Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

KEINGINAN 24 KARAT


Di status Facebook (Fb) saya kemarin Jum'at (13/02/09) --Friday the 13th, kata Safir Senduk di Fb juga-- saya menulis : "Fajar S seneng, tadi malem dapet beli dua buku terakhir Dahlan Iskan (CEO Jawa Pos Group). Ada yg suka tulisan beliau juga?"

Ya, saya memang senang dengan tulisan-tulisan Dahlan Iskan yang selalu kritis menyikapi kondisi. Ketika sekedar bercerita tentang pengalamannya pun, gaya pengisahannya membuat saya terhipnotis. Tak mau berhenti membacanya. Juga cara beliau "mengikat makna" dari apa yang dilihat dan dirasakan.

Dan, benar kan, baru halaman 4 dari buku "Menegakkan Akal Sehat", saya sudah menemukan insight baru, tentang "Keinginan 24 Karat akan Menghasilkan Emas".

Sebenarnya saya sudah pernah membaca artikel ini di Jawa Pos Online (www.jawapos.com). Tapi, begitulah saya, lebih cepat meresapkan tulisan verbal dalam bentuk buku or cetakan ketimbang dalam bentuk e-book ataupun e-paper.

Kembali ke topik, apa "Keinginan 24 Karat" itu?

Tak lain, keinginan yang sangat besar, yang bahkan sudah menjelma menjadi obsesi dan merasuk dalam emosi, untuk menggapai atau mendapatkan sesuatu. Dalam kadarnya yang 24 karat, maka upaya pemenuhan yang dilakukan akan dicobaupayakan semaksimal mungkin. Kalo belum mentok, belum berhenti.

Dahlan Iskan berkaca dari pengalaman sederhananya --lebih tepat keinginan sederhananya-- untuk sekedar makan ikan di sebuah retoran kecil bernama Handayani di Jalan Haji Hayun, Palu.

Sederhana, bukan? Pasti Anda akan menjawab : ya.

Tapi, kondisi sesungguhnya menjadi tidak sederhana manakala keinginan itu muncul di Bandara di Balikpapan, hanya karena tahu bahwa ada jadwal penerbangan ke Palu satu jam kemudian, terhitung dari waktu kedatangannya di Balikpapan dari Jakarta hari itu. Menjadi tidak sederhana manakala keinginan itu harus berkonsekuensi pada penundaan acara beliau di Balikpapan. Menjadi tidak sederhana karena beliau bersikukuh untuk menunda jadwal makan malam yang seharusnya sudah masuk "jatuh tempo", mengingat beliau tidak boleh telat makan sebagaimana kata dokter yang mengawal masa penyembuhan "sakit hati"-nya.

Menjadi tidak sederhana pula ketika pesawat Batavia Airlines yang terjadwal berangkat pukul 19.00, molor berulang kali hingga nantinya baru bisa take off pukul 21.30. Menjadi semakin tidak sederhana ketika semua itu berarti pesawat baru bisa mendarat di Palu pukul 22.20, dan mereka baru akan sampai ke restoran sekitar pukul 23.00. Jam di mana restoran itu sendiri sudah tiba pada jadwal menutup pintunya.

Tapi, Dahlan Iskan mengaku, keinginannya sangat tinggi. 24 karat. Karenanya, dalam kurun waktu itu, ia --dibantu teman-temannya-- melakukan segala sesuatu yang memungkinkan keinginan tokoh pers ini terwujud. Mulai dari menelpon teman di Palu supaya bersedia merayu sang pemilik restoran agar tidak menutup pintu sampai rombongannya datang, meminta kesediaan pemilik restoran untuk tetap mau memasak di tengah keletihannnya menjelang tengah malam, juga memonitor kondisi kesehatan Dahlan Iskan lantaran kenekatannya menahan lapar sampai lewat beberapa jam dari jadwal yang seharusnya.

Dan, inilah yang didapat Dahlan Iskan : Restoran Handayani menunggunya. Bahkan, lantaran sempat "heboh", rencana kedatangannya diketahui beberapa koleganya di Palu, yang kemudian ikut bergabung makan. Akhirnya, malam itu berakhir "happy ending". Makan ikan keturutan, kenikmatan ter-reguk, kondisi kesehatan tak terganggu, bertemu teman-teman yang menyenangkan, yang bahkan sempat berkolaborasi dengan pemilik restoran dalam memasak sebuah menu spesial, dan pada akhirnya jadi bisa menengok progress pembangunan Gedung Graha Pena Palu milik Jawapos Group.

Dahlan Iskan sangat puas. Sangat menikmati hasilnya. Ia merasa "sukses".

Dalam istilah Dahlan : itulah buah dari keinginannya yang 24 karat. Dengan kadar karat maksimal itu, maka yang didapatkannya adalah emas murni. Benar-benar emas.

Maka, ia mengatakan : siapa saja yang punya keinginan, sebaiknya ditanyakan dulu ke dirinya sendiri. Berapa karatkah keinginannya itu? 18 karat? 20 karat? 22 karat? Atau, 24 karat?

Masing-masing karat akan menentukan derajat kesuksesannya.

Ia mencontohkan, jika keinginannya hanya 18 karat, pasti ia sudah akan tergoda oleh lapar di Balikpapan, dan akhirnya "menyerah" dengan makan malam di sana. Apalagi menurutnya, baru saja dibuka cabang rumah makan masakan Tiuchu, restoran favoritnya di Pontianak.

So, menurut akal sehatnya, keinginan yang 24 karat-lah, yang akan benar-benar menghasilkan emas. Kalau ada orang ingin memperoleh sukses terbesar, tapi kadar keinginannya hanya 18 karat, di mana letak akal sehatnya?

Dan, saya setuju dengannya.


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://www.businesspundit.com

0 komentar: