Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

1 DETIK HARI INI = 1 DETIK DI MASA LALU


Pernahkah Anda menunda mengerjakan sesuatu --baik karena sedang "M" alias males, merasa "tanggung" waktu, berpikir bahwa dikerjakan besok pun bisa cepet, dsb--, dan lantas ketika benar-benar kita kerjakan ternyata hanya memakan waktu dan energi yang bagi kita sendiri, sangat singkat dan tak seberapa?

Kalau Anda pernah, maka saya sering.

Swear saja, ya begitulah.

Beberapa buku tentang time management dan habit busting sudah saya baca. Tapi, "penyakit" itu pun masih seringkali hinggap. Sebagian orang bilang itu manusiawi. Karena, manusia punya yang namanya "mood". Kendati sadar, kalau pas nggak mood, kumat dah!

Tapi, bagi idealita insan manusia yang memiliki etos kerja tinggi, "kemanusiawian" itu tak bisa dijadikan alasan. Mood harus dikendalikan. Kuasa angin-anginan harus kalah dengan kuasa semangat.

Waktu bergerak terus. Ia tak bisa menunggu. Seringkali kita merasa, "Rasanya baru saja Jum'at, kok sudah mau Jum'at lagi ya?!"

Begitulah. Dari dulu sampai sekarang, 1 jam ya 60 menit. Satu menit ya tetep 60 detik. Sejak jaman bahulea juga, durasi lamanya "satu detik" ya persis seperti "satu detik" di hari ini. Di jaman kita.

Lantas, kenapa waktu terasa begitu cepat berlalu ya?

Saya pikir, ini subyektif. Waktu terasa cepat dan tidak bisa meng-cover seluruh kebutuhan kerja dan keseharian kerja kita, lebih karena kita sendiri yang tidak mengefektifkan pengisian waktu itu. Bukan karena putaran detik yang semakin cepat dibanding dulu.

Saya juga merasakan, bahwa yang bisa merasakan "waktu semakin cepat" adalah kita-kita yang semakin dewasa (boleh juga dibaca : semakin tua! Hehe...). Ketika saya amati, itu lebih banyak karena memang semakin dewasa kita, semakin banyak juga kepentingan dan aktivitas yang harus kita lakukan. Ya kerja, ya bisnis, ya ngurus anak, ya berusaha membahagiakan pasangan, orang tua, plus berbagai keinginan dan obsesi diri. Kenalan dan kerabat semakin banyak, sehingga silaturahim dan undangan semakin banyak yang harus dipenuhi. Yang dulu cuma jadi pelaksana, sekarang jadi manajer. Ya wajarlah, kalau kerjaan semakin banyak. Kalaupun kerjaan administratif semakin sedikit, kerjaan strategis dan konseptual-lah yang sering menghabiskan energi dan waktu.

Jadi ada 2 : pemanfaatan waktu yang tidak efektif, dan memang semakin banyak yang harus kita lakukan dalam waktu yang relatif tetap itu.

Saya sering mencoba membuat "jadwal harian" yang ketat dan benar-benar berusaha saya patuhi. Tertera, banyak sekali hal yang harus saya lakukan, dan itu tidak hanya di satu tempat. Di beberapa lokasi. Anda bisa bayangkan tuntutan "mutasi" lokasi seperti itu di Jakarta yang ruwet ini. Materi acaranya pun bisa bervariasi dalam satu hari. Masalah hobi, pindah ke masalah kerjaan, pindah ke masalah pemenuhan obsesi, pindah lagi ke olahraga. Contoh konkritnya : dini hari menulis, persiapan kerja (termasuk menyelesaikan lemburan) dan kerja (ini juga kesono kemari), sore ke Taman Ismail Marzuki menghadiri acara sastra, malamnya maen badminton. Masih sering ditambah, kerja lembur sepulangnya.

Ketika bersemangat mengerjakan dan mencoba mematuhi semua itu, ternyata semua bisa dikerjakan! Ketika semula sempat membayangkan, "Apa cukup ya, waktu yang hanya satu jam untuk memutus puluhan permohonan kredit pegawai ini?", ternyata bisa selesai, tak sampai 45 menit ketika pekerjaan itu benar-benar saya lakukan!

Intinya, sebenarnya kita bisa! Sebenarnya kita tak pernah kekurangan waktu!

Tapi ya itu. Pe-er kita adalah bagaimana menjaga bahwa semangat itu selalu ada. Bahwa mood kita senantiasa merupakan mood yang baik. Tak ada yang namanya mood jelek. Bad mood dilarang masuk!

Dan apakah saya sudah bisa? Jujur saja : belum.

Lantas, kenapa sok pintar dan nekat menulis di blog ini? Ya, supaya saya banyak teman yang bisa sama-sama saling mengingatkan, manakala di antara kita ada yang tiba-tiba kehilangan semangat.

Saya cuma ngajak belajar bareng-bareng kok. Mau menemani ya syukur, nggak mau menemani ya monggo. Saya hanya yakin, orang-orang yang mau berubah menjadi semakin baik dari hari ke hari itulah, yang akan menjadi "pemenang" di masa depan.

Yang tidak, berarti kalah? Ya iya lah... masa' ya iya dong. Aku kan sekolah, masa' seko dong.... hehe.

Sekali lagi, ini ajakan dan upaya saling mengingatkan, agar kita semua bisa jadi "juara masa depan". Sama sekali bukan ancaman. :)

Ocre, Bro?

***


Salam pencerahan,

Fajar S Pramono

0 komentar: