Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

SEBUAH KISAH, SEBUAH CERMIN (1) --Rhenald Kasali


Saya sudah berulang kali membaca kisah ini. Sungguh, tak terhitung. Dan sungguh pula, saya menangis --benar-benar menangis mengeluarkan air mata-- setiap kali membacanya.

Pertama, tentu karena isi kisah itu sendiri. Begitu menyentuh untuk saya. Kedua, karena kisah ini dialami oleh seorang Rhenald Kasali. Seorang yang tentunya merupakan sosok tegar, sosok beridealisme, sekaligus sosok yang sangat kuat empati dan simpati dalam perasaannya. Di tengah gunungan kesibukannya. Di tengah guliran waktu yang seolah senantiasa memburu jadwal-jadwalnya. Sungguh, saya tak menyangka orang sesibuk dan sepopuler Rhenald memiliki kisah seperti ini.

Entah saya yang cengeng, entah saya yang sok sensi. Yang jelas, bukan salah Rhenald, dan bukan salah Ida Arimurti yang memasukkan kisah ini ke dalam bukunya. Buku Renungan Ida Arimurti.

Tapi, saya memilih jujur. Saya memang menangis. Sebenar-benar tangisan. Terlebih jika saya membacanya, di "ruang semedi" saya. Menjelang mandi pagi...

Saya tidak akan mencuplik kisahnya. Saya bahkan seratus persen menyadurnya. Semata agar kisah ini tak kehilangan roh. Semata agar cerita ini tak kehilangan nyawa.



--- TEMAN SPIRITUAL ---
by Rhenald Kasali

Lebaran baru saja usai. Jalan-jalan di Jakarta masih sepi, toko-toko, dan kantor-kantor belum resmi dibuka. Hari itu, saya sedang mengendarai mobil menuju kampus Depok. Sudah sebulan ini, saya melakukan konsentrasi penuh untuk merampungkan buku saya yang kelak diberi judul Change.

Kalau Anda pernah menulis buku, tentu tahu betapa banyak waktu yang harus dicurahkan. Seperti membangun sebuah rumah, pekerjaan yang memakan waktu justru terletak di ujung penyelesaian, yaitu tahap finishing. Dengan demikian, saya benar-benar konsentrasi, dari pagi hingga ke pagi lagi, setiap hari di kantor. Semua pekerjaan lain terpaksa ditunda. Saya benar-benar tenggelam dengan kertas, buku, komputer, dan dua orang staf yang membantu. Mereka juga terpaksa memperpendek waktu cuti mereka.

Tiba-tiba, persis di pintu tol Depok-Pasar Minggu, telepon genggam saya berdering. Saya melihat layar dan, ternyata, dari sekretaris saya yang sudah lebih dahulu berada di kantor.

"Pak, maaf, saya ganggu...," ujarnya.

"Ya, silakan, ada apa?" sahut saya.

"Ini, Pak, Adit meninggal pagi ini.... Tadi, ibunya memberi tahu...."

Saya segera menepikan kendaraan saya. Jantung saya tiba-tiba berdegup keras sekali. Sudah tiga hari ini, saya memang merasa tidak nyaman. Sekarang, jelas sudah penyebabnya. Perlahan-lahan, mata saya mulai lembap, saya benar-benar terpukul. Padahal, sewaktu ayahanda saya meninggal enam tahun yang silam, saya masih bisa bersikap tegar. Saya ingat betul pesan Ayah..., "Jangan cengeng, terima semuanya dengan kepala tegak."

Bahkan, saya masih bisa mengajar meski hati saya hancur berkeping-keping. Saat itu, di kampus Salemba, saya hanya berharap waktu cepat berlalu dan saya bisa kembali ke rumah jenazah di seberang jalan untuk memandang jasad Ayah yang terbujur kaku. Namun, saya bisa menahan tangis.

Kali ini, kepergian Aditya tidak bisa saya terima. Ia pergi terlalu cepat. Usianya baru 10 tahun. Hidupnya penuh penderitaan. Dan, saya pun belum sempat menyalaminya, hanya memberi semangat lewat telepon. Saya benar-benar berutang karena saya pernah berjanji akan menemuinya. Saya merasa benar-benar egois. Saya benar-benar menyesal tenggelam dalam pekerjaan.

Pantaslah seminggu ini saya merasa tidak nyaman. Sesekali, jantung saya berdetak tinggi. Setiap saat itu datang dan setiap saya mengeluh kepada istri di rumah, ia mencoba menenangkan saya, "Abang terlalu capai," katanya menghibur. Saya pikir, mungkin ada benarnya juga. Saya memang benar-benar kurang tidur dan mata saya letih memandangi huruf-huruf di depan monitor. Namun, dari jendela kamar, kami sering mendengar cuat-cuit suara burung hujan. Bunyinya tidak begitu enak didengar. Mungkin burung-burung itu cuma berharap agar hujan segera turun.

Akan tetapi, di tempat tidur, saat anak-anak dan istri saya sedang bercengkrama di kamar, mereka sering membahas bunyi suara burung itu. Bahkan, istri saya membenci bunyinya. Katanya, itu pertanda tidak baik. "Biasanya, ada orang yang akan mati," ujarnya. Setiap mendengar kalimat itu, kami semua terdiam. Kami seperti sedang mengheningkan cipta. Rasanya, semua anggota keluarga kami baik-baik. Dan, kami berdoa agar semua baik adanya.

Namun, burung itu terus bercuat-cuit. Bunyinya semakin lirih, terkadang, ada dan terkadang, ia pergi.

Oleh karena itu, ketika dikabarkan Adit sudah tiada, saya benar-benar terpukul. Sekretaris dan staf-staf saya di UI sangat mengenal anak ini. Mulanya, mungkin mereka merasa aneh juga mengapa saya begitu menaruh perhatian kepada anak tersebut. Keluarga bukan, tetangga juga tidak.

Saya masih ingat betul pertama kali saya melihat Adit. Seorang anak sekolah dasar, bercelana pendek merah dengan baju putih lengan pendek dan bertopi, memberi bunga untuk ibunya yang berusia setengah baya. Anak itu saya lihat di sebuah stasiun televisi setelah kuliah subuh. Pagi itu, saya tengah berada di luar kota, di kamar sebuah hotel, seorang diri.

Sejak ditinggal almarhum ayahnya yang gagal ginjal, ibunda Adit harus bersusah payah membesarkan anak-anaknya. Ia mengendarai sepeda menjajakan sayuran dari rumah ke rumah, begitu selesai mengantar Adit ke sekolah. Rumahnya dijual untuk biaya rumah sakit almarhum ayah Adit. Namun, hanya dalam tempo enam bulan sejak ayahnya meninggal, Adit didiagnosis menderita leukimia. Akibatnya, ia butuh biaya besar. Ia juga tidak bisa sekolah dengan lancar. Selain biaya, fisiknya juga melemah. Akan tetapi, ibunya tak putus asa. Sebagai rasa cintanya kepada sang ibunda, tiba-tiba, Adit didatangkan di stasiun televisi itu. Diantar kakak-kakaknya, Adit menghadiahi ibunya rangkaian bunga.

Sejak saat itu, pikiran saya tidak dapat melupakan Adit. Besoknya, saya segera menghubungi stasiun televisi itu dan meminta alamat Adit. Setelah susah payah mencari-cari, beberapa hari kemudian, sekretaris saya berputar-putar di daerah Tangerang mencari rumah Adit. Butuh upaya khusus untuk mencari rumahnya. Dari situ, saya jadi mengerti betapa berat penderitaan keluarga ini. Rumah kontrakannya kecil, kusam, dan mereka sering kesulitan darah untuk transfusi Adit.

Pernah Adit terpaksa menunggu berhari-hari untuk mendapatkan darah. Ia harus menunggu di koridor rumah sakit dan menyaksikan orang-orang yang sedang sekarat. Terkadang, darah tidak ada, padahal wajahnya sudah pucat pasi. Begitu dapat darah, Adit dapat menjadi segar kembali. Beberapa kali, saya menghubunginya melalui telepon dan terdengar ucapan syukur begitu selesai mendapat darah.

Adit tetap tidak mengetahui saya, selain mendengar nama saya. Sampai suatu ketika, ia memberi tahu ibunya dengan menunjuk sebuah tabloid yang memuat foto saya. Indra ketiganya begitu tajam dan ia memberi tahu ibunya bahwa itulah saya. Oleh karena itu, setiap kali melihat saya di media cetak, ia pun memberi tahu ibunya dan hal itu diceritakan ibunya lewat telepon kepada saya. Adit mengatakan keinginannya untuk bertemu dengan saya, tetapi saya masih sibuk mengedit buku. Saya berjanji habis Lebaran pasti akan datang.

Bulan puasa pada 2004, saya terus ngebut menyelesaikan buku itu. Namun, begitu ada jeda sebentar, saya minta disambungkan ke Adit. Saat-saat terakhir itu, saya sering mendengar Adit sedang tertidur. Hati saya pu tenang, seakan-akan saya mengatakan, "Masih ada waktu." Dan, saya pun memacu kerja saya dan ingin cepat-cepat selesai.

Sore itu, ibunda Adit memberi tahu bahwa Adit ingin mainan Tamiya, lalu esoknya, anak-anak sayapun segera mengirimkannya. Malam takbiran, Adit terlihat sedih tak punya baju baru. tetapi, begitu baju didapat, katanya, Adit gembira kembali.

Beberapa hari kemudian, 19 November 2004, kabar buruk itu saya terima. Adit sudah pergi.... Saya benar-benar terpukul. Setelah putar-putar Jakarta tak keruan, saya pun segera menuju Tangerang. Di rumahnya, saya berhasil mencium kening Adit, hanya beberapa saat sebelum jasadnya diantar ke pemakaman. Saya menangis sesegukan seperti seorang anak kecil. Dia adalah teman spiritual saya. Saya telah berusaha bekerja lebih keras, lebih cepat untuk bertemu, tetapi ia keburu pergi. Usianya belum genap 10 tahun.

Di ujung ruangan, saya melihat mainan pemberian kami yang disimpan dengan apik. Dari ibunda Adit, saya menjadi tahu betapa besar penderitaan yang dialami Adit, hari-hari menjelang kematiannya. Ia sudah mulai bosan dengan jarum-jarum infus dan keinginannya hanya satu, bertemu dengan saya. Sayang, saya tidak mampu memenuhinya. Dan, itulah yang membuat saya sangat terpukul.

Nama Adit saya abadikan pada halaman-halaman depan buku Change yang terbit pada 2005. Dan, kalau Anda pernah membaca buku karangan saya itu dan membaca puisi kecil "In Memoriam, Aditya Tri Kusumo Putro", inilah kisahnya.


In Memoriam, Aditya Tri Kusumo Putro
(Setelah bertarung dengan Leukimia, wafat 19 November 2004 dalam usia 10 tahun)

Sahabat kecil yang merindukan pertemuan itu,
Kau pergi begitu cepat, sebelum keinginanmu terkabul,
Karena aku berharap dan terus berharap...
Tapi kau bersih, bening dan meninggalkan
Kesan yang begitu dalam
Kau membersitkan pengalaman spiritual
Yang tak terlupakan
Kalau kelak kita bertemu lagi,
Aku akan menjadi teman mainmu yang baik...
Tak ada lagi jarum atau sinar yang menakutkanmu



Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : blogs.psychologytoday.com

0 komentar: