Saya pilih menjadi orang miskin yang tinggal di pondok penuh buku daripada menjadi raja yang tak punya hasrat untuk membaca.--Thomas Babington Macaulay (1800–1859), sejarawan Inggris--
Aha! Saya senang sekali membaca
quotation yang saya "temukan" kemarin itu. Macaulay seakan membuat saya "ter-bela-kan". Arti gampangnya, merasa "dibela".
Iya saja, jika mengingat "harta" saya ada banyak di buku. Salah satu (atau salah banyak ya?!) aksesoris, ornamen, dan bahkan hiasan dinding di rumah saya yang membanggakan buat saya adalah deretan dan tumpukan buku. Rapi ataupun berantakan buku itu, bagi saya, itu bagian dari seni
design interior! Walah! Hehe..
Secara prinsip, saya setuju dengan Macaulay. Intinya, hidup bersama buku --tentu saja buku yang dibaca, bukan sekedar dikoleksi-- sesungguhnya telah membuat kita "kaya". Kaya ilmu, kaya pengetahuan, kaya wawasan. Dan itu sungguh berharga menurut saya.
Seorang raja, seorang pemimpin, yang tidak mau membaca, maka sangat mungkin bahwa kemampuan teoritisnya tak banyak beranjak dari waktu ke waktu. Ia memang akan menang pengalaman. Belajar dari lapangan. Tapi, mungkinkan semua pengalaman yang bisa dialami orang lain akan sempat mereka cecap sendiri dan menjadi pengalaman pribadi?
Pengalaman yang dialami sendiri, mungkin adalah guru terbaik. Tapi, pengalaman orang lain, tak kalah baiknya. Dan pengalaman orang lain, keluasan pandang orang lain, banyak terungkap dalam sebuah wahana literasi. Salah satu yang utama, adalah buku tersebut.
Sebuah kalimat bijak (yang sudah saya olah sendiri) mengatakan, "Tak cukup waktu bagi kita untuk mereguk semua pengalaman berharga dalam hidup untuk belajar. Maka, belajarlah juga dari pengalaman orang lain."
So, buku memungkinkan percepatan proses pembelajaran itu. Ingat, bahwa waktu alias bahwa "jatah hidup" kita terbatas. So, beri kesempatan maksimalisasi percepatan-percepatan sebanyak mungkin. Toh semua demni kemajuan. Bukan demi kemunduran.
Kembali kepada
quotation Macaulay.
Dengan dasar pemahaman seperti di atas, maka layaklah bila seorang pemimpin, seorang "raja", harus melek literer. Lugasnya, harus melek buku.
Menyenangkannya, "kesadaran" akan tuntutan seperti itu semakin hari semakin nyata. Untuk melihat karakter seseorang, salah satunya, lihatlah dari koleksi bukunya. Bukankah petuah bijak juga mengatakan, "Kita lima tahun mendatang adalah dengan siapa kita berkawan, dan buku apa yang kita baca".
Nah lo... :)
***
Tapi, meskipun saya setuju Macaulay, saya punya keinginan yang berbeda dengannya. Kalau Macaulay memilih miskin bersama buku daripada menjadi raja (dengan asumsi berkecukupan harta alias kaya) tanpa hasrat membaca, maka saya memilih untuk kaya, mampu menjadi pemimpin, tapi memiliki hasrat dan gudang buku yang sama besarnya!
(
Haha... namanya juga quotation. Itu kan metafora yang seringkali hiperbolik, Bung!)
Hehe... tapi boleh kan, punya keinginan seperti itu? :)
Salam buku,
Fajar S PramonoIlustrasi : http://g-ecx.images-amazon.com.
4 komentar:
Tapi ada yang bilang kalo pengalaman itu guru yang buruk, lha belum pernah diajarkan kok sudah ujian
Saya tertarik dengan proses percepatan pembelajarannya.
Kalau kita terjemahkan kata “ percepatan “ sesuai Hukum Newton yang kita pelajari waktu SMA, itu berarti bahwa:
“ Percepatan sebuah objek berbanding terbalik dengan massa dan berbanding lurus dengan gaya eksternal “ atau kalau dirumuskan :
F = m * a
F = force (gaya)
m = massa
a = percepatan
Sebagai contoh : kita lepaskan sebuah balon yang menerima gaya dorong berisi gas helium (ke atas) dan gaya tarik (ke bawah). Jika gaya dorong lebih besar dari gaya tarik, maka Gaya ( kekuatan ) balon bergerak ke atas akan semakin cepat sesuai kekuatan gaya dorongnya. Proses Thomas Babington Macaulay sama dengan balon, begitu gas nya habis ia akan turun kebawah.
Tentu yang kita inginkan adalah :percepatan dengan gaya dorong ke atas secara terus – menerus bukan ? Kalau demikian adanya, mungkin sudah saatnya Hukum Gaya kita revisi / tambah menjadi : “ percepatan adalah gaya dorong ke atas secara terus – menerus , mampu bergaya dan bisa menjadi kaya “
…. Sory , baru sempat blog walking lagi, setelah prei 2 bulan untuk mempercantik diri, maklum otodidak Mas
Betul, Mas. Itu kata-kata Vernon Law. Saya baca quotation itu di Intisari, dan jadi postingan iseng pada 08-08-08. Sebuah tanggal yang cantik... ;)
Karena itu pula, di posting ini saya menyisipkan kata "mungkin" di kalimat "Pengalaman yang dialami sendiri, mungkin adalah guru terbaik." Hehe..
Thanks ingatannya!
@ Asrul Martanto : Haha, Panjenengan itu memang kritis tenan, Mas!
Apapun teorinya, yang penting kita bisa masuk dan menjalani proses percepatan pembelajaran itu. Dan setuju, bahwa yang kita inginkan adalah kontinuitas. Keberlanjutan.
Bukan begitu, Mas Asrul?
--dengan jatah hidup yang wallahu a'alam ini, rasanya terlalu sayang jika kita hanya menjadi yang "biasa-biasa" saja--
Thanks sampun mampir. Salam sukses!
Posting Komentar