Komitmen.
Konsistensi.
Dua kata yang akrab di telinga, mudah dilafalkan, tapi tidak selalu mudah dilaksanakan.
Membaca ”cerita” esais, cerpenis dan peresensi buku Nur Mursidi –yang baru saya kenal secara langsung beberapa waktu lalu– , dua sikap itu juga rupanya yang menjadi kunci keberhasilan Nur Mursidi sebagai penulis. Itu jika frasa ”keberhasilan” diartikan sebagai sukses menciptakan karya berkualitas, sekaligus mampu secara eksis membuat para redaktur media bersedia memuat karya-karya tersebut di media yang mereka gawangi.
"
Tak ada kata menyerah jika Anda sudah bertekat untuk menjadi penulis!" katanya tegas dalam tulisan di blognya itu. Sebuah komitmen tertera jelas dalam kalimat itu.
Melihat perjalanannya yang memasuki usia 12 tahun sebagai seorang penulis lepas, tentu tersirat sebuah komitmen yang teguh untuk menetapkan jatidiri sebagai penulis. Dalam 12 tahun itu, saya yakin, suka duka pahit manis jatuh bangun bahkan sedih bahagianya seorang penulis telah ia alami.
Tak menyerah, tentu merupakan komitmen yang kuat mengakar.
Komitmen yang kuat ini pulalah yang saya yakin menumbuhkan konsistensi Nur Mursidi. Ketika duka menghampiri, komitmen menginstruksikan alam bawah sadar untuk terus konsisten berkarya, dan mengubah duka menjadi suka. Ketika pengalaman pahit getir diterpakan, maka komitmen mengkomando agar diri tetap konsisten berbuat, sampai akhirnya manis madu tercecap.
Manakala sebuah kejadian membuatnya jatuh, maka komitmen menyuruhnya untuk tetap konsisten menulis, hingga ia mampu membangunkan dirinya. Dan manakala menulis mencipta sedih, maka hanya dengan komitmen dan konsistensi, kesedihan itu bisa menjelma menjadi kebahagiaan.
Apa wujud konsistensi yang menjadi anak pinak dari komitmen Nur Mursidi?
Dengan mengibaratkan strategi kepenulisannya sebagai teknik menabung, kalimat ”
Bahkan aku menargetkan harus memiliki 10 tulisan lebih” merupakan bentuk upaya Nur untuk konsisten.
Lanjutan tulisannya, ”
Maka, jika kemudian ada yang dimuat satu atau dua, maka hal itu adalah satu kewajaran dan karena berkurang satu atau dua, maka jumlah tabunganku di media pun berkurang, dan praktis aku menulis lagi untuk "menggantikan tulisan" yang sudah dimuat itu. Bahkan, tatkala tulisanku separuh dimuat, dan kira-kira tinggal tersisa sekitar 5-7 tulisan, aku biasanya menganggap; sudah tidak lagi memiliki tulisan. Aku akan menulis kembali sampai memenuhi target 10-15 tulisan.”
Sebuah pengakuan akan konsistensi, yang saya yakin tidak akan bisa terwujud tanpa adanya komitmen diri.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah : ”Bisakah kita komit dan konsisten seperti Nur Mursidi?”
Pertanyaan yang sederhana, tapi saya yakin, tidak mudah menjawabnya.
Salam pencerahan,
Fajar S PramonoNB :
Untuk Mas Nur Mursidi, mohon sorry, fotonya aku "curi"! Jangan dilaporkan sebagai bentuk kejahatan ya, Mas! :)
1 komentar:
wah, fotoku yang jelek majang di sini? trims untuk tulisannya yg telah didedikasikan untuk-ku.....
Posting Komentar