempat?” respon Bli Wayan.

”Yang terakhir, kelompok ’Question Marks”. Tanda tanya. Nggak jelas,” kata saya.

Saya sengaja diam, untuk memancing rasa penasaran teman-teman, sampai akhirnya, ”Apanya yang nggak jelas, Mas?” suara Bang Sinaga yang mengedepan.

”Iya, nggak jelas. Maksudnya, nggak jelas lagi kemampuannya untuk bisa menangkap peluang pasar. Cash flownya juga sudah negatif. Gampangnya, usahanya sudah rugi, dan sangat kecil kemungkinannya untuk bisa eksis kembali.”

Ketiga sahabat saya mengangguk-angguk.

”Lalu, apa hubungannya dengan penolakan pihak bank ke tetangga toko saya tadi, Mas?” ujar Bli Wayan, mengingatkan permasalahan utama diskusi ini.

”Nha, begini,” saya mulai menerangkan kembali.

“Pada prinsipnya, pihak bank hanya akan bersedia membiayai dua dari keempat kelompok kondisi usaha tersebut. Yang mana kira-kira, Bang?” saya meminta respon dari Bang Sinaga.

“Hmm..., ya yang pertama dan yang kedua lah. Yang ‘Star’ sama yang... eh, yang apa itu, Mas? Yang kedua?” jawab Bang Sinaga balik bertanya.

”Betul!” kata saya senang, ”yang ’Star” dan yang ”Cash Cows”, Bang.”

”Nha... itu.... ’Cash Cows’!” sahut Bang Sinaga lagi.

Mengangguk-angguk membenarkan, saya melanjutkan, ”Nah, di kedua tipe kondisi itulah bank ’bermain’, alias menyalurkan kreditnya. Kenapa? Karena bank butuh kepastian repayment capasity atau kemampuan membayar kembali dari si nasabah. Bahkan, untuk tipe ’Star’, bank perlu meyakinkan dirinya bahwa usaha si nasabah akan bisa berkembang lebih cepat dari sebelumnya, karena itu yang menjadi tujuan pemberian kreditnya.”

”Nah, sekarang coba kita tengok sendiri. Jika kita pengusaha, masuk ke kelompok yang manakah kita?” kata saya pada akhirnya.

Uda Mail manggut-manggut. Tampaknya ia mulai ’menilai’ kondisi tetangga tokonya, dibandingkan dengan kondisi teman tetangga tersebut, dan juga kondisi usahanya sendiri –mungkin--. Ia tampak akan menanyakan sesuatu kembali, ketika Bang Sinaga lebih dahulu memecah keheningan yang tercipta. ”Hey, dari tadi kita belum pesen minum nih!”

”Cak Rifaaaan....!!!” akhirnya, justru suara Bang Sinaga yang terdengar, memanggil satu sahabat lagi yang selama ini tak pernah lelah menemani diskusi-diskusi kami dengan mak nyus-nya minuman dan makanan kecil yang dijualnya.

***


Salam,

Fajar S Pramono



-- dimuat di Majalah Wirausaha & Keuangan edisi 76, 22 Oktober - 22 November 2009 --

REST AREA

Entah kenapa, di telinga saya masih saja terngiang apa yang disampaikan seorang kawan saya pada sebuah pelatihan. Ketika diminta membuat sebuah gambar atau simbol yang menyiratkan sebuah "misi" atau "cita-cita" ke depan, ia menggambar sebuah jalan tol.

Menurutnya, jalan tol itu adalah sebuah jalan yang menyediakan segalanya. Utamanya, terkait dengan keberadaan rest area. "Melalui" rest area, jalan tol menyediakan tempat makan bagi yang lapar. Menyediakan arena istirahat bagi yang kelelahan. Menyediakan toilet untuk yang "kelebihan muatan". Menyediakan wahana ibadah untuk yang ingin melaksanakan kewajiban. Juga menyediakan stasiun pengisian bahan bakar untuk yang kehabisan bahan bakar.

Mungkin cerita Kang Isman --kawan saya itu-- terus terngiang karena hampir setiap hari saya menggunakan jalan tol. Ke kantor, lewat tol. Juga pada weekend atau liburan, karena saya tak suka berurusan dengan banyaknya lampu merah di ibukota. Karenanya pula, nyaris setiap hari saya melihat rest area.

***

Rest area, bagi saya, menunjukkan sebuah pentingnya sebuah jeda atau istirahat dalam perjalanan hidup kita. Mesin tubuh ini, baik yang berupa otot, otak, pikiran, tulang, dan sebagainya, memerlukan istirahat pada waktunya. "Mereka" tak mungkin diberdayakan secara maksimal tanpa adanya kesempatan beristirahat. Mata kita, apakah mungkin kita paksakan melek berhari-hari tanpa tidur, dan berharap kualitas melek-an yang sama sejak hari pertama? Bersamaan dengan itu, mungkinkan kita bisa memaksimalkan fungsi otak untuk berpikir pada hari ke-enam sejak kita tak tidur?

Mungkin pulakah kita menyuruh otot ini bekerja keras tanpa asupan makan dan minum berhari-hari, kendati ilmu kedokteran mengatakan bahwa kita akan kuat tak minum sampai dengan 48-72 jam, atau akan tahan tak makan sampai satu minggu asal minum air?
Rasanya tak mungkin juga.

Sesungguhnya, semua sudah terukur dengan baik. Ada libur kantor setelah lima atau enam hari bekerja fullday. Ada kepentingan bernama tidur setelah sekitar 18 jam kita beraktivitas. Ada pergantian sopir bus malam setelah 6 jam mengemudi. Ada 3 shift pekerja pada pabrik yang beroperasi 24 jam. Ada angka ideal bagi kesemuanya, kendati pada akhirnya relativitas kekuatan dan ketahanan akan bicara.

Karena itu pula, ada rest area yang nyaris tak pernah sepi sepanjang hari. Banyak hotel yang ber-occupancy rate di atas 80% kendati selangit harga kamarnya. Beribu tempat wisata di nusantara yang seolah tak pernah kekurangan pengunjung. Bejibun mall tak pernah kehilangan (calon) pembeli, yang berbelanja sembari "cuci mata". Ada puluhan ribu tempat makan yang diserbu pecinta kuliner, yang tak hanya kepingin memenuhi kebutuhan nutrisi, tapi juga kebutuhan taste. Juga (mungkin) jutaan salon, tempat spa, sauna, massage, karaoke, yang bahkan terpaksa menolak peminat.

Semua itu juga mengingatkan, bahwa kita adalah manusia yang memiliki keterbatasan. Kita bukan robot yang tak punya capek. Tapi ah, tidak juga. Banyak yang mengatakan juga bahwa mesin dan teknologi pun harus punya jadwal "istirahat". Karena itu jadwal overhaul mesin produksi. Karena itu ada service rutin mesin kendaraan. Karena itu ada pendinginan mesin, pendinginan motor kipas angin, pendinginan radiator mobil, dan sebagainya.

Istirahat, refreshing, pendinginan dan sejenisnya, tolong, jangan selalu diartikan sebuah kemalasan atau kemanjaan. Itu adalah bagian dari "kodrat", demi pemenuhan stabilisasi kualitas kerja, penjagaan kemampuan berpikir, bahkan peningkatan mutu dari kesemua proses hidup manusia. Hanya dengan pemberian kesempatan untuk "menarik nafas", maka otot ini, otak ini, pikiran ini, mesin ini, bisa bekerja dengan (tetap) baik, bahkan semakin baik dari hari ke hari.

Tapi, kalau tuntutan istirahat, refreshing atau pendinginan tadi sudah melebih kadar optimalnya, atau "tidak pada tempatnya", yang pada akhirnya justru mengganggu proses dan percepatan kerja, bolehlah kita mengartikan bahwa hal itu hanya sekedar dalih pembenar dari sebuah kemalasan.

Ya, seperti saya yang pagi ini pingin tidur lagi, meski semalem sudah tidur lebih dari tujuh jam! Hehehe...



Salam,

Fajar S Pramono

Hehehe... iseng! :)


Dari CoolPhoto.me. Thanks kreatifitasnya! :)