Rencana untuk
fullday di
Pesta Buku Jakarta 2008 tanggal 28 dan 29 Juni ini, tampaknya akan “terganggu”.
Pertama, karena menjelang malam kemarin sore, saya menerima kabar dadakan bahwa keluarga besar istri dari Solo akan ke Jakarta Sabtu ini, dan yang pasti, akan
stay untuk sementara di rumah saya. Ada mertua, kakak-kakak ipar, dan keponakan-keponakan.
Apa iya, kehadiran mereka dan beliau *) mau saya cuekin? Apa iya, mereka dan beliau saya biarkan mencari taksi sendiri dan menelusuri sumpeknya rimba beton Jakarta ini sendirian, sementara ada saya, dan bahkan memang kami yang menjadi tujuan kedatangannya?
Itu yang saya sebut dengan “gangguan” pertama.
Kedua, ketika saya sudah melakukan
prepare dengan menuntaskan pekerjaan-pekerjaan kantor yang ”berat” dan saya khawatirkan bisa mengganggu ”kekhusyukan”
hunting buku di pesta yang mengambil tema ”Jakarta Banjir Buku” itu, Jum’at kemarin (27/06), saya mendapat kabar, bahwa kami harus siap mempresentasikan dua prakarsa kredit kami yang secara total mencapai 50 milyar rupiah.
Padahal, semula saya perkirakan, pembahasan kredit di Kantor Wilayah baru akan dilakukan minggu ke-2 Juli. Ternyata,
speed kerja teman-teman Kanwil luar biasa, dan awal minggu depan ini sudah akan dilakukan pengambilan keputusan.
Weleh-weleh...
Respon awal saya, “Waduh! Buyar deh, ’impian’ saya yang hanya sekali datang dalam setahun… “ :)
Pikiran seperti ini membuat saya merengut. Semalam sebelum tidur, saya masih
keukeuh, ngotot, bahwa rencana harus tetap berjalan. Saya bilang ke istri, bahwa rencana saya tidak boleh diganggu. Mutlak. Pesta Buku Jakarta adalah prioritas. Ia tidak datang dua kali tahun ini. Tahun depan, saya tak bisa memprediksi, apakah saya masih bertugas di Jakarta. Maklum, penugasan di perusahaan saya mirip penugasan di angkatan bersenjata, yang seringkali bersifat tiba-tiba dan tanpa dinyana.
Namun, semalam, menjelang tidur, saya merenung : (1) menghormati tamu, adalah ajaran agama. ”
Muliakanlah tamu-mu”, kata Nabi. Keluarga besar Solo yang mau datang, adalah tamu saya. Kenapa saya harus bertindak ”seolah” tidak menghormati mereka dan beliau? (2) Mertua adalah orang tuamu juga. Kakak istri pun kakak kamu juga. Keluarga istri, keluarga kamu juga. Mereka dan beliau adalah ”kita”. So, kenapa kamu tidak mau mengalah untuk menghormati mereka dan beliau, yang notabene berarti menghargai kita sendiri?
(3) Silaturahim akan membawa berkah. Benarkah rencana saya untuk ’konsen’ di pameran buku harus mengalahkan segala sesuatunya –bahkan sampai harus mengorbankan keeratan tali silaturahim? Meskipun sebenarnya, keluarga besar saya sangat paham dengan hobi dan karakter saya seputar buku. Tapi, apa salahnya kali ini saya yang ”mengerti” mereka dan beliau? :) Di balik silaturahim yang baik, Insya Allah akan ada berkah yang baik pula.
(4) Segala tujuan yang mulia, Insya Allah akan ”dimuliakan” juga oleh Allah SWT, dan kita akan mendapat ganjaran baik di sebaliknya. Dan terakhir, tentang waktu, (5) menjalankan berbagai aktivitas dalam periode waktu yang sama, sesungguhnya bisa diatur dengan me-
manage waktu sebaik-baiknya.
Pada akhirnya, ya, kenapa tidak?
Dengan itikad baik, ditunjang upaya memanfaatkan waktu sebaik mungkin, saya memutuskan bahwa saya akan mengurangi ”ego” saya, dan akan memberikan ”penghormatan terbaik” kepada keluarga yang akan datang.
Dengan itikad baik seperti itu pula, saya yakin Allah akan menunjukkan, bahwa sesuatu yang semula saya anggap sebagai ”gangguan”, akan berubah menjadi sesuatu yang ”menyenangkan”. Saya yakin, saya akan mendapat pembuktian tentang itu.
***
Gusti Allah memang Maha Pintar untuk memberi petunjuk terbaik buat kita. Saya tidak bisa mengerti, kenapa di tengah serangan kantuk tadi malam, saya ”dituntun” untuk mengambil buku
Save or Sorry!-nya Hendri Hartopo.
Buku itu sudah sekian lama saya miliki dan saya baca. Bahkan, buku itu sudah terselip di antara buku-buku ”lama” di lemari. Sementara buku-buku baru yang menunggu untuk dibaca, bejibun di meja kerja.
Apa bacaan yang saya temukan dalam kondisi alpha itu?
Sebaris kalimat
“Anda mendapatkan yang terbaik dari orang lain ketika Anda memberikan yang terbaik dari Anda” dari Harvey Firestone di halaman 155 buku itu, membuat saya terhenyak. Saya merasa Allah “mengingatkan” saya lewat kalimat itu.
Tiba-tiba saya merasa, Allah kembali memberi saya kesempatan untuk ”memberi yang terbaik” dari saya, agar saya bisa mendapat “yang terbaik” pula dari-Nya.
Tiba-tiba pula saya merasa, “gangguan” yang akan datang terasa amat “menyenangkan”, karena Allah tidak akan pernah ingkar janji!
Salam,
Fajar S PramonoNotes :
*)
frasa "beliau" saya pisahkan secara khusus dengan frasa "mereka", semata untuk memberi penghormatan khusus kepada bapak mertua saya. Selamat datang kembali, Bapak! :)
Ilustrasi foto : salah dua di antara tiga keponakan yang mau datang.
0 komentar:
Posting Komentar