Jelas, tak hanya obat-obatan atawa zat adiktif lainnya yang bikin kita ketergantungan.
Barang-barang sekunder, bahkan tersier atau er-er yang lain, banyak yang menciptakan ketergantungan kita atasnya.
Handphone adalah satu contoh yang jelas.
Malem Minggu lalu, waktu kami main ke Bandung dengan teman-teman di kantor, baterai hp saya habis. Abis bis. Sama sekali nggak nyala. Waktu itu pukul 11-an malam. Kurang sedikit lah.
Kebetulan, saat itu kami baru selesai dari bersantap malam dan mengadakan malam kebersamaan di Sierra Cafe. Di tengah perjalanan pulang ke Grand Seriti, saya teringat, satu tas saya ketinggalan di sana.
Blaik! Itu tas isinya perlengkapan penting "panitia" je...
Mau nelpon dan minta tolong EO yang setau saya mungkin masih di lokasi, hp sudah
off. Mau nelpon temen lain yang punya nomor sang EO, saya tak bisa melihat nomor kontaknya. Karena itu tadi, hp sudah sama sekali nggak nyala.
Mau balik kucing, saya pasti akan kehilangan "
guide" jalanan Bandung, karena memang sejak awal ke Bandung, saya hanya pasrah nguntit rombongan kantor yang pake bis besar.
Beberapa saat, saya seolah nggak bisa mikir. Bener! Hanya karena sesuatu yang tampaknya "remeh" seperti itu. Bukankah saya bisa tetap balik ke Sierra, dan masalah tas bisa segera beres?
Masalah bingung di jalan? Bukankah masih banyak tempat bertanya di sepanjang jalan? Atau nanya dengan orang Sierra.
Entah kenapa, mungkin karena kebiasaan praktis dan "gampang", otak ini jadi malas berpikir. Bebal. Nggak kreatif.
Padahal, jaman dulu saya yakin, jika hal persis seperti itu terjadi, saya nggak akan sebingung itu. Biasa-biasa aja lah. Otak akan kreatif mencari ide
or solusi, dan tak perlu muncul kepanikan seperti yang saya alami waktu itu.
Dulu, mencari seseorang, bahkan melakukan apa saja, tetap bisa beres meski teknologi belum semaju sekarang. Tapi, "gara-gara" teknologi pula, kita sekarang merasa tak bisa kerja jika sang teknologi tidak tersedia di hadapan kita.
Mau ngetik, alasan :
printer-nya ngadat! Lhah, dulu, tak ada masalah kan, menggunakan mesin tik manual?
Mau pergi, nggak ada mobil. Motor lagi dipakai istri. Lha dulu? Bukannya sangat biasa naik metro mini?
Di rumah, bersama keluarga, tivi rusak, "
Kok nggak enak banget sih?". Lha dulu, waktu kecil, nggak ada tivi pun oke-oke saja tuh...
Rupanya, kita sendiri yang menciptakan ketergantungan itu. Kita mulai terbiasa "meninggalkan" sebuah kebiasaan lama, dalam konteks ekstrim : menghilangkannya sebagai kemungkinan solusi yang sesungguhnya masih sangat baik dan bijak. Padahal, kebiasaan lama itulah yang pada suatu ketika bisa "menyelamatkan" kita, manakala teknologi sedang tak bersama kita.
Ketergantungan, dalam tarafnya yang tinggi, memang tidak baik. Ia bisa membuat kita tak lagi kreatif. Otak menjadi "tumpul" dan miskin solusi.
***
Pada sisi perenungan yang lain, saya membayangkan, di kantor kita, di kehidupan keluarga, di kampung, di komunitas, dan sebagainya, mungkinkah kita menjadi sang teknologi itu? Artinya, mungkinkah kita bisa membuat lingkungan kita tergantung pada keberadaan kita?
Jika bisa, ada poin positif. Yakni, pengakuan akan eksistensi kita. Ada penghargaan untuk kita, dan ada bukti bahwa kita memang dibutuhkan di sana. Ini mungkin satu sisi yang "menyenangkan". Kontribusi kita dirasakan perannya.
Saya bahkan pernah menerima "wejangan" dari sebuah bacaan, bahwa kita harus berusaha menjadi "gantungan" bagi lingkungan kita. Jika pingin menjadi pekerja berharga mahal, maka ciptakan kebergantungan kantor pada kita. Jika pingin menjadi
the best player di lapangan bola, asah terus kemampuan pribadi dalam menggocek bola dan membuat gol, agar klub kita senantiasa membutuhkan kita.
Saya tidak sepenuhnya sependapat dengan "wejangan" itu. Itu bagus, tapi egoistis. Bagi saya, pekerja yang baik adalah pekerja yang memang sangat kredibel melaksanakan tugasnya, bisa memuaskan kebutuhan organisasi, tapi di sisi lain juga sangat ikhlas berbagi kemampuan dan bisa bekerja sama dengan baik dengan pekerja dan komponen kerja yang lain. Bahkan tak hanya itu : bisa ikut mengembangkan orang lain. Toh, selain kegiatan privat, nyaris tak ada pekerjaan yang dari hulu ke hilir bisa dilakukan "sorangan bae". Sendirian saja. Kita tetap butuh teman. Kita tetap butuh orang lain...
So, dalam konteks organisasi, ada (bahkan bisa jadi lebih banyak) poin negatifnya. Penciptaan ketergantungan kepada seseorang seperti ini berakibat sangat tidak baik. Karena, pada prinsipnya, ketidakberadaan seseorang tidak boleh menjadi alasan bagi organisasi itu untuk bubar jalan. Ia harus tetap bisa berjalan dengan baik. Siapapun yang berada di dalamnya.
Karena itu, dalam sebuah organisasi, kantor, keluarga, komunitas, lingkungan tempat tinggal, harus ada sebuah sistem. Keberadaan sistem inilah yang memastikan semuanya akan terus berjalan, siapapun pelaksana sistem tersebut. Catatannya hanya satu : kualitas dan hasil kerja, memang menjadi taruhannya. Artinya, dengan pelaksana yang berbeda, bisa menciptakan hasil yang berlainan. Namun, semakin baik sistem yang diciptakan, semakin standar juga hasil yang bisa digapai.
Sebaliknya, kita juga jangan membiasakan diri tergantung pada seseorang, atau pada sebuah instrumen alat tertentu dalam menyelesaikan suatu pekerjaan dan dalam mencapai sebuah tujuan. Kecuali kita dalam kondisi sakit, anfal, atau kondisi
force majour lainnya.
So, pupuk terus kreatifitas, tanpa harus melupakan "cara-cara dan kebiasaan lama" yang mungkin suatu ketika bisa menjadi jalan keluar terbaik. Biasakan juga untuk tidak tergantung pada satu personil ataupun instrumen apapun dalam kehidupan ini, kecuali pada "gantungan terbaik" kita : siapa lagi kalau bukan Tuhan kita yang Maha Segala itu.
Setuju?
Salam,
Fajar S PramonoIlustrasi : "blog-addict", from http://www.blogohblog.com
0 komentar:
Posting Komentar