Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

BUKAN REMEH BUKAN TEMEH


Entah kenapa, terngiang kembali kata-kata Miguel Cruzatta yang dicukil Ippho Santosa dalam bukunya, 13 Wasiat Terlarang; Dahsyat dengan Otak Kanan. Mungkin karena perut yang sakit, yang membuat udara dalam perut berputar-putar, kembung angin, dan seolah ingin kentut (maaf...), tapi nggak keluar.

Begini kata Miguel Cruzatta :
"Sopan-santun itu bagai udara di dalam ban. Harganya murah, namun bisa membuat perjalanan menjadi lebih nyaman."

Bukan soal udaranya, yang kebetulan berhubungan dengan masalah dalam perut saya. Tapi soal sesuatu yang "murah meriah", yang seringkali kita remeh-temehkan, tapi sesungguhnya sangat bermanfaat bagi kita.

Udara untuk bernafas? Jelas. Air untuk mandi, minum dan segala aktivitas keseharian? Jelas juga. Mereka itulah yang sering disebut barang non ekonomis, karena sesungguhnya sudah disediakan oleh alam dalam kadarnya yang berlimpah, tapi pada akhirnya menjadi barang ekonomis di jaman sekarang.

Mau beli O2 dalam tabung? Bayar dong....
Mau minum yang menyehatkan? Air mineral? Uangnya dulu dong....
Mau mandi air bersih di Gunungkidul? Ongkos angkutnya dong....

Ketika banyak tersedia, unsur-unsur itu seringkali dipandang sebelah mata. Pas di permukaan bumi, oksigen tak jadi masalah. Pas ke pabrik yang polutif? Ketika di pesawat terbang yang terus meninggi? Hmmm... pasti oksigen menjadi kebutuhan yang mahal harganya.

Itu yang menyangkut barang non ekonomis.

Kentut tadi itu sendiri? Wah, di hari-hari "normal", kehadirannya dicaci maki! Dijauhi, disingkirkan dari kerumunan, dikucilkan! :)

Tapi, pas sakit kayak begini, hmmm... betapa saya merindukannya! :D

Itu pula sebabnya, saya sering memelesetkan lagu Doel Sumbang (judulnya lupa), yang berbunyi, "Cinta itu anugerah, maka berbahagialah...", menjadi "Kentut itu anugerah, maka berbahagialah..." ketika saya diprotes anggota keluarga karena menghadirkan "tamu istimewa" itu.

Kemudian, yang menyangkut barang-barang fisik sehari-hari? Anak saya yang cewek, hampir selalu membeli setengah lusin atau bahkan selusin karet pengikat rambut ketika jalan-jalan Sabtu atau Minggu. Karet itu digunakannya sebagai kelengkapan alat mandi, agar rambutnya tak ikut basah. Ia memang dibiasakan untuk tidak membasahi rambut, kecuali ketika harus keramas.

Tapi, hampir di tiap pagi atau sore, saat si cewek ini harus mandi, ia selalu berteriak, gedubrak gedubruk mencari karetnya. Dan... memang jarang ketemu! Hehe... Akhirnya, ritual membeli karet menjadi suatu kebiasaan mingguan.

Memang murah, tapi kok ya membuat heboh jika ia tak ada ya?

Masih banyak contoh, yang pasti bisa membuat blog ini penuh hanya dengan menampilkannya. Sandal jepit di kantor, tas kresek di rumah, tusuk gigi di meja makan(wah, tanpa ini hidup saya kehilangan kenyamanannya! Thanks to penemunya....), sapu tangan di saku celana, semua itu contoh barang yang mungkin dibilang "remeh temeh" bagi sebagian orang, tapi sangat berarti bagi saya! Anda pasti punya contoh sendiri-sendiri.

Pertanyaannya : kenapa sih, ada sesuatu --juga seseorang-- yang seringkali kita anggap remeh temeh, padahal pada saat tertentu, ketiadaannya mampu mengurangi kadar kenyamanan, dan bahkan kebahagiaan kita?

Pelajarannya : semua unsur, semua barang, dan semua orang sesungguhnya mempunyai peran masing-masing. Bahkan yang haram, makruh, negatif, merusak sekalipun. Ingat, daging babi menjadi boleh dimakan ketika kriteria force majour versi Al-Qur'an menemukan kualifikasinya. Obat-obatan dan bahan kimia terlarang, bisa menjadi obat manakala digunakan secara tepat sesuai kaidah kedokteran. Yakinlah, Tuhan menciptakannya bukan tanpa guna. Hanya kita, bisa mendayagunakannya secara tepat atau tidak. Secara halal atau tidak.

So sekali lagi, jangan pernah remeh dan temehkan apapun dan siapapun. OK?


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://www2.kompas.com

0 komentar: