Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

"MELAWAN" KETERBATASAN


"Saya tak pernah memikirkan memiliki kaki atau tidak. Hal terpenting ikut kompetisi adalah karena saya masih memiliki anggota badan yang lain," kata Natalie du Toit.

***


Deretan kalimat itu membuat saya merinding tadi malam.

Pertanyaannya, siapakah Natalie du Toit?

Jika Anda cukup mengikuti pemberitaan seputar Olimpiade Beijing 2008 ini, Anda pasti mengenalnya.

Ia adalah seorang perenang maraton asal Afrika Selatan, yang memperkuat negaranya di nomor 10 km maraton putri.

Lalu, apanya yang hebat, sampai membuat saya merinding?

Hebat dan luar biasanya adalah : Toit hanya memiliki satu kaki!

Pada perlombaan renang 10 km maraton Olimpiade yang diikuti oleh 25 atlet itu, Toit berada di urutan 16, dengan catatan waktu 2 jam 49,9 detik. Rekor Toit sendiri hanya 1 menit lebih lambat dari Larisa Ilchenko, sang peraih emas dari Rusia. Toit bahkan lebih cepat masuk finish dibanding atlet muda berbakat Amerika Serikat --Chloe Sutton-- yang saat ini berusia 16 tahun.

Toit lahir di Cape Town pada 29 Januari 1984. Ia sudah tampil di kompetisi internasional sejak 14 tahun. Hingga pada akhirnya, pada bulan Februari 2001, di saat usianya 17 tahun, ia mengalami kecelakaan. Skuter yang ia tumpangi dalam perjalanan menuju sekolah, tertabrak mobil. Dan akibat kecelakaan itu, Toit harus merelakan kaki kirinya diamputasi pada batas lututnya.

Luar biasanya, tiga bulan kemudian Toit sudah kembali berlatih di kolam renang. Ia hanya melakukan penyesuaian. Jika semula ia berkonsentrasi di nomor estafet, dengan satu kaki ia memilih nomor jarak jauh yang dinilai tidak terlampau membutuhkan kekuatan kaki.

Hebatnya motivasi dalam diri Toti, ia tidak mau sekedar tampil di arena-arena kompetisi untuk orang cacat, meskipun di sana ia terus menorehkan prestasi. Ia tetap bersikukuh bisa membawa nama negaranya dalam sebuah kompetisi untuk orang-orang "normal".

Kegigihannya membawa hasil. Pada kualifikasi di Sevilla, Spanyol, ia merebut tempat keempat, yang memberinya tiket ke Beijing.

Jadilah sebuah pemandangan yang sangat mengharukan sekaligus sangat inspiratif : seorang pemakai kaki palsu, berjalan tegak ke dalam arena lomba, dengan begitu tegar melepas kaki palsunya, mengambil start bersama "orang normal" yang lain, dan berakhir dengan hasil yang tidak terlampau mengecewakan.

Tentang hasil lomba itu sendiri, dengarkan kata-katanya.
"Saya telah berusaha semaksimal mungkin. Saya belum puas dengan hasil ini. Tapi saya akan kembali di 2012 nanti!" kata Toit berapi-api. 2012, adalah jadwal Olimpiade yang rencananya akan dilaksanakan di London.

Lihatlah nyala semangat Toit. Tak sedikitpun ia mengeluhkan keterbatasannya. Tak sekalipun ia mempersoalkan kekurangannya. Tak ada kata-kata yang mengarah kepada sebuah pemakluman publik, bahwa ia "layak kalah" dengan kondisinya itu.

***


Masih dari Olimpiade Beijing, tengoklah juga Maarten van der Weijden. Perenang putra Belanda pada nomor yang sama dengan Toit. Nomor 10 km maraton.

Pada 2001, dokter memvonis bahwa Weijden menderita leukimia akut.Tapi, dua tahun kemudian, ia menunjukkan semangat yang sangat tinggi untuk tetap bertahan hidup. Bahkan digambarkan, ia seolah ingin melepaskan diri dari malaikat maut, dengan mengepakkan kaki dan tangannya lebih cepat, lebih cepat dan lebih cepat lagi.

Pada Olimpiade Beijing, ia meraih emas dengan catatan waktu 1 jam 51 menit 51,6 detik. Lebih cepat dari David Davies dan Thomas Lurz dari Inggris dan Jerman yang berada di urutan kedua dan ketiga.

Kemenangan Weijden pun cukup dramatis, karena sejak start hingga beberapa ratus meter menjelang finish, David masih memimpin. Dengan kekuatan motivasi yang luar biasa tinggi, Weijden mampu menyusul David, dan menempatkan diri sebagai peraih emas.

Dapatkan Anda membayangkan bagaimana seorang Van der Weijden bisa "mengalahkan" keterbatasan dan justru menjadikannya sangat kuat?

Ia mengaku sangat lelah dengan kondisi sakitnya. Bahkan, ia mengaku sangat tersiksa. Sudah tujuh tahun lamanya, ia harus menahan sakit ketika penyakitnya itu kambuh. "Saat berbaring di rumah sakit, saya tak dapat lagi menggambarkan rasa sakit itu," katanya.

Bahkan katanya, "Saat Anda berbaring kesakitan di rumah sakit seperti saya, Anda tak akan bisa berpikir apa yang akan terjadi minggu depan atau bulan depan. Pasti hanya tentang apa yang terjadi satu jam lagi...."

Luar biasa, Weijden. Semoga raihan emasmu bisa menjadi obat mujarab bagi penyakitmu. Semoga pula, penghargaan sebagai yang nomor satu bisa membayar semua "penderitaan" yang engkau alami selama ini. Aku berharap, Tuhan memberi "mukjizat" kesembuhan dan kesehatan untuk kamu... amien.

Do'a saya, juga untuk Toit.

***


Salam inspirasional,

Fajar S Pramono


Photos : www.daylife.com, uk.eurosport.yahoo.com, english.people.com.

0 komentar: