Lebih kurang tiga pekan yang lalu, salah satu anggota tim saya --Sisca-- mendapat tugas baru. Ia harus pindah ke kantor pusat bulan ini juga. Dua minggu sebelumnya lagi, anggota tim yang lain --Ricky-- juga mendapat kabar bahwa ia harus ada di pos barunya --juga di kantor pusat-- pada September ini.
Nha, Senin minggu lalu, saya mengadakan rapat rutin. Pada sesi santai, tim membicarakan rencana "pelepasan" anggota tim yang harus pindah. Ricky dan Sisca sempat usul agar acara mereka digabung. Tidak sendiri-sendiri. Rencananya, mereka berdua yang akan menraktir kita. Tapi saya, dengan sok "jumawa", tapi sesungguhnya juga sekaligus becanda, mengatakan "Nggak! Nggak bisa! Enak aja digabung..., sendiri-sendiri!".
Maksud saya, biar kami bisa mendapat traktiran dalam dua kali kesempatan. Kalau digabung, kan berarti cuman sekali makan gratis... hehe. Lagian, mereka jadi bisa ngirit dong! Hahaha!
Dan, mereka pun setuju.
Eh, belum ter-realisir acara pelepasan itu, Senin lalu, saya mendapat kabar bahwa saya juga harus mutasi di bulan September ini.
Lhadalah, tapi ya Alhamdulillah --karena apa dan bagaimanapun harus disyukuri, bukan?--. Saya harus pindah unit kerja baru. Masih di Jakarta dan masih di bidang yang sama. Hanya saja, unit kerja baru ini menurut data
performance-nya lebih besar, dan tentunya lebih lekat dengan kompleksitas masalah yang menantang. Tentang itu, Insya Allah saya siap saja.
Yang menjadi "lucu" kemudian, terkait dengan rencana pelepasan itu.
Begitu hari Selasa mendapat kepastian berupa facsimile dari kantor wilayah, Sisca langsung nyerocos, "Nha! Perpisahannya nggak boleh digabung lho, Pak! Hahaha...!" Seluruh anggota tim yang saat itu ada di tempat, dengan semangat mengiyakan seraya tertawa lepas. "Iya lho, Pak! Syukurin dah...." Hahaha!
Ketika bertemu dengan Manajer Operasional di lantai satu, coba dengar apa katanya : "Perpisahannya sendiri-sendiri lho, Pak! Nggak boleh digabung! Enak aja digabung...," kata beliau.
Lhah, itu kan inti kalimat saya untuk Ricky dan Sisca waktu itu? Hihihi...
Tuhan memang Maha Adil. Kena batunya deh, gue... :)
***
Itu tadi hanya cerita yang "konyol". Tak serius, tentang "termakan omongan sendiri".
Tapi, kisah itu mengingatkan saya pada beberapa kisah lain.
Ceritanya yang akan saya sampaikan di bawah ini, dan ini jauh lebih serius.
Seorang teman pernah menulis di blognya, yang intinya, hati-hati dengan omongan kita. Omongan kita adalah do'a, yang bisa diamini oleh siapapun --makhluk kasat mata atau tidak; alam semesta--, dan menjadi kenyataan.
Ia yang seorang bapak, bicara dengan nada mengingatkan kepada si anak yang sedang bermain dengan tingkah polah yang sedikit "kebablasan".
"Awas, sebentar lagi Abang jatuh, lho! Hidung Abang bisa berdarah kalau jatuh!" kata si Ayah kepada anak yang lebih besar.
Si anak masih saja bermain, dan tahu apa yang terjadi? Si Abang tiba-tiba terjatuh, dan --Subhanallah--, persis seperti yang dikatakan, dari hidung si Abang keluar darah akibat bagian depan wajah itu yang membentur lantai terlebih dahulu! Maha Suci Allah!
***
Saya sendiri pernah mengalami sebuah peristiwa, yang ketika mengalaminya, saya langsung teringat cerita orang-orang yang sudah dulu berkesempatan berangkat ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Kata mereka, di sana Allah menunjukkan kebesaran-Nya, dengan memberi balasan langsung terhadap amalan yang kita lakukan.
Siang itu, tatkala saya masih bertugas di Medan. Saya mau berangkat
tourney bersama salah satu anggota tim. Saya yang membawa mobil, karena anggota saya yang satu ini belum piawai menyetir kendaraan roda empat.
Di
basement, saya melihat mobil dinas Manajer Operasional (MO) banyak lecet dan benyok. Para
driver di parkiran itu mengatakan, mobil itu baru mau masuk bengkel. Iseng, seorang
driver bertanya kepada saya. "Mobil Bapak nggak sekalian dibengkelin, Pak?"
Ia tak salah. Di mobil dinas yang saya pakai, memang terdapat juga beberapa lecetan. Tapi, masih jauh lebih sedikit dan jauh lebih mending dibanding kondisi mobil dinas MO.
Bermaksud becanda, saya menjawab, "Nanti aja. Biar saya tambahin dulu 'luka'-nya! Tanggung...." Saya pun keluar parkir dengan "gaya", diikuti cekikikan para
driver yang mendengar jawaban saya.
Apa yang terjadi? Siang itu juga, ketika akan menyeberang --tak sampai tiga jam selepas saya berkomentar seperti di atas--, bemper depan mobil saya menabrak angkot yang melintas dalam posisi tegak lurus dibanding mobil saya!
Hasilnya? Luka
body mobil saya cukup parah, dan bahkan lebih parah dari kondisi mobil MO! Allahu Akbar, Subhanallah.
Ternyata, begitu mudahnya Allah mengingatkan kita. Begitu gampangnya Beliau memberikan 'pelajaran' bagi kita yang seringkali sok, sombong, jumawa, angkuh, tinggi hati, dan sejenisnya.
Begitu menabrak dan melihat kondisi mobil, saya hanya bisa terdiam. Tak ada komentar apapun yang berani saya ucapkan, kecuali, Astaghfirullah. Saya telah berlaku "sombong" kepada Allah.
***
Tapi, dasar manusia yang seringkali masih labil iman, secara "tak sadar", saya pernah mengulangi kesalahan itu.
Saya sudah bertugas di Jakarta, ketika peristiwa ini terjadi.
Sore selepas Maghrib itu, saya pulang bersama Mbak Erna, yang kebetulan rumahnya searah dengan rumah dinas saya.
Jalan sangat macet.
Crowded. Semua kendaraan --roda dua maupun empat-- hanya bisa merambat pelan. Bahkan lebih sering berhenti. Dalam kondisi demikian, jarak antar kendaraan, baik depan, samping maupun belakang, sangat rapat. Hitungan senti, istilahnya.
Beberapa kali Mbak Erna mengingatkan, bahwa mobil saya sangat mepet dengan kendaraan lain. Sambil berkendara, lantas saya bercerita, bahwa teman-teman saya juga sering khawatir dengan cara saya menyetir yang "sok mepet" itu. Beberapa teman bahkan seringkali menyebutnya sebagai "gaya sopir angkot" (
maaf kepada para sopir angkot...).
Saya bercerita dengan nada bangga. Di tikungan dalam jarak lebih kurang 500 meter dari saya berhenti bercerita soal "kehebatan" menyetir saya, tiba-tiba mobil saya dipepet sebuah bus dari arah kanan, sehingga mengharuskan saya membanting setir ke kiri.
Apa yang terjadi? Mobil saya menyenggol bajaj yang juga sedang melintas dalam arah yang sama!
Saya pikir tak ada yang parah, sehingga kami semua sepakat melanjutkan perjalanan.
Sampai di rumah, saya penasaran. Sebelum masuk ke
carport, saya iseng mengecek kondisi kendaraan. Masya Allah! Ternyata "luka" yang sangat besar, panjang dan dalam ada di pintu mobil sebelah kiri! Dan itu adalah "luka" yang paling parah selama saya diberi kepercayaan memegang kemudi mobil dinas tercinta itu!
***
Lagi-lagi, saya harus mengucap Astaghfirullah. Mohon ampun kepada Allah. Bahkan, kali itu, ada dua permohonan ampun yang saya mintakan.
Pertama, karena "kesombongan" saya dalam bercerita ke Mbak Erna.
Kedua, karena saya jelas-jelas mengingkari janji saya untuk "bertobat" setelah kejadian di Medan itu. Lepas dari bahwa apa yang saya lakukan dalam kondisi "sadar" atau "setengah sadar". Yang pasti, saya salah.
***
Saya yakin, banyak kejadian tak mengenakkan yang sebenarnya kalau kita sadari, sangat mungkin merupakan "peringatan" dari Allah kepada kita. Tapi bagaimanapun, kita harus mengucap syukur. Alhamdulillah. Tentu bukan karena kita senang mendapat musibah, tapi lebih karena, itu berarti Allah masih menyayangi kita. Karenanya, Allah memberikan petunjuk lewat cara-Nya yang sangat bijaksana.
Dan salah satunya, adalah bagaimana kita musti bertutur. Bagaimana kita harus bersikap. Ada Allah yang Maha Segala, yang "berhak' memberi ridlo atau tidak atas apa yang kita lakukan.
Terima kasih ya, Allah.
Salam perenungan,
Fajar S PramonoKaligrafi Allahu Akbar : www.vanderhaven.net