Judul Buku : Gerakan Islam Simbolik; Politik Kepentingan FPI
Penulis : Al-Zastrouw Ng
Penerbit : LKiS, Jogjakarta
Cetakan : I, November 2006
Tebal : xviii + 192 halaman
Berani, namun berdasar. Saya pikir, dua kata itu cukup mewakili semangat yang ada di buku ini. Buku berjudul “
Gerakan Islam Simbolik; Politik Kepentingan FPI” yang ditulis oleh Al-Zastrouw Ng ini secara berani mengungkap apa yang sesungguhnya ada di balik jubah gerakan radikal Islam bernama Front Pembela Islam (FPI). Tidak hanya dalam pengungkapan, namun juga sangat berani dalam hal penyimpulan.
Apa kesimpulan buku ini? Seperti terpampang pada sampul belakang, “
Salah satu kesimpulan penting dari buku ini adalah bahwa gerakan Islam radikal FPI bukanlah termasuk gerakan Islam-radikal-fundamentalis yang memiliki komitmen tinggi untuk memperjuangkan Islam dan mencita-citakan berdirinya Negara Islam. Akan tetapi, ia merupakan gerakan Islam-radikal-politik, yang menjadikan agama sebagai kedok untuk menutupi kepentingan politik dan ekonomi para pemimpinnya.”
Siapa juga Al-Zastrouw Ng, yang dengan lantang berani menulis kesimpulan ini?
Al-Zastrouw Ng bukan nama baru di kancah wacana dan praksis perpolitikan negeri. Ia adalah aktivis di lembaga penelitian sosial INDOS (
Institute for Indonesian Sociology), Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia NU, relawan di LAKPESDAM NU, LKiS, dan berbagai forum lainnya. Selain aktif menulis di berbagai media, dia juga pernah menjadi dosen luar biasa pada program Pasca Sarjana UI untuk mata kuliah Sosiologi Agama.
Tak kurang dari sepuluh tahun, Al-Zastrouw mengikuti perjalanan dan menjadi orang dekat Gus Dur. Tahun 2000, dia kembali ke kampus untuk mengambil studi S2 dengan konsentrasi sosiologi. Sebagai orang yang berkutat dengan kegiatan intelektual, materi dalam buku ini merupakan hasil penelitiannya saat menyusun tesis. Itulah mengapa, selain saya nilai berani, apa yang diungkap dalam buku ini juga berdasar.
Pertanyaannya : benarkah argumentasi itu cukup kuat?
Seperti telah dipaparkan di atas, materi buku ini merupakan hasil riset/penelitian penulis selama lebih dari 2 tahun (2000 – 2002), ketika menyelesaikan S2-nya di UI. Ini berarti, materi yang disampaikan telah melalui analisa kritis yang
complicated, dan telah berhasil dipertanggungjawabkan di dalam ruang akademik.
Di luar itu, Al-Zastrouw membedah tubuh dan gerakan FPI melalui berbagai macam teori. Antara lain, menggunakan kacamata konstruksi sosial Peter L Berger.
Dalam teori Berger, ada tiga tahap proses dialektis yang membentuk sebuah konstruksi sosial. Eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Tesis Al-Zastrouw dimulai dengan membangun asumsi dalam proses internalisasi.
Sebagai sebuah organisasi dengan beragam akar sosial, ada dua kelompok yang berperan dalam proses internalisasi FPI. Yaitu, masyarakat religius yang diwakili oleh para haba’ib dan ulama, serta masyarakat awam (tradisional, abangan) yang diwakili oleh intelektual kampus dan mahasiswa, kelompok preman dan anak jalanan, serta kaum awam.
Hal ini menciptakan dua konstruksi pemikiran keagamaan : konstruksi pemikiran puritan, simbolik dan formal, serta konstruksi pemikiran awam-tradisional.
Masalahnya akan muncul di dalam proses objektivasi. Kelompok haba’ib menilai bahwa ajaran agama tidak semata-mata merupakan tuntunan hidup dalam mengatasi kekacauan. Menurutnya, agama bisa menjadi komoditas ekonomi dan aset politik yang bisa meningkatkan
bargaining di hadapan kelompok lain. Bagi kelompok intelektual, agama bisa menjadi alat legitimasi dalam melakukan mobilitas sosial secara vertikal.
Bagi kelompok preman, agama dapat menjadi tempat berlindung atas tindakan kejahatan yang mereka lakukan. Sedang bagi kaum awam, agama menjadi pelarian dari kenyataan hidup yang kompleks untuk memperoleh ketenangan melalui janji-janji kebahagiaan hidup di akhirat nanti (
hal. 134).
Perbedaan inilah yang pada proses eksternalisasi akan menimbulkan
discrepancies (penyimpangan) antara eksternalisasi retorik dengan praksis, serta antara konstruksi ideal dengan faktual.
Melalui kerangka teori modernisme dan fundamentalisme, Al-Zastrouw juga melihat ketidaksinkronan antara gerakan Islam radikal FPI dengan teori tersebut. Dalam tataran teori, modernisasi bertentangan dengan fundamentalisme. Kaum fundamentalis selalu mencurigai kaum modernis dengan tuduhan “membaratkan” dan “mensekulerkan” Islam. Sebaliknya, kaum modernis seperti Fazlur Rahman sering menyebut kaum fundamentalis sebagai orang-orang yang “dangkal dan superfisial”, “anti intelektual” dan “tidak bersumber Al-Qur’an serta budaya intelektual tradisional Islam”.
Faktanya, FPI tidak berada di kedua-duanya. Dalam
Risalah Historis dan Garis Perjuangan FPI, tampak bahwa FPI tidak bersikap frontal terhadap arus modernisasi, tapi justru saling memanfaatkan. Risalah yang sama juga menunjukkan bahwa FPI tidak bersifat fundamentalis. Baik dalam penerapan
amar ma’ruf nahi munkar-nya, serta adanya kelonggaran bagi tiap kelompok sosial dalam memahami nilai keislaman. Simbol-simbol keislaman FPI hanya dipakai sebagai perekat gerakan, dan bukan sebagai basis ideologi gerakan.
Teori lain yang dipakai adalah teori pertukaran sosial dari George C Homans dan Peter Blau. Dengan menggunakan perspektif Blau, maka akan tampak bahwa institusi FPI bukanlah gerak kelembagaan sistemik, tapi lebih merupakan prakarsa individu (dalam hal ini haba’ib dan tokoh-tokoh FPI) yang bekerja sama dan membangun jaringan kelompok kepentingan. Baik dengan kelompok militer, mantan penguasa yang ingin kembali berkuasa, serta pemilik modal/pengusaha.
Mengacu kepada teori Homans, akan terlihat bahwa gerak FPI lebih mengarah pada praktik pertukaran sosial yang mengedepankan masalah ongkos, keuntungan dan ganjaran. Artinya, gerakan berpijak dari apa yang bisa didapat dari ketiga kelompok kepentingan di atas, sebagai sesuatu yang esensial.
Masih banyak argumentasi Al-Zastrouw Ng dalam membuat kesimpulan. Termasuk, dengan melihat bentuk jaringan dan sistem kerja FPI. Semua itu bisa Anda baca secara detail dalam buku terbitan LKiS ini.
Sebagai sebuah wawasan dan kesimpulan yang berani –apalagi didukung promosi yang baik-- mestinya buku ini akan jadi kontroversi. Pihak yang selama ini kurang simpati dengan keberadaan FPI, akan mendapat pembenarannya. Namun --tanpa bermaksud mengadu domba-- FPI mestinya merasa gerah kalau kesimpulan Al-Zastrouw dianggap salah. Bukan tidak mungkin akan muncul “buku putih” dari FPI yang akan meng-
counter kesimpulan buku ini.
Sebagai pembaca yang haus wawasan, sayang juga jika pandangan yang ada hanya berasal dari satu pihak. Soal mana yang akan diyakini, kita serahkan pada masing-masing pembaca.
Wallahu a’lam.
***
Salam buku,
Fajar S Pramono
0 komentar:
Posting Komentar