Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

SUAP


Judul, dan bahkan ide posting ini berasal dari judul cerpen Putu Wijaya di Harian Jawapos Minggu (21/09) kemarin. Tentang isinya, pasti berbeda jauh. Yang di Jawapos menjadi sangat asyik ceritanya, akibat kemampuan sastra dan cara penceritaan yang luar biasa dari seorang Putu Wijaya. Sementara posting ini, tak kalah asyik karena kepiawaian membual dari seorang Fajar S Pramono! Hahaha...

Enggak kok. Saya tidak hendak membual. Saya hanya ingin berpendapat. Soal suap. Soal sogok. Bukan latah karena banyaknya kasus suap yang merebak lebar menjadi kasus korupsi berjamaah, tapi karena bahkan saya pun tak sekali dua merasakan "asyiknya" percobaan suap. Dan ini tenan kedadean. Benar terjadi.

Kenapa orang berusaha menyuap?

Pertama, jelas karena orang itu mawas diri dan memiliki kemampuan instropeksi diri. Lhah? Lha iya to : itu karena mereka memang sadar sesadar-sadarnya, paham sepaham-pahamnya dan ngerti sengerti-ngertinya kalau mereka memang "tidak layak". Ya tidak layak juara, ya tidak layak menang, ya tidak layak dapat penghargaan, ya tidak layak dapat kredit, ya tidak layak jadi pilihan. Lantas, mereka "berusaha" mempengaruhi pandangan bahkan keputusan para penentu kemenangan, para pembuat keputusan itu dengan "cara"-nya yang lain. Yang pasti, cara lain itu bukan dengan meningkatkan nilai kepantasannya untuk jadi juara, jadi pemenang, jadi penerima penghargaan, jadi layak kredit, dan jadi pilihan.

So, semakin besar nilai tawaran suap yang disodorkan, berarti ketidaklayakan itu semakin besar. Ini linear.

Kedua, karena ia memiliki pandangan hidup yang "jelas". Maksudnya, jelas bahwa ia adalah makhluk yang memiliki pandangan hidup bahwa "semua bisa dibeli". Dan itu sesungguhnya adalah hasil bercermin dirinya sendiri, di mana pantulan dari cermin tersebut ditunjukkannya pada orang lain. (Bingung ya?)

Maksudnya begini. Kalau orang itu tidak segan-segan dan tanpa malu-malu berusaha menyuap, maka sesungguhnya ia sedang menunjukkan kepada kita semua, bahwa ia adalah orang yang juga "menghalalkan" suap bagi dirinya sendiri.

Saya pernah berpendapat serius, ketika seseorang kawan berusaha melakukan pendekatan kepada saya agar adiknya diberi akses masuk dan bekerja di sebuah institusi di mana saya bekerja pada waktu itu. Saya katakan ke dia, asal anaknya (adiknya itu, maksud saya) baik, pintar dan punya keunggulan komparatif, pasti diterima. Nggak usah pakai sogok-sogokan. Nggak usah pakai "persuasi ekstra" dan "pendekatan khusus".

Eh, dianya ngotot. Nggak mungkin, katanya. Bagi saya ini aneh. Karena saya (dan saat itu juga saya contohkan teman sekantor yang kebetulan satu angkatan masuk dengan saya) bisa diterima di institusi itu tanpa "akses khusus" sama sekali. Artinya, yang saya omongkan itu bukan khayali. Tidak mengada-ada.

Eh lagi, dia tetap ngotot. Bahkan saya dituduhnya berbohong! Astaghfirullah. Ya sudah. Saya katakan ke kawan saya itu, tak apa tak percaya.

Dalam hati saya berpikir : orang yang sangat sulit diberikan pengalaman baru yang "baik", salah satunya adalah karena ia mengalami sendiri pengalaman "buruk"-nya. Dan ternyata, benar adanya. Tak lama dari kejadian itu, ia mengakui bahwa dulunya pun --ketika pada akhirnya ia dinyatakan diterima--, ia menggunakan "uang pelicin".

Ya sudah. Mau gimana lagi. Paling susah memang, menawarkan "kenyataan manis" kepada orang lain jika orang lain itu lekat dengan "kenyataan pahit" berkenaan permasalahan yang serupa.

Tentang pandangan bahwa "segala sesuatu bisa dibeli", itu pun demikian adanya. Kepemilikan pandangan yang seperti itu, sangat bisa jadi juga menunjukkan sifat bahwa ia juga bisa "dibeli". Uang adalah segalanya. Yang "maha" mengatur.

Sebab ketiga, bisa jadi seorang "penyuap" merasa layak, namun kurang percaya diri. Ini juga banyak di lapangan. Banyak hal, yang setelah diteliti, ia bisa "diterima" karena kadar kelayakan dan kepantasannya itu. Murni, dan bukan karena adanya "iming-iming".

So, "rugi" bukan? Lha wong tanpa suap ia bisa berhasil, kok malah menawari suap. Di mata "juri" yang kredibel, itu justru berperan besar dalam meruntuhkan penilaian. Dari yang seharusnya layak, malah jadi bumerang yang membuatnya menjadi tidak layak. Dari yang tadinya "bisa dipercaya", menjadi "kurang bisa dipercaya". Ini karena adanya penilaian lain sisi karakter. Dan ketika penilaian masuk kepada nilai karakter, maka sangat sulit untuk mengubah keyakinan juri, karena karakterlah yang mendasari segalanya. Tingkah laku, proses kerja, dan sebagainya.

Keempat, kultur. Bisa jadi, suap dilakukan karena "kebiasaan" yang turun temurun. "Biasanya begitu...". "Dari dulu juga begitu...". "Katanya harus begitu...". Dan sejenisnya.

Dalam case ini, bukan ketidakpercayaan diri atau ketidakyakinan akan kemampuan diri yang mengemuka, tapi lebih karena eguh prakewuh. "Sesuatu" yang menurutnya "harus dilakukan", karena "tradisi" menunjukkannya begitu. Ini mungkin "suap" yang paling bisa "dimaafkan", kendati tidak dapat diterima oleh juri.


***

Tapi, suap adalah suap. Ia tetaplah alat yang diharapkan bisa mengubah penilaian dan keputusan yang seharusnya obyektif. Dan itu jelas tidak baik. Jelas salah.

Dan berhati-hatilah, kawan. Juri dalam berbagai pengambilan keputusan itu bukan hanya juri berupa "manusia". Juri itu bisa jadi malaikat-mu. Malaikat yang setiap detiknya melakukan penilaian ke kamu. Dan jangan lupa juga, bahwa juri itu bisa jadi adalah Tuhan-mu. Yang memiliki otoritas tertinggi dalam memberi keputusan. Yang Maha Memutuskan.

Dan jika sampai kepada tataran itu, saya tak berani berkomentar lebih. Saya tak memiliki kemampuan untuk menceritakan bagaimana seandainya Gusti Allah yang "tersinggung" karena coba kamu "suap"...


Mekaten. Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : (1) www.waspada.co.id (2) mfirmanshah.files.wordpress.com

3 komentar:

kalo ungkapan rasa terima kasih karena telah sukses terbantu bagaimana? pastinya tetap saja "suap" sich tp beda dong dengan "suap" yang diterima dimuka? (salah ya?)

 

Ah, Sampeyan sudah tau jawabannya. Bukannya saya belajar dari Anda, Gus? Hehehe..

Yang pasti, gunakan hati nurani. Apakah Anda merasa "dibeli" dengan pemberian itu? Apakah pemberian itu mempengaruhi kadar keputusan dan pandangan Anda terhadap si pemberi? Adakah Anda melihat "tujuan tertentu" dalam pemberian itu?

Once again, tanya hati terdalammu. Ocre, Bro?

 

Tambahan, Gus Nhank : suap itu bisa "di muka" maupun "di belakang". Remember it, okay?