Di hampaan hari yang terkawat duri
seorang perempuan terduduk
Menyebelah, seekor pungguk lesu merindu
Adakah perempuan pungguk mesti bersimpuh
Mengecer peluh dan menebar tangis yang melaut
Dari mata ke air mata dan kembali kepada mata?
Beringsut kelu dalam lidah yang membara,
pungguk menyebelah bercerita :
Inilah perempuan mulia yang menderita!
Yang mencinta berlandas damba dan menghalau beda
melepas picing atas nusa benua
semerta menebas bentuk raga
Kenapa baik tak selalu manis, kawan
Kenapa, wahai… tulus tak senantiasa indah?
Apa hanya karena aku perempuan dengan secuil hati
yang terlampau rapuh lemah lungkrah mudah goyah
hingga sangat mungkin aku salah arah?
Berdebat mendebat melaga rasa
Secuil hati adalah mata!
Berkuasa melebihi mata sebenar mata
Jika kehendak tanpa sukma menjadi pemenang
Maka kuumumkan kepada sorga
Kulayangkan gema kepada neraka
Inilah aku
Perempuan yang menikmat cinta
Lewat bakaran birahiku sendiri!
Kramat Raya, 260307***
NB :
- Karena sastra mampu menyejukkan.
- Ilustrasi diambil dari ilustrasi cerpen di Media Indonesia. Salam sastra,
Fajar S Pramono
2 komentar:
Aduh...spt membaca majalah horizon,rumit ga teka aku ah hehehe.Ketika perempuan memutuhkan untuk membakar dirinya sendiri, dalam kobaran api itulah dia akan menemukan kesejukan yang hakiki, ketika bangkit dari abu, dia tahu dirinya telah lahir kembali..walah. memang sastra membuat hidup sedikit gila, dan gila bukan dosa
Gila adalah relatif, tergantung sudut pandang orang. Seringkali, hanya karena kita "berbeda", maka orang kebanyakan menganggap kita gila.
Celakanya, manakala mayoritas itu yang sesungguhnya gila, kita yang waras inilah yang akan disebut "gila". Ketika lebih banyak orang menilai bahwa sastra adalah absurd dan membuang waktu, maka kita yang tetap berusaha ada di dalam lingkungan sastra inilah yang memperoleh stempel "gila".
Namun, ketika kita meyakini bahwa kegilaan kita positif, kenapa tidak memilih untuk bertahan?
Hidup Gila! :)
Posting Komentar