Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

BELAJAR DAN KEBINGUNGAN YANG MEMENJARA


Alhamdulillah, Jum’at malam lalu (30/05/08), sempat ikut acara “Belajar dari Sang Maestro”. Sebuah seminar santai, yang digagas “suheng entrepreneur” Valentino Dinsi di Gedung Rektorat Universitas Jayabaya, Pulo Mas, Jakarta Timur.

Ya. Ini bagian dari pencarian passion diri. Entah kenapa, rasanya asyik saja bergabung dengan mereka para entrepreneur yang penuh semangat, setelah sehari-hari menjalani rutinitas di kantor.

Tak tanggung-tanggung, ada 9 pentolan komunitas entrepreneur yang hadir dan berbicara di sana. Ada Uda Badroni Yuzirman, founder Tangan Di Atas. Ada Pak Budi Utoyo dari Entrepreneur University. Ada provokator ”Sekolah Monyet” Bang Zainal Abidin dari Institut Kemandirian, Bapak Khaerussalim dari Entrepreneur College, Pak Bambang Suharno dari Indonesian Entrepreneur Society, Sahmullah Rifqi dari Oase School of Entrepreneur, jawara Wirausaha Muda Mandiri 2007 kategori mahasiswa Elang Gumilang yang sekaligus pendiri Maestro Muda Indonesia, Ibu Tukhas Imaroh yang dosen sekaligus pengusaha di bidang pendidikan anak, serta Bang Valent sendiri, presiden Let’Go Indonesia yang pada akhirnya didadulat sebagai Ketua Forum Entrepreneur Indonesia.

Apa yang mau saya ceritakan adalah, bahwa terlihat sekali perbedaan karakter, gaya, pola pikir, dan daya persuasi masing-masing pembicara, kendati semuanya bermuara pada satu tujuan yang sama : menggelorakan semangat entrepreneur di Indonesia.

Gaya meledak-ledak, tampak sekali pada guru Khaerussalim dan Budi Utoyo. Yang selalu ingin ”tampil beda” sekaligus gokil-kreatif tampak sekali pada sosok Zainal Abidin. Yang tenang dan pemikir tampak pada Bambang Suharno dan Uda Roni. Yang “ndosen” banget tampak pada gaya Bu Imaroh. Yang kritis dan sangat menyejukkan tampak pada penampilan Elang dan Sahmullah. Valent sendiri, terlihat berusaha secara aktif menjembatani perbedaan-perbedaan tersebut, lebih dalam rangka terus menghidupkan suasana forum.

Seseorang yang sedang mulai belajar dan berusaha memperoleh trik-tips-pelajaran-hikmah dan sejenisnya dalam kerangka pengembangan diri, sangat mungkin akan menjadi confuse. Bingung. Mau ikut siapa, niru gaya siapa, pakai pola pikir yang mana, dan semacamnya.

Padahal, kata rumus belajar pula, ”Contohlah polah tingkah orang yang sukses.”
Sebuah petuah bijak lain juga mengatakan, ”Jika engkau ingin menjadi orang yang sukses, maka banyak bergaullah engkau dengan orang-orang yang sukses.”

Apa artinya? Semua itu menunjukkan bahwa sukses bisa dipelajari, sukses bisa ”diturunkan”, dan yang pasti, bisa diwujudkan dalam kenyataan. Dipelajari dan ”diturunkan” dari siapa? Ya dari orang-orang sukses itu, ketika kita mencoba bergabung dengan mereka.

Sebuah rumus belajar lain meyakinkan pentingnya rumus ATM alias Amati, Tiru, Modifikasi. Siapa yang perlu diamati, ditiru dan dimodifikasi? Lagi-lagi, para orang sukses di atas.

So, ketika kita memiliki semakin banyak guru dengan tipe-tipe yang berbeda, dan kita justru menjadi bingung untuk meng-ATM-i siapa; apa yang harus dilakukan?

Meskipun kebingungan itu sangat manusiawi, tapi saya rasa, tak ada ungkapan yang paling tepat, kecuali tetap berusaha menjadi diri sendiri. Bukan gaya yang perlu kita tiru. Bukan penampilan yang harus kita teladani. Bahkan, bukan melulu pola pikir yang bisa kita adopsi.

Yang harus kita lakukan, adalah seleksi. Bagaimana cara kita memilih, menentukan dan selanjutnya menjadikannya sebagai bagian dari gaya, sikap, karakter dan pola pikir kita itulah yang harus kita lakukan.

Sama seperti kesukaan kita membaca buku. Tak kurang banyak saat ini yang namanya buku motivasi. Tak cukup jari-jari kita menghitung jumlah bacaan pengembangan diri. Semua berasal dari guru yang berbeda. Berbeda gaya, berbeda karakter, berbeda pola pikir. Kendati –sekali lagi– tujuannya sama, atau minimal tidak selebar perbedaan gaya, karakter dan pola pikir para penulisnya.

Ada yang bilang, The Secret ”berbahaya”. Ada yang bilang, sangat bagus.
Ada yang bilang, buku-buku seputar LoA dari ”barat” seringkali seolah menafikan Tuhan. Ada yang bilang, secara tersirat tetap ada, jika kita jeli dan bisa memahami makna filosofisnya.

Belajar menulis, apalagi. Tak jarang, mentor-mentor kita memang merupakan sosok-sosok yang dengan sadar dan sengaja berusaha menjadi orang yang berbeda secara positif. Kebingungan akan sangat terasa jika kita mencoba untuk ”menjadi mereka” secara bersamaan. Sementara, hanya ”menjadi salah satu”, tentu tidak memuaskan hati kita.

Sebagai pembelajar, bingung bukan?
Saya bilang, wajar. Tapi saya akan bilang juga, tak perlu bingung.

Sudahlah. Ambil yang baik-baik saja.

Bagaimana yang kurang sreg dengan hati? Sesuaikan. Modifikasi ke arah keyakinan yang benar.

Gabungkan yang baik-baik. Tinggalkan yang kita yakin tidak sesuai. Padupadankan teori yang satu dengan yang lain. Pilihlah yang terbaik jika ada teori yang saling berseberangan. Ingat, terhadap guru pun kita boleh berbeda pendapat!

Bukan meremehkan, tapi jangan terlampau dipikirkan kebingungan itu. Sembari berjalan, maka kita akan mampu menjadi diri kita sendiri. Ilmu, teori dan berbagai pemikiran yang kita adop dari para mentor dan guru, itulah yang akan melengkapi kesejatian diri kita.

Bersegeralah bersikap. Memelihara kebingungan, sama saja memenjara diri, karena kita justru tidak akan bisa bergerak ke arah yang dituju.

Dus, selalu bersyukurlah, kita memiliki guru yang banyak, karena itu akan menjadikan diri kita menjadi lebih lengkap.

Terakhir, Anda punya pendapat?


Salam pembelajaran,

Fajar S Pramono

0 komentar: