Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

INVESTASI TERBAIK


Dunia investasi memang sedang goncang. Gonjang, sekaligus gonjing. Carut, sekaligus marut. Kacau, sekaligus balau. Acak, sekaligus adul. Apa lagi ya? Hehe.:)

Dari halaman 1 Harian Kompas edisi Kamis, 16 Oktober 2008, terkisah sebuah cerita "pilu". Adalah Vincent Lingga, nasabah Citigold, Citibank Jakarta yang harus kehilangan Rp 450 juta-nya, akibat kebangkrutan Lehman Brothers 15 September lalu. Citigold itu sendiri adalah produk keluaran Lehman Brothers yang dipasarkan Citibank.

Angka kerugian Vincent di atas merupakan angka yang ia gelontorkan untuk produk investasi pada Juni 2007 lalu.

Malam harinya, saya menerima telpon dari adik sepupu. Ia bercerita tentang kerugiannya akibat bermain saham. Akhirnya, untuk sementara ini, ia hanya mau berinvestasi dan menyimpan satu item saham perusahaan saja : saham bank terbaik di negeri ini. (kalau saya sebut, nanti ujung-ujungnya pasti disebut promosi... hehe)

Tapi bagus. Ia tidak kapok. Bahkan ia menanyakan ke saya, apakah saya punya "jatah" saham berdiskon karena saya adalah pekerja di perusahaan yang ia buru sahamnya. Ia ingin "mengganti" kerugian-kerugian yang ia alami akibat bursa global yang anjlok tak keruan ini. Saya sendiri tidak bisa berjanji, dan hanya bilang, "Insya Allah".

***

Karenanya, saya tersenyum simpul saat membaca sebuah Anotasi di Koran Sindo Jum'at (17/10) kemarin.

"Pengalaman mengajariku beberapa hal. Pertama, dengar kata hatimu betapapun bagusnya suatu hal di atas kertas. Kedua, sebaiknya tetap berpegang pada apa yang kau kuasai. Ketiga, terkadang investasi terbaik adalah investasi yang tidak kau lakukan."
(Donald Trump, taipan properti AS)

Aha! Saya sendiri bukan sekali dua membeli saham, tapi Alhamdulillah, semuanya sudah terjual dalam kondisi sangat-sangat menguntungkan. Tapi "lucu" juga, mendengar kesimpulan terakhir dari pengalaman Trump : terkadang, investasi terbaik adalah investasi yang tidak kita lakukan.

Dalam kondisi seperti saat ini, tentu banyak orang meng-amin-i. Di antaranya yang pasti : orang-orang yang memang tidak melakukan investasi (utamanya) dalam bentuk saham. Entah karena paham kondisi, atau karena memang tidak punya uang. :)

Tapi, cobalah baca kesimpulan Trump tadi dalam kondisi cateris paribus. Kondisi normal, di mana jual beli saham, permainan derivatif, otak-atik option, reksadana dan sebagainya di pasar uang berjalan dalam kisaran predictable non spekulatif. Ia (kesimpulan itu) pasti dianggap sesuatu yang "bodoh".

***

Salah satu peng-amin kesimpulan Trump, tentu adalah orang-orang yang selama ini memang "takut" berinvestasi. Namun demikian, apakah kesimpulan Trump adalah sebuah kebenaran, hanya karena ia adalah "pakar" dan sosok seseorang yang telah membuktikan kesuksesannya dalam berinvestasi?

Saya sendiri tidak menentang pendapat Trump. Namun, saya justru takut jika "dogma" Trump ini dijadikan pegangan banyak orang.

Begini. Logikanya, kita tidak akan pernah merugi dalam investasi, karena kita memang tidak pernah berinvestasi. Ya, mana mungkin kita rugi akibat anjloknya harga saham jika kita tidak pernah membeli lembar-lembar saham itu? Tentu tidak.

Tapi, ketika saham itu menguntungkan, ketika investasi itu menghasilkan, apakah kita pernah merasa "rugi" karena kita tidak memiliki lembar-lembar sahamnya? Seharusnya, "Ya."

Dalam "ketakutan" saya itu, saya ingat sebuah "petuah" dari senior di kantor. "Kalau nggak berani punya kredit macet, ya jangan ekspansi kredit. Diem saja. Nggak usah mutus kredit. Pasti nggak akan pernah ada yang nunggak!" katanya.

Salahkah kata-katanya? Tidak. Tapi, perusahaan jelas akan rugi jika para pemasar dan pemutus kreditnya tidak ekspansif.

Seorang kawan sering berkelakar pada seorang kawan lain yang sangat rajin membersihkan motornya. "Kalau takut kotor, dibungkus saja tuh motor, ditaruh di garasi, dan jangan pernah dipakai!"

Atau, kata seorang karib sewaktu kuliah, "Nih aku, nggak pernah ditolak cewek!" Dan ketika teman-teman lain merasa kagum, dengan kalemnya dia meneruskan, "Ya bagaimana mau ketolak, lha wong nembak cewek saja belum pernah...." Hehe.

Apa artinya? Semua cerita itu menyiratkan, seolah-olah kita akan aman dari risiko, kalau kita tidak melakukan apa-apa.

Tapi, benarkah? Saya menjawab tegas : tidak!

Ketidakberanian berinvestasi, akan "merugikan" jika sesungguhnya investasi tersebut terbukti menguntungkan bagi investornya. Ketakutan akan ditolak lawan jenis, tentu bisa "merugikan", karena bisa jadi seseorang tidak akan pernah mendapatkan tipe pasangan yang menjadi idealitanya. Pemutus kredit yang tidak berani menggunakan kewenangannya, memang seolah terhindar dari non performing loan alias kredit bermasalah, tapi perusahaannya pasti "rugi" karena tidak akan mendapatkan keuntungan berupa pendapatan bunga pinjaman yang lebih besar.

Dan bahkan, tidak melakukan apa-apa justru seringkali merupakan sumber kerugian!

Ingat, melakukan suatu tindakan produktif dengan berbagai kemungkinan risiko di sekelilingnya, menghasilkan dua kemungkinan : untung, atau tidak. Sepanjang kita memperhitungkan segala sesuatunya sebelum bertindak, maka prosentase untuk memperoleh keuntungan sangat mungkin lebih besar dari prosentase kemungkinan tidak mendapat untung.

Tapi, kalau kita diam dan tidak bertindak, maka kemungkinan hasilnya cuma satu : tidak untung.

So, seperti ketika kita dihadapkan pada tantangan untuk mencoba sesuatu yang baru guna kemajuan diri. Kemungkinannya dua : berhasil, atau gagal. Jika kita melakukan persiapan, maka keberhasilan lebih dekat ke kita. Tapi, kalau bahkan kita tidak berani mencoba, maka tidak ada lagi kemungkinan. Yang ada adalah sebuah kepastian, yakni : pasti gagal. Pasti kita tidak akan pernah akan maju.

***

Itu saja. Mohon pamit. :)


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://nofieiman.com

0 komentar: