Seminggu belakangan ini, banyak sekali saya menerima pertanyaan dari para pelaku usaha. Sebagian besar, memang merupakan nasabah peminjam di bank.
Luar biasanya, hampir seluruh pertanyaan bernada sama.
"Pak, katanya ada kebijakan penghentian ekspansi kredit ya, Pak?" tanya seseorang.
"Kondisi lagi sulit nih, Pak. Terus terang kami butuh tambahan modal. Tapi saya dengar, bank lagi kesulitan likuiditas ya? Gimana nih, Pak?" tanya seseorang yang lain.
"Pagi, Pak. Pingin tau kebijakan perbankan soal pengucuran kredit. Sedang ada pembatasan ya, Pak?" nada tanya orang yang lain lagi di ujung telepon.
Masih banyak pertanyaan senada. Intinya, mereka yang biasa menggunakan jasa perbankan (dalam hal kredit), sedang "gelisah". Kondisi ekonomi makro seolah "mengatakan" kepada mereka,
'You musti perkuat modal saat ini!'.
'Kalau nggak, siap-siap saja turun kapasitas!'.
Semacam itulah, "kata" ekonomi makro kepada mereka. "Kata-kata" itu pulalah yang membuat mereka gelisah, dan kemudian bertanya.
Saya mencoba turut "menenangkan" (
ceile!) mereka. Saya katakan, sementara perbankan (terutama institusi di mana saya bernaung) belum melakukan pembatasan-pembatasan yang diperketat. Tapi, secara umum, kalangan perbankan memang menjadi ekstra hati-hati dalam pengucuran kredit, terutama pada sektor-sektor yang mau tak mau terkena imbas krisis keuangan global yang berpusat di Amerika itu.
Seorang pengusaha dengan produk berbahan baku impor, misalnya, yang menjual produknya dalam bentuk rupiah. Tentu sektor usaha yang demikian perlu diwaspadai. Harga bahan baku dalam dollar Amerika, yang dengan kurs sekarang menjadi "mahal", sementara mereka harus berjualan dalam bentuk rupiah. Kalau kondisi dan daya beli masyarakat membaik, tentu tidak masalah jika harus dilakukan penaikan harga produk. Tapi, dengan daya beli masyarakat yang juga cenderung melemah, mungkinkan kenaikan harga produk akan berjalan seiring dengan peningkatan, atau bahkan sekedar stabilitas omzet? Saya tak yakin.
Begitu juga dengan produsen produk berorientasi ekspor, khususnya ke Amerika dan Eropa. Pemerintah sudah memperingatkan, bahwa daya beli atau daya impor Amerika negara-negara di Eropa menurun cukup signifikan. Kendati jika ditilik dari segi kurs, menguatnya dollar Amerika memungkinkan margin keuntungan yang membesar.
Pemberitaan teks di Metro TV bahkan jelas menyebutkan : L/C (
Letter of Credit)dari Amerika dan eropa berisiko tinggi.
Memang, tak sedikit pihak yang mengguratkan optimisme berlandaskan asumsi adanya "
de coupling", di mana diyakini bahwa pertumbuhan ekonomi di Asia tetap akan kuat, meskipun terjadi pelemahan ekonomi di Amerika dan Eropa.
Tapi, siapa yang bisa meyakini hal tersebut kalau imbas krisis keuangan Amerika benar-benar mulai terasa di bumi Indonesia ini?
Beberapa pengamat, Muhammad Chatib Bisri misalnya, termasuk yang pesimis dan tidak yakin, bahwa
effect krisis Amerika dan Eropa tidak terlampau berpengaruh di Asia. Ia memprediksi, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih akan melambat, setidaknya di triwulan keempat 2008 dan triwulan pertama 2009 (
Majalah Tempo, edisi 20-26 Oktober 2008).
***
Lepas mana yang benar (meskipun kita berharap bahwa teori "
de coupling" yang benar), pesimisme di berbagai bidang ekonomi sudah mulai terasa.
Dalam posting ini, saya bukan mau membahas detail krisis Amerika dan imbasnya di Indonesia. Saya hanya ingin mengkaitkan dengan teori pengembangan diri. Bahwa pesimisme, bukanlah landasan yang baik untuk bersikap. Dalam bidang apapun.
So, bagi para pengamat dan ahli ekonomi, marilah kita leboh banyak melihat berbagai sisi ekonomi yang bisa menyiratkan optimisme, dibanding "memperbesar kegelisahan" pasar dan pelaku usaha dengan berbagai pesimisme ekonomi. "Membumi" dan realistis dalam analisa adalah kemutlakan, tapi coba selalu dampingi analisa pesimistis tersebut dengan solusi, dengan jalan keluar alternatif, jika memang semua prediksi itu harus terjadi. Yakinkan kami bahwa keberhasilan ekonomi masih sangat mungkin kita raih, bahwa pertumbuhan ekonomi terus saja memberikan tingkat keniscayaan yang tinggi, dengan adanya solusi-solusi itu.
Intinya, kibarkan optimisme. Jangan perdalam jurang pesimisme. Jika pesimisme yang terus digembar-gemborkan, bisa jadi LoA (
Law of Attraction) akan "bicara" untuk membuktikannya.
Wallahu a'lam bishshawab. Yakinlah, bahwa kita dan negeri kita akan mampu mengatasi semuanya dengan hasil terbaik.
Insya Allah.
Salam,
Fajar S PramonoIlustrasi : http://blog.agul.net.
2 komentar:
Sepinter apapun khan dia "hanya" pengamat,orang yang suka mengamati/cuma liat thoq gak pake eksien....belum pernah untung besar dan rugi besar,detak jantungnyapun belum pernah teruji oleh gejolak punya duit banyak dan "miskin" mendadak
Wah, aku jadi "tersungging" nih. Bukannya aku juga cuma "pengamat" yang sok menulis? Hahaha!
Posting Komentar