Alhamdulillah, kami sekeluarga jadi mudik ke Jawa (
halah! ini istilah orang jakarte yang entah kenapa, seolah-olah bukan orang jawa meskipun jelas-jelas tinggal di atas pulau jawa!).
Semula, saya memang telah memutuskan untuk tidak pulang kampung, jika memang ternyata saya harus masuk kerja di tanggal-tanggal persis sebelum dan sesudah 1 Syawal 1429 H. "Tanggung", menurut saya. Capek, bayangan saya.
Tapi, sekali lagi, Alhamdulillah. Saya dan keluarga bisa pulkam, enggak "tanggung", dan juga enggak capek.
Kok bisa?
Lha inilah, hikmah yang bisa saya dapat. Padahal, saya belum pernah mudik dari Jakarta bawa kendaraan sendiri. Tentang jalanan saya "buta", tentang titik-titik rawan macet saya "tuli", dan tentang kekuatan tubuh saya untuk menyetir, saya "lumpuh". Hiperbolik mungkin, tapi maksud saya : saya belum bisa ngebayangin! Belum punya gambaran! Gitu loh, maksudnya... :)
Pertama, hikmah dari "kekejaman" (
semula memang itu pendapat saya; swear!) perusahaan karena saya masih harus masuk tanggal 29 September lalu. Walhasil, kalaupun saya pada akhirnya memutuskan mudik, kami baru bisa berangkat paling cepat 29 malam. Itupun dengan catatan saya tidak terlalu capek, dan risiko yang bisa saja timbul jika saya kecapekan tetapi harus menyetir sendiri. Untuk minta tolong
driver, rasanya nggak tega. Karena seluruh sopir kantor juga muslim, yang pastinya ingin merayakan hari H Idul Fitri bersama keluarganya.
Tapi ternyata, "kekejaman" perusahaan itu berbuah manis bagi perjalanan mudik kami. Berulang kali saya menceritakan kesan saya kepada mereka yang bertanya tentang kondisi perjalanan pulang, "Kayak main
game balap mobil tanpa lawan!". Begitu kata saya selalu.
Bener banget. Kami berangkat pukul 22.30 WIB. Keluar kompleks rumah dinas, segera masuk tol, dan tak ada halangan berarti sampai menjelang Cikampek. Memutuskan untuk lewat jalur selatan, tak jadi turun di Sadang (
dari yang semula berencana menggunakan jalur alternatif Subang-Majalengka-Ciamis untuk menghindari Nagrek) karena tol ke arah Bandung justru jauh lebih sepi.
Walhasil lagi, gerbang tol Cileunyi kami lewati menjelang pukul 00.00 WIB. Membayangkan antrian di tanjakan Nagrek, tak ada wujud nyatanya. Bahkan jujur, sampai Tasikmalaya pun, saya belum tahu persis di mana lokasi kemacetan Nagrek yang melegenda itu. Parah ya, daku ini? Hehe...
Jam 03.00 WIB, kami sudah sampai perbatasan Jabar-Jateng. Tepatnya di Majenang. Kami mampir RM. Pringsewu untuk sahur. Setengah jam kemudian, kami berangkat lagi. Mampir Sholat Subuh di daerah Karangpucung, sebelum Wangon. Jam 07.00 WIB kami sampai di Kutoarjo, kampung saya. Berarti, hanya 9 jam perjalanan mudik kami Jakarta-Kutoarjo! Wow...
Bahkan, berhubung merasa masih "terlalu sebentar" dan masih banyak "sisa energi" (
hei, kok "takabur" begitu sich? --red), kami memutuskan untuk langsung ke Magelang, untuk bisa bersilaturahim dengan neneknda dan saudara-saudara dari ibu saya yang banyak bermukim di sana. Kutoarjo pun hanya kami sapa dengan senyum, sembari lewat. Siang harinya, kami baru balik kucing ke Kutoarjo, beriringan dengan keluarga kakak, adik-adik dan bokap tercinta.
Alhamdulillah, dua hari kami lalui dengan menggembirakan di Kutoarjo. Rabu malam, sekitar pukul 22.15 WIB, kami bertolak ke Solo. Ke rumah keluarga istri.
Sampai di Solo pukul 00.15 WIB. "Cuma" 2 jam, dari yang biasanya bisa 3 jam. Alhamdulillah lagi, kondisi jalan memang sangat lancar. Apalagi anak-anak tidak rewel.
Saya memutuskan hanya dua hari di Solo. "Biar adil dengan Kutoarjo" kelakar saya kepada yang bertanya. Saya putuskan, Jum'at malam berangkat, antara pukul 22.00 - 23.00 WIB. Kali ini pakai jasa
driver. Teman dekat mertua, yang sudah biasa melakukan perjalanan Solo-Jakarta pp.
Alhamdulillah, saya berkesempatan mencoba jalur utara saat itu. Dan syukur tak terkira, bayangan ramainya arus mudik yang menurut perkiraan Sabtu-Minggu (4-5 Oktober) tak tergambarkan dalam kenyataan. Jalanan lancar. Seperti bukan lebaran!
Pukul 05.00 kami sudah ada di Cirebon. Mampir untuk sholat sekaligus makan di RM. Pringsewu Cirebon (
kok Pringsewu terus ya? Yang pasti, bukan promosi. Hanya kebetulan cukup familier buat kami).
Satu jam lebih kami di situ. Berangkat lagi, dan Alhamdulillah, jam 11.00 hari Sabtu itu kami sudah ada di rumah Jakarta lagi. Gerbang tol Cikampek kami lalui tanpa antrian, dan total waktu perjalanan balik "hanya" 12 jam! Luar biasa kemurahan Tuhan bagi perjalanan kami, padahal ini lebaran lho! Terima kasih, Tuhan.
Hikmah kedua : bahwa untuk memperoleh kelancaran (
analog : kesuksesan), harus ada "strategi" dan "pengorbanan".
"Strategi" yang saya maksud adalah, pemilihan waktu keberangkatan atau pilihan waktu perjalanan. Anda lihat, saya selalu mengambil waktu keberangkatan di atas pukul 22.00 WIB. Asumsi saya, orang banyak berangkat sore atau menjelang malam, dan pagi dini hari atau pagi sebelum jam 08.00 WIB. Sehingga, saya tidak harus beriring bersamaan dengan "gelombang" yang tercipta.
Namun jujur saja, hikmah pertama (terutama tentang kepulangan ke kampung) saya dapatkan lebih karena "kemurahan hati" perusahaan yang masih mengharuskan saya masuk di tanggal 29 itu. Jika tidak, hampir pasti saya akan berangkat Jum'at malam (26/09), di mana pada saat itu ternyata adalah dimulainya puncak arus mudik. Dari cerita banyak kawan di kampung yang mudik hari itu, nyaris semuanya berupa "keluhan" tentang kemacetan yang dialami.
Di sisi lain, "strategi" yang saya buat membutuhkan "pengorbanan". (1) tentang waktu start menjelang tengah malam, di mana saat itu adalah saat "ngantuk-ngantuknya". Apalagi setelah seharian beraktivitas tiada henti. Ini tentu membuthkan stamina yang "lebih". (2) Anak-anak pun dipaksa "menyesuaikan". Untunglah, menjelang jam-jam itu, anak saya yang kecil sudah tidur, sehingga tinggal memindahkannya ke mobil. Sementara anak yang besar, kendati belum tidur, hampir sampai pada ambang batas kengantukannya, sehingga hanya diperlukan waktu beberapa menit perjalanan untuk mengantarkannya ke alam tidurnya yang indah.
(3) "Pengorbanan" lain adalah singkatnya waktu silaturahim. Bisa saja kami pulang Sabtu malam, atau bahkan Minggu pagi (5 Oktober), demi kesempatan sua yang lebih lama dengan keluarga. Tapi hal itu terpaksa kami abaikan. Bagi kami, tak perlu kuantitas yang lama, jika pada akhirnya justru kecapekan yang akan kami rasakan akibat perjalanan yang panjang. Kami lebih memilih untuk memaksimalkan kualitas silaturahim dibanding kuantitasnya.
Dan Alhamdulillah, semuanya berjalan lancar. Hari Sabtu dan Minggu ini kami masih bisa menikmati lengangnya kota Jakarta, yang katanya memang hanya berlangsung sekali dalam setahun itu.
Alhamdulillah juga (
kami memang merasa harus banyak-banyak mengucap syukur, apalagi demi melihat berbagai fenomena "derita mudik" di tayangan televisi), semua tujuan kami seputar lebaran tahun ini bisa terpenuhi. Silaturahim di kampung dapat dilakukan, keinginan mudik anak dan istri bisa diwujudkan, dan perjalanan yang sangat menyenangkan serta tidak mencapekkan.
Kesekian kalinya, terima kasih Tuhan. Alhamdulillahi robbil 'alamin...
Sungguh, tak ada maksud bersombong dengan cerita ini. Semata hanya ingin berbagi cerita, berbagi pengalaman. Semoga ada pelajaran.
Salam Idul Fitri, kembali kepada kesucian. Amien.
Fajar S PramonoIlustrasi : www.vhrmedia.com