Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

(MASIH TENTANG) PEMIMPIN DAN BUKU


Posting pagi ini, masih ingin menyambung topik kemarin. Tentang pemimpin dan buku. Bahkan bisa spesifik lagi, tentang Presiden Indonesia dan buku.

Majalah Matabaca --majalah yang mentasbihkan dirinya sebagai "jendela dunia pustaka"-- vol.7/no. 2/Oktober 2008 mengangkat topik utama mengenai sosok calon presiden, dan buku. Dengan cover sosok M. Fadjroel Rachman --salah seorang pengamat politik yang mencalonkan diri sebagai presiden dari gugus independen--, tertulis dengan huruf besar tema utama itu : Presiden Melek Buku.

Wow! Di dalamnya, ada juga diulas para "kompetitor"-nya, yakni sosok muda lainnya : Rizal Mallarangeng, Yusril Ihza Mahendra, Sutiyoso alias Bang Yos, Rizal Ramli; juga "wajah-wajah lama" seperti Amien Rais, Wiranto, Gus Dur, dan juga SBY. Majalah ini bahkan mencoba "membandingkan" dengan tokoh-tokoh pemimpin di mancanegara seperti Adolf Hitler, Mao Tse-Tung, Mahatma Gandhi, bahkan Barack Obama.

Ada dua hal yang diintikan dalam ulasan di rubrik Gagasutama edisi ini, yang notabene merupakan dua peng-ejawantah-an istilah "melek buku" :

Pertama, bahwa seorang pemimpin, selain harus terampil memimpin melalui tutur bahasa lisannya, ia juga harus bisa menuangkan ide-ide kepemimpinannya melalui bahasa tulisan. Melalui kemampuannya menulis. Memindahkan ide di kepala dan benak pemikirannya secara literer.

Dalam model pemilihan pemimpin secara langsung oleh rakyat seperti yang terjadi di Indonesia masa kini dan di Amerika sejak masa lampau; karakter, kemampuan dan bahkan gaya serta prinsip-prinsip kepemimpinan seseorang bisa kita "baca" dari apa-apa yang ditulisnya. Dari apa-apa yang menjadi opini publikatis-nya di berbagai media cetak. Ya koran, ya majalah, ya buku.

Segala sesuatu yang tertuang dalam waktu lama, merupakan sebuah cermin kompetensi dan konsistensi. Dari ide-idenya, kita bisa melihat kapabilitasnya jika suatu ketika si penulis harus memimpin. Ini yang saya maksud : melihat kompetensi. Dari ide-ide yang tersebar dalam kurun waktu lama tersebut, kita bisa melihat keteguhan prinsipnya. Konsistensinya. Kenapa? Karena, sosialisasi ide melalui tulisan di media ataupun buku tidak dibatasi oleh waktu sebagaimana "kampanye formal" yang hanya dilakukan secara "jangka pendek" beberapa waktu sebelum prosesi pemilihan itu sendiri.

Jika hanya "jangka pendek", maka bisa jadi ia hanyalah sebuah "lips service". Namun, jika seseorang sudah meng-"kampanye"-kan pemikirannya secara berkesinambungan dalam jangka waktu lama, maka keyakinan akan kompetensi dan konsistensinya, Insya Allah lebih bisa dipercaya.

Kedua, seperti "jiwa" posting sebelum ini, bahwa seorang pemimpin seyogyanya merupakan orang yang "mau membaca".

Di ulasan Gagasutama tadi, ada sebuah judul menarik tentang hal ini : 100 Judul Buku Sastra untuk Calon Pemimpin Bangsa. Di prolog artikel itu disampaikan : "Bagaimana caranya "membaca" keunggulan calon presiden kita? Salah satu dari puluhan kriteria adalah kecintaannya pada dunia membaca. Buku apa saja?"

Artikel itu kemudian menyampaikan, bahwa salah satu buku yang "harus" juga dibaca adalah buku sastra. Kenapa?

Simak kata Baharuddin Aritonang : "... supaya hatinya mudah terpanggil." dari Fadjroel Rachman dan Rizal Mallarangeng tersirat alasan, "... akan mempertajam pemikiran seseorang." Bahkan kata Fadjroel, "Dengan karya sastra, kita bisa dapat gambaran yang utuh dari sosok manusia daripada data primer."

Simak juga quote atau judul kecil blog seorang kawan pecinta buku, resensor sekaligus aktivis perbukuan Endah Sulwesi : Seni dan Sastra Membuat Hidup Ini Sedikit Lebih Gemulai. Nah lo...

Ya, sastra diyakini membuat hati dan pemikiran ini menjadi lebih "lembut". Lebih "sensitif". Dan sensitifitas serta kepedulian yang tinggi, adalah sesuatu yang sangat diharapkan rakyat terhadap pemimpinnya.

***


Secara umum, saya sepakat akan pentingnya dua aktivitas dari segunung kriteria seorang calon pemimpin yang diidealkan oleh Gagasutama di atas. Pertama, mau menulis. Kedua, mau membaca.

Sip! Alhamdulillah, setidaknya saya sudah memiliki semangat untuk melakukan keduanya. Mudah-mudahan ini bisa jadi bekal untuk menjadi pemimpin. Amien...

Lhah, ujung-ujungnya kok narsis?! Biarin! Hehe...


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://pragdave.pragprog.com dan http://life.antonypranata.com

2 komentar:

Kalo Njenengan khan sudah jadi Calon Pemimpin (Wakil Pemimpin; red). Paling tidak Pemimpin/Imam/Kepala Keluarga.....

 

Saya Fajar, Mas. Bukan Imam... :)
Imam sudah pindah ke Magelang! :D