Mencari Bening Mata Air; Renungan A. Mustofa Bisri. Diterbitkan Penerbit Kompas, September 2008.
Buku itu tipis saja. Membacanya, seharusnya tak perlu waktu lama. Tapi, ketika kesederhanaan dalam jumlah halaman itu berisi sebuah kebesaran pikir yang bagi saya luar biasa, saya tak akan bisa membacanya secara cepat, sebagaimana saya melahap buku-buku lainnya.
Bagaimana tidak? Hampir di tiap halamannya terkandung mutiara. Dan entah kenapa, mutiara itu bagaikan candu. Pertama, ketika membaca sekilas, tampaknya biasa. Pembacaan kedua, segera terasa keindahannya. Pembacaan ketiga, segera tampak maknanya. Pembacaan keempat, terasa "tamparan-tamparan"-nya. Pembacaan kelima dan seterusnya, hanya keindahan dan kedalaman makna yang semakin kentara dan semakin menampar kesadaran.
Ketika pembacaan dianggap cukup, maka perenungan yang menggantikannya. Perenungan pertama, menampar ingatan. Perenungan kedua, mendobrak kesadaran. Perenungan ketiga, menciptakan cermin di hadapan hati. Perenungan keempat, menawarkan kekuatan instropeksi. Perenungan kelima dan selanjutnya, menegaskan kepada kita bahwa kita ini masih saja menjadi manusia yang penuh "salah", seringkali sok, egois, namun (pada akhirnya, Insya Allah) siap membuat perubahan pemaknaan dalam sikap hidup, sekaligus mensikapi kehidupan itu sendiri.
***
Saya bukan mau promosi buku. Saya hanya mau mengatakan, saya sangat kagum dengan Gus Mus. Ya, si A. Mustofa Bisri itu. Seorang cendekia kelahiran Rembang, 10 Agustus 1944. Seorang kiai yang juga pemikir besar, seorang guru santri yang juga budayawan, sastrawan penyair dan penulis cerpen, pelukis, ahli kaligrafi, dengan gaya hidup dan perilaku yang sangat bersahaja di mata saya, kendati beliau tak bisa melepaskan diri dari karakter "bawaan" bernama ke-eksentrik-an.
Di mata saya, beliau adalah sosok yang lengkap. Istilah "lengkap" saya pilih, untuk menghindari kata "mendekati sempurna". Ya, karena kesempurnaan hanya milik Allah.
Tapi, dengan pemahaman keagamaan, ritus kesalehan dalam hubungan dengan Tuhan serta pemahaman ekonomi budaya, sosial dan amsal keduniawian lainnya yang jauh di atas rata-rata; ditunjang pembawaan yang tak pernah menyiratkan sebuah kecongkakan karena kepemilikan kemampuan, maka ia layak dijadikan sosok panutan.
Saya merasa tak berlebihan. Maka, sembari terus membaca buku tipis di atas, saya kembali mengaduk-aduk koleksi "perpustakaan" saya. Saya merasa harus membaca kembali buku terbitan HMT Foundation, Semarang tahun 2005 (pengantar dari Ir. H. Muhammad Tamzil, MT ditulis September 2005), yang banyak sekali bertutur tentang sosok Gus Mus. Judul bukunya Ngetan-Ngulon Ketemu Gus Mus. Bahkan, karena merasa kurang, saya juga culik dari deretan buku-buku di lemari buku kami, sebuah buku yang lebih tipis dari buku Mencari bening Mata Air. Sebuah kumpulan puisi Gus Mus : Negeri Daging. Diterbitkan Penerbit Bentang Budaya, September 2002. Juga Kumpulan Cerpen Gus Mus : Lukisan Kaligrafi, Penerbit Kompas, September 2003. (saya baru ngeh, kok keempat buku Gus Mus yang saya miliki semuanya terbitan September ya? Wallahu a'lam)
Sayang, saya tak menemukan kembali sebuah puisi --yang saya lupa judulnya--, yang pernah saya cuplik sebagai tulisan di majalah kampus ketika saya menjadi pengelola di tahun 1992-1998 (tentang ini, saya bertekad untuk melakukan "perburuan", karena pada saat itulah saya mulai memiliki kekaguman terhadap beliau).
Saya bertekad membaca ulang semuanya. Termasuk ceceran karya-karya beliau yang ada di kumpulan-kumpulan cerpen dan antologi. Saya selalu menemukan "sesuatu" ketika membaca karya-karyanya.
***
Tentang pribadi Gus Mus, silakan baca buku Ngetan-Ngulon Ketemu Gus Mus tadi. Di posting ini, saya justru tertarik mencuplik beberapa karya beliau di buku terbarunya itu. Beberapa saja, yang membuat saya "merinding" ketika membacanya.
(Oya, tentang ini, sudah ada satu cuplikan saya, di postingan "Keberkahan" minggu lalu, Sabtu 20 September 2008, dan ini cuplikan dari halaman yang lain)
--sebuah renungan--
Bukankah kalau ada yang meminta kepadamu,
kau memberinya sesuai kehendakmu,
atau bahkan kadang tidak memberinya sama sekali?
Mengapa kalau kamu memohon kepadaNya,
Ia kauharuskan memberimu sesuai kehendakmu?
Memohonlah kepadaNya. Ia pasti memberimu dan biarlah Ia memberimu sesuai kehendakNya.
Sederhana sekali renungan ini. Namun, saya merasakan aura yang sangat lain ketika untaian kalimat ini muncul dari Gus Mus. Saya membayangkan beliau sedang berbicara pelan-pelan kepada saya, tetap dalam kesantunan khas beliau yang selama ini hanya bisa saya lihat di televisi, berbicara dengan sabar tanpa kesan menggurui di depan saya yang masih sangat rendah kadar kesadarannya.
Satu halaman yang hanya berisi rangkaian kalimat tadi, lebih dari lima menit tak saya geser. Meluncurlah desis penyesalan : Astaghfirullahal 'adziimi...
--sebuah puisi--
BILA KUTITIPKAN
Bila kutitipkan dukaku pada langit
Pastilah langit memanggil mendung
Bila kutitipkan resahku pada angin
Pastilah angin menyeru badai
Bila kutitipkan geramku pada laut
Pastilah laut menggiring gelombang
Bila kutitipkan dendamku pada gunung
Pastilah gunung meluapkan api. Tapi
Kan kusimpan sendiri mendung dukaku
Dalam langit dadaku
Kusimpan sendiri badai resahku
Dalam angin desahku
Kusimpan sendiri gelombang geramku
Dalam laut pahamku
Kusimpan sendiri.
Sebuah laku kebijaksanaan dan kebesaran hati yang tergambar dalam puisi itu, yang layak dijadikan "teladan". Berkorban dan bersedia menahan diri demi menghidari kerusakan yang jauh lebih besar. Luar biasa.
Atau, coba simak yang ini :
--sebuah puisi--
RATSAA
anak-anakmu kau serahkan babumu
istrimu kau serahkan sopirmu
dirimu kau serahkan sekretarismu
tuhanmu kau serahkan siapa?
1413
Begitu dalam maknanya, terlebih bagi kita yang seringkali tenggelam dalam kesibukan dunia, dan bahkan lebih mementingkan kesibukan itu dibanding "kesibukan bercengerama" dengan Tuhan.
Satu lagi :
--sebuah renungan--
Kebenaran kita berkemungkinan salah,
kesalahan orang lain berkemungkinan benar.
Hanya kebenaran Tuhan yang benar-benar benar.
Sayang, "keterbatasan" membuat saya sedikit berat untuk menuliskan kembali kisah sekaligus bahan perenungan dari tokoh bernama Ustadz Bachri, sang pelukis kaligrafi dalam cerpen Lukisan Kaligrafi-nya Gus Mus. Atau cerita tentang Ummi Salamah yang ber-ending mengejutkan dalam cerpen berjudul Ning Ummi. Atau "serial" puisi bertajuk Rasanya Baru Kemarin --yang sayangnya baru saya tahu sampai "seri" VIII--, seputar perenungan kemerdekaan negeri kita tercinta.
***
Ah, mumpung besok-besok cukup banyak libur, saya coba sempatkan mengulik karya-karya Gus Mus itu. Termasuk hunting puluhan (atau ratusan) karya lain beliau dalam bentuk buku di toko buku. Mudah-mudahan masih ada stok. Amien.
Saran saya : cobalah Anda membaca salah satu karyanya. Nikmati perenungan yang tercipta.
Salam perenungan,
Fajar S Pramono
NB : Baru inget, ada satu lagi buku Gus Mus yang saya punya, keselip di lemari buku yang lain : Membuka Pintu Langit, Penerbit Kompas, (lha, yang ini bukan September! Hehe..) November 2007. Tetap ditulis dalam penciptaan kebeningan batin.
Ilustrasi : goblog.files.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar