Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

TERIMA KASIH


Mungkin, memang saya yang lemot, atau memang telat ngerti. Eh, apa sih bedanya lemot dengan telat ngerti? Sama saja, ya? Hehe...

Yang jelas, saya memang baru ngeh. Baru tahu.

Tentang apa? Tentang "makna filosofis" kata "terima kasih".

Pemahaman baru ini saya dapat dari seorang ustadz (mohon maaf, saya tidak tau nama ustadznya, karena saya terlambat datang. Yang pasti : terima kasih, Tadz!) di pengajian kantor Jum'at (20/02/09) kemarin sore.

Beliau mengambil tema habluminallah dan habluminannas. Hubungan dengan Allah, dan hubungan dengan manusia. Dalam hal ini, ada dua hal yang beliau tegakkan : mendirikan sholat untuk habluminallah, dan berzakat, bersedekah, berinfaq, memberikan sebagian rizqi di jalan Allah untuk habluminannas-nya.

Ketika berbicara tentang keharusan berinfaq, beliau menyitir sebuah ungkapan khas ketika kita menerima rizqi. Syukur pada Allah, --Alhamdulillahirabbil'alamiin--, beriring dengan ucapan "Terima kasih, ya Allah".

Ucapan "terima kasih" itu bukan tanpa makna.

"Setiap kita menerima, maka harus ada bagian yang dikasihkan kepada orang lain. Setiap menerima, lalu memberi. Menerima, lalu ngasih. Terima, kasih. Terima, kasih. Terima, kasih. Terima, kasih," kata beliau sambil menengadahkan telapak tangan di atas kepala ketika berkata "terima", dan menyodorkan telapak tangan itu ke depan ketika mengucap "kasih".

Menerima, untuk memberi. Makanya disebut "terima kasih". Bukan "terima" thok thil. Bukan sekedar "terima (karena di-)kasih".

Terima, kasih. Terima, kemudian kasihkan. Menerima, kemudian ngasih. Terima lagi, kasih lagi. Terima terus, kasih terus.

"Kalau tidak terima? Tetap ngasih! Itu baru mantaaap...," lanjut sang ustadz dengan sengau khas beliau, diikuti senyum dan tawa kecil peserta pengajian.

Ya, ya. Sekali lagi : terima, kasih. Terima, kasih. Menerima, terus ngasih. Terima lagi, kasih lagi. Terima banyak, kasih banyak. Terima sedikit? Kasih banyak! Lha, ini baru mantaaaap.... hehe.

Terima, kasih. Terima, kasih... saya mengulang-ulang ungkapan itu. Sebelum ini, sedikit banyak saya telah memahami kewajiban bersedekah, berinfaq, ataupun berzakat. Namun, hanya dengan penyadaran melalui filosofi kata "terima kasih", makna di sebaliknya justru sangat terkesan mendalam. Terngiang di telinga, tertancap senantiasa di hati.

Saya adalah salah satu yang meyakini bahwa banyak pahala, manfaat dan bahkan "keajaiban" di balik kesediaan orang untuk memberi.

Bahwa kita akan semakin dimudahkan rejekinya, semakin dimudahkan jalan kita menuju cita-cita hidup, semakin di-kaya-kan oleh Tuhan, semakin dibahagiakan, ditenangkan hatinya, dan semakin dicintai oleh-Nya.

Bukan mau promosi, tapi ada sebuah buku bagus tentang keajaiban sedekah ini. The Miracle of Giving, dari Al-Ustadz Yusuf Mansur (Penerbit Zikrul Hakim, 2008). Recommended, karena bagi saya, buku itu menggugah.

Hmm... terima, kasih. Tak sekedar menerima, tapi juga ngasih. Memberi. Terima lagi, kasih lagi. Pokoknya : terima, kasih. Terima, kasih. Terima, kasih. Terima...., ah!


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://shirari.com

4 komentar:

Terima Kasih Bos, saya lagi nunggu terima limpahan ngecap di seminar lagi dari Bos, supaya bisa ngasih ke orang laen ilmunya. he he he

 

Haha... Mestinya, bisa nerima tambahan ilmu, supaya bisa ngasih ilmunya ke orang lain.
Lantas, bisa nerima honor bicara di seminar, biar bisa nraktir saya lagi... hehe.
Begitu, kan? Hahaha...

Saya sendiri siap menerima limpahan bisnis dari Pak Buca... :)

 

terima kasih, mas. ilmu yang mas terima dari ustadz itu, ternyata telah di"kasih"kan mas lagi ke saya stlh saya membaca blog ini...

 

Sama-sama, Mas Nur Mursidi. Saya pun selalu mendapat ilmu baru bila main ke blog Panjenengan...