Entah kenapa, belakangan ini saya sangat senang membaca beberapa pustaka yang menggunakan basic bahasa ataupun yang hanya sekedar menggunakan basic tema kebudayaan Jawa.
Padahal, sejujur-jujurnya, saya tak begitu paham kebudayaan asli saya sendiri. Wayang kulit misalnya, Masya Allah. Mungkin saya hanya (sedikit) tahu tentang Pandawa dan Kurawa. Selebihnya hanya beberapa tokoh terkenal, seperti Semar dan para punakawan Bagong Petruk Gareng, Srikandi, Batara Kresna, Hanoman dan segelintir yang lain. Itu pun hanya "kenal nama". Orangnya, eh, wayangnya, seperti apa bentuknya, saya tidak hafal.
Salah satu pustaka yang "membakar" kegairahan saya membaca literatur berbahasa Jawa adalah Kumpulan Cerita Cekak (Kumpulan Cerita Pendek) Suparto Brata garapan (karya) 1960-2003. Kumpulan cerita pendek itu "diterbitake dening para putrane lan para mantune, minangka pisungsung mangayubagya tanggap warsane kaping 72 Pengarang Suparto Brata" (27 Februari 1932 - 27 Februari 2004).
Terjemahan bebasnya : "diterbitkan oleh para putra dan para menantu, dalam rangka menyambut peringatan ulang tahun ke-72 Pengarang Suparto Brata".
Semakin ke dalam, semakin membaca buku yang penerbitan resminya dilakukan oleh Penerbit Narasi Yogyakarta 2005 itu, saya semakin "larut". Asyik saja. Ada sesuatu yang sangat berbeda dengan membaca kumpulan-kumpulan cerpen kualitas nomor wahid berbahasa Indonesia (kebetulan, pada saat yang sama saya "menyanding" Cinta di Atas Perahu Cadik, Cerpen KOMPAS Pilihan 2007).
Ada sesuatu yang sangat lain. Campur aduk. Ada kenangan. Ada ingatan kepada kampung halaman. Ada kerinduan kepada nuansa kehidupan tempat kelahiran. Ada rasa kangen kepada kebersahajaan hidup para "priyayi" Jawa pada jaman dulu.
Ada juga desir yang "aneh". Yang lucu. Sekaligus yang bikin saya "malu". Kenapa? Karena ternyata, tak gampang untuk bisa memahami cerita-cerita ber-"bahasa ibu" versi saya itu. Padahal saya ini orang Jawa tulen. Wong Jawa ndeso, yang juga lahir dari Bapak Ibu orang Jawa. Ndeso juga. Ndeso, di mana keseharian kami identik dengan penggunaan bahasa Jawa yang kadang baik kadang benar. :)
Tapi, membaca karya-karya Suparto Brata, kok jadi "gagap" gini, ya? Dari situ, saya segera merasa sangat "bodoh" dan "memalukan", karena hal tersebut menunjukkan bahwa saya masih sangat minim pengetahuan dan pemaknaan akan bahasa yang sebenarnya menjadi keseharian saya hingga kini.
Ya, hingga kini. Karena, istri saya juga asli Solo, yang bahkan dikenal sebagai daerah yang sangat "halus" budi bahasanya. Keberadaan beberapa teman di kantor, juga masih memungkinkan saya untuk berkomunikasi dalam bahasa Jawa. Tetangga sekitar di kompleks saya tinggal, bahkan lebih banyak lagi yang setia menggunakan bahasa Jawa. So, tak ada alasan sebenarnya, jika tiba-tiba saya merasa "asing" dengan bahasa ibu itu.
Tapi, itulah yang terjadi. Saya tak bisa membaca secara cepat cerpen-cerpen yang ada. Saya seperti membaca literatur asing, yang sayang, kali ini tak ditemani kamus lengkap di sebelahnya. Mencermati kata demi kata, yang mungkin bagi saya justru merupakan kosakata-kosakata baru.
Lega atine! Rumah sakit mripat panggonane nyambutgawe bisa tetulung. Bisa ngobati. Malah ngenani wragade dibiyantu, digolekake urunan wragad saka para denatur yayasan rumah sakit mripat kono. Kanthi syarat, Ceplis apadene keluwargane Amet kudu pasrah-srah ing bab pengobatan mripat mau marang tim dhokter. Yen kasil ya ndadekake keunggulane para tim dhokter lan rumah sakite, nanging poma dipoma oprasi mripat kuwi jodher, Ceplis dalah keluwargane Amet ora kena nuntut apa-apa. Satemene syarat oprasi tetamba kaya mengkono kuwi lumrah, tumrap ing saben wong. Nanging yayasan perlu njlentrehake marang Ceplis supaya Ceplis luwih dening ngerti.
(Lega hatinya! Rumah sakit mata tempatnya bekerja bisa menolong. Bisa mengobati. Bahkan mengenai biayanya dibantu, dicarikan iuran (sumbangan) biaya dari para donatur yayasan rumah sakit mata itu. Dengan syarat, Ceplis dan keluarga Amet harus benar-benar pasrah tentang pengobatan mata tadi kepada tim dokter. Apabila berhasil akan menjadi keunggulan para (anggota) tim dokter dan rumah sakitnya, tetapi apabila operasi matanya gagal, Ceplis dan keluarga Amet tidak boleh menuntut apa-apa. Sebenarnya persyaratan operasi pengobatan seperti itu wajar, untuk setiap orang. Tapi yayasan perlu menjelaskan kepada Ceplis agar Ceplis benar-benar paham.)
Tuh, coba lihat. Itu cuplikan asal ambil dari halaman 61 cerpen Mripat (Mata) di buku yang judul bukunya berasal dari salah satu judul cerpen di dalamnya : Lelakone Si lan Man (Kisah Si dan Man).
Saya yakin, tidak sedikit dari Anda yang orang Jawa tidak dapat membaca selancar Anda membaca teks Bahasa Indonesia. Terlebih bagi Anda yang selama ini lebih banyak menggunakan bahasa nasional dalam kehidupan sehari-hari.
Atau ini :
Sawise sawatara atusan meter, daktoleh memburi, Ramda karo kanca-kancane ilang. Wong-wong mau ora nyabrangi prapatan. Terus, menyang endi? Gage sepedhaku dakwalik, dakonthel balik. Nyang endi, ya, ngiwa apa nengen?Yang barusan saya cuplik dari cerpen Lagu Gandrung Wong Kampung (Lagak Cinta Orang Kampung). Tak terkatakan, bagi saya asyik sekali membaca pustaka berbahasa Jawa ini.
(Sesudah sekitar ratusan meter, kutengok ke belakang, Ramda dan teman-temannya menghilang. Orang-orang tadi tidak menyeberangi perempatan. Lalu, ke mana? Cepat-cepat sepedaku kuputar, kugenjot lagi. Ke mana, ya, ke kiri atau ke kanan?)
Tak mau kehilangan "keasyikan", saya ambil dari rak buku saya sebuah buku dari Penerbit Indonesia Cerdas, salah satu lini produk Galangpress. Buku karya Agung Webe, berjudul Javanese Wisdom; Berpikir dan Berjiwa Besar.
Buku ini mencoba mengambil saripati kearifan budaya Jawa tentang harmoni kehidupan. Unsur pokoknya diambil dari Serat Wulang Reh-nya Sri Paku Buwono IV, yang merupakan salah satu khasanah budaya Jawa keraton.
Dari halaman 113 :
Pitutur bener iku, sayektine apantes tiniru. Nadyan metu saking wong sudra papeki, lamun becik nggone muruk, iku pantes sira anggo.
(Ajaran yang benar itu, sepantasnya ikutilah. Sekalipun diajarkan oleh orang biasa, jika cara mengajarinya tepat, itu pantas kau ikuti.)
Saya sepakat dengan terjemahan di buku itu, meskipun jika diartikan secara lebih harfiah, kata "pitutur" itu bisa saja dimaknai sebagai "ucapan", yang tingkatannya menjadi lebih "rendah" dibanding makna "ajaran".
Atau seperti yang ada di halaman 51 ini :
Angel tenan iya jaman samangkin, ingkang pantes kena ginuronan.
Akeh wong njaja ngelmune, lan arang ingkang manut.
Yen wong ngelmu ingkang netepi, ing panggawening sarak, denarani luput.
Nanging ta asesenengan.
Nora kena den wor kakarepaneki, papancene periyangga.
(Memang sulit jaman sekarang, mencari guru sejati.
Banyak orang menjual ilmunya, dan jarang yang tepat.
Apabila ada yang benar-benar berilmu, dan memahami hukum, itu malah dibilang salah.
Namun itulah kodrat.
Kodrat manusia tidak bisa dijadikan satu, memang harus beda.)
Tuh kan, bagi Anda yang tadi mengaku masih gampang menterjemahkan, makin sulit kan? Jujur saja, saya sendiri masih memiliki "interpretasi" yang sedikit lain, meski inti temanya sama. Seperti kalimat "ingkang pantes kena ginuronan". Menurut saya, itu bukan "mencari guru sejati", tapi "yang pantas dijadikan guru". Kemudian "lan arang ingkang manut". Menurut saya, artinya "dan jarang yang menurut".
Tapi itulah keluwesan intrepretasi. Dan sebagai buku yang sudah "sah" serta melalui meja editorial, saya mengklaim bahwa terjemahan saya yang salah. Itu berarti pula pembenaran bahwa pemahaman saya terhadap bahasa ibu sendiri memang masih sangat rendah... Ironis ya?
Tapi, Javanese Wisdom berasal dari sebuah "kitab" yang mengandung unsur seni sangat tinggi, dan mengharuskan ketajaman intrepretasi sang penterjemah. Lekat dengan berbagai kiasan dan perlambang, sebagaimana kalimat-kalimat dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits. Tentu tanpa pretensi untuk menyetarakan Al-Qur'an dan Al-Hadits dengan Serat Wulang Reh yang "hanya" buatan seorang Raja Jawa. (Mohon maaf, Sri Paduka!) :)
Apa yang ingin saya sampaikan di posting ini?
Ternyata mengasyikan sekali, mencoba menggali kembali budaya asli daerah kita, di tengah keseharian yang semakin "membutakan" kita dari "kebernenekmoyangan" kita di suatu daerah. Apalagi kita-kita yang saat ini sedang ada di rantau.
Makanya, saya juga senang membaca blog Mas Eben Ezer Siadari (http://sarimatondang.blogspot.com), yang sangat sering berkisah tentang segala sesuatu yang ada dan menjadi budaya di kampung halamannya, di Sarimatondang, Sumatera Utara sana.
Atau, seperti pada waktu Uda Roni Yuzirman bercerita tentang kenapa orang Minang suka "manggaleh" di blog beliau (http://roniyuzirman.blogspot.com) beberapa waktu lalu.
Nah, pada kesempatan ini, saya mengajak teman-teman untuk sesekali "menengok" kembali kepada budaya asli daerah kelahiran kita. Bukan untuk mengajak berpikir paternalistik atau bahkan berpikir sekuler kedaerahan, tapi sekedar untuk membuktikan, bahwa negeri kita benar-benar "kaya budaya". Agar kita tak selalu mengarahkan kepala kepada "kiblat-kiblat" yang beraroma Western, kebarat-baratan, dan sebagainya. Bahwa berbagai "ajaran" baik yang memang bersifat universal itu sebenarnya juga bisa kita temui dalam ranah adat budaya kita semua.
Cari dan temukan "keasyikan" di sana.
Walhasil, mari belajar dari mana saja, agar kita semakin "kaya", semakin "matang" dan tak keliru dalam menjalani kehidupan.
Ocre, Bro?
Salam,
Fajar S Pramono
3 komentar:
hoooooi,
punya blog nggak bilang2 ya.....
aku berhasil menemukan 'persembunyian' ente ini karena iseng2 browsing di google tentang sarimatondang. hehehe, ternyata ente ngendon di sini ya....bagus lah. hati-hati, nanti kecanduan jadi blogger lho....
horas bah,
matur nuwun blogku disebut-sebut...
basa jawa yoo...
http://basajawa.co.cc
lumayan lengkap isine mas...
selamat jika anda tertarik dengan budaya Jawa, budaya Jawa banyak mengajarkan budi pekerti yang luhur, semoga bermanfaat untuk sisa kehidupan kini dan masa mendatang
Posting Komentar