Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

TENTANG UANG


Saya masih jengkel.
Sebuah perasaan yang tidak baik, yang sebenarnya justru semakin "makan hati" jika dipiara.

Sebenarnya, jengkel ini sudah sejak beberapa hari lalu. Ketika dengan mata kepala telinga sendiri, saya melihat dan mendengar secara langsung seorang kaya, sukses dan populer begitu "meremehkan" integritas semua orang. Sekali lagi, semua orang!

Ia seolah tak sadar bahwa kami (ya, saya tidak sendiri, --bertiga--), justru kemudian memiliki penilaian yang sangat negatif tentang mereka. Ya, mereka merasa bisa "membeli" orang. "Membeli" integritas. "Membeli" prinsip.

Dan, orang-orang yang ia contohkan dapat ia "beli" adalah orang-orang seprofesi kami! Agar orang-orang itu mau mengangkangi rules of the game di institusi. Korps. Jauh dari itu, mengkhianati integritas. Bahkan mencoba memantati prinsip yang telah dibangun dalam sebuah ketetapan hati.

Astaghfirullahal'adziim. Kami tetap tersenyum. Tetap sabar, meskipun saya pribadi merasa "diinjak-injak".

Saya mencoba melupakan, karena sejatinya tak sekali dua saya bertemu orang yang seperti itu.

Tapi, kok ya kebetulan. Ndilalah-nya, kata orang Jawa. Kok kemarin lusa --tak sampai seminggu kemudian--, saya bertemu lagi orang yang memiliki prinsip serupa tapi tak sama. Yang merasa semuanya akan bisa diatur jika ia punya uang.

Walah-walah... mungkin ini yang menyebabkan Pak Tung Desem Waringin banyak bertemu dengan orang yang menganggap bahwa "uang adalah akar kejahatan."

"Dia yang berpendapat bahwa uang dapat melakukan segalanya, mungkin layak dicurigai melakukan segalanya demi uang," begitu kata Benjamin Franklin.

Saya nggak tahu, apakah saya salah dalam memaknai petuah itu. Atau bahkan, saya salah karena menganggap bahwa petuah itu benar.

Padahal, kata Pak Tung, kata Pak Adi Gunawan, kalau kita menganggap uang sebagai sebuah sumber perilaku negatif (semisal "kejahatan" tadi), kita tak akan dihampiri oleh uang. Pendeknya, kita nggak akan kaya.

Tapi, kalau dengan kepemilikan lantas orang merasa bisa "membeli" segalanya, apalagi jika untuk kepemilikan itu seseorang menghalalkan segala cara, apa iya saya bisa setuju?

Mungkinkah yang lebih tepat memang "Saat ini, segalanya memang (seolah) perlu uang. Tapi uang bukan segalanya."

Saya cenderung setuju yang barusan. Saya butuh uang, tapi saya perlu yang namanya "berkah". Berkah itu bisa diperoleh dari cara mendapatkannya, juga dari cara memanfaatkannya.

Bukan begitu? So, adakah kata-kata "mutiara" yang paling tepat untuk menggambarkan seputaran hal ikhwal "uang" ini?

Please, mohon sharing dari pembaca. Saya yakin, dengan ungkapan yang tepat, akan membuat saya semakin mantap mencari dan --nantinya-- menggunakan uang. Termasuk, siapa tahu, bisa menghilangkan kejengkelan saya seperti saat ini. :)


Salam,

Fajar S Pramono

Ilustrasi : http://cari.uang.di.internet.googlepages.com

2 komentar:

insya4jj hal2 sperti itu yang membuat kita lebih termotivasi untuk berbuat lebih, saya sendiri kebetulan bekerja di persh. asing swasta yg bergerak di bid. pertambangan, dan memang dalam hal perijinan, memang sering sekali ditemui bahwa 'money is everything' bikin saya mules :D (muak terlalu kasar ya pak).padahal bumi INDONESIA ini kita yg punya, tp kenapa org lain yang dapet untung..hikss2x..

lo ko jd sedih2 an, btw eniwe..semangat terus ya pak!! ga usah jengkel2...klo perlu someday bapak yg jengkelin mereka :D, dengan menunjukkan bahwa integritas & kerja keras adalah hal utama menuju kesuksesan & kekayaan..aminnnnn

-emma-
www.kecantikanmu.wordpress.com

 

Thanks a lot, Bu Emma. Insya Allah, kita tetap semangat!

Saya setuju untuk membuktikan, bahwa integritas dan kerja keras adalah hal utama menuju kesuksesan dan kekayaan.

Bravo!

--Fajar S Pramono--