Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

PILIHAN YANG BERTANGGUNG JAWAB


Jangan terpana melihat judul postingan kali ini. Sebuah judul yang "sok serius" ya? :)
Swear, jangan diseriusi dengan jidat berlipat. Justru postingan kali ini sangat sangat dan sangat ringan.

Yup! Judul di atas sebenarnya "hanya" sebuah judul cerita anak, hasil olah "iseng" saya manakala "putus asa" membuat cerpen serius! Haha!

Tapi, "keisengan" itu ternyata berbuah. Dari iseng menulis (ssst...di kantor pula!), iseng mengirim ke Kompas (nggak tanggung-tanggung kan?), dan ternyata dimuat! Meskipun musti nunggu 9 bulan 18 hari! Ya, saya kirim 07 Februari 2007, dimuat 25 November 2007! Hehe... kalau janin udah telat 8 hari untuk lahir! Hehehe...

Sekarang, iseng juga, saya posting di blog ini. Biar nggak serius terus ini blog! :)

Selamat membaca!


Pilihan yang bertanggung jawab
Oleh : Fajar S Pramono

Hari Minggu ini, aku akan bertanding bulutangkis menghadapi Santi di babak final. Santi adalah juara bertahan kejuaraan Piala Bintang, sebuah kejuaraan yang diselenggarakan untuk mencari bibit unggul usia 8 – 12 tahun. Aku sendiri saat ini berusia hampir 9 tahun, sementara Santi berusia 11 tahun.

Sejak mendaftarkan diri di kejuaraan tingkat kotamadya ini, aku merasa sangat bersemangat. Dan hari ini, semangat itu mencapai puncaknya.

“Aku akan buktikan, bahwa pilihanku menekuni olahraga ini tidak salah!” tekadku.

***

Aku masih ingat, ketika dua tahun lalu aku dipanggil kedua orang tuaku.

“Faya, kenapa kamu selalu bolos les balet dan kursus model di tempat Om Jansen?” ibuku langsung bertanya begitu aku sampai di depannya.

Aku diam.

“Kenapa, Nak?” bapak ikut bertanya, tapi dalam nada yang jauh lebih tenang. “Ibumu sudah membayar semua biaya les dan kursus itu. Nggak murah lho, Sayang…”

Hening. Aku masih diam, ketika ibu menyambung, “Iya. Ibu dan Bapak ingin kamu berprestasi. Lihat tuh, si Anna, Jessie, Asti, semua udah top sekarang. Pialanya sudah berderet-deret di ruang tamu. Apa kamu nggak ingin seperti mereka?”

Aku menunduk lebih dalam.

“Bu….” kataku pelan. Ibu dan bapak menunggu kelanjutannya.

“Saya nggak suka, Bu....” lanjutku kemudian.

“Hah? Nggak suka? Bagaimana sih? Kamu itu kan perempuan. Cantik, putih, dan menurut Ibu, kamu punya bakat jadi model,” Ibu langsung membombardir dengan kata-katanya.

“Dengar, Faya. Betapa banyak teman-temanmu yang ingin jadi model cantik dan terkenal. Kamu tidak hanya cantik, tapi kamu punya ibu bapak yang mendukung dan mau mengeluarkan biaya. Sementara yang lain, banyak yang tidak sanggup ikut kursus karena keterbatasan biaya. Mestinya kamu nurut dong, Faya…” Ibu masih terus bicara. Tampak sekali kekecewaan di dalam ucapannya.

“Bu, jangan begitu… Biarlah Faya berpikir dulu. Kalau memang dia tidak suka, apa kita mau memaksa?” Bapak menenangkan ibu. Dalam hati, aku bersyukur punya bapak yang bijaksana.

“Coba sekarang, katakan pada Ibu. Kamu sebenarnya ingin jadi apa? Kalau tidak di model, kamu mau berprestasi di bidang apa selain menjadi juara kelas seperti saat ini?” Ibu masih kelihatan kesal. Aku malah makin diam.

“Katakan keinginanmu, Sayang…” kata Bapak sembari mengelus rambutku. Aku merasa nyaman diperlakukan seperti itu.

“Faya ingin jadi atlet bulutangkis, Bapak…” aku memberanikan diri menjawab.

“Apa? Jadi atlet? Kamu mau badanmu yang bagus ini jadi berotot dan menghitam akibat seringnya latihan fisik? Ya ampun, Faya….” respon ibu. Diletakkanlah punggungnya di sandaran kursi. Tampaknya, lengkap sudah kekecewaan ibu.

Aku menyesal dalam hati. Kenapa aku bicara terus terang soal keinginanku? Tapi menurutku, nggak ada yang salah dari cita-citaku. Betapa mulianya, seseorang yang mau mengabdikan dirinya untuk berprestasi di bidang olah raga. Apalagi, bulutangkis adalah cabang olahraga yang hingga saat ini mampu mengharumkan nama bangsa dan tanah air di mata dunia.

Jujur, aku kecewa atas tanggapan ibu. Aku langsung berlari ke kamar, diikuti langkah panjang bapakku.

“Faya…” panggil bapak setelah sampai di kamar.

Bapak merangkulku. “Bagus, Sayang. Kamu punya cita-cita mulia. Bapak akan dukung keinginanmu. Soal ibu, biar Bapak yang menjelaskannya.”

Aku justru terisak.

“Bapak akan masukkan kamu ke klub Prestasi. Bapak kenal baik dengan pelatihnya, Pak Barno. Tapi kamu harus janji, kamu akan serius berlatih, agar suatu ketika kamu bisa buktikan kepada ibumu, bahwa pilihanmu tidak salah. Bahwa kamu bisa juga terkenal dan berprestasi seperti teman-teman kamu yang lain. Sanggup?” kata bapak panjang lebar.
Aku mengangguk mantap. Mantap sekali.

“Faya akan buktikan, Bapak!” kataku tegas. Aku memeluk bapak lebih erat. Betapa bijaksananya beliau, batinku lagi.

***

Itu peristiwa dua tahun lalu. Peristiwa yang tak mungkin aku lupakan, karena peristiwa itu pulalah yang pada akhirnya senantiasa memacu semangatku.

“Match point, dua puluh, lima belas!” suara wasit menggema. Tepuk tangan dan sorak sorai membahana.

“Ayo, Faya! Satu angka lagi!” teriakan demi teriakan penggelora semangat terdengar dari arah tribun.

Aku lihat di sisi kanan, bapak dan ibu berdiri tegang, menanti saat-saat yang dinantikan.

Aku melakukan servis. Setelah beberapa kali berbalas pukul, sebuah bola tanggung dari Santi kusambut dengan smash tajam di sisi kirinya.

“Game…!” wasit berteriak lantang. Sorak sorai penonton yang sebelumnya sudah sangat ramai, makin riuh ketika aku berlari menuju tempat di mana kedua orang tuaku berdiri.

“Juara baru telah lahir. Fadya Nabila Fajarpoetri…!” kata-kata pembawa acara di tengah keramaian penonton.

Aku memeluk bapak dan ibu. Kami menangis gembira. Terharu.

“Ibu bangga padamu, Faya…” kata ibu tak kuasa menahan air matanya.

“Maafkan Ibu ya, Sayang. Kamu telah memilih jalan yang benar, dan kamu telah membuktikannya kepada Ibu,” kata ibu masih terisak.

“Selamat ya, Sayang…” kata bapak dan ibu berbarengan.

Aku pun tak sanggup menahan tangis kegembiraan dan kebanggaanku. Gembira, karena aku menjadi juara. Bangga, karena aku mampu bertanggung jawab atas pilihanku sendiri.

***


Salam sastra,

Fajar S Pramono


NB :

1. Foto ilustrasi di atas adalah persona Fadya Nabila Fajarpoetri yang sesungguhnya : anak pertama gue yang cantik seperti ayahnya yang juga cantik! :)

2. Gara-gara cerpen ini, Faya terus merengek minta diajarin main bulutangkis. Kasihannya, keinginan itu belum bisa terpenuhi, karena ayahnya sibuk sendiri : bermain bulutangkis bersama teman-temannya! Haha!

0 komentar: