Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

MERAPATKAN (BUKAN MERATAPKAN) BARISAN


Pernahkah Anda memiliki sebuah tim kerja, yang lantas dengan semangat kita push kinerjanya?

Pernahkan Anda berusaha keras menciptakan tim yang "lebih" dalam segalanya? Kebaikan, kekompakan, kesolidan dan hasil kerja?

Kalau iya, Anda memang berbakat untuk menjadi pemimpin yang baik.
Dan kalau belum, berarti ada yang "salah" pada pola kepemimpinan Anda.

Intinya, siapa sih, yang tidak ingin tim kita senantiasa menjadi lebih baik?

Masalahnya, pernahkan ada mendengar, menyaksikan, atau bahkan mengalami bahwa maksud baik seorang pemimpin (atau Anda) untuk "me-RAPAT-kan barisan" berubah menjadi "me-RATAP-kan barisan"?

Bagaimana bisa?

Bisa saja, jika "cara-cara" kita untuk mem-push mereka menggunakan cara-cara yang "salah". Mungkin tidak sesuai dengan karakter dasar anggota tim. Mungkin tidak sesuai dengan kultur budaya keseharian para anggota tim. Atau mungkin strategi kita dianggap terlalu "maju" sehingga anggota kita justru menjadi kurang siap dengan perubahannya?

Atau, kita "lupa" memberikan pemahaman dasar dan kesadaran tentang pentingnya sebuah strategi baru, tentang pentingnya strategi itu dilaksanakan, sehingga strategi yang baik itu justru direspon secara negatif oleh anggota tim? Yang merasa keberatan lah, yang merasa "terpaksa" lah, yang dilaksanakan "setengah hati" lah, dan sebagainya, yang justru akan kontraproduktif terhadap tujuan strategi itu sendiri.

Maksud hati "merapatkan barisan", justru berubah "meratapkan barisan". Anggota tim "meratap" dalam kesedihan, merasa tak nyaman, merasa terpaksa, dan merasakan upaya "merapatkan barisan" tadi sebagai sebuah bentuk otoritarianisme. Kita seolah menjadi pemimpin yang "otoriter".

So, dalam upaya "merubah" barisan, hendaknya dibentuk terlebih dahulu kesadaran : kenapa sih, kita harus "berubah". Kenapa sih, kita memerlukan strategi baru. Mengapa kita harus bekerja lebih cerdas, atau bahkan lebih keras. Mengapa kita perlu "berkorban" lebih banyak waktu untuk pekerjaan tertentu. Dan sebagainya, dan sejenisnya.

Jika kesadaran itu sudah terbentuk, berbarengan dengan keyakinan bahwa tujuan yang lebih tinggi dapat dicapai dengan "kemauan untuk berubah", maka upaya "merapatkan barisan" tidak akan pernah tergelincir menjadi "meratapkan barisan".

Bagaimana menurut Anda?


Salam,

Fajar S Pramono

3 komentar:

yang ada saat ini masih meratapi atasan....he..he..karena semula barisan telah rapat menjadi bubar barisan...siapa yang salah..tentunya sang komandan....he..he..he..

 

Barangkali juga "aba-abanya" yang salah Mas. Karena kita banyak diharapkan supaya menjadi pasukan Superman. Maka bisa jadi yang diharapkan komandan terlalu berlebih kita lakukan, Mikul jadi kedhuwuren dan mendhen yang kejeron...
Eh ngomong - ngomong, postingan " Sabar " Mas Fajar yll, menginspirasi saya untuk menulis dengan judul yang sama . Thanks.

 

Gus Nhanks dan Gus Srul (Hehe.. ini panggilan model baru, Mas Tomcat, hehe).

Panjenengan semua benar. Makanya saya katakan "mungkin cara-cara kita (kita = yang memimpin) yang salah". Tidak melihat kemampuan anak buah, tentu salah. Bahkah saya katakan, bisa-bisa kita yang dianggap terlalu "maju", hehe... ('maju' kok salah ya?! Hihihi...)

Meratapkan (bukan meratapi) barisan, itu memang sama saja membuat barisan bubar, Mas. Setuju saya. Itu berarti juga meratapi atasan. :)

Tapi kalau anak buah yang --sori-- keterlaluan, atasan dong yang meratapi bawahan! Iya kan? Masalahnya, meratapi bawahan, barisan komandan yang satu atau dua orang itu nggak bisa "dibubarkan" ya? Hehehe...

Yo wis, pokok-e, terus semangat, dan berikan yang terbaik. OK?