Ketika kita bicara tentang cita-cita, ketika kita bicara tentang obsesi, apa yg sebenarnya melatarbelakangi itu semua? Tak lain dan tak bukan adalah : harapan.
Secara harfiah, memang susah membedakan harapan dengan cita-cita atau obsesi. Kosakata itu tidak saja senantiasa berjalan beriringan, tapi sesungguhnya saling melengkapi. Inheren, menyatu satu sama lain.
Namun demikian, saya meletakkan harapan sebagai roh dari cita-cita atau obsesi. Kenapa demikian? Karena tanpa memiliki harapan, maka kita tidak akan pernah berani mempunyai cita-cita dan merilis sebuah obsesi.
Cita-cita, obsesi, adalah sesuatu yang mungkin kita raih. Boleh jadi ia sebuah angan-angan yang sangat tinggi, tapi ia bukan sebuah khayalan.
Dalam sebuah tulisan saya di sebuah media, saya membedakan apa itu angan-angan, dan apa itu khayalan. Angan-angan, adalah sebuah impian yang (sangat) mungkin kita kejar dan dapatkan. Karena apa? Karena sifatnya yang riil. Membumi, berdasar, dan dimungkinkan untuk terwujud.
Saya misalnya, berangan-angan menjadi pengusaha besar dengan passive income yang lebih dari cukup. Anda berangan-angan memiliki 300 gerai toko roti bermerek nama Anda di antero Nusantara, atau berkeinginan menjadi motivator hebat melebihi Andre Wongso dan Tung Desem Waringin. Itu semua angan-angan. Angan-angan yang mungkin sangat tinggi, tapi sangat tidak mustahil untuk diwujudkan.
Sementara khayalan, saya golongkan atas sesuatu yang bersifat musykil. Saya ingin jadi Superman, yang bisa terbang hanya dengan memakai "jubah sakti"-nya. Atau Anda ingin bisa mendirikan pusat perbelanjaan dengan hanya mengucap "sim salabim abrakadabra!". Itu khayalan. Sesuatu yang tidak mungkin untuk dicapai.
Nah, kembali ke permasalahan awal. Ketika kita sadar bahwa cita-cita, obsesi, ataupun angan-angan itu adalah sesuatu yang (sangat) mungkin kita wujudkan, maka kita berhak dan harus memiliki harapan. Manakala harapan itu ada, maka tetapkanlah berbagai cita-cita, obsesi dan angan-angan itu sebagai target yang harus kita kejar dan wujudkan. Dan yang terpenting, dengan memiliki harapan, maka kita akan mau berusaha.
Masalahnya, memelihara harapan, bukan hal yang mudah. Contoh simpel : kita pingin jadi “raja seluler”. Di tengah-tengah harapan yang tinggi, tiba-tiba saja kita tertipu oleh rekanan dengan cek kosongnya. Atau karena kurang membaca keadaan, barang yang baru kita ambil dalam jumlah besar tiba-tiba saja turun drastis harga jualnya akibat munculnya produk baru yang jauh lebih canggih dengan harga yang sama, sehingga mau tak mau barang itu harus kita lepas dengan harga rugi.
Nah, “cobaan” yang demikian seringkali melumpuhkan harapan. Seringkali membuat kita tenggelam dalam kenelangsaan, kehilangan kepercayaan diri, motivasi dan pada akhirnya kehilangan harapan.
Ini yang tidak boleh terjadi. Ketika kita merasa tidak memiliki harapan, maka itulah jalan tol menuju kegagalan yang sesungguhnya.
Kenapa begitu? Karena, ketika harapan itu sirna, maka takkan ada lagi langkah kita menuju keterwujudan angan-angan tadi. Kita yang semula rajin membuka internet untuk mengetahui produk-produk kartu seluler terbaru, menjadi malas mengaksesnya kembali. Kita yang semula rajin mencipta jaringan, menjadi ogah bergerak.
Intinya, ketika harapan itu menghilang dari diri kita, maka apa yang kita lakukan kemudian adalah antitesa dari sesuatu yang seharusnya kita lakukan. Ini tentu sangat kontraproduktif bagi realisasi cita-cita dan obsesi kita. Alhasil, sesuatu yang sebenarnya mungkin kita raih, akhirnya cuma menjadi impian di siang hari bolong.
Lebih parah lagi, jika pada akhirnya kita bahkan tidak berani bermimpi, karena merasa tidak ada harapan. Padahal, tanpa mimpi, tanpa usaha, mungkinkah kita akan memperoleh hasil seperti yang tercetak dalam benak angan-angan kita tadi? Jawabnya jelas : tidak.
Nah, dari ilustrasi di atas jelaslah, bahwa memelihara harapan merupakan sesuatu yang mutlak harus kita lakukan. Keberanian memelihara harapan, merupakan modal yang nilainya tak terhingga bagi pencapaian sebuah angan-angan.
Jika kita rajin membaca literatur motivasi, tentu kita tahu bagaimana suka duka Abraham Lincoln hingga akhirnya menjadi Presiden AS. Jika kita rajin belajar teori pengembangan diri, pasti tidak terkejut mendengar bagaimana perjalanan Thomas Alfa Edison sampai akhirnya dia menemukan bola lampu pijar. Atau kalau kita rajin menelaah biografi orang sukses, tentu tidak heran jika pada akhirnya Henry Ford bisa menjadi “orang besar”. Apa kunci semua itu? Tak lain karena adanya harapan yang terpelihara.
Bahkan, para bijak berkata : salah satu kegagalan terbesar manusia adalah ketidakmampuan dirinya memelihara harapan.
***
Salam pencerahan,
Fajar S PramonoNB :
Artikel ini dipublikasikan di Majalah Pengusaha Edisi 71, April 2007.
0 komentar:
Posting Komentar