"Setiap menonton
Suami-Suami Takut Istri, saya pasti inget tulisan Mas Fajar di WK," kata seorang kawan.
WK adalah "panggilan sayang" Majalah
Wirausaha & Keuangan. Sebuah majalah kewirausahaan yang terbit bulanan.
Jujur saja, saya juga seneng menonton serial sitkom (situasi komedi)
Suami-Suami Takut Istri alias SSTI di Trans TV. Bukan karena saya termasuk ISTI alias
Ikatan Suami Takut Istri sehingga merasa "klop" atau "senasib" dengan para Pak RT, Bang Tigor, Uda Faisal dan Mas Karyo --tokoh-tokoh suami dalam SSTI--, tapi jauh dari itu : serial yang tayang setiap hari Senin-Jumat itu mampu memberi kesegaran tersendiri di jiwa, setelah otak ini lelah bekerja seharian. Lucu, dan cukup realistis kendati juga sering terlalu mengada-ada. Keberagaman latar belakang para tokoh juga menjadi hiburan tersendiri. Belum lagi kontradiksi yang ditunjukkan oleh tokoh Mang Dadang, yang justru "sukses" berpoligami dengan tiga istri kendati ia "hanya" seorang Satpam, yang seringkali digambarkan terhimpit masalah ekonomi. Itu adalah "warna" SSTI yang lain.
Sayangnya, sangat jarang bagi saya untuk bisa tiba di rumah pada jam tayang SSTI pada pukul 18.00 - 19.00 WIB itu.
Telepas dari pro-kontra bagus tidaknya materi SSTI (
silakan ketik "Suami-Suami Takut Istri" di Google, akan Anda temukan berbagai pendapat yang pro dan kontra di dalamnya --red), tayangan tersebut memang selalu mengingatkan saya pada materi kolom yang dulu saya tulis setiap bulan itu.
Kesamaan atau kemiripannya ada pada
setting tempat dan model penetapan para tokoh yang mengambil latar belakang etnik atau suku di nusantara tercinta ini.
Tentang
setting tempat, SSTI mengambil latar sebuah RT kecil, dengan beberapa rumah petak di dalamnya. Obrolan dalam fokus cerita seringkali dilakukan di pos ronda RT setempat. Tempat para suami, bahkan juga para istri, seringkali berkumpul.
Dalam kolom saya, saya mengambil
setting sebuah perumahan di ibukota. Di Jakarta. Seluruh obrolan yang menjadi tema kolom, dilakukan di apa yang saya sebut dengan istilah "balai kampung". Sebuah bangunan berupa pendopo yang saya gambarkan ada di tengah-tengah kampung. Sebuah "ruang serba guna" di sebuah perumahan, juga tempat warga berkumpul.
Nyaris sama persis.
Tentang penokohan, kalau di SSTI ada Pak RT (Sarmili) yang asli Betawi, Bang Tigor yang dari Batak, Mas Karyo yang Jawa dan Uda Faisal yang orang Minang (Padang), maka dalam kolom saya ada Bang Sinaga (Batak), Uda Mail (Minang/Padang), Bli Wayan (Bali) dan Mas Ndoet (representasi pencerita --saya--) yang orang Jawa.
Kalau DI SSTI ada tokoh pendukung yang bernama Mang Dadang yang direpresentasikan sebagai orang Sunda dan memerankan tokoh Satpam, maka dalam kolom saya juga ada Cak Rifan (representasi arek Suroboyo) yang "hanya" berperan sebagai penjual wedang jahe dan gorengan. Ia setia menemani malam-malam obrolan kami.
Bedanya, Mang Dadang masih bisa jadi pemeran utama dan ikut berlakon. Sementara Cak Rifan lebih sering hanya berperan sebagai "pemain tambahan" tanpa keikutsertaan dalam dialog.
Lagi-lagi, nyaris sama persis!
Nah, yang "menyakitkan" bagi saya, adalah ketika justru saya yang "dituduh" mencuri ide kolom saya dari tayangan SSTI tersebut. Dan itu tidak sekali dua manakala saya bertemu dengan teman-teman.
Kendati seringkali diungkap secara berkelakar, namun beberapa kali saya merasa "ke-ego-an" saya mengemuka. Jujur saja.
Bagaimana tidak? Saya berusaha menciptakan "sesuatu" yang beda, unik, tapi menarik dan tidak membosankan (karena saya memang "melamar" untuk menjadi penulis kolom tetap, sehingga dimungkinkan saya menulis untuk beberapa tahun ke depan). Tapi, ketika semua itu terwujud, justru datang "sesuatu" yang membuat saya seolah menjadi "tertuduh".
Saya penasaran. Saya sangat yakin bahwa "edisi" Bang Sinaga dkk (kolom saya)
published lebih dulu dibanding tayangan SSTI.
Saya buka folder "
sent" di
Yahoo saya. Tercatat, saya mengirim konsep kolom tersebut ke Mas Isdiyanto (Pemred Majalah WK) pada tanggal 21 Maret 2007.
Ini isi email saya, yang saya lampiri beberapa file contoh kolom :
Salam hormat, Mas Isdiyanto.
Mas Is, saya kirim konsep artikel utk rubrik kolom yg
saya sebut sebagai "Seri Pengusaha dan Bank".
Jujur, kalau Mas Is berkenan, saya ingin kolom saya
ini "berbeda" dg kolom atau tulisan yang selama ini
ada di WK.
Pertama, tentang isi. Saya memang fokus kepada
hubungan pengusaha dengan bank, namun lebih kepada
pola/filosofi hubungan debitur-kreditur yang sering
terlupakan atau tidak disadari pentingnya.
Kedua,tentang cara penyampaian atau bertutur tulisan.
Seperti pernah saya sms-kan ke Mas Is, saya punya
konsep tulisan kolom ini lebih bersifat 'ringan,
santai, membumi', namun tetap tidak meninggalkan
kedalaman pembahasan.
Bahkan dari segi judul pun, saya mencoba konsisten
dengan judul "satu kata" kecuali untuk kata majemuk
dan peristilahan yang tak terpisahkan.
Ketiga, tentang lay out. Saya ingin kolom saya
memiliki ciri yang khas dari segi lay out. Mulai dari
bentuk kolom, tipologi huruf, performa gambar, dsb.
Semua ini saya harapkan dapat menciptakan variasi
serta menghindarkan kejenuhan atas kolom-kolom yang
sudah ada, termasuk kalau kolom saya ini diperkenankan
tampil tiap bulan.
Mudah-mudahan, dg konsep 'ringan, santai namun bernas"
seperti itu, kolom berseri pengusaha dan bank bisa
menjadi ciri dan sesuatu yang ditunggu oleh pembaca
WK.
Bersama ini kami kirimkan 4 (empat) contoh file 'versi
cetak', masing-masing berjudul "Rumit", "Ngutang",
"Sahabat" dan "Tanya". Versi kirim (resmi dg format
artikel dan spasi rangkap) akan saya serahkan besok.
Jika Mas Is dan teman-teman Redaksi berkenan, maka
saya akan suplai tulisan sejenis dalam jumlah
sebagaimana yang dibutuhkan oleh Majalah WK. Bahkan,
siapa tahu dapat menjadi 'bahan baku' sebuah kumpulan
kolom.. :)
Mekaten, Mas Is. Terima kasih banyak!
Salam persahabatan,
FAJAR S PRAMONO
Demikianlah. Beberapa waktu kemudian, Mas Is menyatakan setuju.
Dan Alhamdulillah, mulai edisi
April 2007, WK mulai memuat kolom saya. Alhamdulillah, sampai sekarang. Berarti sudah hampir satu setengah tahun. Dan bahkan, rencana buku saya yang kedua adalah kumpulan kolom yang telah termuat tersebut, ditambah banyak materi lain yang belum ter-
publish di majalah.
Tentang konsep obrolan di kolom saya sendiri, saya terinspirasi oleh Bapak Ahmad Tohari, penulis trilogi
Ronggeng Dukuh Paruk dan penulis kolom serial "Mas Mantri" di Harian
Suara Merdeka (Semarang) dulu. Saya punya salah satu buku kumpulan kolomnya :
Mas Mantri Gugat (Yayasan Bentang Budaya, Oktober 2004). Model penceritaan Pak Ahmad Tohari melalui tokoh-tokoh Mas Mantri, Den Besus, Kang Martopacul dan Mbak Nyus itulah yang memberi warna dominan pada tulisan-tulisan saya di kolom WK.
Masih penasaran, saya buka Wikipedia Indonesia. Hasilnya :
Suami-suami Takut Istri adalah sitkom yang ditayangkan di Trans TV setiap Senin hingga Jumat pukul 18.00 WIB sejak 15 Oktober 2007. Serial ini digarap oleh rumah produksi Multivision Plus di bawah arahan sutradara Sofyan De Surza. Sitkom ini diperankan oleh Otis Pamutih sebagai Sarmili (Pak RT), Aty Fathiyah sebagai Sarmila (Bu RT), Marissa sebagai Sarmilila, Irfan Penyok sebagai Karyo, Putty Noor sebagai Sheila, Yanda Djaitov sebagai Tigor, Asri Pramawati sebagai Welas, Ramdan Setia sebagai Faisal, Melvy Noviza sebagai Deswita, Epy Kusnandar sebagai Mang Dadang, Desi Novitasari sebagai Pretty dan Ady Irwandi sebagai Garry.
Suami-suami Takut Istri mengangkat fenomena suami-suami yang tinggal di suatu area perumahan. Mereka semua memiliki kesamaan yaitu berada di bawah dominasi istri-istri mereka. Perasaan "senasib sepenanggungan" ini tumbuh makin kuat, sehingga mereka membentuk aliansi tidak resmi bagi suami-suami yang takut istri ini. Mereka saling mendukung dan mencela, saling menguatkan agar tidak lagi mau ditindas, walaupun seringkali sang pemberi nasihat justru masih takut istri juga. Para istri di komplek perumahan tersebut juga membentuk perkumpulan yang sama. Mereka saling memberi dukungan agar tidak kehilangan kendali atas suami-suami mereka.
Serial ini akan memasuki episode ke 150.[1] Setelah sukses di televisi, sitkom ini akan difilmkan[2] dan direncanakan akan ditayangkan pada Lebaran mendatang.[1]
[sunting] Pemeran
* Otis Pamutih sebagai Sarmili (Pak RT)
* Aty Fathiyah sebagai Sarmila (Bu RT)
* Marissa sebagai Sarmilila ( Anak Sarmili / Sarmila)
* Irfan Penyok sebagai Karyo ( Suami Sheila)
* Putty Noor sebagai Sheila
* Yanda Djaitov sebagai Tigor
* Asri Pramawati sebagai Welas
* Ramdan Setia sebagai Faisal
* Melvy Noviza sebagai Deswita
* Epy Kusnandar sebagai Dadang (Satpam Perumahan)
* Adi Irwandi sebagai Garry
Referensi
1. ^ a b "Suami-Suami Takut Istri Melangkah Ke Layar Lebar", 21 Cineplex. Diakses pada 2008-08-21.
2. ^ "'SUAMI-SUAMI TAKUT ISTRI' Diangkat ke Layar Lebar", KapanLagi.com, 2008-07-24. Diakses pada 2008-08-21.
Alhamdulillah, akhirnya memang "terbukti" bahwa kolom saya
published duluan. Jika ditinjau dari segi naskah/konsep, sampai saat ini saya belum berhasil menemukan siapa penulis naskah atau pemilik idenya. Siapa tahu kenal dengan saya (eh, saya kenal dengan dia, hehe), lalu "mencuri" ide saya, atau siapa tahu ia ternyata pembaca setia majalah WK! Hehehe...
***
Saya merasa harus menulis tentang hal ini, mengingat sitkom SSTI semakin memiliki banyak penggemar. Kemarin (Sabtu, 22/08/08), Republika juga mengangkat SSTI dalam halaman "di balik layar"-nya. Sehalaman penuh. (
Oya, di sana juga disebutkan bahwa SSTI "baru" memproduksi 216 episode, yang berarti memang belum ada setahun penayangan)
Di sisi lain, materi kolom saya, Insya Allah akan segera dibukukan. Artinya, dimungkinkan semakin banyak lagi menyapa pembaca.
Saya akui, terlalu jauh menyandingkan atau bahkan membandingkan publikasi melalui media buku, dengan publikasi melalui media audio visual. Saya tentu tidak layak "ge-er", bahwa orang-orang akan tahu kumpulan kolom saya sebagaimana dengan mudahnya mereka tahu apa dan bagaimana SSTI.
Tapi, ini adalah masalah orisinalitas ide. Saya merasa harus melakukan "klarifikasi". Agar saya tak perlu menjawab jika ada "tuduhan" atau sodoran pertanyaan yang membandingkan isi buku saya nanti dengan SSTI.
Cukup akan saya bilang, "Baca posting di blog saya, www.fajarspramono.blogspot.com tanggal 23 Agustus 2008."
Lebih simpel, kan?
Iya, kalau semua yang nanya sudah melek teknologi.
Tapi hare gene? :)
Terangin lisan, dong!
Hah? Nerangin secara lisan berulang-ulang? Walah, cape deeeeh.... :)
Salam,
Fajar S Pramono
Notes :
-- Ilustrasi : www.transtv.co.id
-- Contoh tulisan saya, ada di posting setelah ini. Juga di posting tahun 2007 dan Januari 2008.