Saya akan sadurkan kembali sebuah kisah. Masih dari buku yang sama dengan kisah Rhenald Kasali beberapa waktu lalu, yakni dari buku Renungan Ida Arimurti; Membuat Hidup Lebih Berarti. Kali ini, sebuah kisah dari Agum Gumelar.
Saya sadar, tokoh pencerita ini cukup kontroversial. Banyak yang suka, tapi tidak sedikit pula yang menyatakan kekurangsenangannya. It's ok.
Yang pasti, syarat utama untuk bisa melihat "sebuah cermin" di balik sebuah kisah adalah, abaikan siapa yang bertutur. Jangan lihat siapa yang bercerita. Buka mata hati, dan posisikan diri pada kondisi "saya mau belajar". Open mind. Open heart. Jika tidak, saya rasa tak perlu Anda buang waktu untuk membacanya, karena pasti akan percuma. Bisa jadi, justru cibiran dan ungkapan ketidakpercayaan yang akan keluar. Dan itu adalah kesia-siaan untuk Anda.
--MUTIARA KEHIDUPAN--
by Agum Gumelar
Tak pernah terpikirkan dalam benak saya bahwa saya akan menemukan mutiara-mutiara kehidupan justru pada saat kekacauan massa terjadi. Saat itu, saat saya masih menjabat sebagai Pangdam 7 Wira Buana di Sulawesi Selatan, 17 September 1997, warga kota Makassar beraktivitas seperti biasa. Seperti halnya anak gadis berusia 9 tahun, Ani Mujahidah, mengisi hari-harinya dengan kegiatan rutin, salah satunya mengikuti pengajian. Usai dari tempat pengajian, Ani pun segera beranjak pulang. Siapa sangka, di tengah jalan, Ani dicegat oleh seorang pemuda yang kemudian membacoknya dengan parang. Ani tewas seketika.
Ani, putri satu-satunya dari sepasang orangtua biasa itu, harus tewas mengenaskan, entah karena alasan apa. Jajaran polisi bekerja keras mencari pelakunya dan, dalam waktu singkat, sang pembunuh berdarah dingin itu berhasil diciduk. Peristiwa pembunuhan keji itu menjadi pemberitaan di seluruh kota Makassar dan seluruh masyarakat antusias saat, akhirnya, pelaku ditangkap. Namun, rasa antusias itu berubah menjadi amarah tak terkendali kala mengetahui bahwa sang pembunuh Ani adalah pemuda keturunan Tionghoa. Sontak, gelombang massa anti-Cina pun merebak di seluruh Makassar. Kerumunan massa pun kian panas, lalu terpiculah tindakan anarkis. Rumah-rumah dibakar, toko-toko dijarah, Makassar membara.
Pada tahun itu, belum ada tindak kerusuhan yang cenderung anarkis sebesar itu, amukan massa seperti itu benar-benar merupakan tantangan yang sangat berat bagi saya. Kepala saya pusing memikirkan bagaimana cara meredam aksi tanpa menyakiti rakyat. Usai melayat ke rumah orangtua Ani, saya segera mengumpulkan jajaran angkatan laut, udara, polda, semuanya. Saya minta mereka berkumpul di kodam. Di hadapan mereka saya tegaskan, "Dalam menanggulangi kerusuhan ini, dengarkan saya baik-baik. Saya tidak ingin ada tembakan. Tidak ada tembakan. Karena, mereka bukan musuh. Mereka hanyalah masyarakat biasa yang hendak menyampaikan amarahnya dengan cara yang salah. Ayo turun ke jalan dan bertindak persuasif. Persuasif!" Persuasif, itulah yang saya tekankan benar-benar kepada mereka semua. Alhamdulillah, dalam dua hari, kerusuhan pun teratasi.
Namun, semua itu tak pernah saya banggakan sebagai sebuah prestasi saya, melainkan semua itu berkat campur tangan Tuhan. Betapa tidak, saat kerusuhan terjadi dan saya melihat pemberitaannya di televisi, kamera menyorot seorang bapak dengan wajah lusuh dan air mata berlinang. Dalam wawancara, dia berkata lirih, "Saya sedih sekaligus hancur hatinya karena anak saya satu-satunya harus meninggal dengan cara yang begitu tragis. Tetapi, sebagai umat beragama, kita harus saling memaafkan. Jadi, saya mengimbau kepada masyarakat di luar sana yang berbuat anarkis, mohon hentikan semua itu. Tolong jangan membebani anak saya di akhirat...."
Saya segera menggebrak meja, "Dia mutiara!!!" Says segera memanggil staf untuk mencatat namanya karena saya akan memberikan penghargaan tertinggi untuknya.
Drs. Zubaidi Saleh, seorang ayah yang baru saja berduka justru membuka hatinya begitu lapang untuk saling memaafkan. Tak ada penghargaan tertinggi yang cukup untuk menggambarkan keikhlasannya. Dan, sikap itulah yang sebenarnya mendorong kepulihan kota Makassar.
Akan tetapi, beliau bukan satu-satunya mutiara yang muncul pada saat itu. Mutiara lain saya dengar dari salah satu petugas yang berjaga-jaga di sekitar pertokoan yang dijarah. Dia menangkap sosok tukang becak yang sedang mangkal dengan tenang di sekitar daerah tersebut. Petugas tersebut menghampirinya dan berujar, "Eh, kok, kamu duduk-duduk saja di sini? Semua orang sedang menjarah, kenapa kamu tidak ikut?"
Si tukang becak menjawab dengan tenang, "Bapak, mereka, kan, mencuri barang yang bukan miliknya. Walau saya hanya seorang tukang becak, saya tidak mau mencuri...."
Segera setelah menerima laporan tersebut, lagi-lagi, saya gebrak meja, "Mutiara!!! Cari dia!!!" Namun, rupanya, tidak semudah itu mencari si tukang becak. Mengetahui dirinya dicari petugas, dia segera menyingkir ke daerah lain. Barulah pada 2 Oktober 1997, dia ditemukan di daerah Jeneponto, tiga jam dari Makassar. Dialah Mustapa alias Tapa, salah satu mutiara dalam kerusuhan di kota Makassar. Bersama ayahanda Ani, Drs. Zubaidi Saleh, Mustapa saya undang pada saat upacara ulang tahun ABRI pada 5 Oktober 1997 di Makassar. Pada kesempatan itu, saya memberikan penghargaan teringgi kepada kedua insan itu, penghargaan Wira Buana Kodam VII, sebagai tanda betapa orang-orang seperti mereka dapat memberi insiprasi dan mendorong masyarakat berbuat baik hanya dengan keikhlasan dan kejujuran. Semoga orang-orang seperti itu terus ada dan bertambah di bumi Indonesia ini.
Salam perenungan,
Fajar S Pramono
Ilustrasi : www.leetsoftware.com
0 komentar:
Posting Komentar