Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

GANTI MUKA


“Kalau kamu lagi masak, terus nggak ada garam, kamu ganti pake apa garam itu?” tanya Kemal. Sang penyiar, sekaligus sang penge-test.

“Gue ganti cuka!” sahut suara di seberang sana, setengah berteriak.

Giliran Ade –tandem Kemal— bertanya, “Kalau kita perlu susu untuk adonan, sementara tak tersedia susu?”

Si peserta menjawab tegas, “Ya gue ganti keju, dong!”

“Wah, wah. Boleh juga kamu,” kata pasangan penyiar.

Giliran Kemal lagi yang bertanya, “Sekarang, nih. Kalau kamu nggak punya pacar, enaknya ganti apa?”

Pertanyaan yang –seperti komentar Ade– ”nyolot” dan tak berhubungan dengan topik utama itu pun mengundang senyum simpul.

Dan tahukah Anda, apa jawaban sang peserta?

“Ya ganti muka dong! Hahaha...!!! ” teriaknya ngakak.

Tak hanya kedua penyiar itu yang ikut ngakak, saya pun yang mendengarkannya di mobil ikut ngakak. Wakakak!

***

Itu tadi penggalan acara Judi alias Jual Diri di 98,7 FM, sebuah stasiun radio di Jakarta, Kamis pagi (22/05), yang saya dengarkan sambil menyetir dalam perjalanan menuju kantor. Judi sendiri merupakan acara sebagaimana job seeking, di mana peserta diberi kesempatan menawarkan (alias menjual dirinya) sebagai calon tenaga kerja yang qualified.

Tapi, setelah tawa mereda, saya berpikir. Memang itu guyonan, tapi bisa sangat dalam maknanya jika kita pikir secara serius.

Saya mendapat pencerahan lebih, bahwa untuk bisa diterima dalam suatu kelompok komunitas, dapat diterima sebagai penjual sebuah produk, dapat menciptakan sebuah solusi permasalahan, atau dalam rangka apapun; tidak hanya obyek, kondisi atau pihak lain yang harus kita rubah. Tapi seringkali, tuntutan perubahan itu justru jatuh ke diri kita sendiri.

Dalam memasak misalnya, ketika semua bahan sudah tersedia, semua peralatan standar telah dipersiapkan, dan seluruh alat pendukung ready for use, tapi menghasilkan masakan yang tidak berkualitas, di mana kemungkinan letak kesalahannya?

Sangat mungkin, cara kita memasak lah yang kurang benar.

Contoh lain, di kerjaan kantor. Ketika kita marketing –sebutlah jualan kredit– di sentra produk sanitary and electrical Kenari Mas produk kredit kita tidak ”laku”, bisa saja kita menganggap pasar di sana sulit berubah dari pasar sasaran bank swasta ke bank pemerintah.
Lalu, kita pun beralih ke sentra pedagang obat yang lebih banyak pribumi; misalnya. Asumsi awal, orang pribumi akan lebih mudah dipersuasi untuk menjadi debitur bank pemerintah. Ternyata, hasilnya sama. Kredit tidak laku dijual di sana.

Ketika hingga beberapa sentra perdagangan coba dimasuki dan hasilnya seragam, apa yang mungkin salah?

Ya, cara menjual kita. Cara kita mempersuasi mereka. Dan sebagainya, dan lain-lain.
Siapa yang musti berubah? Kita, atau terus memaksa mereka berubah mindset?

Rasa-rasanya, kita yang harus berubah.

***

Begitulah. Untuk mencapai keberhasilan, ada dua sisi yang bisa diubah. Sisi eksternal, maupun internal.

Cuka, keju, peralatan memasak, obyek pemasaran, lokasi jualan, adalah faktor-faktor eksternal. Ganti muka, cara memasak, cara berjualan adalah faktor internal yang melekat ke diri kita.

Masalahnya, kebanyakan kita cenderung sulit untuk melakukan perubahan internal. Jangankan berubah, mengakui bahwa diri kita yang salah saja masih susah. Ya nggak?

Mari kita sadari bersama, bahwa belum tentu dunia luar diri dan semesta yang salah serta tidak mendukung kesuksesan kita. Batu-batu ganjalan kesuksesan yang susah dipecahkan itu justru seringkali ada dalam diri kita sendiri.

Setiap orang berpikir bagaimana mengubah dunia, tetapi tidak ada yang berpikir bagaimana mengubah diri mereka sendiri”, kata Leo Tolstoy (sastrawan Rusia,1828-1910).

So, ”Jangan bermimpi untuk merubah dunia, jika kita tidak mau merubah diri sendiri.

Semoga bisa menjadi bahan renungan.


Salam ”ganti muka”,

Fajar S Pramono

0 komentar: