Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

AGUSTUSAN!


+
Ya. Kegiatan dalam rangka perayaan hari kemerdekaan 17 Agustus --lebih asyik disebut dengan "Agustusan" tampaknya, hehe-- di kampung saya sudah dimulai. Hari ini.

Tercatat, ada tiga jadwal yang musti saya ikuti hari ini : pagi futsal, sore voli, malam nanti badminton. Begitu juga besok pagi. Selasa depan, mulai tenis.

Hehe.. saya memang suka "allround". Maunya semua bisa, tapi minim prestasi! Hahaha!

Agustusan tahun ini lain bagi saya. Meskipun sebenarnya, Agustusan tahun lalu saya sudah tinggal di kampung yang sekarang.

Bicara tentang kampung, kampung saya saat ini memang "unik". Pertama, RT kami adalah RT terbesar di wilayah RW kami. Bagaimana tidak, RT kami merupakan gabungan dari 3 buah RT sekaligus!

Ya, penggabungan itu muncul akibat ketiga wilayah RT kami merupakan bagian dari sebuah kompleks yang berisi rumah-rumah dinas dari institusi yang sama. So, karena adanya kesamaan "demografis", tiga RT yang ada dijadikan satu.

Nha, kondisi ini yang cukup membuat saya cukup memiliki "beban moral" manakala beberapa waktu lalu saya didaulat untuk mewakili Ketua RT dalam pemilihan Ketua RW. Pemilihan itu dilakukan layaknya "Pilkada", di mana setiap RT membawa aspirasi warga RT. Amanah itu membuat saya merasa memiliki beban tersendiri : jumlah yang saya wakili tiga kali lebih banyak daripada Ketua RT yang lain!

Keunikan kedua, sebagai rumah dinas, maka lomba-lomba dan pertandingan tadi tidak hanya dilaksanakan antar blok, tapi juga melibatkan "blok" security dan "blok" sebuah anak perusahaan sekaligus perusahaan outsourcing yang membawahi petugas kebersihan, pekerja teknis, cleaning service, dan sebagainya.

Keunikan lain alias yang ketiga, mengingat "keterbatasan" waktu penghuni blok, berbagai lomba yang diadakan selalu menggunakan format "bebas gender" alias campuran. Mau futsal, yang bapak-bapak hanya ada dua orang, dan selebihnya ibu-ibu, ya ayo; mainkan saja!

So, pemandangan yang tidak aneh jika Anda akan melihat ibu-ibu bertanding voli atau futsal melawan bapak-bapak Satpam yang kekar-kekar itu. Haha!

Fleksibilitas lainnya adalah, kalau ada tim yang "kurang orang", maka ia boleh-boleh saja "pinjam" atlet dari blok lain, asal lawannya bisa setuju! Huenak tenan to? Hehe...

++
Nah, kenapa Agustusan ini terasa "lain" bagi saya?

Jujur, sudah lama sekali, setidaknya sudah 15 tahun saya tidak terlampau aktif di kegiatan Agustusan seperti kali ini.

1992 sampai 1998, saya "keasyikan" kuliah. Karena kuliah di luar kota, kost pula, maka saya tidak banyak kesempatan untuk ikut lomba-lomba Agustusan. Paling-paling pas upacaranya.

Lepas 1998, saya mulai bekerja, dan itu ternyata lebih "menutup" kesempatan untuk aktif Agustusan. Karena ternyata, institusi tempat saya bekerja tidak menciptakan ritual khusus bagi perayaan kemerdekaan negeri tercinta ini. Mungkin masalah waktu dan kebijaksanaan. Jadi, lagi-lagi, yang ada hanya tirakatan dan upacara.

Di kampung tempat saya tinggal setelah bekerja dulu, kalaupun diadakan lomba-lomba, keterikatan dengan pekerjaan tidak memungkinkan saya ikut aktif lagi. Bahkan kampung saya sewaktu saya bertugas di Denpasar, Gianyar dan Medan, tak memperlihatkan aktivitas apapun menjelang 17 Agustus itu. "Tragis" ya? Lagi-lagi, kasihan Indonesia. :)

Nah, baru tahun lalu, ketika keluarga kami berdiam di kompleks rumah dinas yang sekarang, suasana itu mulai terasa.

Lebih terasa bagi saya, yang sebelum meninggalkan kampung asal di 1992 itu, boleh dibilang tak pernah lepas dari berbagai kegiatan nasionalisme ala kampung. Ya ikut lomba, ya jadi panitia, ya menyiapkan segala sesuatunya, sampai ikut "parade senja" setiap 17 Agustus sore di lapangan bola dekat rumah.

Nah, baru 2007 lalu saya berkesempatan mengikuti berbagai ritual seperti itu lagi. Dimulai dari partisipasi dalam lomba-lomba, sampai malam puncak peringatan di mana semua dari kami di kompleks memakai dresscode merah putih! Luar biasa menurut saya.

Tahun ini, "amnesia kebangsaan" saya mulai hilang. "Ingatan" demi "ingatan" di mana saya merasa bangga sekali dengan INDONESIA muncul kembali.

Sebenarnya, titik balik kemunculannya pada saat "Pilkada RW" kemarin. Semula saya merasa sangat "asing" di forum-forum seperti itu. Padahal "forum kenegaraan" semacam itu dulu sering sekali saya ikuti. Saya sebut "forum kenegaraan", karena ia memikirkan bangsa. Memikirkan negara.

Seputar Agustusan, tahun ini saya dipercaya menjadi panitia inti di kampung. Sempat canggung juga, karena mengkoordinasi anggota komunitas masyarakat di era individualisme seperti sekarang ini, apalagi sebagian besar anggota masyarakat itu merupakan pejabat institusi yang senantiasa sibuk, sangat berbeda dengan mengkoordinir teman-teman di kampung. Betatapun katroknya mereka, tapi ber-gotong royong dalam "aksi sosial" dengan mereka jauh lebih mudah.

Jujur, saya merasakan "nostalgia" yang indah kali ini. Saya merasakan "getar-getar kebangsaan" itu kembali. Dan saya senang. Dan saya bahagia. Dan saya bersemangat.

+++
Bicara rasa kebangsaan, saya masih saja bangga menjadi manusia Indonesia. Saya bangga dengan Indonesia, meskipun seringkali --sangat sering, bahkan-- tidak bangga dengan pemimpin-pemimpin dan pejabat-pejabat negaranya.

Bukan di pucuk pimpinan alias presidennya, karena saya bisa memahami betapa susahnya berbagai pengambilan kebijakan untuk negeri yang heterogen dan penuh kepentingan politik ini. Penuh dinamika, penuh dilematika.

Jujur, yang sangat jarang saya banggakan adalah wakil rakyat, yang entah, mewakili "rakyat" yang mana. Padahal, mereka menjadi bagian dari pengambilan keputusan dan kebijakan bagi negeri ini.

Tapi, ah, tidak pada tempat dan saatnya, saya bicara tentang itu. Melakukan apa yang terbaik bisa saya lakukan untuk negeri ini, itu saja sementara yang saya lakukan. Mencintai Indonesia dengan cara kita sendiri. Dengan potensi apa saja yang ada di dalam diri.

Saya berpikir, kalau semua kita berusaha memberi yang terbaik, rasanya akan tercipta akselerasi bagi kemajuan negeri ini. Rasanya begitu. Rasanya sih... :)

++++
Ya, begitulah. Beginilah. Begonolah. Begunulah.

Tak tahu, ada yang bisa "diambil" nggak, dari posting kali ini. Yang pasti, saya sedang semangat menikmati Agustusan tahun ini.

Semoga, itu pula yang akan kembali saya rasakan tahun-tahun mendatang. Amien.

Tabik. Kepareng. Saya mau badminton dulu...

Hidup Blok B! Hidup RT 09! Hidup RW 05! Hidup Rawasari! Hidup Jakarta Pusat! Hidup DKI Jakarta! HIDUP INDONESIA!

(Lhah, kok jadi berpikir "individual" dan "kedaerahan" lagi sih?! Hehe...)


Salam Agustusan,

Fajar S Pramono


Note :
Bicara tentang "kebangsaan", ada 2 buku bagus tentang pemimpin-pemimpin kita :

1)
Harus Bisa!; Seni Memimpin Ala SBY; Catatan Harian Dr. Dino Patti Jalal, Red & White Publishing, 2008.
Isinya tentang kisah-kisah di balik pengambilan keputusan oleh SBY sebagai pemimpin negeri.


2)
The True Life of Habibie; Cerita di Balik Kesuksesan, karya A. Makmur Makka, Pustaka IIman, 2008.
Yang ini semacam "biografi" mantan Presiden Habibie. Di sana ada kisah tentang prinsip-prinsip hidup Habibie, pandangan kebangsaan dan eksistensinya dalam dunia teknologi.

Keduanya bagus, dan menurut saya, bisa meningkatkan citarasa kebangsaan kita.
Mari kita baca bersama. Nggak tebal kok, masing-masing "hanya" 417 dan 456 halaman, di luar indeks, prolog dan epilog! :)

3 komentar:

Namanya juga wakil Mas (awak karo sikil) wajar....bahkan sangat wajar, wong gak punya Kepala jadinya gak pernah bisa mikir kata orang jawa gak duwe "otek" beda dengan MP lho MP bukan wakil tp Manajer Pemasaran...... :-)

 

Wah, baru ngeh arti "wakil" itu, hehe...

Tapi, manajer pemasaran juga punya arti lho!
Mana = endi, akhiran "er" itu berarti "pelaku"-nya.

Jadi, setelah melakukan "pemasaran", ia bertanya, "Mana, mana?" alias "Endi, endi?"

Mudheng kan? Hahaha! Astaghfirullah!


Salam plesetan,

Fajar S Pramono

 

salam kenal ya...klo perusahaan anda butuh program team bilding..saya bisa membantu..thanks