Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

BAHAGIA DALAM BEKERJA : "BERHENTILAH BEKERJA"


Ah, saya punya janji : menjawab sebuah pertanyaan di akhir postingan "Cintakan Anda pada Pekerjaan Anda?" beberapa waktu lalu.

Lantas, bagaimana jika semua jawaban mengatakan "ya", sementara dengan jujur pula kita akui bahwa kita membutuhkan "sesuatu" (baca : materi/uang) dari pekerjaan itu?


Itu pertanyaannya. (Saran, baca lagi posting di atas)

Masih dari Arvan Pradiansyah, kita harus "berhenti bekerja". Hah? Berhenti bekerja?
Ya. Begitulah kata Arvan. Istilah "berhenti bekerja", sesungguhnya merujuk pada bagaimana kita dapat menghasilkan uang dari sesuatu yang kita sukai (hobi). Jika kita melakukan sebuah hobi, misalnya membuat kerajinan tangan, melukis, bernyanyi, memasak, menulis dan sebagainya, dan di sisi lain semua itu menghasilkan uang, apakah kita akan mengistilahkannya sebagai "bekerja"? Tidak bukan? Kita menyebutnya sebagai "mengerjakan hobi". Bukan "bekerja".

Tentang ini, panjang lebar Arvan menguraikan. Ia mengatakan ada sebuah kunci agar kita bahagia dalam bekerja. Bahkan ia menyebutnya sebagai salah satu "kunci sorga" di dunia.

Apa itu?

Pertama, kita melakukan apa yang kita sukai (hobi kita). Kedua, melakukan apa yang kita kuasai (sesuai dengan keahlian kita). Dan ketiga, pekerjaan tersebut menghasilkan uang (memiliki nilai ekonomis).

Masalahnya, "kunci" versi Arvan ini dapat digunakan untuk masuk kenyamanan "surga" jika ketiganya terpenuhi.

Sementara, di lapangan, sangat banyak kenyataan yang seringkali tidak bisa mendukung perfeksionalitas seperti di atas.

Salah satunya, banyak aktivitas yang disukai, tapi tidak bisa dijadikan pekerjaan.
Untuk case ini, menurut Arvan, sesungguhnya adalah masalah paradigma. Selama ini kita melakukan pemisahan antara hobi dan pekerjaan. Hobi adalah apa yang kita sukai, sementara pekerjaan adalah apa yang kita lakukan untuk memperoleh nafkah (yang mungkin tidak kita sukai). Jika paradigma ini yang kita gunakan, maka kita akan sangat sulit mencapai kebahagiaan dalam bekerja.

Berbicara mengenai paradigma, maka kita diajak berbicara masalah belief (kepercayaan). Menurut Arvan, setiap hobi yang kita miliki --sesederhana apapun-- pasti dapat menghasilkan uang. Hanya masalahnya, kita yakin atau tidak? Ia mencontohkan Rudy Choirudin yang hobi memasak, atau Deddy Corbuzer yang memang hobi sulap. Atlet profesional, kebanyakan juga melakukan aktivitas keatletannya berlandaskan hobi.

Nah, ketika ketidakyakinan bahwa hobi bisa mendatangkan uang itu yang ada di pikiran kita, maka kita akan berhenti menekuni hobi, lantas kemudian mencari pekerjaan yang mendatangkan uang. Pada akhirnya kita memang memperoleh sesuatu yang menghasilkan uang, tapi apa yang kita lakukan sebenarnya bukan sesuatu yang kita sukai. Akibatnya, konsentrasi sering terbelah. Badan dan pikiran tidak berada dalam satu tempat. Dalam kondisi yang demikian, kebahagiaan dalam bekerja seringkali menjadi sebuah utopia.

Dan orang yang tidak berbahagia dalam bekerja, biasanya mereka hanya akan melakukan pekerjaan sebatas job desk mereka. Hanya melakukan apa yang diminta atasan atau perusahaan. Tidak banyak inisiatif, atau terobosan. Pada akhirnya mereka lebih suka berpikir jangka pendek. Short cut. Yang penting hari ini beres. Masalah besok, lusa atau masa mendatang, ya nanti lah.

Lalu, bagaimana agar badan dan pikiran kita menyatu? Inilah menurut saya, bagian terpenting dari uraian Arvan.

Menurutnya, ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama, mari duduk dan merenung. Ambil waktu khusus untuk aktivitas ini. Pikirkan tentang diri kita. Apakah kita sudah melakukan sesuatu yang kita sukai? Atau, apakah sebenarnya pekerjaan yang kita sukai? Jika perlu, "kembalilah" kita ke masa kecil atau masa muda : apa yang pernah sangat kita inginkan dan cita-citakan?

Kalau kita sudah menemukan passion atau kesukaan itu, maka langkah kedua adalah berusaha menguasai keahlian-keahlian agar bisa menjalankan hobi tersebut semaksimal mungkin. Kita harus berusaha menjadi yang terbaik dalam hobi itu. Dan dengan dukungan belief tadi, maka bolehlah kita berharap bahwa "pekerjaan" berbasis hobi ini bisa juga bernilai ekonomis alias menghasilkan uang.

Tentu tidak gampang dan membutuhkan waktu?

Pasti. Saran Arvan, untuk sekarang tekuni saja pekerjaan kita, sambil kita mengasah diri untuk menguasai keahlian yang berdasarkan kesukaan kita. Menurutnya, yang paling penting saat ini, temukan dulu apa sesungguhnya minat dalam jatidiri kita, yang bisa membuat kita seolah "flowing" dan ketagihan dalam bekerja, bahkan mau berkorban apapun untuk melakukannya.

***

Sebuah masukan yang manis, tapi saya pun menyadari, tidaklah mudah pelaksanaannya. Apalagi bagi kita-kita yang "telanjur" masuk dalam sebuah kubangan pekerjaan yang notabene memang bukan hobi kita. Tapi minimal, kita bisa mengerti, betapa passion adalah suatu entitas yang urgen bagi pembentukan kebahagiaan hidup.

Sangat bagus jika kita bisa menerapkan saran Arvan. Tapi jika belum, setidaknya ada yang bisa kita lakukan dalam konteks sebaliknya : berusahalah semakin mencintai pekerjaan kita. Pikirkan hal-hal postif tentang pekerjaan yang sedang kita jalani. Buat pemacu-pemacu semangat dalam bekerja, sehingga kita bisa mencintai pekerjaan itu.

Tapi, jika memang ada yang terbaik dan benar-benar sesuai dengan passion, kenapa tidak itu yang kita lakukan?

Ah, saya tersadar kembali, kenapa kawan-kawan selalu memasukkan unsur "fun" ke dalam "kurikulum" kerja ataupun bisnis mereka. Siapa sih, yang nggak mau melakukan sesuatu yang fun sekaligus bisa mendapatkan uang dari sana?

Saya juga mau! :)


Salam,

Fajar S Pramono


Gambar : buku Arvan Pradiansyah, Cherish Every Moment, diambil dari www.ilm.co.id.

0 komentar: