Minggu sore kemarin, selepas saya pulang dari kondangan bersama teman-teman kantor, saya mendapat "sambutan" dari istri, "Yah, Bunda berhasil menulis lebih dari dua lembar!"
(Bunda adalah panggilan istri saya dalam keseharian di keluarga kami --Red)Saya sempet bengong. "Tadi mau Bunda cetak, belum sempat. Kakak nggak sabar mau main
game..." lanjutnya, "curhat".
"Dibaca ya, Yah!" tambahnya lagi.
Saya baru ngeh. Rupanya Bunda berhasil membuat sebuah artikel di komputer. Bukan di komputernya yang merupakan "keberhasilan" itu, tapi "dua lembar" itulah kata kunci-nya.
Ya, saya ingat sekali --entah berapa kali-- istri saya bercerita bahwa "mengarang" adalah salah satu hal yang paling sulit untuknya. Mungkin lebih baik disuruh membersihkan kelas seharian daripada harus membuat karangan atau tulisan. Terlalu hiperbolik kaleee... hehe.
Kalau membaca, saya akui kemauan bacanya luar biasa, kendati hanya terbatas bacaan yang
girly, beraroma gosip dan kriminal, surat pembaca, dan novel. Khusus untuk novel,
speed reading istri saya menang jauh dibanding saya. Novel yang saya harus selesaikan dalam beberapa hari, bisa ia lahap semalam saja. Luar biasanya, ia tetap bisa menceritakan isi novel itu secara detail.
Saya yang sering heran. Tapi saya menemukan sebuah hipotesa pembenaran (ini mah sekadar
excuse... hehe) kenapa kecepatan baca saya untuk novel kurang begitu bagus : yakni karena saya terlalu memperhatikan gaya bahasa pengarang, dan selalu membayangkan "darimana ya, si pengarang kepikiran ide ini", "apa yang dipikirkan penulisnya ya, kok ceritanya dibelokkan ke arah sini, dikembangkan dengan bunga cerita yang begitu", juga "bagaimana bentukan genre bahasa khas si pengarang, bagus tidak struktur kalimatnya", dan sebagainya. Sementara, istri saya benar-benar fokus ke jalan cerita. Titik. Sehingga, bagian-bagian "tak penting" seperti bunga-bunga kalimat atau tambahan data mengenai suatu
setting daerah misalnya, tak terlampau penting baginya. Yang penting, karakter dan kisah yang hinggap pada tokoh-tokoh cerita.
Meskipun sekadar
excuse, tapi hal itu terbukti ketika ia harus membaca artikel-artikel yang cukup "serius". Berkebalikan, kecepatan baca saya jauh di atas dia. Nah, rupanya memang benar, salah satu penentu kecepatan baca ternyata memang minat akan tema tulisan.
Karena itu juga, istri saya termasuk salah satu orang yang paling sulit saya minta membaca karya-karya saya yang "sok serius" itu. Beberapa kali saya minta dia untuk membaca tulisan saya sebelum saya kirim. Tapi boleh dibilang, tak pernah terlaksana sampai pada akhirnya termuat di media. Baru setelah itu ia mau mencoba membaca. Tapi yang saya tahu, lebih banyak yang tak tuntas dibaca daripada yang diselesaikannya sampai kalimat terakhir, hehe...
Yo wis, piye maneh! :)
Nah, ada cerita. Beberapa waktu lalu, tepatnya bulan Mei 2008, saya minta ia mulai coba-coba menulis. Sayang kan, kalau asupan-asupan wacana kehidupan yang masuk ke kepalanya tidak "ditumpahkan". Itu kata saya. Dengan jawaban yang sebenarnya sudah bisa saya duga, "Nggak bisa, Yah!".
"Mulai dari yang kecil-kecil dan ringan-ringan saja, Bun," kata saya. Saya mencontohkan rubrik seperti "
Jujur Saja" di Majalah
Femina, yang isinya tentang komentar satu atau dua kalimat saja.
"Nggak bisa ah!" Tetap saja kalimat itu yang terdengar.
Sampai akhirnya, saya buka
femina-online.com, saya buatin
email address, saya daftarkan sebagai
member, lalu saya
login. Saya tanyakan tentang komentar yang ia miliki seputar tema yang disodorkan minggu itu. Saya tulis komentar itu di
email address-nya. Saya kirim saat itu juga.
Eh, tak dinyana, dua hari kemudian ada balasan di alamat
email-nya, dari redaktur
Femina, yang isinya bilang akan memuat komentar istri saya, dan kalau bisa minta foto yang
size-nya lebih besar.
Dasar kami bukan "banci foto" (
hehe... sori), kami tak punya stok foto yang bagus. Foto kami kebanyakan foto-foto keroyokan, hampir tak ada yang
close up sendirian. Ya sudah, saya kirim seadanya. Mungkin memang tidak memenuhi syarat. Tak ada foto tak apalah, kata hati saya.
Dan benar, Alhamdulillah, komentar Bunda (yang saya tuliskan) dimuat di
Femina No. 23/XXXVI tanggal 5 - 11 Juni 2008 lalu.
Kecil, sedikit dan sederhana sekali memang. Saya hanya ingin membuktikan, "Ini lho, kalau kita mau, kita bisa kok!" Intinya, ayolah jadi pemain, jangan cuma jadi penonton saja di bidang tulis-menulis ini...
Dengan memperlihatkan seluruh proses penulisan, negosiasi, sampai dengan hasil pemuatan itu kepada istri saya waktu itu, saya merasa telah memberikan pembelajaran, bahwa sesungguhnya ia juga bisa kalau mau.
Selanjutnya saya tantang ia menulis untuk rubrik yang lebih besar. Misal ke Rubrik "
Gado-Gado" di majalah yang sama, yang berisi kisah-kisah lucu dan menarik dalam keseharian seorang wanita atau ibu khususnya.
Bayangan yang muncul di benak istri saya pasti : wah, kalau sepanjang itu, susah!
Belakangan, seiring keasyikan saya menulis untuk blog, ia selalu saya "paksa" untuk ikut mendukung aktivitas saya, minimal dengan membacanya. "Masa orang lain membaca tulisan Ayah, istri sendiri malah nggak pernah mau baca...", hehe, begitulah "keluhan" saya ke dia.
Akhirnya memang ia mau baca. Nah, mungkin, melihat isi blog yang jauh lebih "santai" dibanding tulisan-tulisan saya untuk media selama ini, ia mau membacanya dengan tekun.
Dari dua kejadian itu --kemunculan namanya di
Femina dan "kesimpulan" bahwa menulis tak harus seserius yang ia bayangkan dalam "pelajaran mengarang" di sekolahnya dulu, ia mau mencoba menulis.
Hasilnya, ya : dua lembar lebih kuarto A4, jarak baris 1,5 spasi! "Lhah, kalau dibikin spasi rangkap kan sudah 3 lembar tuh," kata saya. Itu berarti, cukup untuk syarat minimal sebuah artikel di "
Gado-Gado" tadi.
Saya baca isinya dengan seksama. Bagus juga ceritanya. Hanya cara penulisannya yang masih belum "benar" versi saya. Tapi temanya oke. Hal-hal yang harus ditampilkan sebagai inti cerita juga oke. Di-"permak" sedikit, tampaknya jadi layak kirim nih, kata saya bersemangat.
"Bagus kok, Bun. Tuh kan, siapa bilang Bunda nggak bisa menulis...," komentar saya.
"Di-
edit-in ya, Yah!" kata Bunda setelah saya berkomentar.
"Insya Allah," jawab saya.
Begitulah. Kendati sampai saat ini belum sempat mengedit (karena mengedit tulisan tanpa harus menghilangkan gaya tutur seseorang yang pasti punya kekhasan sendiri, tidak gampang lho!), saya bertekad memberi masukan untuk tulisan itu paling lambat hari Rabu. Kebetulan Rabu besok tanggal merah, bukan?
Jujur saja, saya senang. Saya sendiri, karena bekerja di komunitas orang-orang yang "asing" dengan dunia tulis menulis, saya merasa selalu butuh komunitas yang seide, sealiran, dan sama-sama berkeinginan kuat menekuni dunia tulis-menulis. Saya butuh "
sparing partner" yang konstruktif. "Bersaing" untuk kepositifan.
Dengan adanya kemauan istri untuk memulai, berarti saya mulai ada
partner yang dekat. Selama ini, di keluarga, saya baru bisa membentuk komunitas membaca, tapi belum sampai ke arah menulis. Mudah-mudahan inilah momentumnya.
Demikianlah.
Pelajaran pertama : kalau kita mau mencoba, sangat mungkin baru kita akan tahu kalau kita bisa. Kemauan untuk
take action, itu tetap yang terpenting.
Pelajaran kedua, komunitas itu penting, untuk saling mendukung, saling memacu, serta saling "berkompetisi" dalam konteks yang baik dan sehat.
PR alias pekerjaan rumahnya adalah, bagaimana menjaga semangat yang sudah mulai menyala ini tetap terus menyala, dan bahkan berkobar semakin besar. Saya ingat, "mendapatkan" seringkali lebih mudah dibanding "memelihara".
Semoga menginspirasi,
Fajar S PramonoNotes :
Selamat buat Bunda! Ayah yakin, tak lama lagi akan ada nama Bunda di media-media yang selama ini hanya Bunda baca. Bunda akan jadi pemain, dan tak lagi hanya menjadi penonton! Amien...