Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

DARI HOBI MENUJU REJEKI


Sudah lama saya tahu, istri saya punya potensi di bidang pembuatan handycraft (kerajinan tangan). Hanya satu jenis ilmu di bidang itu yang tak ia kuasai, yakni mencopet seperti Nagabonar. Halah, ngaco! (Lho, "mencopet" itu kan juga termasuk ”kerajinan tangan”....)

Sori. Becanda.

Kenapa becanda? Karena lagi pingin nggak serius. Halah lagi! :)

Kembali ke istri lama, eh, istri yang tadi maksudnya. Selama ini, ia sudah banyak membuktikan kemampuannya itu. Bukan saja untuk konsumsi sendiri dan lingkungan keluarga, namun sudah masuk ke taraf komersialisasi. Produk-produk buatannya laku dijual. Apa saja. Mulai dari sarung bantal smook Jepang, tempelan kulkas dari flanel, sprei khusus springbed, gelang swarovski, tempat tisu, dan lain-lain.

Kerjaannya bagus. Jahitan-jahitannya rapi. Itu diakui oleh ”konsumen”.

Tapi sayangnya, ia punya ”penyakit” : sering hangat-hangat tahi ayam (ups, sori kalau dianggap kasar), cepet bosan, dan segera ingin mencoba sesuatu yang lain lagi.

”Penyakit” lainya adalah : kurang bisa menjual sendiri barang dagangannya. Walhasil, tak jarang suaminya yang kebetulan orang marketing yang dimanfaatkan sebagai pemasarnya.

Tentang potensi ini, seringkali saya sudah mengeluarkan ”modal” karena saya melihat ada prospek untuk diseriusi. ”Bahan baku” pun tersedia pada akhirnya. Tapi, sebelum habis itu bahan baku, konsentrasinya sudah beralih kepada komoditi (lebih tepatnya hobi) yang lain.

Ketika kami pindah dari Medan, istri saya masih menerima banyak pesanan sprei (handmade) dan gelang. Namun, karena sudah ”bosan”, pesanan itu tak satupun dipenuhinya. Padahal, bahan baku sudah terbeli. Dulu, pesanan tempelan kulkas dan berbagai produk ber-smook pun beberapa kali datang. Tapi, karena pesanan ”bosen” tadi, pesanan itu tak dipenuhinya. Sampai sekarang, masih banyak bahan baku berbagai jenis produk (yang bahkan tak saling berhubungan satu sama lain) yang ”ndogrog” menunggu dikerjakan, entah sampai kapan.

Kain flanel berbagai warna masih menumpuk di gudang. Kain bakal sprei masih berpuluh-puluh meter menganggur. Benang berbagai jenis, dibiarkan kesepian di dalam kardus. Kristal swarovski yang secara total nilainya tak sedikit, antri tanpa kepastian kapan akan dipegang lagi.

***

Ini bukan sekedar ingin cerita soal istri. Ini juga bukan mau membuka aib keluarga. Apalagi curhat. Saya menulis ini untuk afirmasi sebuah tekad, bahwa kami harus bisa “memanfaatkan” potensi yang ada dalam diri istri saya. Di dalam “kami”.

Sore hingga malam tadi (06/07/08), saya ajak dia dan kakaknya ke rumah seorang pengusaha. Lebih tepat lagi, keluarga pengusaha, karena usahanya memang melibatkan beberapa anggota keluarga. Memang belum bisa disebut pengusaha besar, namun sesungguhnya sudah tidak bisa disebut kecil lagi. Bagaimana bisa disebut kecil, kalau secara tidak langsung mereka mampu “mempekerjakan” lebih dari 200 orang, termasuk di Jawa Tengah, Jogja dan Denpasar? Belum lagi jika kita melihat prospek usahanya, di mana saat ini produk-produknya mulai mendapat tempat di pasar mancanegara.

Sengaja saya ajak istri ke sana, untuk membuktikan bahwa “Ini lho, pekerjaan-pekerjaan seperti yang Bunda kerjakan di rumah bisa menjadi usaha yang besar jika diseriusi.

Dan, sebagaimana keyakinan bahwa silaturahmi akan membawa hikmah dan rejeki, kami menemukan “peluang” untuk bekerja sama dengan mereka. Ini yang sangat menarik bagi saya.

Apa yang harus dikerjakan oleh istri saya, saya yakin merupakan passion-nya. Kebetulan sejalan dengan hobinya. Sementara, ”kelemahan-kelemahan” seperti kesulitan menembus pasar bisa ditutup oleh telah adanya kepemilikan pasar dari pengusaha tersebut.

Alhamdulillah, istri saya menunjukkan minatnya. Saya minta kesediaannya jika memang berminat. Alhamdulillah, istri saya mengiyakan. Menengok pengalaman ke belakang, hingga perjalanan pulang pun, saya minta istri saya benar-benar serius, jika kita memang pingin berkembang. Dari hobi, bisa diciptakan sebuah profesi. Dari yang semula hanya bersifat cost center (hobi berbiaya tanpa ada pemasukan), bisa disulap menjadi benefit center.

Saya tantang dia. Lebih tepat lagi, kami menantang diri kami sendiri. Ayo dicoba, ayo dicoba, ayo dicoba. Serius, serius dan serius.

Nah, melalui blog ini, kami menyatakan tekad. Peluang sudah ada, tinggal bagaimana bisa mewujudkan peluang itu menjadi sesuatu yang menguntungkan. Kami ingin menjadi bagian dari mereka yang telah membuktikan, bahwa hobi bisa menciptakan rejeki.

Mohon do’a restu.


Salam,

Fajar S Pramono


Catatan :

Nama pengusaha dimaksud, bentuk peluang yang ada, dan apa bentuk produknya belum bisa kami sampaikan sekarang. Bukan apa-apa. Sekedar untuk tidak menjadikannya sebagai ”beban” bagi kami yang sedang belajar, juga untuk memberi penghormatan atas dasar etika kepada keluarga pengusaha tersebut.

Jika kerja sama itu telah berjalan baik, pasti kami akan publish kepada pembaca blog ini. Seijin mereka tentunya.

0 komentar: