Mohon maaf, kalau saya merasa harus menulis postingan ini, di hari pertama berlangsungnya Pesta Buku Jakarta 2008.
Sedianya, saya ingin menunggu sampai pagelaran buku rutin tahunan ini selesai. Namun, uneg-uneg di hati ini butuh penyaluran. Butuh katarsis.
Sekali lagi, saya minta maaf, teriring do’a : semoga coretan kali ini tak berpengaruh negatif terhadap animo kawan-kawan untuk hadir di pesta buku tersebut. Amien...
***
Begini.
Sebagaimana sudah saya ceritakan sebelumnya, sebagai peminat buku, saya sangat serius melakukan persiapan untuk menyongsong hajatan IKAPI DKI Jakarta ini. Persiapan waktu, persiapan anggaran, bahkan persiapan fisik (
serius!) plus pengkondisian suasana dalam keluarga.
Tapi, sungguh, apa yang saya temui adalah anti klimaks.
Dengan semangat 45, masih ditambah semangat Malari 74 dan semangat reformasi 98, saya berangkat. Sengaja saya tak membawa kendaraan pribadi, karena saya malas untuk antri sejak keluar Gatot Subroto sampai dengan parkiran. Sampai di parkir pun, dijamin harus ekstra sabar, karena tidak gampang mencari parkir di tengah berbagai
event yang diselenggarakan dalam waktu dan areal yang sama. Ada Kampung Maen, ada pagelaran untuk anak dari Bobo danDancow, ada pos pelayanan SIM Komunitas sekaligus expo dari Polda Metro Jaya, ada pameran tanaman hias dan binatang piaraan, ada pertunjukan robot dinosaurus dari luar negeri, dan pesta buku itu sendiri.
Bagi saya, semua itu adalah ”membuang waktu”. Saya memilih naik taksi.
Sampai di sana, saya kaget.
Pertama, kok “sepi” pesta buku kali ini? Dibanding tahun lalu, saya bilang : jauh!
Saya ingat sekali, tahun lalu saya bahkan selalu kesulitan untuk “menembus” kerumunan orang, baik pintu masuk, di stand-stand, di lorong-lorong pameran, di tangga, di toilet, di areal makan, bahkan di areal santai tribun Istora. Semuanya penuh. Sesak.
Saya tidak akan berani membandingkan jika dalam periode pameran saya hanya datang sekali. Saya datang beberapa kali dalam beberapa hari waktu itu. Saya pun tak akan berani membandingkan, jika saya tidak sama-sama hadir pada hari pertama pembukaan pesta.
Wah, jauh banget. Beda sekali suasananya.
Kedua, buku-buku itu, rasanya tak ada yang ”baru”, selain memang ”mereka” yang bertajuk ”buku baru”. Terus terang, salah satu target saya adalah : bisa membeli buku-buku terbitan lama dengan harga yang lebih murah.
Tapi ternyata, buku murah yang ditawarkan, boleh saya katakan, ya buku-buku yang tahun lalu ditawarkan dalam pola yang sama. Artinya, barangkali itu memang buku-buku yang ”tidak laku” (mohon maaf bagi penulis/pengarang yang bukunya masuk dalam daftar
discount gedhe-gedhean setiap tahun –tak ada maksud untuk "mengecilkan").
Pada akhirnya, saya tidak jadi memborong buku ”lama”. Hanya satu :
Lelakone Si lan Man, karya Suparto Brata, yang merupakan kumpulan cerita cekak (cerpen) berbahasa Jawa. Buku itu diterbitkan oleh Penerbit Narasi Yogyakarta di tahun 2005.
Lainnya : buku baru. Dua-ribu-delapan. Sebagai buku baru, harga
discount-nya tentu tak sebanding dengan ongkos taksi karena males bawa mobil! Haha!
Tak apa lah.
Ketiga, meski digembar-gemborkan diikuti oleh 242 penerbit dari dalam dan luar Jakarta, pada kenyataannya hanya ada sekitar 75 pengisi stand, yang tentu saja bukan semuanya merupakan penerbit. Sebagian ”hanya” merupakan toko buku, seperti Gunung Agung, Kharisma dan Jabal yang ”merangkap” penerbit. Itu pun tidak selamanya menjual buku, tapi justru menjual alat tulis dan kantor. Begitu juga Gramedia. Selain Gramedia Group yang memang memajang buku terbitannya, ada Gramedia
Stationary, yang justru jualan alat tulis, peralatan sekolah dan tetek bengeknya.
Tampaknya, kesempatan liburan sekaligus momentum menjelang tahun ajaran baru ini juga ”ditangkap” sebagai momen potensial untuk jualan barang non buku. Bahkan ada juga stand yang hanya berjualan mainan edukatif
thok thil. Apa bedanya dengan Inacraft dan Icra 2008 kemarin dulu ya? :)
Tahun lalu, jumlah pengisi stand (ingat : pengisi stand tidak identik dengan penerbit/toko buku/praktisi buku) juga sebanyak 75 peserta.
Keempat, berkaitan dengan yang ketiga, rasanya semakin banyak peserta yang mengambil lebih dari satu stand atau satu deret atau satu luasan
square stand, sebagai bentuk strategi menyebar peluang. Walhasil, berjalan dari stand penerbit A di sisi Barat ke arah Timur, ketemu lagi dengan stand penerbit yang sama di ujungnya. Begitu juga dengan peserta B,C, dan lainnya.
Saya sampai sempat bingung, setelah masuk Ruang Cempaka, keluar lagi, baru belok sekali, kok sudah sampai ke ”tempat semula” ya? Hehe.. Apalagi, ada peserta yang khusus menawarkan program buku murah, yang pilihan stand-standnya sengaja mengambil lokasi di hampir tiap sudut istora. Isi standnya pun : sama persis. Jadi, lho kok ini lagi ini lagi?
Pada akhirnya, ”perjalanan” di dalam pesta kali ini terasa sangat cepat.
Sampai di rumah, saya mencoba membandingkan isi buku panduan Pesta Buku Jakarta 2007 dengan Pesta Buku Jakarta 2008. Ternyata, dari jumlah peserta, memang sama.
Hanya, dari jumlah stand, jika dilaporkan saat ini hanya ada 184 stand, tahun lalu hanya dilaporkan 180 buah.
Keberapa sekarang?
Oh iya,
kelima. Animo pengunjung dalam acara bedah buku atau jumpa pengarang, juga menurun, dalam pandangan saya. Percaya atau tidak, sebuah
talk show computer technologic tentang ”melawan virus dengan antivirus” di stand Buku Kita, hanya ”dihadiri” oleh panitia itu sendiri. Untungnya, moderator dan pembicara tetap pedhe abis, sehingga acara tersebut tetap terselenggara.
Saya tidak bermaksud menjelek-jelekkan. Kesekian kalinya saya mohon maaf. Tapi, saya merasa menjadi ”benar” ketika komentar yang sama justru keluar dari mulut salah satu dedengkot penerbit yang sudah beberapa tahun mengikuti berbagai event perbukuan nasional.
”Sepi banget, Mas!” katanya. ”Dulu nggak seperti ini lho... termasuk dibandingkan dengan
Islamic Book Fair beberapa bulan lalu. Makanya, barusan saya malah tidur pules di atas,” sambungnya tanpa saya tanya. ”Atas” yang dimaksud adalah bangku-bangku di tribun Istora Senayan yang kali ini sangat longgar dan ”tenang”. Cocok untuk tidur memang.
Kalaupun ada
talk show yang ramai, hanyalah saat bedah buku
Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66. Sebuah buku karya H. Maulwi Saelan, mantan Wakil Komandan Pasukan Cakra Birawa jaman Bung Karno dulu, yang juga menghadirkan sejarawan dan peneliti senior LIPI Bapak Asvi Warman Adam.
Buku yang diterbitkan oleh Visimedia itu memang cukup mengundang penasaran, karena –lagi-lagi— menghadapkan ”perseteruan kebenaran” antara Bung Karno dan Pak Harto. Acara ini berjalan sukses dalam kacamata saya, dengan antusiasme yang cukup tinggi dari para peserta.
Bedah buku atau event buku lainnya :
no! :)
Kesekian.
Keenam, maksudnya. Tragis, ada beberapa stand yang sampai menjelang malam belum juga menempati stand yang sudah dipesannya. Kalau cuma satu, mungkin itu ”kecelakaan”. Tapi ini lebih dari dua!
Bukan apa-apa. Yang pasti, tahun lalu itu tak terjadi. Pertanyaan saya, ”niat” nggak sih, peserta itu?
Bung, Pesta Buku Jakarta bukan ajang buku yang insidentil dan diselenggarakan secara mendadak. Ia sudah merupakan agenda rutin tahunan, dan dipersiapkan dalam jangka waktu yang cukup oleh panitianya. Termasuk publikasinya.
Naif rasanya, jika peserta yang sudah mengajukan diri justru tak mampu melakukan
preparation yang notabene pasti tidak lebih kompleks dari penyelenggaraan itu sendiri. Seberapa sibukkah ia?
***
Saya tidak tahu pasti, apakah ada hubungan kenaikan BBM dan meningkatnya inflasi ekonomi terhadap fenomena ini. Secara momentum, penyelenggaraan di saat libur semestinya merupakan momentum yang tidak salah, dan bahkan sangat baik.
Tapi mungkin, hubungan itu memang ada. Masyarakat saat ini, di tengah himpitan biaya hidup yang meninggi, benar-benar lebih memprioritaskan pemenuhan kebutuhan pokoknya. ”Pokok” pun tidak lagi berarti papan, pangan dan sandang.
Kebutuhan pokok saat ini bahkan banyak diejawantahkan dalam satu bentuk saja : pangan. Baju celana dan sejenisnya, pakai yang lama. Mempercantik rumah atau renovasi, nanti dululah. Asal nggak bocor ketika hujan, sudahlah. Bahkan meski bocor, kalau belum membuat banjir lokal dalam rumah, ”nikmati” saja lah.
Kebutuhan pokok justru beralih kepada pemenuhan biaya pendidikan. Masyarakat kita semakin sadar akan pentingnya pendidikan. Tapi di sisi lain, ”harga” yang harus dibayar terlalu mahal. Dan karena itu pulalah, masyarakat terpaksa mereduksi bentuk kebutuhan pokok yang papan dan sandang tadi. Menyedihkan ya... :(
Tapi yang pasti, fenomena ini tidak hanya terjadi di Pesta Buku Jakarta 2008. Di pameran Interior dan Handycraft (Icra) 2008 minggu lalu, juga pameran
Franchise, Business Opportunity and License yang diselenggarakan pada waktu yang sama, kemudian juga Inacraft yang selama ini diklaim sebagai pameran hasil kerajinan terbesar pada beberapa bulan sebelumnya, juga dilanda kesepian yang sama.
Saya sendiri menjadi saksi mata, dan itu dibenarkan oleh para peserta yang sempat berbincang dengan saya.
***
Jujur saja, saya bukan siapa-siapa. Juga bukan apa-apa. Negara ini tentu tak lantas terpuruk hanya karena tak ada saya. Jangankan negara, aktivitas RT tempat saya tinggal pun bisa jadi tak terpengaruh dengan ada dan tiadanya saya. Yang terasa, mungkin hanya di lingkungan keluarga. Itu pun masih ”mungkin”.... :)
Tapi, saya sedih. Bahkan saya ingin sekali mengatakan, ”Saya kecewa!”. Tapi ya itu tadi, seperti kata iklan rokok, ”
Emangnye, siape sih loe?”
”
Loe bilang kecewa, loe bilang jelek, loe bilang ancur, emang gue pikirin? Nggak ngaruh, tau!” kata ”seseorang” (atau ”sesuatu” ya?) di seberang saya.
Ya sudahlah. Sekali lagi, ini hanya uneg-uneg. Saya bela-belain tulis di tengah-tengah kecapean yang menerjang, sekedar untuk melegakan hati. Biar plong.
Lantas, kalau sudah plong?
Ya tidur, lah! Zzz... zz... zzzz... zz..z....
***
Salam buku,
Fajar S Pramono