Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

TUAN, NYONYA DAN PEMBANTU


Lebaran dan kerepotan keluarga karena pulangnya pembantu, bukan masalah yang baru. Ini masalah biasa, yang bahkan karena seringnya dibahas, menjadi sangat biasa.

Sejak hari Rabu (24/09), seseorang yang biasa membantu pekerjaan harian di rumah kami, pulang kampung. Praktis, sejak hari itu, istri di rumahlah yang berperan penuh pada aktivitas sekaligus rutinitas mengurus rumah.

Kasihan juga, tapi gimana lagi. Malah, saya sendiri tetap asyik dengan aktivitas kesukaan saya sendiri. Buktinya, ketika istri sedang sibuk mencuci dan bahkan bersiap memandikan anak-anak, saya tetap khusyuk di depan komputer, browsing, baca koran maya, bahkan tetep saja blogging! Hihihi... keterlaluan kan? :)

Tapi, saya bukan mau berkisah soal kepulangan mudik pembantu. Fenomena ini sudah menjadi masalah klasik tahunan, dan selalu saja menjadi salah satu angle penulisan artikel di media massa.

Saya hanya mau menuliskan kembali salah satu artikel saya, yang dimuat di Harian Suara Merdeka lebih dari 13 (baca sekali lagi : tiga belas!) tahun lalu. Tepatnya, 3 September 1995.

Mudah-mudahan ada pelajaran yang bisa diambil. Amien.


TUAN, NYONYA DAN PEMBANTU

Judul di atas meminjam judul salah satu film, yang lokasi syutingnya di Semarang. Lalu, apa hubungannya dengan artikel ini? Tentu saja. Itu berarti saya mengajak Anda semua untuk ngrumpi-in persoalan antara majikan dan pembantu.

Tentu Anda semua juga paham, kalau yang akan kita bicarakan ini mengenai pembantu rumah tangga, bukan soal yang lain.

Tiba-tiba saya ingin menulis hal ini ketika seorang teman dekat mengeluhkan soal pembantunya yang baru saja minggat. "Pamitnya sih cuma pulang kampung sebentar. Tapi ternyata, nggeblas!"

Penyebabnya? Ternyata minggat karena khawatir diperlakukan semena-mena oleh keluarga Lina, teman saya itu. Padahal, keluarga Lina sama sekali tidak pernah melakukan perbuatan yang bisa disebut sewenang-wenang. Makan, tidur, istirahat, gaji, lebih dari cukup. Kalau soal dimarahi dikit-dikit, itu hal yang wajar.

Setelah diselidiki, kekhawatiran Yu Nah --pembantu yang minggat itu-- muncul akibat gosip negatif yang (sengaja) dilontarkan oleh Budhe Lina.

"Iya, nggak tahu tuh. Mungkin beliau nggak suka keluarga kami punya pembantu," tuturnya ketika itu.

"Lho, apa alasannya?" tanya saya tak habis pikir.

"Entahlah, dari dulu selalu begitu. Pembantu sebelumya juga minggat setelah diceramahi Budhe."

"Kamu nggak tanya ke pembantumu?" tanya saya lagi.

"Itulah, pembantuku nggak mau terbuka sama keluargaku. Mungkin karena melihat kesibukan Bapak dan Ibu, dia jadi segan untuk matur," Lina masih terus mengeluh.

Dan ternyata masalahnya tidak sesederhana itu. Yu Nah ternyata sempat melakukan "unjuk rasa" terselubung sebelum meninggalkan rumah Lina. Dia mengungkapkan rasa takut pada tuan rumah, dengan menuliskannya dalam buku tulisnya, yang tampaknya sengaja ditinggal di lemari pakaian.

Belum lagi coretan-coretan bolpoin di tembok kamar. Semua itu berisi kekuatiran yang belum terbukti.

***

Belum sampai seminggu sejak Yu Nah minggat, Lina mengeluh lagi.

"Ada apa lagi?" tanya saya ketika dia datang dengan wajah muram.

"Masih soal pembantu, Mas," jawabnya tampak kesal.

"Kenapa. Minggat lagi?"

"Bukan. Ini soal pembantu yang ada di rumah kos Bapak. Yu Tin itu lho, kamu tahu kan?" katanya, seraya menghempaskan pantatnya di kursi tamu.

"Yu Tin istrinya Kang Marto, kan?" saya berusaha mengingat-ingat.

"Iya, kemarin dia ke rumah. Yu Tin bilang, dia nggak mau lagi mengurusi kos putri itu," Lina mulai menjelaskan.

"Emangnya kenapa?"

"Begini lho," sambil membetulkan posisi duduknya Lina bercerita, "Dia sakit hati dengan ulah para mahasiswi yang kos di situ. Dia merasa dilecehkan keberadaannya. Padahal, Yu Tin dipercaya oleh Bapak untuk mengatur segala tetek bengek kos. ya kebersihan, kerapian, keindahan, sampai persoalan uang."

Lina berhenti sejenak untuk mengatur nafasnya, lalu meneruskan, " Kamu tahu apa yang diperbuat oleh cewek-cewek tengil itu?"

"Ya ndak tahu to..," jawab saya, "Lha wong kamu yang punya cerita...."

"Yu Tin selalu menjadi sasaran kemarahan mereka." Lina tampak jengkel sekali. "Kalau Yu Tin sedikit mengingatkan, mereka jawab, 'Memangnya kamu ini siapa? Cuma batur saja berani ngatur.' Siapa yang tahan diperlakukan begitu? Benar-benar kurang ajar!"

"Tenag, Lin. Jangan emosi begitu. Apa Bapak sudah menemui mereka? Buat membicarakan perilaku mereka yang kebangeten itu."

"Sudah, Mas. Tapi di depan Bapak, mereka menjelma menjadi makhluk yang begitu manis, sopan dan penurut."

"Aku akan usul untuk mengosongkan dulu kos itu. Biar diisi sama anak-anak yang lain, yang punya sedikit tenggang rasa kepada pembantu," kata Lina tatkala dia mulai bisa mengendalikan emosinya.

***

Banyak kasus ataupun peristiwa di antara majikan dengan pembantunya dalam kehidupan sekitar kita. Atau malah terjadi pada diri kita. Seperti juga pada dua contoh tersebut. Lalu apa sebaiknya yang kita lakukan?

Yang pertama, tentu kita harus sadar, pembantu juga manusia seperti kita. Bukan robot yang tidak punya perasaan. Tidak punya hati nurani. Pembantu juga bisa tersinggung, sakit hati, dan marah. Hanya keadaan materi, pangkat jabatan,yang membedakan dari mereka.

Kalau menyadari benar hal tersebut, kasus seperti itu rasanya tidak perlu terjadi. Yu Nah nggak perlu minggat, dan Yu Tin nggak perlu sakit hati.

Kita berhak menyuruh begini atau begitu, namun tetap berpedoman pada etika dan kemanusiaan. Kita mustinya bersyukur, masih ada orang yang mau membantu pekerjaan kita di rumah, dengan imbalan uang tentunya.

Namun, apa artinya uang gaji yang diterimanya, bila ia terpaksa mengorbankan perasaan dan harga dirinya.

Pembantu yang mendapat perlakuan sewenang-wenang dari majikannya tentu lebih memilih untuk mencari pekerjaan lain, atau menjadi pembantu di tempat lain.

Mereka adalah mitra kerja kita di rumah. Suasana kekeluargaan yang akrab bersahabat, akan menghasilkan nilai kerja yang menggembirakan kedua belah pihak.

Si majikan tak perlu marah-marah karena pekerjaan yang kurang beres, dan sebaliknya. Si pembantu tak perlu merasa tersinggung atas kata-kata majikan. Semua akan berjalan harmonis.

Hal berikutnya yang harus dilakukan adalah berusaha mengembangkan iklim keterbukaan antara tuan dan nyonya sebagai majikan, dengan pembantu. Kita harus senantiasa memberikan kebebasan berpikir, berbicara, guna mengemukakan pendapat serta unek-uneknya.

Keterbukaan akan menimbulkan rasa saling pengertian di antara keduanya. Mungkin suatu ketika pembantu kepayahan dan sakit. Tapi karena takut untuk matur, dia terus bekerja tanpa mengindahkan sakitnya. Ditambah sikap yang tidak mau tahu dari majikan, akibatnya bisa fatal.

Seperti pada kasus pertama. Bila Yu Nah biasa terbuka dengan keluarga Lina, kekhawatiran yang sama sekali tak beralasan itu tidak perlu muncul. Ia tidak akan mudah terpengaruh oleh suara-suara sumbang mengenai keluarga majikannya. Sebab, dia tahu betul kondisi sebenarnya.

***


Salam,

Fajar S Pramono


Gambar : lifestyle.okezone.com

1 komentar:

Kayaknya keluhan Ibu Ibu tentang PRTnya sebabnya cuman di seputaran situ situ aja ya. Titip artikel ya Mas. Masih tentang soalan Domestic Helper sih. Mana tau ada yang mau baca.. ;-)

http://alittlebrownmouse.blogspot.com/2012/05/you-get-what-you-pay-for.html